Tekan tombol untuk:

Bekisar Merah (Bab 4)

Ahmad Tohari, penulis terkenal yang telah memenangkan banyak penghargaan, lahir pada 13 Juni, 1948, di Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah. Seorang anak keluarga petani yang besar, Ahmad membawa alam yang beliau cintai kemana pun beliau pergi saat mudanya. Beliau menyuarakan rasa cintanya ini dalam tulisannya yang kebanyakan menceritakan kehidupan di desa dan kebudayaannya. 
Ayahnya, seorang Muslim yang taat, mewariskan sikap hidupnya kepada Ahmad Tohari yang menganggap dirinya sebagai seorang penganut Islam yang maju dan terpelajar dan mendukung hukum Syariah sementara hidup damai dengan warga negara lain yang berasal dari keturunan dan kebudayaan yang berbeda.

Ahmad Tohari telah menghasilkan sebelas novel, dua kumpulan cerpen, dan beberapa tulisan sastra yang lain. Beliau menerima Hadiah Sastra Asia Tenggara, dan mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat. Beliau juga dikenal dan dikagumi sebagai wartawan dan penulis tetap untuk Suara Merdeka, surat kabar terkenal di Jawa Tengah, dan majalah Tempo.

Ahmad Tohari terkenal sebagai penulis karangan tigaserangkai, Ronggeng Dukuh Paruk. Karya ini telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, German dan Jepang. Cerita novel ini telah difilmkan oleh Shanty Harmain dengan judul Sang Penari. Tohari juga terkenal atas pengetahuannya mengenai seni Jawa. Saat ini beliau tinggal di daerah dekat kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas di mana beliau ikut mengelola sebuah pondok pesantren dan menjadi penasihat Dinas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

*****

 

Bab 4

 

Lasi merasa tatapan tamu itu sekilas menyambar mata dan menyapu sekujur tubuhnya. Tetapi hanya sejenak. Detik berikut tamu itu sudah tersenyum seperti seorang guru tua sedang memuji muridnya yang pandai dan cantik. Senyum itu mencairkan kegugupan Lasi.

”Selamat sore, aku Pak Han,” salam Handarbeni. Senyumnya mengembang lagi.

”Selamat sore, Pak. Mari masuk.”

”Terima kasih. Tetapi nanti dulu. Aku mau bilang, Bu Lanting beruntung. Dia bilang punya anak angkat yang cantik. Kamulah orangnya?”

Lasi terkejut oleh pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya. Wajah Lasi merona. Dan ia hanya bisa mengangguk kaku untuk menjawab pertanyaan itu. Dari cara Pak Han memandang Lasi sadar bahwa tamu itu adalah lelaki yang ingin melihat perempuan berkimono seperti yang dikatakan Bu Lanting. Lasi bertambah gagap. Tetapi Handarbeni malah senang. Ia menikmati kegagapan perempuan muda di depannya.  “Aku juga sudah tahu namamu. Lasi?”

Lasi mengangguk lagi. Dan menunduk. Bermain dengan jemari tangan yang kukunya bercat merah saga. Dan dengan sikap Lasi itu Handarbeni malah punya kesempatan lebih leluasa memandang bekisar yang akan dibelinya.

Bahkan Handarbeni tiba-tiba mendapat kesenangan aneh karena merasa menjadi kucing jantan yang sangat berpengalaman dan sedang berhadapan dengan tikus betina yang bodoh dan buta. Handarbeni amat menikmati kepuasan itu karena dia terlalu biasa menghadapi tikus-tikus berpengalaman tetapi malah selalu merangsang-rangsang ingin diterkam.

Atau Handarbeni sering merasa seperti disodori pisang yang sudah terkupas; tak ada sisi yang tersisa sebagai wilayah pemburuan atau tempat rahasia keperempuan masih tersimpan. Pisang-pisang yang kelewat matang yang kadang menyebalkan.

“Kamu sangat pantas dengan pakaian itu. Kudengar ayahmu memang orang Jepang?”

Lasi senyum tertahan. Tetapi lekuk pipinya malah jadi lebih indah. Entahlah, dulu di Karangsoga Lasi terlalu risi, bahkan jengkel, bila disebut rambon Jepang. Namun sekarang sebutan itu terdengar sejuk. Mungkin karena orang Karangsoga mengucapkan sebutan itu sebagai pelecehan sedangkan Bu Lanting, dan kini Pak Han, menyebutnya sebagai pujian?

Entahlah.

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://www.gramedia.com/products/conf-bekisar-merah?queryID=199ae324506b989788638bd9ea79d3f9

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian