Tekan tombol untuk:

Colonial and Post-Colonial Connections in Dutch Literature

Pada akhir minggu yang lalu, saya menghadiri pertemuan yang di adakan oleh kampus UC Berkeley. Acara di hadiri oleh guru-guru besar universitas-universitas tersohor dari negeri Belanda yang membahas Colonial and Post-Colonial Connections in Dutch Literature  –  Hubungan antara Sastra dengan Tulisan Belanda pada massa pendudukan kekuasaan mereka dan sesudahnya.

Pertemuan ini menyajikan mengenai ulasan beberapa karya penulis Belanda serta keadaan masyarakatnya pada saat dan sesudah masa pendudukan kekuasaan mereka (baca: Belanda).

Cukup pantas bahwa dari pertemuan yang memakan waktu tiga hari, satu hari disisihkan hanya untuk memperbincangkan soal-soal mengenai Indonesia sebagai daerah jajahan terbesar dari kerajaan Belanda.

Beberapa judul dari sepuluh ceramah yang disajikan menarik sekali. Di antaranya adalah, kisah tentang apa yang terjadi di penjara Boven Digoel, Irian Barat, Suara perikemanusiaan pada waktu penjajahan, juga kemunculan tulisan Indo-Eropa untuk anak-anak, “Terjepit diantara Nasi dan Kentang.”

Ceramah-ceramah menawarkan banyak keterangan yang tidak akan didapat dari Google. Sebagian kecil dari guru-guru besar yang “asli Belanda” itu terdapat juga keturunan orang Indonesia. Ada yang masih dapat berbahasa Indonesia, ada yang tidak. Tetapi dari percakapan dengan mereka saya mengerti bahwa mereka masih mengalami kerinduan pada tanah kelahiran mereka.

Akan tetapi ada kejadian yang membuat saya takjub hingga terheran-heran ketika beberapa guru besar asli dari Belanda yang memberikan ceramah itu justru mampu berbicara dan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar.
Timbul perasaan bangga saya sebagai bangsa yang merdeka karena guru-guru besar asli Belanda itu menyesuaikan diri mereka terhadap mahasiswa Indonesia yang hadir disana dengan menjawab menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Saya merasa malu sambil merenungi keadaan aneh ini. Mengapa mereka, orang Belanda yang dahulu adalah penjajah bangsa kita, sekarang justru sangat menghormati bangsa kita dengan berbicara dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, sedangkan banyak sekali orang terpelajar, penulis, penerbit, pengacara, maupun pejabat pemerintah Indonesia tidak mau perduli menggunakan bahasa sendiri dengan hormat dan prihatin.

Pada zaman penjajahan kita dipaksa untuk berbahasa Belanda dengan baik dan benar, dan kita melakukan perintah itu. Kita berperang dengan Belanda untuk merebut kemerdekaan yang memberi kita hak untuk mengatur diri sendiri termasuk untuk menggunakan bahasa kita, yaitu Bahasa Indonesia. Tetapi sekarang orang Belanda  di hadapan saya ini menggunakan bahasa kita dengan baik dan benar.

Dilain pihak, saya melihat kenyataan di negara sendiri, kita memperkosa bahasa kita dengan menyusupkan bahasa asing diluar kebutuhan. Ini menunjukkan bahwa tidak ada kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Mengapa? Bukankah dengan demikian kita justru menjajah diri kita sendiri? Kita lebih bangga dengan bahasa bangsa lain, atau memang ini keinginan kita untuk menyerupai bangsa lain? Di mana kuncinya untuk memecahkan persoalan ini?

Apa yang harus diperbuat untuk menyadarkan kita semua sebagai bangsa  terhadap kekuasan dan kekuatan bahasa? Tanpa bahasa kita akan bisu dan kebudayaan kita akan tenggelam, keberadaan kita akan hilang.

 

Choose Site Version
English   Indonesian