Peringatan Sepuluh Tahun Dalang Publishing
Sebagai peringatan berdirinya Dalang Publishing yang ke sepuluh, mulai bulan Juli tahun 2023 halaman “Cerita Anda” pada laman Dalang Publishing akan memuat cuplikan cerita dari dua belas buku terbitan kami. Cuplikan cerita ini akan menjadi cerita pendek yang akan tampil secara bergiliran berdasarkan urutan penerbitan buku.
Sementara itu kami tetap akan menerima kiriman cerita pendek dari Anda.
Silakan melihat syarat dan ketentuan penulisan naskah pada halaman “Panduan Penulis” yang terdapat di laman kami www.dalangpublishing.com
Halaman ini kami sediakan untuk menampilkan cerita pendek. Tulisan yang dipilih akan kami terjemahkan dalam bahasa Inggris.
Bagi Anda yang memiliki kemampuan menulis dalam dua bahasa, kami sangat menghargai jika Anda dapat mengirimkan karya tulis berikut terjemahannya. Kami mohon kesediaan Anda untuk membantu rekan-rekan penulis lainnya dalam menerjemahkan tulisan bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Silahkan menghubungi kami di dalangpublishing@gmail.com
Mohon mengikuti batasan jumlah kata untuk cerita pendek kami yang ditentukan paling sedikit 2000 kata dan paling banyak 3000 kata.
Inti cerita harus berlatar belakang sejarah, kebudayaan, kepedulian lingkungan atau kemanusiaan yang terjadi di Indonesia.
Mohon mengikuti panduan di halaman “Panduan Penulis” sehubungan dengan syarat dan ketentuan pengiriman naskah tulisan.
Maria Matildis Banda menamatkan kuliah di Fakultas Pascasarjana UNUD Denpasar. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD dan penulis berbakat dan berhasil ini, mulai menulis cerpen pada tahun 1981. Mengajar dan meneliti tradisi lisan daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur menjadikan kekuatan baginya untuk menulis novel berlatar daerah. Antara tahun 2015 dan 2021, dia menulis tiga novel yang diterbitkan sendiri di PT.Kanisius. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, berlatar budaya patriaki dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan melahirkan di Flores. Suara Samudra bercerita tentang penangkapan ikan paus di Lamalera, Pulau Lembata. Bulan Patah merupakan novel yang dimaksudkan menghentikan kelahiran luar nikah di Pulau Flores. Doben (Lamalera 2017) mengemukakan hal-hal tentang politik dan kepentingan berlatar daerah Timor.
Sejak tahun 2000, Maria menulis “Parodi Situasi” di Harian Umum Pos Kupang.
Maria Matildis Banda: bmariamatildis@gmail.com
***
Bab 20
Tidak Perlu Meneteskan Air Mata
Dari ketinggian bukit, pandangan Koni menyapu sampai jauh ke kaki cakrawala dan lautan luas dalam warna biru kehitaman. Derapan kaki kuda terdengar mendekat dan berhenti di sisinya. Koni tidak menoleh ataupun mengatakan sesuatu ketika Waleka turun dari atas punggung kuda. Kuda ditambatkan pada pohon lamtoro yang tumbuh dekatnya. Selanjutnya dia duduk di samping Koni dan membuka percakapan.
“Seratus ekor kuda, seratus kerbau, seratus sapi. Itu harganya,” katanya.
“Itu harga untuk Tila Wula anak kandungmu?” bergetar suara Koni saat bertanya.
“Ya! Masih kurang?” Waleka tergetar dengan penolakan dari dalam hati yang dilemparnya jauh-jauh, akibat keserakahannya.
“Dengan harga itu pula kau bawa masuk perempuan lain! Perempuan ketujuh,” kata Koni dengan tajam.
Waleka tidak menjawabnya, tetapi mengatakan hal lain. “Harganya lebih murah dari engko punya harga. Dua kali lipat! Engko tidak puas? Jangan banyak tingkah. Inya Pitu sudah jadi milik kita. Dia bisa bantu engko tenun, ambil air, pikul kayu, pindahkan kuda, dan jaga engko punya anak cucu. Dia juga bisa ajar Wula segala sesuatu.”
“Apa yang engko maksud dengan ajar segala sesuatu,” sambar Koni dengan keras. “Tidak perlu!”
“Tidak puas juga engko?” Waleka membentak keras. “Tidak ada yang tinggal di rumah besar selain dari engko. Hanya engko yang berkuasa di rumah besar. Tidak puas juga?”
“Tidak puaskah engko tidur bergilir dari satu rumah ke rumah lain!” tinggi suara Koni. Dia melanjutkan, “Engko tidak tahu berapa jumlah anak dan cucumu. Coba sebutkan sekarang, coba sebutkan!” Koni membuang muka.
“Berani benar engko bicara begitu!” Waleka mengayunkan tangannya.
Dengan sekali hantam Koni tersungkur. Dia bangkit terengahengah, dan berkata keras, “Engko punya padang semuanya. Engko punya sapi, kerbau, dan kuda. Engko punya semua gembala. Engko punya rumah besar – uma parona yang akan dibangun kembali!” Koni berhenti untuk menarik napas yang panjang. “Ya engko punya kerbau, sapi, kuda, gembala, dan padang-padang untuk engko rampok perempuan. Tidak cukup satu. Belum cukup dua! Tidak cukup tiga. Engko jadi perampok untuk mendapatkan keempat, kelima, keenam, ketujuh!” Koni menegakkan diri sebelum menuduh tegas, “Akan kedelapan dan kesembilan. Tidak usah sebut jumlah cucu dan cicitmu, sebut saja jumlah anakmu dan nama-nama mereka, di mana sekarang, jadi apa mereka!”
“Diam!” suara Waleka meninggi. “Diam saja! Ikut saja! Engko tahu siapa saya?” Waleka berteriak sambil melotot. Kalau tidak ada kelopak, mungkin mata itu sudah meloncat keluar dari tempatnya dan menempel di wajah Koni yang tetap menuntut agar tidak ada perempuan lain lagi yang dibawa ke rumahnya.
“Engko tidak peduli Tila Wula,” Koni berkata hampir tidak terdengar.
“Dia engko punya anak,” jawab Waleka sambil melengos.
“Apa engko bilang?” tanya Koni dan menuntut dengan suara meninggi, “Wula bukan engko punya anak?”
Waleka tidak menjawab. Dia segera berdiri dan berjalan cepat menuju kudanya. Waleka melepaskan ikatan kuda itu dan meloncat ke atas punggungnya. Sambil mendecak-decakkan lidah, dia melonggarkan tali kendali. Kudanya berlari membawa Waleka meninggalkan Koni sendirian di atas bukit.
Sepanjang jalan, tangis Koni disaksikan rumput ilalang dan angin yang terasa hadir di antara ilalang yang melambai. Perlahan tetapi pasti, alam seperti memberi peringatan tentang ketegaran yang harus dimiliki.
Kewarasan Koni memberitahukannya tidak perlu meneteskan air mata untuk laki-laki yang selalu membawa perempuan lain ke dalam rumah. Tidak perlu juga biarkan air mata tumpah untuk perempuan yang bangga menjadi perempuan penambah jumlah masalah dalam rumah tangga. Semuanya harus terjadi karena memang harus terjadi. Jika memang harus terima, karena memang harus terima. Dirinya tidak akan menyerah kalah sebab kekalahan adalah kemenangan bagi perempuan lain.
Koni sadar bahwa sebagai istri pertama, dia harus bertahan. Meskipun hatinya sakit, dia perlu bertahan sebab meskipun di hadapan kandang-kandang gembalaannya, pada nyale membawa pulang sarang nyale, pada pasola selalu dijuarainya, pada setiap upacara dia tampil sebagai laki-laki terhormat, Waleka hanyalah laki-laki telanjang yang tidak pernah memiliki apa pun.
Derap kaki kuda kian lama kian jauh menurun dengan cepat. Dari ketinggian bukit, Koni dapat melihat dengan jelas suaminya itu membelokkan kudanya ke kiri.
Koni tahu suaminya menuju rumah kebun tempat tinggal Inya Pitu.
Koni terduduk sendirian di antara pucuk-pucuk ilalang yang melambai dibuai angin.
*****
Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui:
Toko Buku Baca Sastra: https://bit.ly/novelpasola-bacasastra
Yuni Utami Asih adalah seorang pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mulawarman sejak tahun 2005 yang juga merupakan tempatnya menuntut ilmu pada tingkat sarjana. Masa kecilnya akrab dengan buku cerita anak yang biasa dipinjamkan bapaknya dari perpustakaan keliling. Pada masa SMA dia jatuh cinta dengan novel terjemahan Erma dalam Bahasa Indonesia dari The Count of Monte Cristo (Dunia Pustaka Jaya, 1992). Dia melanjutkan pendidikan jenjang magister dan doktor di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Pada tahun 2011 dia berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke Universitas Leiden selama 2 bulan untuk pendalaman tugas akhir program doktor dengan biaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain mengajar, dia juga beberapa kali menjadi narasumber dalam pelatihan tentang pembelajaran Bahasa Inggris.
Yuni Utami Asih: kelasyuni@gmail.com
***
Pasola
Chapter 20
From the heights of the hill, Koni’s gaze swept to the foot of the horizon and the vast, dusky blue ocean. She heard hoofbeats approaching but did not turn her head or acknowledge their presence as the horse halted next to her and Waleka dismounted. He tethered the horse to a nearby lamtoro tree and sat down next to Koni. “One hundred horses, one hundred buffaloes, and one hundred cows,” he said without preamble. “That’s the price.”
“That’s the selling price for Tila Wula, your flesh-and-blood daughter?” Koni’s voice shook.
“Yes! Is it not enough?” Waleka stiffened, ignoring the voice of alarm from his greedy heart.
“And you used the money from the sale of your daughter to buy a seventh wife.” Koni’s voice was flat.
Waleka tried a different tack. “Her price was much cheaper than yours!” he exclaimed. “I paid twice as much for your dowry! Why aren’t you ever satisfied? What makes you so difficult? Inya Pitu is already ours, period. She can help you weave, fetch water, carry wood, take care of the horses, and help with your children and grandchildren. She can also teach Wula everything.”
“Teach Wula everything?” Koni snapped. “No need!”
“You’re still not satisfied!” Waleka shouted. “No one lives in the ancestral house but you. Only you rule in the Big House! And you are not satisfied?”
“Are you not satisfied sleeping in rotation from one fieldhouse to the next?” Koni spat back. “You don’t even know how many children and grandchildren you have. Tell me, how many? Tell me now!” Koni looked away in disgust.
Waleka’s slap was swift and hard. “How dare you say that!”
Koni gasped and faced her husband. “You own fields!” she screamed. “You own cows, buffaloes, and horses. You employ all the shepherds. You own the ancestral house … the uma parona that will be rebuilt!” Koni paused to catch her breath. “You have all these things to pay for women! One woman is not enough. Two are not enough! Three are not enough! You have become a briber and a thief to get the fourth, fifth, sixth, and seventh!” Koni straightened herself before launching her final accusations. “There will be an eighth. There will be a ninth. Never mind the number of children, grandchildren, and great-grandchildren that these wives produce. I ask you again: Tell me how many children you have and their names. Where are they now, what have they become?”
Shocked, Waleka stared bug-eyed at Koni. If it were not for his eyelids, his eyes might have popped out of their sockets. “Do you know who I am?” Waleka’s voice rose dangerously. “Shut up and obey me! I am an elder!”
Quietly, Koni said, “You don’t care about Tila Wula.”
Waleka shrugged. “Eh, she is your daughter.”
“What? Is Wula not your daughter as well?”
Waleka rose, walked quickly to his horse and untied it. Without speaking, he mounted and loosened the reins. He clucked his tongue, and the horse bolted, carrying Waleka away and leaving Koni alone on the hill.
The wind caressing the waving grasses witnessed Koni’s tears.
*****