Pada tahun 2022 Dalang menerbitkan Footprints / Tapak Tilas, kumpulan 49 cerpen dwi-bahasa. Dengan terbitan tersebut, kami merayakan ulang tahun kesepuluh sambil menghaturkan terima kasih kepada 44 penulis dan 18 penerjemah yang memungkinkan disusunnya buku itu. Peluncuran yang diselenggarakan di tujuh wilayah tanah air, menghasilkan cerpen yang akan dimuat secara bergantian pada tahun 2025 ini. Pada tiap peluncuran, kami juga memilih pertanyaan terbaik dari peserta kegiatan. Pertanyaan yang terpilih adalah pertanyaan yang pasti akan membantu calon penulis dan penerjemah. Penanya akan dihadiahi satu jilid Footprints / Tapak Tilas. Selain dari itu pemenang diminta untuk menulis cerpen yang mewakili daerahnya. Setelah disunting oleh penyunting ahli, karya itu akan diterjemahkan dan ditayangkan di laman kami.
Cerpen-cerpen ini dikarang oleh calon penulis muda yang memiliki kepedulian yang dalam bagi sastra dan kebangsaan. Mereka menulis cerpen dengan mewakili daerahnya. Besar harapan kami terbitan di laman kami ini akan memberikan pijakan kepada mereka untuk melintasi dunia sastra dan menyemangati mereka untuk melanjutkan perjalanan bersama “malaikat ilhamnya.”
Dengan penerjemahan dan penayangan cerpen, kami tidak hanya berharap akan tergalinya kemampuan menulis, tetapi juga akan terangkatnya mutu sastra Indonesia, dan selanjutnya mengantarkannya di kancah dunia. Kami pun berharap mampu memperkenalkan adat istiadat, budaya, sejarah, dan gaya hidup masyarakat Indonesia kepada pembaca mancanegara. Sedangkan bagi pembaca Indonesia, kami berharap mampu meningkatkan rasa bangga pada tanah air dan rasa syukur atas berkatnya yang berlimpah-limpah.
Rekaman dari masing-masing acara peluncuran terdapat di:
https://sites.google.com/view/bincangsastra-ind/beranda
Junaedi Setiyono mendapat bea siswa bimbingan sastrakantanya di Ohio State University. Dia merasa menjadi bagian dari Dalang Publishing setelah diberi kepercayaan untuk menyunting novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur (Sanata Dharma University Press 2018) dan menerjemahkan cerpen Mengenang Padewakkang karya Andi Batara Al Isra dan Ketuk Lumpang karya Muna Masyari yang dimuat di Kumpulan Cerpen dwi-bahasa Footprints /Tapak Tilas (Dalang Publishing 2022).
Menyunting enam cerpen yang akan ditampilkan di laman Dalang secara bergilir, merupakan tugas terkini. Junaedi menyanggupi tugas penyuntingan itu karena banyak hal penulisan yang dapat dia pelajari sambil membereskan tugasnya. Dia dipaksa untuk rajin membuka buku, terutama kamus dan tata bahasa, untuk memeriksa ketepatan penempatan kata dalam kalimat dan kesesuaian susunannya. Selain itu dia juga dipaksa untuk teliti mencermati kemasukakalan alur cerita yang disusun oleh penulisnya.
Dua novel Junaedi sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Dalang, yaitu novel Dasamuka (Penerbit Ombak 2017) dan Tembang dan Perang (Penerbit Kanisius 2020). Sehari-harinya dia dapat ditemui di Universitas Muhammadiyah Purworejo tempatnya mengajar. Dia pernah mendapat penghargaan di ajang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, dia juga mendapat penghargaan sastra jenis novel dari Kemendikbud dan dari Majelis Sastra Asia Tenggara 2020 untuk Dasamuka.
Junaedi dapat dihubungi melalui surel: junaedi.setiyono@yahoo.co.id
Terre Gorham telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya merangkai kata-kata berirama. Cerpen pertamanya diterbitkan oleh sekolah dasar Briarcliff saat dia duduk di kelas dua. Dia melanjutkan pendidikannya hingga mendapat gelar dalam bidang menulis. Dia bekerja sebagai penulis lepas hingga mendapatkan pekerjaan sebagai penyunting di majalah Downtowner Magazine, di kota Memphis, Tennessee, Amerika Serikat. Dia telah menulis, menyunting, dan membimbing penulis-penulis muda lebih dari 20 tahun. Terre pernah mengarang sebuah novel sebagai penulis bayangan di sebuah lembaga nirlaba yang membantu perempuan korban pelecehan. Dia bergabung dengan Dalang sebagai penyunting bahasa Inggris pada tahun 2017. Kata-katanya telah digunakan di ratusan terbitan. Pada saat ini dia bekerja di perusahaan yang menyelenggarakan berbagai acara. Dia bertanggung jawab atas suntingan semua bahan tulis, mulai dari suntingan pengumuman untuk pengguna jasa hingga petunjuk kebijakan perusahaan. Menuju usia pensiun, dia kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai penyunting lepas.
Terre dapat dihubungi melalui surel: terregorham@gmail.com
Atikah Yuniar Rahma lahir di Kalimantan Timur, dan dibesarkan di Kalimantan Selatan hingga dia duduk di bangku SMA. Dia melanjutkan pendidikan tinggi di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mulawarman pada 2021. Semasa kuliah, Atikah bergabung pada himpunan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Mulawarman.
Dia juga berkesempatan mengajar dan membagikan pikiran serta tenaganya selama empat bulan di SDN 016 Palaran melalui kegiatan Kampus Mengajar Angkatan 5 Tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pada tahun keempat kuliahnya, Atikah menghabiskan waktunya dengan mengajar bahasa Inggris bersama teman-teman pengajar di lembaga pelatihan bahasa Inggris English Legion selama tujuh bulan. Kemudian, dia menulis cerpen serta melakukan penelitian untuk skripsinya.
Atikah gemar membaca buku sedari kecil. Seiring bertambahnya usia, dia menjelajah berbagai macam bahan bacaan seperti puisi, cerpen, dan novel. Keinginannya untuk menjadi seorang penulis bermula pada ketertarikannya membaca karya sastra. Batimbang Safar, merupakan karya pertamanya.
Pertanyaan terbaik dari Atikah Yuniar: Sebagai seorang yang berpendidikan tinggi, sekaligus penulis, apakah ada saran untuk calon penulis agar tetap berhasil menulis?
Atikah dapat dihubungi melalui surel: atikahyuniar@gmail.com
***
Batimbang Safar
Gia berdiri di tepi jalan tempat pemberhentian sementara kendaraan. Dia baru saja tiba dari Pulau Jawa tempat kerjanya dan sedang menunggu mobil antar-jemput. Kali ini Gia tidak dijemput oleh ayah atau kakaknya. Ayahnya sakit dan kakaknya sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sudah lebih dari setahun Gia tidak pulang kampung ke kota asalnya, Tanjung Tabalong, Kalimantan Selatan. Di kecamatan itu dia dilahirkan dan dibesarkan hingga menempuh bangku Sekolah Menengah Atas. Untuk sampai di sana dia masih harus menempuh perjalanan darat sekitar lima jam lagi dari bandara Syamsudin Noor dengan menggunakan kendaraan umum.
Tabalong adalah sebuah kabupaten di Kalimantan Selatan, sedangkan Tanjung adalah kecamatan yang menjadi pusat kabupaten itu. Namun, orang sudah biasa menyebut kecamatan itu Tanjung Tabalong. Bahasa yang digunakan sehari-harinya adalah bahasa Banjar dan bahasa Indonesia, sama dengan daerah atau kabupaten lain di Kalimantan Selatan. Di kota yang tidak terlalu ramai itu, adat dan budaya serta kearifan setempat masih banyak diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat.
Di dalam lubuk hati Gia, ada perasaan rindu dengan kampung halaman. Rindu akan udaranya yang sejuk, makanan khasnya, terutama masakan ibunya, dan rindu bertemu dengan kawan lamanya.
Satu jam lagi Gia akan tiba di rumah. Dia memandangi suasana kecamatan Tanjung Tabalong dari balik kaca jendela mobil. Ada beberapa perubahan yang terlihat menghiasi pusat kabupaten itu. Tampak gerbang nan megah di jalan baru, jalan yang dibangun untuk pengembangan dan perluasan kota. Selain itu, berdirinya bangunan baru berupa ruko di tanah kosong dekat pom bensin sepertinya sudah siap huni. Keadaan jalan juga dirasa lebih mulus dibanding keadaan sekitar setahun lalu, ketika dia terakhir kali pulang untuk menghadiri pernikahan Al, kakaknya.
Mobil membawa Gia tiba di lampu merah tugu obor yang sangat terkenal karena kekhasannya. Bangunan termasyhur itu mengeluarkan kobaran api dari pipa gas yang disalurkan oleh perusahaan gas milik negara. Karya seni dengan kobaran api yang dia lihat saat ini sangatlah bersinar karena dikelilingi oleh lampu-lampu hias berwarna-warni yang terlihat lebih jelas di kala malam. Gia terbuai dalam lamunan.
Mobil yang membawa Gia melanjutkan perjalanan berbelok ke kanan, ke wilayah permukiman Tanjung Bersinar. Rumahnya berada tidak terlalu jauh dari pintu masuk perumahan. Sebelumnya, dia telah mengirimkan sebuah pesan kepada ibunya bahwa sekitar lima menit lagi dia akan tiba di rumah.
“Pak, berhenti di situ ya. Rumah warna abu-abu berpagar hitam,” kata Gia pada sopir. Gia yang duduk di kursi belakang pengemudi sejak tadi pandangannya tidak lepas dari teras rumah yang tampak dari kejauhan. Mobil berhenti tepat di depan rumahnya, dan dia melihat kedua orangtuanya dan Al yang beranjak dari teras dan berlari kecil menuju ke arah gerbang pagar yang terbuka.
Sopir turun dan melangkah ke arah belakang mobil untuk mengeluarkan koper Gia dan beberapa tas berisikan oleh-oleh. Gia membuka pintu mobil, bergegas turun sambil membawa tas punggung, dan langsung menghampiri orangtuanya.
“Mama, Abah!” Gia memanggil kedua orangtuanya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Gia meraih uluran tangan Mama dan menciumnya, lalu mencucup tangan Abah, kemudian Gia memeluk keduanya. Tidak lupa, Gia juga mengecup tangan abangnya yang sekarang telah menjadi seorang ayah.
“Sehat, Nak? Gimana perjalanannya?” Mama merangkul pundak Gia dengan tatapan penuh kasih.
“Alhamdulillah baik Ma. Lancar aja,” Gia kembali memeluk Mama.
“Abah sehat, ‘kan? Gimana kakinya yang jatuh minggu lalu? Masih bengkak?” cecar Gia menanyakan kabar Abah.
“Iya Nak, sudah berkurang sakitnya,” Abah meyakinkan Gia sambil mengucapkan hamdalah.
“Kak Laila mana, Bang?” Gia bertanya kepada Al keberadaan kakak iparnya.
“Ada di kamar. Lagi menyusui si kecil. Nanti Abang panggil.” Al mengambil barang bawaan Gia yang bergegas menghampiri sopir untuk membayar ongkos perjalanan. Kemudian Gia, Abah, Mama, dan Al masuk ke dalam rumah.
Gia dan Abah berjalan menuju ruang tamu. Mereka kemudian duduk di kursi. Mama menuju ke dapur sambil berkata, “Mama mau bikin teh sekalian kopi buat Abah.”
“Iya Ma. Jangan terlalu manis ya tehnya!” Gia menaruh tas punggungnya di atas kursi di ruang tamu.
Al menaruh barang bawaan Gia di samping kursi panjang itu. Setelah itu, dia ke kamar untuk memanggil Laila.
Beberapa saat kemudian, Al kembali ke ruang tengah bersama Laila dan si bayi dalam gendongannya.
Gia bangkit dari duduknya dan menghampiri kakak iparnya, mencium tangannya lalu mengalihkan pandangannya ke bayi perempuan dalam gendongan kakak iparnya. “Ihh lucunya keponakanku. Mirip banget mukanya sama Abang. Gemas tante Gia liatnya.” Gia memandang keponakannya sambil memainkan jemari mungilnya yang lembut. “Gimana Kak Laila kabarnya, sehat?”
“Sehat Gia,” senyum Laila merekah.
Ingin sekali rasanya Gia menggendong keponakannya, tetapi dia menyadari belum membersihkan diri. Al dan Laila tersenyum melihat Gia menarik kembali tangannya yang terulur untuk menggendong keponakannya.
“Gia ada bawa oleh-oleh kesukaan Abang,” Gia berkata sambil berjalan mengambil tas oleh-oleh di samping kursi panjang. “Ini ada bolu lapis talas Bogor, khusus untuk Abang.”
“Wih enak nih. Tau aja kesukaanku. Makasih ya.” Al tersenyum lebar menerima pemberian adiknya. Mereka pun bersama Abah duduk di kursi tamu sambil makan oleh-oleh lainnya yang dibawa Gia, yakni bika Bogor talas ubi dan keripik pisang.
“Gimana kerjaanmu? Ga mau coba cari kerja di sini?” Al bertanya di sela menikmati oleh-oleh.
“Belum ada rencana sih, Bang. Mau cari pengalaman dulu lah,” jawab Gia sembari meraih keripik pisang.
Tidak berselang lama, Mama datang dengan membawa seteko teh dan secangkir kopi panas. Mereka pun larut dalam obrolan santai keluarga. Sesekali ada gelak tawa di sela-sela perbincangan santai. Laila pun, meski dengan bayi dalam gendongan, tidak ketinggalan, ikut larut dalam suasana gembira.
Al bekerja di salah satu perusahaan tambang di Kota Tanjung Tabalong. Dia dan Laila tinggal di sebuah rumah sewaan yang tidak terlalu jauh dari kediaman orangtua Gia. Namun, setelah Laila melahirkan, Mama meminta mereka menetap sementara bersamanya sampai hari tasmiyah tiba.
Perbincangan masih terus berlanjut hingga akhirnya Mama bertanya, “Gia mau makan atau mandi dulu?”
“Makan dulu aja Ma. Gia sudah lapar,” Gia tertawa kecil. Terdengar suara keriut memelas dari perut Gia.
Mereka langsung berdiri lalu kakinya menuju ruang makan.
“Iya Nak.” Mama seraya tersenyum lebar menempatkan sebuah mangkok besar berisi ikan patin dan udang yang dimasak dengan kuah bumbu santan kuning di meja.
Abah dan Al paling suka makan dengan lauk ikan patin masakan Mama. Dengan lauk itu nasi dan kuah santan kuning tidak tersisa di piring mereka. Sementara Gia dan Laila lebih suka dengan udangnya. Mama senang melihat masakannya dilahap habis.
Setelah menyelesaikan makan malamnya, Gia pergi ke kamarnya sambil membawa kopernya. Lalu, sebelum salat Isya, dia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari itu, hari yang sangat melelahkan baginya, telah selesai.
***
Keesokan harinya, begitu bangun dari tidur nyenyaknya, Gia langsung menuju ruang makan untuk sarapan. Loceng dinding menunjuk waktu telah hampir pukul sembilan.
“Ya ampun, anak gadis Mama baru bangun,” Mama yang berada di dapur menggelengkan kepalanya melihat kelakuan Gia.
“Sudah bangun dari tadi Ma, tapi Gia tidur lagi abis salat Subuh,” kata Gia menarik kursi di meja makan dengan mata yang masih sayu.
Setelah membereskan piring dan gelas sisa sarapan keluarga di pencucian piring, Mama menghampiri Gia. “Ini ada nasi kuning, Nak. Kalau mau teh, rebus air. Teh yang di teko, sisa Al tadi, sudah dingin. Cuma kamu aja nih yang belum sarapan, Sayang.” Mama mengelus rambut Gia. “Oh, iya nanti bilang ke Abang ya, antar sayur lodeh ke tempat Nenek. Itu sudah Mama siapkan di wadah.” Mama menunjuk wadah bening berpenutup di atas meja makan. “Bilang juga ke Abang, nanti malam jam delapan kita mau ke rumah Nenek,” jelas Mama.
“Iya Ma. Abah mana Ma?” Gia balik bertanya.
“Abah di teras kayaknya. Biasanya Abah pagi baca berita daring di ponsel.”
Gia duduk di meja makan. Satu bungkus nasi kuning dia habiskan tanpa sisa. Dia baru beranjak dari kursi ketika melihat abangnya berjalan ke ruang makan. “Bang, disuruh Mama antarkan sayur lodeh ke tempat Nenek ya. Bilang juga ke Nenek nanti malam jam delapan kita mau ke rumahnya.”
“Siap, Bos,” canda Al.
Sehabis sarapan, Gia membantu mamanya bersih-bersih rumah. Seharian Gia menghabiskan waktunya dengan menemani keponakannya.
Malam harinya, Gia dan keluarga menuju rumah Nenek menggunakan mobil yang dikemudikan oleh Al. Setelah kurang lebih lima belas menit, terlihatlah pintu rumah Nenek yang terbuka.
“Assalamualaikum,” terdengar suara berat Abah mengucapkan salam.
“Waalaikumussalam ….” Amang Dani, adik ipar Abah menjawabnya. Begitu mendengar jawaban, Abah langsung masuk dan Amang Dani segera bangkit dari duduknya dan menghampirinya.
Nenek beserta Acil Aluh – istri Amang Dani – yang sedang duduk, beranjak menyambut kedatangan Gia dan keluarganya. Mereka pun bersalam-salaman.
“Ya Allah Gia lawasnya ikam kada bebulik sehat aja kah?” kalimat pertama yang dilontarkan Nenek saat bertemu dengan Gia. Nenek menanyakan kabar atas kepulangan Gia ke kampung halamannya. Nenek meraih kepala Gia dan mencium kening serta pipinya berulang kali.
“Sehat Ni. Nini kayapa habarnya?” Gia menjawab bahwa dia dalam keadaan baik dan sehat. Dia juga menanyakan kabar Nenek.
Nenek tersenyum, “Nini kaini ni ay kada tapi kawa bediri lawas dah tuha, tapi Alhamdulillah baik aja.” Dia menjelaskan bahwa sekarang tidak bisa berdiri terlalu lama karena sudah renta. Namun, dia bersyukur, secara keseluruhannya, kesehatannya baik-baik saja.
“Ini oleh-oleh selendang gasan Nini lawan wadai bika” Gia menyampaikan kepada Nenek bahwa dia membawa selendang dan bika bogor talas ubi untuk Nenek sekeluarga. Nenek menyambut pemberian Gia dengan sumringah. Kemudian, Nenek mengajak keluarganya untuk makan.
Rumah Nenek merupakan rumah sederhana berbahan kayu. Tidak ada meja makan di rumah Nenek sehingga mengharuskan yang hadir untuk makan lesehan. Hidangan makan malam telah tersaji di ruang tengah yang biasa digunakan sebagai ruang makan. Ada soto Banjar yang hanya perlu diberi kuah yang wadahnya di atas kompor dan iwak babanam, ikan bakar khas Banjar. Sajian itu dilengkapi dengan kue bingka pisang, kue lumpur khas Banjar, serta es sirup merah.
“Nini handak soto Banjar kah? Kena Gia tuangkan kuahnya.” Gia menawarkan diri untuk melayani Nenek.
“Hiih Gia. Beri sambal seikit lah Gia,” Nenek minta sotonya diberi sedikit sambal.
Gia ke dapur untuk memenuhi pesanan Nenek. “Ini Ni sotonya. Begamat lah Ni, masih panas. Gia meambil air putih hulu setumat.” Gia memberikan semangkuk soto Banjar kepada Nenek lalu mengambil air putih. Setelah itu, dia pun ikut bergabung menikmati sajian Nenek. Gia memilih iwak babanam dan makan lesehan bersama yang lainnya.
Selesai makan bersama, Gia membantu Acil Aluh membawa piring kotor ke dapur. Mereka berdua mencuci piring bersama. Sementara itu, di ruang tengah, terdengar obrolan santai yang sesekali diselingi gelak tawa.
Gia dan Acil Aluh kembali ke ruang tengah setelah membereskan cucian piringnya. Gia duduk bersila di samping Laila, sedangkan Acil Aluh duduk di samping Mama. Obrolan semakin asyik setelah mereka bergabung membentuk lingkaran. Mereka bertanya kepada Gia mengenai kehidupannya selama di perantauannya di Bogor.
“Alhamdulillah, seberataan kawa bakumpul hari ini. Nini himung banar lawas kita kada bakumpul lengkap. Ada Gia cucu Nini hanyar bulik dari perantauan,” Nenek mengungkapkan rasa senangnya dapat berkumpul bersama lebih-lebih dapat bertemu Gia yang pulang ke kampung halamannya.
“Al pulang beisi anak halus bebinian. Pabila jar handak syukuran Mat?” Nenek menanyakan kepada Abah, yang biasa dipanggilnya Amat, mengenai rencana syukuran cicitnya yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.
“Insya Allah dua minggu lagi Ma, tanggal dua puluh satu,” jawab Abah.
“Uhh … ayu ja. Nini handak selajur diadakan Batimbang Safar anaknya Al karena inya lahir bulan Safar selajuran mendoakan cicit nenek supaya dijauhi dari bala,” Nenek berkeinginan untuk mengadakan Batimbang Safar buat mendoakan cicitnya agar terhindar dari musibah.
Sontak segenap yang hadir terkejut. Apa yang ada di benak Nenek sehingga secara tiba-tiba dia ingin mengadakan acara Batimbang Safar buat cicitnya?
Ada banyak sekali budaya Banjar yang dilakukan untuk mencari berkah dalam menjalani kehidupan, acara budaya yang sarat doa. Salah satunya adalah Batimbang Safar. Batimbang, bahasa Banjar, berarti “menimbang,” sedangkan Safar adalah nama bulan kedua dalam penanggalan Hijriah. Sebagian masyarakat Banjar, penduduk yang bermukim di Kalimantan Selatan, meyakini bahwa bulan ini penuh dengan malapetaka. Dalam Batimbang Safar, bayi yang lahir di bulan Safar ditimbang dalam sebuah timbangan yang berbentuk ayunan. Bayi itu ditempatkan di salah satu ayunan, sedangkan ayunan yang lain diisi dengan hasil bumi seperti tebu, kelapa muda, dan ketan. Upacara dilangsungkan dengan diiringi lantunan ayat suci Alquran.
Pada pelaksanaan upacara, ayunan ditempatkan di ruang tengah rumah. Untuk penyangga ayunan digunakan batang pohon bangkal ⸺ tanaman khas Kalimantan Selatan yang umumnya digunakan sebagai bahan baku bedak dingin. Di setiap ujung batang pohon, sarung dipakai sebagai ayunannya.
Timbangan dilakukan tiga kali. Bayi ditimbang dengan mushaf Alquran pada timbangan pertama. Pada timbangan kedua, bayi ditimbang dengan beras ketan. Terakhir, bayi ditimbang dengan kelapa muda dan tebu merah. Pada setiap penimbangan, bayi baru dikeluarkan dari ayunan setelah beratnya seimbang.
Batimbang Safar dilangsungkan dengan tujuan untuk mendoakan bayi yang lahir pada bulan Safar agar dia terhindar dari malapetaka dan hidup dengan penuh berkah. Upacara itu dapat dilaksanakan pada saat melakukan syukuran pemberian nama kepada bayi yang baru lahir.
Gia dan Al tidak lahir pada bulan Safar sehingga Batimbang Safat tidak perlu dilakukan untuk mereka. Kalau pun Gia dan Al lahir di bulan Safar, orangtuanya pasti menolak untuk menyelenggarakan Batimbang Safar. Abah memang tidak sependapat dengan Nenek dalam hal ini. Abah dan Mama percaya bahwa bulan lahir dari seorang anak, apa pun bulannya, semuanya sama baiknya.
Mendengar usul Nenek untuk mengadakan Batimbang Safar buat cicitnya, Abah mengutarakan pendapatnya, “Ma, zaman sekarang sudah jarang sekali budaya Batimbang Safar dilakukan. Semua bulan itu sama baiknya. Cukup syukuran saja. Rezeki dan maut sudah diatur-Nya.”
Nenek tampak sedikit kesal dengan pendapat Abah. Dia menghela nafas sebelum berujar, “Nini handak yang terbaik gasan anaknya Al cicit nenek. Ini sudah kebiasaan budaya kita. Amun lain kita yang manaruskan siapa lagi?” Nenek ingin yang terbaik untuk cicitnya, begitu katanya. Batimbang Safar akan hilang jika masyarakat Banjar sudah enggan untuk melakukannya, begitu kekhawatirannya.
Ibu Gia tidak tinggal diam, dia berkata, “Ma, sebelumnya saya minta maaf. Maksud Mama baik, tapi kita tidak perlu mengadakan Batimbang Safar. Sama seperti Mama, kami semua ingin yang terbaik untuk cicit Mama. Mengadakan syukuran kami rasa sudah cukup.”
Di luar perkiraan semua yang hadir, Nenek terlihat mulai naik pitam. Dengan suara tinggi dia berkata, “Kada handak tahu anaknya Al harus Batimbang Safar! Buhan kam ni handak dapat bala kah?” Nenek meminta Batimbang Safar harus tetap diadakan. Jika tidak, keluarga mereka akan mendapat malapetaka, begitu dia menegaskan.
“Astaghfirullahaladzim,” ucap semua yang ada di ruang itu nyaris berbarengan. Jika Nenek sudah marah, siapa pun akan merasa segan untuk membantah pendapatnya.
Namun, Abah kembali menyampaikan pemikirannya, “Bukan begitu Ma. Banyak orang di luar sana yang lahir di bulan Safar, tetapi mereka tidak melakukan Batimbang Safar. Sejauh yang saya tahu, tidak ada masalah. Saya percaya nasib baik-buruknya anak tidak bergantung pada bulan apa dia dilahirkan.”
Nenek tidak lagi menutupi kemarahannya. Dengan lantang dia berkata, “Buhan ikam ni dasar kada beres. Niat Nini baik gasan keluarga kita.” Setelah melahirkan kemurkaannya, Nenek merajuk diam. Dia menatap lurus ke depan dengan kesal.
Amang Dani dan Acil Aluh tidak berani berkata-kata. Sementara Al, Laila dan Gia hanya bisa diam mendengar serunya adu mulut tersebut. Mereka tidak berani mengutarakan pendapatnya karena takut memperkeruh keadaan. Mama tampak kaget melihat begitu marahnya Nenek. Sedikit beda dengan Abah yang paham betul dengan sifat Nenek. Namun, dia tidak akan melanjutkan percakapan.
Suasana jadi hening. Sementara malam sudah semakin larut. Waktu menunjukkan hampir jam sepuluh.
“Ulun bulik dulu Ma. Kena ulun pikirkan,” tiba-tiba suara Abah memecah keheningan. Abah berdiri, lalu melangkah menghampiri Nenek untuk berpamitan. Seperti halnya Abah, Mama, Al, Laila, dan Gia mencium tangan Nenek sebelum melangkah keluar meninggalkan rumahnya. Amang Dani dan Acil Aluh mengantarkan kepergian tamunya sampai di pinggir jalan.
***
Pada sore hari, seminggu semenjak kejadian tidak mengenakkan di rumah Nenek, Abah, Mama, Al, Laila, dan Gia berkumpul di ruang tengah menonton tayangan hiburan di televisi sambil menikmati sukun goreng. Abah sudah mencoba menelepon Amang Dani untuk berbicara dengan Nenek, tetapi Nenek enggan bercakap-cakap dengan Abah.
“Bah, gimana jadinya? Kita mau mengadakan Batimbang Safar atau tidak?” Mama bertanya sambil menonton acara di televisi.
“Nanti Abah ke rumah Nenek coba bujuk lagi. Semoga Nenek melunak,” kata Abah.
Gia yang ikut mendengarkan percakapan itu mengangguk. “Iya Bah. Gia setuju. Semoga Nenek sudah tidak marah lagi.”
“Kalau Al terserah Abah aja. Al ikut aja,” Al pun mengemukakan pendapatnya.
Dua hari kemudian, Abah memberi kabar kepada Mama, Al, Laila, dan Gia bahwa dia sudah berkunjung ke rumah Nenek. Dia membujuk Nenek tentang tidak perlunya mengadakan Batimbang Safar. Abah juga menceritakan mengenai keraguan Nenek. Akhirnya, Abah, demi menjaga perasaan Nenek, memutuskan untuk melaksanakan upacara itu bersama syukuran kelahiran cucunya.
Tiba saatnya hari acara syukuran sekaligus upacara Batimbang Safar untuk bayi Al dan Laila diselenggarakan.
Setengah jam sebelum acara yang direncanakan dimulai jam sepuluh pagi, Nenek datang bersama Amang Dani sekeluarga. Abah menyambut kedatangan Nenek lalu menuntunnya untuk duduk di ruang tengah. Belum terlihat kehadiran para tamu undangan. Nenek, dengan isyarat tangannya, menyuruh Abah untuk duduk di sampingnya.
“Mat, tidak perlu mengadakan Batimbang Safar,” kata Nenek pelan.
Abah kaget atas apa yang Nenek katakan. “Tidak perlu?” kata Abah memastikan pendengarannya.
Nenek sambil tersenyum mengangguk, “Setelah Mama pikir, bujur jua jar ikam. Semua bulan itu sama baiknya. Mama jua ada mendengar ustadz bepandir kayak itu.” Nenek mendengar perkataan seorang ustadz, orang yang dia hormati karena budi pekertinya, yang menyampaikan pendapatnya kepada Nenek tentang Batimbang Safar. Ternyata, pendapat ustadz itu mirip pendapat Abah.
Kemudian, Abah segera memanggil Amang Dani untuk memindahkan timbangan ayunan beserta perlengkapannya dari ruang tengah ke belakang rumah.
Tamu undangan telah berdatangan termasuk Ustadz yang akan memimpin acara syukuran. Sebelum mulai, Abah dengan sedikit gugup dan wajah tegang mengumumkan perubahan acara melalui pengeras suara. “Assalamualaikum Bapak, Ibu, dan para hadirin semua. Saya mengucapkan terima kasih Bapak, Ibu, Saudara semua sudah berkenan hadir dalam acara syukuran dan Batimbang Safar cucu kami. Namun, atas kesepakatan keluarga, kami akan mengadakan syukuran tanpa Batimbang Safar. Untuk itu saya mohon maaf. Selanjutnya, acara saya serahkan sepenuhnya kepada Pak Ustadz.”
Suasana menjadi sedikit riuh. Namun itu hanya sesaat karena acara langsung dimulai.
Gia bersyukur akhirnya Nenek tidak memaksakan kehendaknya. Sebagai seorang berpendidikan, Gia pun berpendapat bahwa kebaikan dan keburukan anak memang tidak tergantung pada bulan apa dia dilahirkan. Namun, ilmu yang didapatkan dari kampus dan pengalaman yang diperoleh dari kantornya di Bogor tidak mengizinkannya untuk sekadar meniru pemikiran Abah atau Nenek. Dia tidak dapat melupakan kata-kata Nenek tentang bakal punahnya upacara budaya Batimbang Safar, kekayaan budaya masyarakat Banjar. Dia berencana, bila kelak sudah menikah dan dikaruniai anak, untuk tetap mengadakan upacara budaya itu dengan niat semata-mata untuk mensyukuri karunia-Nya yang berupa buah hatinya – upacara budaya yang tidak ada sangkut-pautnya dengan ketakutan akan malapetaka yang akan menimpa seorang anak disebabkan bulan kelahirannya.
*****
Yuni Utami Asih sejak di sekolah dasar menyukai puisi, cerpen, dan novel. Dia mulai berkecimpung dalam penerjemahan novel setelah pada tahun 2023 menjadi tuan rumah peluncuran buku Kumpulan Cerpen Dwibahasa Footprints Tapak Tilas untuk menandai perayaan sepuluh tahun berdirinya Dalang Publishing. Novel pertama yang diterjemahkannya adalah Pasola, karya Maria Matildis Banda (Dalang Publishing 2024).
Sepanjang 2024 Yuni menerjemahkan enam cerpen yang akan ditayangkan bergantian di laman Dalang selama tahun 2025.
Selain mengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman, Yuni juga terlibat dalam kegiatan pelatihan pembelajaran di Samarinda dan sekitarnya.
Yuni Utami Asih dapat dihubungi melalui yuniutamiasih@fkip.unmul.ac.id
***
Scales of Time
After flying in from Java, where she worked, Gia waited on the sidewalk at a taxi stand. Her father wasn’t feeling well, and her brother was busy at work, so neither of them could pick her up. Gia would have to use public transportation for the five-hour trip from the Syamsudin Noor airport, near Banjarmasin, South Kalimantan, Indonesia, to Tanjung, where she was born and raised.
Tanjung Tabalong was the subdistrict of the Tabalong regency. Like in other South Kalimantan regencies, people spoke mostly Banjar and Indonesian.
Gia was homesick for her quiet town, where customs, culture, and local wisdom were still widely applied in community life. She longed for the town’s cool air, special food, her mother’s cooking, and her old friends.
During the five-hour taxi ride, Gia happily watched the passing scenery of Tanjung Tabalong through the car window. Several changes decorating the district center caught her eye. A magnificent gate now led to the new road built for the development and expansion of the city. The new shophouses on the once-empty land near the gas station appeared ready for occupancy. The road itself felt smoother than it had a year ago, when she last went home to attend her brother’s wedding.
The taxi passed the famous Torch Monument traffic light. The flaming artwork, encircled by colorful lights, looked brighter at night, as fire flared from state-owned gas pipes.
Gia was lulled into a reverie.
The cab turned into the Tanjung Bersinar residential area. Gia’s house was near the entrance of the neighborhood. She took out her phone and messaged her mother that she would be home in five minutes.
“Please stop at the grey house with the black fence,” Gia told the driver. She had not taken her eyes off her home since she had spied it from a distance. The cabbie stopped and Gia saw her parents and Al hurrying toward the open gate.
The driver opened the trunk to unload Gia’s suitcase and several bags of souvenirs. Gia opened her door, grabbed her backpack, and ran to her parents. “Mama! Abah.” Grinning, she clutched her mother’s outstretched hand, kissed it and her father’s hand, then hugged them both. She turned and kissed her brother’s hand. Al was now a father.
“Are you healthy?” Lovingly, Mama put her arm around Gia’s shoulder. “How was the trip?”
“Alhamdulillah, thank God, I’m well, Mom. The trip went smoothly.” Gia hugged her mother again then turned to her father. “Abah, is your leg still swollen from your fall last week?”
“I’m healthy, dear,” her father assured her. “The pain has lessened, alhamdulillah.”
Gia didn’t see her sister-in-law and turned to her brother. “Where’s kakak Laila?” she asked, using the respectful term for her sister-in-law.
“She’s in the bedroom, feeding the baby. I’ll let her know you’re here in a minute.” Al hurried to pay the driver, then gathered Gia’s luggage. The family walked into the house.
Gia and Abah took a seat on the living room sofa. “I’ll make some tea for you and coffee for Abah,” Mama said, walking to the kitchen.
“Thanks, Mom.” Gia placed her backpack on a chair next to the sofa. “Please, don’t make the tea too sweet!”
Al set his sister’s luggage next to the couch, then went to his bedroom. A few moments later, he returned with Laila who held their baby in her arms.
Gia rose and kissed her sister-in-law’s hand, then turned her attention to the baby girl. “Oh, my niece is so cute! She looks just like Abang,” she said, using the respectful term for her brother. “Aunt Gia is so excited to see you!” Gia played with the baby’s soft little fingers.
Gia really wanted to hold her niece but pulled back her outstretched arms when she remembered she had not cleaned up from her long trip. Al and Laila smiled appreciatively.
“I brought Abang’s favorite snack from Bogor.” Gia reached for the bag of souvenirs next to the couch. “This taro layer cake is especially for Abang.”
Smiling, Al accepted his sister’s present. They joined Abah on the couch and shared other snacks that Gia had brought, including sweet banana chips and bika Bogor, a taro sweet-potato cake.
“How’s your job in Bogor?” Al asked as they enjoyed the snacks. “Don’t you want to try looking for work here?”
“No plans yet, Bang. I want to get some experience first.” Gia reached for the banana chips.
Mama entered the living room with a pot of tea and a cup of hot coffee. Soon, everyone was lost in casual family chatter laced with laughter. Even Laila, despite holding a baby in her arms, joined in.
Al worked at a mining company in Tanjung Tabalong City. He and Laila lived in a rented house near Gia’s parents, but after Laila had the baby, Mama asked them to stay temporarily with her and Abah until tasmiyah, the ceremonial naming day.
“Gia, do you want to eat now or take a shower first?” Mama asked.
“Please, let’s eat first, Mom.” Gia chuckled as her stomach rumbled. “I’m hungry!”
In the dining room, Mama placed a large bowl of patin on the table. Aromas from the catfish and shrimp, stewed in turmeric-spiced coconut milk, filled the room.
Abah and Al liked the catfish the most. Gia and Laila preferred the shrimp. Everyone ate heartily and left clean plates. Mama was happy to see her food being devoured.
After dinner, Gia showered and performed the Isha prayer, the last prayer before dawn, in her room. Finally, the exhausting day was over.
***
As soon as she woke up the next morning, Gia went straight to the dining room for breakfast. The wall clock showed it was almost nine.
“Oh, my, Mama’s little girl has finally woken up,” Mama called from the kitchen, shaking her head when she saw her still-sleepy daughter standing by the empty dining room table.
“I was awake at Subuh, Ma,” Gia said, pulling out a chair, “but I went back to sleep after saying the sunrise prayer.”
Mama finished washing the breakfast plates and glasses. “Here’s some yellow rice, dear. Boil water if you want tea. Al left tea in the teapot, but it is already cold. You’re the only one who hasn’t had breakfast.” Mama stroked Gia’s hair. “Tell Abang to take the lodeh to Grandma’s place.” She pointed to a clear, lidded container on the dining table. “I’ve already prepared and packed the spiced coconut-milk vegetable soup. We’ll leave for Grandma’s house tonight at eight o’clock.”
“Yes, Mom. Where’s Dad?”
“I think he’s on the terrace. He usually reads news on his phone in the morning.” Mama returned to the kitchen.
Gia finished the yellow rice and got up from her chair. Al walked in and she relayed Mama’s instructions.
“Ok, Boss,” Al joked.
Gia helped her mother clean the house, then spent the rest of the day with her niece.
That evening, Al drove the family to Grandma’s house, about fifteen minutes away. When they arrived, Grandma’s front door was open.
“Assalamualaikum!” Abah’s deep voice called out the Muslim greeting.
“Waalaikumussalam!” Amang Dani answered. Abah’s brother-in-law rose from his seat and walked to him. Grandma and Acil Aluh — Dani’s wife — also rose and welcomed Gia and her family.
Grandma pulled Gia close and kissed her forehead and cheek repeatedly. “Oh, my God, Gia!” Grandma exclaimed. “You haven’t been home for so long!”
“Nini! How are you?”
Grandma smiled. “I’m getting old. I can no longer stand for a long time, but overall, thank God, I’m fine.”
“Nini, I brought you a scarf, and a bika cake.” Gia handed her grandmother the souvenirs she brought. Grandma happily accepted the sweet, honeycomb cake and scarf, then invited her family to have dinner.
Grandma lived in a simple wooden house without a dining room or dining table. Dinner was served in the living room, and everyone sat on the floor to eat. Dinner that night was iwak babanam, Banjar-style grilled fish basted with heavily spiced sweet soy-sauce. A container on the stove kept the soto Banjar warm. The delicious chicken glass noodle soup was flavored with herbs and spices authentic to Banjar. For dessert was a banana bingka cake. Grandma served the typical Banjar mud cake with a glass of iced red syrup.
“Would you like soto Banjar, Nini?” Gia offered to serve Grandma. “Let me pour the broth for you.”
“Yes, please, and give me a little chili sauce also, Gia.”
Gia went to the kitchen to prepare her grandmother’s dinner. “Here’s the soto,” she said, handing Grandma a bowl of steaming soto Banjar. “It’s hot, Ni. I’ll get you some water.” Gia then filled her own plate with rice and the iwak babanam and joined the others in enjoying Grandma’s food.
After dinner, Gia helped Acil Aluh carry the plates to the kitchen. While listening to the animated conversation in the living room, they washed the dishes.
Afterwards, they rejoined the family circle and Gia sat cross-legged next to Laila, while Acil Aluh sat next to Mama. The chit-chat became more fun when everyone asked Gia about her life in Bogor, a university city in West Java.
“Alhamdulillah, everyone can be here today,” Grandma said happily. “I’m so excited, especially since Gia just came home. It’s been such a long time since we were all together. In addition, Al and Laila just had a beautiful baby girl. When will you hold the tasmiyah?” Grandma turned to Abah to hear details about the naming ceremony.
“Insya Allah, God willing, within two weeks, Ma,” Abah replied.
“Oh, that’s nice! Because Al’s baby was born in the Safar month, I want to hold a Batimbang Safar so we can pray for my great-granddaughter to be protected from bad fortune.”
The room suddenly went quiet with shock. What was Grandma thinking?
There are many Banjar rituals to seek blessings ⸺ cultural events filled with prayer. Batimbang Safar is one of them. Batimbang, in the Banjar language, means “to weigh,” while Safar is the name of the second month of the Islamic calendar. Some Banjarese who live in South Kalimantan believe that Safar is a bad month, full of misfortune and disasters. At a Batimbang Safar ceremony, babies born in the Safar month are weighed on a balance scale, shaped like the Scales of Justice, with opposite seats made of sarongs. Wood from the bangkal tree is used for the balancing beam, and the scale is set up in the living room. The baby is placed in one sarong, while the other side’s sarong is filled with various items, according to tradition, until both sides are in balance.
The weighing is done three times. The first time, the baby is balanced with the Quran on the counter scale. The second time, sticky rice is placed on the opposite scale. For the final weighing, young coconut and red sugar cane are used as counterweights. Each time, the baby is removed from the sarong only after the scale is in balance.
The ceremony is accompanied by the recitation of verses from the holy Quran and can be carried out at the same time as the tasmiyah ceremony.
Neither Gia nor Al was born in the month of Safar, so the subject of holding a Batimbang Safar never came up. But even if Gia and Al had been Safar babies, Mama and Abah would have most likely refused to hold a Batimbang Safar. Abah did not believe in this custom like Grandma did. He and Mama believed that a child’s birth, regardless of the month, was always good.
“Ma,” Abah said, “nowadays it is very rare to hold a Batimbang Safar. All months are equally good for a birth. It is enough to be grateful. God has already arranged our fortune and death.”
Abah’s words seemed to annoy Grandma. Sighing, she said, “I just want the best for Al’s baby, my great-granddaughter. This is our tradition.” Grandma then went on to express her concern that the Batimbang Safar tradition would disappear if the Banjar people stopped observing it.
Mama spoke up. “Mother, I deeply apologize. Your intention is good, but we don’t need to hold a Batimbang Safar. Just like you, we all want the best for your great-grandchild. We think a tasmiyah is enough.”
Beyond everyone’s expectations, Grandma looked offended. “I don’t care!” she said loudly. “Unless you want disaster to strike Al’s baby, a Batimbang Safar must be held!”
“Astaghfirullahaladzim, I ask forgiveness from God Almighty,” said everyone in the room, almost in unison. When Grandma was angry, no one wanted to argue with her.
“That’s not it, Ma,” Abah pressed again. “There are many people who were born in the Safar month, but they didn’t do Batimbang Safar. As far as I know, there have been no problems. I believe that a child’s good or bad luck does not depend on the birth month.”
Grandma now exploded. “You are all wrong! My intentions are to do what’s best for our family.” She stared straight ahead.
Amang Dani and Acil Aluh did not dare speak. Al, Laila, and Gia could only listen to the heated argument. Afraid of making things worse, no one expressed any more opinions. Mama looked shocked at Grandma’s anger. Abah, who knew Grandma’s nature very well, chose to discontinue the discussion for now.
It was almost ten o’clock, and the night had turned quiet. Suddenly, Abah’s deep voice broke the silence. “We have to leave now, Mother. Let me think about it.” He rose, kissed Grandma’s hand, and said goodbye. The rest of the family kissed Grandma’s hand as they left. Amang Dani and Acil Aluh walked their guests to the sidewalk.
***
A week after the unpleasant evening at Grandma’s house, Abah and the family gathered in the living room to watch television and enjoy fried breadfruit. Abah had called Amang Dani to talk to Grandma, but Grandma refused to take the call. Now, watching the TV program, Mama asked, “Bah, what will we do? Are we going to hold a Batimbang Safar?”
“I’ll go to Grandma’s house and try to talk with her again,” Abah replied. “Hopefully, she will soften.”
Gia nodded. “Yes, Bah, hopefully Grandma will not be angry anymore.”
“I’ll leave it to you, Abah,” Al said. “I’ll just follow along.”
Two days later, Abah told the family that he had visited Grandma and had tried to persuade her not to hold a Batimbang Safar. Abah also told the family about Grandma’s concerns. In the end, in order to respect Grandma’s feelings, Abah had agreed to hold the Batimbang Safar ceremony, together with the naming celebration.
Finally, they came to the morning of the tasmiyah and Batimbang Safar ceremonies for Al and Laila’s baby.
Half an hour before the event, Grandma arrived at Abah and Mama’s house with Amang Dani and his family. Abah welcomed Grandma and led her to the living room. None of the guests had shown up yet, and Grandma gestured for Abah to sit beside her. “Son,” she said quietly, “there’s no need to hold a Batimbang Safar.”
Abah looked at her, shocked. “No need?” he repeated.
Grandma smiled and nodded. “After I thought about it some more, I realized you were right. All months are equally good for babies to be born.” Grandma told Abah that she had heard an ustadz speak those very same words. She had so much respect for this Islamic priest that when she heard that his opinion about Batimbang Safar was the same as Abah’s, she had changed her mind.
Abah immediately called Amang Dani to help him move the scale and its accoutrements from the living room to the back of the house.
Meanwhile, the guests, including the ustadz who would lead the tasmiyah ceremony, started arriving. Before beginning the celebration, Abah, slightly nervous and tense, spoke into the microphone. “Assalamualaikum, ladies and gentlemen! I would like to thank you for attending our granddaughter’s tasmiyah and Batimbang Safar celebrations. However, by agreement of the family, we will hold only the tasmiyah. I now turn over the entire celebration to the ustadz.”
The guests murmured among themselves before quieting again.
Gia was grateful that Grandma had not forced her will on the family. Gia, too, believed that a person’s good luck and bad luck did not depend on their birth month. But she could not forget Grandma’s words about the extinction of the Batimbang Safar ceremony, a part of the cultural heritage of the Banjar people. Gia decided that when she married and was blessed with children, her family would continue to observe the traditional ceremonies. The sole intention would be to show gratitude for God’s gift in the form of her child — regardless of the birth month.
*****