Eka Srimulyani, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Indonesia:
Novel ini mengambil latar sejarah bentrokan bersenjata di Aceh antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) yang terjadi antara 1976 – 2005. Bangunan narasi yang disusun penulis sangat hidup, mengalir, dan rinci. Tokoh utamanya, Nazir, adalah anak seorang ‘camat’ GAM yang bertahan di tengah ketegangan dan kekerasan perseteruan berdarah itu. Mencermati pelaku, tempat, dan suasana yang terekam, novel ini menunjukkan ketelitian penulisnya. Karya ini merupakan paduan yang apik antara kenyataan sejarah dan kisah terusiknya sisi kemanusiaan anak bangsa. Ada beragam sudut pandang mengenai persengkataan di Aceh yang dapat dibangun, dan narasi dalam novel ini akan menjadi salah satu sudut pandang tersendiri. Membaca novel ini membuat kita yakin bahwa harga dari sebuah perdamaian sangatlah mahal. Cerita ini layak dibaca, dan mudah-mudahan mengilhami hadirnya karya lainnya dengan sudut pandang yang lain pula.
==================
Zubaidah Djohar, Sastrawan dan Peneliti bidang Sosial-Politik di Aceh:
Lolong Anjing di Bulan adalah novel yang menghentak kesadaran terdalam tentang sejarah kelam Aceh selama tiga dasawarsa lebih. Arafat Nur membongkar pangkal muasal sebuah perseteruan dan kecamuk yang melahirkan para pejuang, mata-mata, pengkhianat, sekaligus masyarakat tak berdosa yang selalu kena imbas. Tidak terlupa, perempuan, kelompok terimbas terparah! Selain disiksa, mereka diperkosa. Semua begitu dalam tergurat dikisahkan: lolongan nyeri yang panjang, hidup yang mencekam puluhan tahun, anak-anak yang tak punya harapan dan masa depan, hidup di tengah ancaman dan kekerasan – semua kelam!
Lolong Anjing di Bulan tidak saja membentangkan sebuah sejarah penting, tetapi juga tawaran manusiawi sebuah jalan keluar sengketa. Mengalir bertutur, mengaduk keseluruhan rasa-jiwa pembaca. Novel ini penting dibaca, terutama oleh angkatan muda.