Tekan tombol untuk:

Pasola (Bab 20)

Maria Matildis Banda menamatkan kuliah di Fakultas Pascasarjana UNUD Denpasar. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD dan penulis berbakat dan berhasil ini, mulai menulis cerpen pada tahun 1981. Mengajar dan meneliti tradisi lisan daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur menjadikan kekuatan baginya untuk menulis novel berlatar daerah. Antara tahun 2015 dan 2021, dia menulis tiga novel yang diterbitkan sendiri di PT.Kanisius. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, berlatar budaya patriaki dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan melahirkan di Flores. Suara Samudra bercerita tentang penangkapan ikan paus di Lamalera, Pulau Lembata. Bulan Patah merupakan novel yang dimaksudkan menghentikan kelahiran luar nikah di Pulau Flores. Doben (Lamalera 2017) mengemukakan hal-hal tentang politik dan kepentingan berlatar daerah Timor.

Sejak tahun 2000, Maria menulis “Parodi Situasi” di Harian Umum Pos Kupang.

Maria Matildis Banda: bmariamatildis@gmail.com

***

 

Bab 20

Tidak Perlu Meneteskan Air Mata

 

Dari ketinggian bukit, pandangan Koni menyapu sampai jauh ke kaki cakrawala dan lautan luas dalam warna biru kehitaman. Derapan kaki kuda terdengar mendekat dan berhenti di sisinya. Koni tidak menoleh ataupun mengatakan sesuatu ketika Waleka turun dari atas punggung kuda. Kuda ditambatkan pada pohon lamtoro yang tumbuh dekatnya. Selanjutnya dia duduk di samping Koni dan membuka percakapan.

“Seratus ekor kuda, seratus kerbau, seratus sapi. Itu harganya,” katanya.

“Itu harga untuk Tila Wula anak kandungmu?” bergetar suara Koni saat bertanya.

“Ya! Masih kurang?” Waleka tergetar dengan penolakan dari dalam hati yang dilemparnya jauh-jauh, akibat keserakahannya.

“Dengan harga itu pula kau bawa masuk perempuan lain! Perempuan ketujuh,” kata Koni dengan tajam.

Waleka tidak menjawabnya, tetapi mengatakan hal lain. “Harganya lebih murah dari engko punya harga. Dua kali lipat! Engko tidak puas? Jangan banyak tingkah. Inya Pitu sudah jadi milik kita. Dia bisa bantu engko tenun, ambil air, pikul kayu, pindahkan kuda, dan jaga engko punya anak cucu. Dia juga bisa ajar Wula segala sesuatu.”

“Apa yang engko maksud dengan ajar segala sesuatu,” sambar Koni dengan keras. “Tidak perlu!”

“Tidak puas juga engko?” Waleka membentak keras. “Tidak ada yang tinggal di rumah besar selain dari engko. Hanya engko yang berkuasa di rumah besar. Tidak puas juga?”

“Tidak puaskah engko tidur bergilir dari satu rumah ke rumah lain!” tinggi suara Koni. Dia melanjutkan, “Engko tidak tahu berapa jumlah anak dan cucumu. Coba sebutkan sekarang, coba sebutkan!” Koni membuang muka.

“Berani benar engko bicara begitu!” Waleka mengayunkan tangannya.

Dengan sekali hantam Koni tersungkur. Dia bangkit terengahengah, dan berkata keras, “Engko punya padang semuanya. Engko punya sapi, kerbau, dan kuda. Engko punya semua gembala. Engko punya rumah besar – uma parona yang akan dibangun kembali!” Koni berhenti untuk menarik napas yang panjang. “Ya engko punya kerbau, sapi, kuda, gembala, dan padang-padang untuk engko rampok perempuan. Tidak cukup satu. Belum cukup dua! Tidak cukup tiga. Engko jadi perampok untuk mendapatkan keempat, kelima, keenam, ketujuh!” Koni menegakkan diri sebelum menuduh tegas, “Akan kedelapan dan kesembilan. Tidak usah sebut jumlah cucu dan cicitmu, sebut saja jumlah anakmu dan nama-nama mereka, di mana sekarang, jadi apa mereka!”

“Diam!” suara Waleka meninggi. “Diam saja! Ikut saja! Engko tahu siapa saya?” Waleka berteriak sambil melotot. Kalau tidak ada kelopak, mungkin mata itu sudah meloncat keluar dari tempatnya dan menempel di wajah Koni yang tetap menuntut agar tidak ada perempuan lain lagi yang dibawa ke rumahnya.

“Engko tidak peduli Tila Wula,” Koni berkata hampir tidak terdengar.

“Dia engko punya anak,” jawab Waleka sambil melengos.

“Apa engko bilang?” tanya Koni dan menuntut dengan suara meninggi, “Wula bukan engko punya anak?”

Waleka tidak menjawab. Dia segera berdiri dan berjalan cepat menuju kudanya. Waleka melepaskan ikatan kuda itu dan meloncat ke atas punggungnya. Sambil mendecak-decakkan lidah, dia melonggarkan tali kendali. Kudanya berlari membawa Waleka meninggalkan Koni sendirian di atas bukit.

Sepanjang jalan, tangis Koni disaksikan rumput ilalang dan angin yang terasa hadir di antara ilalang yang melambai. Perlahan tetapi pasti, alam seperti memberi peringatan tentang ketegaran yang harus dimiliki.

Kewarasan Koni memberitahukannya tidak perlu meneteskan air mata untuk laki-laki yang selalu membawa perempuan lain ke dalam rumah. Tidak perlu juga biarkan air mata tumpah untuk perempuan yang bangga menjadi perempuan penambah jumlah masalah dalam rumah tangga. Semuanya harus terjadi karena memang harus terjadi. Jika memang harus terima, karena memang harus terima. Dirinya tidak akan menyerah kalah sebab kekalahan adalah kemenangan bagi perempuan lain.

Koni sadar bahwa sebagai istri pertama, dia harus bertahan. Meskipun hatinya sakit, dia perlu bertahan sebab meskipun di hadapan kandang-kandang gembalaannya, pada nyale membawa pulang sarang nyale, pada pasola selalu dijuarainya, pada setiap upacara dia tampil sebagai laki-laki terhormat, Waleka hanyalah laki-laki telanjang yang tidak pernah memiliki apa pun.

Derap kaki kuda kian lama kian jauh menurun dengan cepat. Dari ketinggian bukit, Koni dapat melihat dengan jelas suaminya itu membelokkan kudanya ke kiri.

Koni tahu suaminya menuju rumah kebun tempat tinggal Inya Pitu.

Koni terduduk sendirian di antara pucuk-pucuk ilalang yang melambai dibuai angin.

 

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui:

Toko Buku Baca Sastra: https://bit.ly/novelpasola-bacasastra

Choose Site Version
English   Indonesian