Tekan tombol untuk:

Ulasan Mengadang Pusaran

Untuk membaca pendapat-pendapat pembaca yang lengkap, silahkan melihat di www.liangouw.com

Melani Budianta, Guru Besar FIBUI :

Novel ini membawa pembacanya masuk dalam kemelut politik dunia menjelang dan sesudah Perang Dunia II yang menggerakkan gelombang sampai ke Indonesia.

Terjemahan secara sastrawi oleh Widjati Hartiningtyas, dengan rinci menghadirkan seluruh pengalaman dan rasa indrawi sehingga pembaca dapat membayangkan latar dan merasakan hidup sehari-hari masyarakat Tionghoa tiga keturunan di Bandung pada masa pancaroba itu. Nilai dan kuasa penjajah merasuk dalam cara berpikir sehingga mengotak-ngotakkan manusia. Sementara itu, perjuangan kemerdekaan dan perbedaan keberpihakan menyulut prasangka, ketegangan, dan perselisihan antarkelompok yang terbangun dari keseluruhan unsur cerita. Novel ini menggambarkan keragaman masyarakat Tionghoa, mulai dari bahasa, agama, dan acuan budayanya, bahkan juga dalam satu keluarga.

Mengadang Pusaran, adalah sebuah karya sastra yang diracik apik, menunjukkan kesungguhan kerja penelitian sosiologi dan sejarah, serta kepekaan untuk memahami kejiwaan tokoh-tokohnya dalam mengadang gejolak cinta dan pusaran zaman.

==================

Yumi Kitamura, Associate Professor, Kyoto University:

Mengadang Pusaran adalah sebuah kisah hidup perempuan-perempuan Tionghoa antara tahun 1932 – 1950an. Kisah mereka memberikan sudut pandang perempuan dari angkatan berbeda dalam keluarga berkiblat pada Belanda tentang peristiwa sejarah, seperti pendudukan Jepang dan masa perjuangan kemerdekaan.

Sebagai peneliti masyarakat Tionghoa di Indonesia, saya sering mengalami kesulitan mendapatkan kisah hidup dari sumber penelitian, seorang perempuan. Banyak perempuan merasa cerita-cerita mereka tidak penting atau kurang yakin dapat mengungkapkannya dengan bahasa yang sesuai. Membaca buku ini membuat saya memahami perasaan yang tidak diceritakan oleh sumber penelitian saya secara langsung. Saya masih ingat kegembiraan saya saat membaca Only A Girl, karya asli novel ini dalam bahasa Inggris. Saya terpesona membaca terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Penerjemah Mengadang Pusaran ini berhasil menghidupkan tulisan, sehingga pembaca dapat merasakan hujan di Bandung, mencium cengkeh dari asap rokok keretek, mendengar keramaian di pecinan, dan lain-lain. Mengadang Pusaran adalah kisah kita dan keluarga kita di waktu dan tempat yang berbeda.

==================

Asri Saraswati, Dosen Program Studi Sastra Inggris, FIBUI:

Sebuah kisah keluarga Tionghoa yang menghadapi perkara sejalan dengan berakhirnya penjajahan Belanda dan perjuangan kemerdekaan Indonesia, novel Mengadang Pusaran menceritakan tiga perempuan beda keturunan di tengah tekanan adat dan penjajahan. Carolien yang tumbuh dengan nilai dan gaya hidup Belanda berusaha meraih kebahagiaan saat keluarga melarangnya menikahi orang yang dia sayangi. Sementara anaknya, Jenny, tumbuh di tengah karut marut penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan Indonesia. Keduanya bermimpi untuk bisa mandiri, menentukan hidup sendiri, sambil bertahan di tengah riak-riak permasalahan geopolitik yang di luar kuasa mereka.

Sebagai perempuan Tionghoa, mereka ditindas dua kali—karena rumpun dan sebagai perempuan. Gambaran keluarga yang menjunjung adat diwakilkan oleh Nanna, sang nenek yang berusaha mempertahankan cara hidup dan keluarganya dengan susah payah. Kisah masyarakat Tionghoa di Indonesia juga tidak tunggal dan sederhana. Hal ini diceritakan dengan cermat saat keluarga Tionghoa dari berbagai tingkat kemasyarakatan saling bersimpangan.

Pertama kali ditulis dalam bahasa Inggris oleh Lian Gouw, penulis diaspora Indonesia, novel Mengadang Pusaran kini telah sampai di rumahnya dalam bahasa Indonesia, hasil terjemahan Widjati Hartiningtyas. Alunan penceritaannya lancar mengalir dan terasa dekat; seakan sejak awal ditulis dalam bahasa ibu. Mengadang Pusaran bisa dicermati sebagai sebuah pernyataan politik dan pergulatan nilai barat dan setempat, tetapi yang terutama, ini adalah kisah dan nasihat perempuan yang melampaui kekangan zaman.

==================

Nia Dinata – Produser /Sutradara film :

Novel ini membawa kita ke sebuah masa yang hanya sering kita dengar dari cerita Ibu atau Nenek, tentang masa kecil mereka. Ketika Indonesia belum merdeka, setiap kelompok kesukuan dan bagian lapisan masyarakat sengaja diperjelas perbedaannya. Inilah siasat yang dilakukan oleh para penjajah di berbagai belahan dunia.

Namun novel ini sungguh istimewa karena diceritakan dari sudut pandang seorang anak perempuan. Tumbuh dalam keluarga Tionghoa, dia mencari jati diri di tengah kebiasaan adat yang telah lama tertanam dalam keluarganya, dengan mencari berbagai cara untuk melakukan pilihan mandiri. Peristiwa-peristiwa di buku ini tampak begitu nyata sehingga berpeluang besar untuk dijadikan karya film yang indah, terarah dan penuh kenangan.

==================

Cuplikan dari Instagram Atria Sartika :

Novel Mengadang Pusaran diterjemahkan oleh Widjati Hartiningtyas (Kanisius, 2020) dari buku Only A Girl karya Lian Gouw (Dalang Publishing 2011). Novel fiksi sejarah ini mengajak pembaca melihat Bandung di masa lalu, saat kota itu menjadi saksi sejarah peralihan masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Menariknya, kisah ini dituturkan dengan sudut pandang ketiga serba tahu yang menceritakan tiga orang perempuan keturunan Tionghoa dari tiga angkatan berbeda.

Nanna sebagai angkatan paling tua yang menatap pemerintah dengan waspada meski kemudian ia dan keluarganya mendapatkan tempat khusus berkat hubungan mereka dengan orang-orang Belanda. Kemudian ada Carolien sebagai angkatan yang kehidupannya mendapatkan pengaruh besar dari gaya hidup barat akibat bergaul akrab dengan masyarakat Belanda. Terakhir adalah Jenny sebagai angkatan peralihan yang merasakan masa saat pendudukan Belanda, Jepang, hingga perjuangan kemerdekaan Indonesia dalam sudut pandang seorang anak yang berkembang dewasa

Sudut pandang yang dipilih penulis sangat menarik sekaligus peka. Namun ternyata penulis mampu membuat pembaca memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh perempuan ini. Bukan melahirkan pemikiran yg menghakimi, melainkan membangun kasih sayang terhadap keadaan mereka, meski juga menyimpan kesal atas pilihan-pilihan mereka

Untuk membaca ulasan lengkap Atria Sartika tentang novel Mengadang Pusaran, silakan menuju ke tautan berikut:

https://atriasartika.com/ulasan-novel-mengadang-pusaran/

==================

Cuplikan dari Instagram Indah Juli :

Kisah Perempuan dalam Kekangan Zaman

Dari novel setebal 400 halaman karya Lian Gouw ini, saya banyak belajar tentang masa penjajahan Belanda di Indonesia terutama dari sisi peranakan Tionghoa di Bandung. Saya juga belajar tentang masalah anak dan orangtua, pertikaian antarketurunan, hubungan suami istri, masalah dengan mertua, juga masalah percintaan antarremaja.

Mengadang Pusaran diterjemahkan dengan apik oleh Widjati Hartiningtyas (Kanisius, 2020) dari novel bahasa Inggris berjudul Only A Girl (Dalang Publishing 2011). Novel dengan gaya bahasa sastra yang membumi, tapi enggak pakai mengerutkan kening saat membacanya. Penuturan ceritanya menarik, membuat kita larut dalam cerita dan ikut merasakan kepedihan yang terjadi pada Carolien, Jenny, dan Nanna, tiga perempuan yang menjadi tokoh utama dalam novel ini.

Saya sangat menyarankan buku ini bagi penyuka buku fiksi bertema sejarah. Sebagai tambahan, buku ini bisa jadi acuan bacaan tentang pengasuhan (terutama pengasuhan anak remaja).

Mengutip dari uraian sampul belakang novel ini, Mengadang Pusaran adalah kisah kita dan keluarga kita di waktu dan tempat yang berbeda. Dari Mengadang Pusaran, saya memahami bahwa kita menginginkan kebahagiaan dalam hidup, karena kebahagiaan adalah kedamaian.

Untuk membaca ulasan lengkap Indah Juli tentang novel Mengadang Pusaran, silakan menuju ke tautan berikut:

https://indahjulianti.com/mengadang-pusaran-kisah/

==================

Cuplikan dari Instagram Evi Sri Rezeki :

Pergolakan Perempuan Dalam Gelombang Patriarki dan Kebiasaan Adat

Ketika mempelajari sejarah Indonesia di zaman penjajahan hingga masa setelah kemerdekaan, saya selalu tertarik pada sudut pandang orang Tionghoa yang waktu itu merupakan masyarakat kelas dua. Bagaimana pikiran dan perasaan mereka kala itu? Kelas pertama tentu saja orang-orang Eropa, kelas kedua menyejajari orang Tionghoa adalah Timur Asing, terakhir pribumi. Pertanyaan tersebut mulai terjawab saat saya membaca novel Mengadang Pusaran karya Lian Gouw yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Widjati Hartiningtyas (Kanisius, 2020) dari buku yang berjudul Only A Girl (Dalang Publishing, 2011)

Lebih menarik lagi dari novel Mengadang Pusaran adalah yang diangkat dari sisi perempuan. Tak bisa dinafikan, sejarah lebih sering mencatat kepahlawanan dari sudut pandang laki-laki. Bambu runcing, senapan, dan sebagainya seolah melambangkan sejarah dan melupakan anglo, tungku, alat jahit, dan seterusnya.

Dari tokoh-tokoh novel Mengadang Pusaran, saya dapat menangkap pergolakan batin perempuan dalam gelombang patriarki dan kebiasaan adat. Apa yang dirasakan dan dilalui oleh Nanna, Carolien, dan Jenny masih terjadi sampai sekarang. Bagaimana sebagian perempuan yang diwakili Nanna dan Ocho memegang teguh kebiasaan adat sebagai sandaran hidup, sementara sebagian perempuan berusaha melepaskan diri dari kungkungan adat dengan berpaling pada nilai-nilai lain yang sering disebut sebagai kebarat-baratan.

Nilai-nilai ini justru memberikan ruang kepada perempuan untuk meraih kesetaraan dan kesempatan baik dari segi pendidikan, keahlian, pekerjaan, maupun memilih pasangan hidup—hal yang tak jarang bertentangan dengan keluarga. Menyoal memilih pasangan hidup bertalian dengan kemurnian bangsa dan mempertahankan kedudukan semacam golongan yang lazim ditemui di berbagai belahan dunia. Apalagi bila terdapat keragaman budaya. Pergolakan batin ini selalu meminta tumbal.

Untuk membaca ulasan lengkap Evi Sri Rezeki tentang novel Mengadang Pusaran, silakan menuju ke tautan berikut:

https://www.evisrirezeki.com/2021/01/novel-mengadang-pusaran.html

==================

Cuplikan dari Instagram Missfioree (Wardah) :

Kamu pernah baca novel fiksi sejarah bertokoh utama minoritas?

Aku belum lama ini menyelesaikan Mengadang Pusaran (Kanisius, 2020)—novel yang diterjemahkan dari Only A Girl karya Lian Gouw (Dalang Publsihing, 2011). Buku ini berkisah tentang kehidupan tiga wanita Tionghoa yang tinggal di Indonesia pada tahun 1930-1952. Ketiga wanita tersebut adalah Nanna, Carolien, dan Jenny.

Nanna, sosok yang paling tua dalam keluarga besar para tokoh. Nanna adalah gambaran wanita Tionghoa yang masih sangat memegang adat dan budaya. Carolien adalah tokoh yang tumbuh ketika Belanda tengah berkuasa. Dia hidup dengan budaya Belanda menjadi bagian sehari-hari. Terakhir ada Jenny. Dia mengalami masa kanak-kanak ketika Jepang berusaha menduduki wilayah Indonesia. Dia juga mengalami masa peralihan ketika Indonesia merdeka.

Ketiga tokoh utama dalam buku ini hidup dalam masa yang berbeda sehingga memiliki kepribadian dan cara berpikir yang jelas berbeda. Dan penulis berhasil meramu kisah ketiganya dengan sangat padu.

Ketika membaca uraian di belakang sampul buku, aku pikir Mengadang Pusaran akan ditulis dengan alur maju-mundur. Namun, ternyata tidak. Kisah ketiga tokoh wanita ini ditulis dengan alur maju. Irama ceritanya sendiri terbilang cepat sehingga membuat pembaca sulit untuk berhenti begitu mulai membaca. Ditambah gaya menulis yang terperinci dan terjemahan yang sangat lugas, novel fiksi sejarah ini sangatlah seru untuk dinikmati.

Aku salut dengan Widjati Hartiningtyas, yang berhasil menerjemahkan dan menyuguhkan kisah Nanna, Carolien, dan Jenny dengan sangat baik. Aku nggak merasakan kalau buku ini terjemahan. Meski memang ada beberapa kata bahasa Indonesia yang asing, secara keseluruhan hawa yang kurasakan ketika membaca buku ini sangat Indonesia.

Terakhir, ada banyak hal yang bisa diambil dari Mengadang Pusaran. Mulai dari persoalan membesarkan anak, pasang-surut kehidupan menantu-mertua, keterkaitan antara budaya dan gaya hidup terkini, cuplikan sejarah Indonesia, hingga tentang cita-cita dan cinta.

‘Orang yang paling tepat untuk mengurus dirimu adalah dirimu sendiri.’

Mengadang Pusaran, halaman 385

Untuk membaca ulasan lengkap Missfioree tentang novel Mengadang Pusaran, silakan menuju ke tautan berikut:

https://bymissfiore.blogspot.com/2021/01/ulasan-mengadang-pusaran-lian-gouw.html

==================

Eden Kembara, Pelajar SMA Kristen 1 Salatiga, kelas 10 :

Mengadang Pusaran merupakan novel sejarah terjemahan dari novel berbahasa Inggris karya  Lian Gouw yang berjudul Only a Girl (Dalang Publishing, 2011). Pada tahun 2020 lalu, Only a Girl diterjemahkan untuk kedua kalinya oleh Widjati Hartiningtyas dan diterbitkan Penerbit PT Kanisius (terjemahan pertama berjudul Menantang Phoenix – Gramedia 2010).

Mengadang Pusaran membawa pembaca ke suasana sejarah antara tahun 1930 dan 1955 melalui sebuah kisah keluarga peranakan Tionghoa Indonesia. Novel ini menceritakan tentang tiga perempuan peranakan Tionghoa Indonesia dari tiga keturunan dengan cara pandang kehidupan yang berbeda pula. Nanna, hidup dengan memegang kuat adat Tionghoa. Carolien, tumbuh dalam kuatnya budaya Belanda. Jenny, tumbuh dalam kuatnya budaya Belanda, tetapi harus menyesuaikan diri dengan peralihan pemerintahan di Indonesia. Tokoh Carolien dan Jenny menjadi utuh karena kehadiran Ocho dan Po Han.

Po Han, suami Carolien, merupakan pria keturunan Tionghoa kelas menengah yang memegang teguh pendiriannya. Hal tersebut membuatnya gagal membangun rumah tangga bersama Carolien, sehingga Carolien harus membesarkan Jenny sendirian. Didikan Belanda yang Carolien berikan kepada Jenny membuatnya tumbuh menjadi perempuan mandiri yang akhirnya berhasil keluar dari pusaran budaya yang mengikatnya. Namun, kehidupan Jenny tidak berjalan mulus. Kehadiran Ocho, nenek Po Han yang membenci Jenny, pernah hampir mencelakainya sewaktu bayi. Peristiwa itu kemudian membuat hubungan Ocho dengan cucu buyut satu-satunya tidak baik.

Melalui sudut pandang para tokoh peranakan Tionghoa Indonesia, Mengadang Pusaran memberikan gambaran tentang sejarah yang tidak diajarkan di sekolah. Pelajaran sejarah yang selalu menggunakan sudut pandang orang pribumi, membangun prasangka bahwa yang Belanda hanya menjajah orang pribumi dengan kerja rodi. Namun, Mengadang Pusaran memberikan pengertian bahwa penjajahan yang dilakukan Belanda tidak hanya berupa penjajahan secara jasmani, namun juga penjajahan budaya.

Dengan bahasa yang mudah, buku ini membawa pembaca ke sisi lain dari sejarah. Misalnya, buku ini juga memperlihatkan bercampurnya beberapa adat yang dianut setiap tokoh dan pengaruh Belanda pada sikapnya. Adat Tionghoa yang masih diikuti oleh Nanna tidak lagi diikuti oleh keturunan berikutnya. Keturunan berikutnya yang lebih memilih gaya hidup Belanda membuat mereka melihat semua yang dilakukan orang Belanda adalah benar. Sedangkan penokohan Ocho yang licik dan selalu berusaha mencelakai Carolien, menggambarkan percampuran budaya Tionghoa dengan kepercayaan setempat mengenai perdukunan.

Meskipun Mengadang Pusaran tercatat sebagai novel sejarah, pembaca tidak akan bosan karena Lian Gouw menyisipkan cerita cinta dan kisah keluarga yang menarik dalam tulisannya.

==================

Christian Paskah Pardamean Situmorang :

Mengadang Pusaran adalah terjemahan novel Only a Girl karangan Lian Gouw yang diterjemahkan oleh Widjati Hartiningtyas (Penerbit PT Kanisius, 2020.)

Novel ini mengisahkan perjuangan Nanna, Carolien, dan Jenny, tiga keturunan perempuan peranakan Tionghoa. Nanna, keturunan pertama, adalah perempuan yang memegang adat-istiadat Tionghoa secara teguh. Carolien, keturunan kedua, adalah perempuan yang menentang adat-istiadat Tionghoa dengan menikahi Po Han. Perpisahan Po Han dan Carolien membawa dampak yang cukup berarti bagi Jenny, keturunan ketiga.

Sebagai sebuah roman sejarah, peristiwa rekaan dalam cerita dan kebenaran sejarah terjalin dengan rapi dan lancar.

Widjati Hartiningtyas, sang penerjemah, patut diberi penghargaan istimewa atas jerih payahnya mengalihbahasakan Only a Girl. Pembaca tidak akan mengernyit kening kebingungan oleh banyaknya kata serapan.

Novel ini juga merupakan sebuah roman keluarga. Lian tidak menggambarkan nilai-nilai kekeluargaan dengan nuansa menggurui, tetapi dengan penggambaran dan penglibatan indera, sehingga para pembaca dapat merasakan secara langsung peristiwa tersebut. Nanna, sang nenek, digambarkan sebagai seorang perempuan yang memegang teguh adat-istiadat Tionghoa. Namun tangan Nanna tetap terentang dengan penuh kasih untuk merangkul kembali anaknya, Carolien, yang harus menelan kepahitan atas kenyataan kehidupan perkawinan yang jauh dari yang dipaparkan dalam kisah-kisah novel Belanda kegemarannya.

Selain itu, novel ini juga menyuarakan gugatan atas ketidaksetaraan dalam hubungan laki-laki dan perempuan di masyarakat secara lantang. Keputusan Carolien untuk berpisah dari Po Han karena ketidakcocokan pandangan hidup merupakan sebuah langkah yang sangat berani. Sikap Carolien ini juga menegur segelintir orang yang menganggap cinta dan kebahagiaan merupakan landasan utama sebuah pernikahan dengan sangat keras. Hal yang lebih menakjubkan adalah keputusan Carolien untuk bercerai dari Po Han bukan merupakan aib, melainkan sebuah sikap yang harus diambil demi kemandirian keuangan dan memenuhi tuntutan hidup yang terus bergolak seiring waktu.

Selain itu, keberanian Jenny untuk menyuarakan ketidaknyamanannya karena kerap diincar gurunya atas ketidakmampuannya berbahasa Indonesia juga menjadi gugatan yang patut diperhatikan. Kejadian ini terjadi bukan hanya karena perintah Soekarno yang menyatakan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi pada saat itu, tetapi juga kesengajaan gurunya merundung Jenny karena kemampuan berbahasa Indonesianya belum sefasih murid-murid lain. Keringnya nilai kemanusiaan disorot dengan jelas di dalam novel ini dengan begitu tegas.

Pada akhirnya, Mengadang Pusaran adalah perpaduan roman sejarah dan roman keluarga yang menghangatkan hati. Novel ini membuat saya merasa ingin membacanya kembali dari awal ketika saya sudah menamatkannya.

==================

Choose Site Version
English   Indonesian