Pengantar giliran cerpen 2025

Pada tahun 2022 Dalang menerbitkan Footprints / Tapak Tilas, kumpulan 49 cerpen dwi-bahasa. Dengan terbitan tersebut, kami merayakan ulang tahun kesepuluh sambil menghaturkan terima kasih kepada 44 penulis dan 18 penerjemah yang memungkinkan disusunnya buku itu. Peluncuran yang diselenggarakan di tujuh wilayah tanah air, menghasilkan cerpen yang akan dimuat secara bergantian pada tahun 2025 ini. Pada tiap peluncuran, kami juga memilih pertanyaan terbaik dari peserta kegiatan. Pertanyaan yang terpilih adalah pertanyaan yang pasti akan membantu calon penulis dan penerjemah. Penanya akan dihadiahi satu jilid Footprints / Tapak Tilas. Selain dari itu pemenang diminta untuk menulis cerpen yang mewakili daerahnya. Setelah disunting oleh penyunting ahli, karya itu akan diterjemahkan dan ditayangkan di laman kami.

Cerpen-cerpen ini dikarang oleh calon penulis muda yang memiliki kepedulian yang dalam bagi sastra dan kebangsaan. Mereka menulis cerpen dengan mewakili daerahnya. Besar harapan kami terbitan di laman kami ini akan memberikan pijakan kepada mereka untuk melintasi dunia sastra dan menyemangati mereka untuk melanjutkan perjalanan bersama “malaikat ilhamnya.”

Dengan penerjemahan dan penayangan cerpen, kami tidak hanya berharap akan tergalinya kemampuan menulis, tetapi juga akan terangkatnya mutu sastra Indonesia, dan selanjutnya mengantarkannya di kancah dunia. Kami pun berharap mampu memperkenalkan adat istiadat, budaya, sejarah, dan gaya hidup masyarakat Indonesia kepada pembaca mancanegara. Sedangkan bagi pembaca Indonesia, kami berharap mampu meningkatkan rasa bangga pada tanah air dan rasa syukur atas berkatnya yang berlimpah-limpah.

Rekaman dari masing-masing acara peluncuran terdapat di:
https://sites.google.com/view/bincangsastra-ind/beranda


Junaedi Setiyono

Junaedi Setiyono mendapat bea siswa bimbingan sastrakantanya di Ohio State University. Dia merasa menjadi bagian dari Dalang Publishing setelah diberi kepercayaan untuk menyunting novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur (Sanata Dharma University Press 2018) dan menerjemahkan cerpen Mengenang Padewakkang karya Andi Batara Al Isra dan Ketuk Lumpang karya Muna Masyari yang dimuat di Kumpulan Cerpen dwi-bahasa Footprints /Tapak Tilas (Dalang Publishing 2022).

Menyunting enam cerpen yang akan ditampilkan di laman Dalang secara bergilir, merupakan tugas terkini. Junaedi menyanggupi tugas penyuntingan itu karena banyak hal penulisan yang dapat dia pelajari sambil membereskan tugasnya. Dia dipaksa untuk rajin membuka buku, terutama kamus dan tata bahasa, untuk memeriksa ketepatan penempatan kata dalam kalimat dan kesesuaian susunannya. Selain itu dia juga dipaksa untuk teliti mencermati kemasukakalan alur cerita yang disusun oleh penulisnya.

Dua novel Junaedi sudah diterjemahkan dan diterbitkan oleh penerbit Dalang, yaitu novel Dasamuka (Penerbit Ombak 2017) dan Tembang dan Perang (Penerbit Kanisius 2020). Sehari-harinya dia dapat ditemui di Universitas Muhammadiyah Purworejo tempatnya mengajar. Dia pernah mendapat penghargaan di ajang sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, dia juga mendapat penghargaan sastra jenis novel dari Kemendikbud dan dari Majelis Sastra Asia Tenggara 2020 untuk Dasamuka.

Junaedi dapat dihubungi melalui surel: junaedi.setiyono@yahoo.co.id

 

Terre Gorham

Terre Gorham telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya merangkai kata-kata berirama. Cerpen pertamanya diterbitkan oleh sekolah dasar Briarcliff saat dia duduk di kelas dua. Dia melanjutkan pendidikannya hingga mendapat gelar dalam bidang menulis. Dia bekerja sebagai penulis lepas hingga mendapatkan pekerjaan sebagai penyunting di majalah Downtowner Magazine, di kota Memphis, Tennessee, Amerika Serikat. Dia telah menulis, menyunting, dan membimbing penulis-penulis muda lebih dari 20 tahun. Terre pernah mengarang sebuah novel sebagai penulis bayangan di sebuah lembaga nirlaba yang membantu perempuan korban pelecehan. Dia bergabung dengan Dalang sebagai penyunting bahasa Inggris pada tahun 2017. Kata-katanya telah digunakan di ratusan terbitan. Pada saat ini dia bekerja di perusahaan yang menyelenggarakan berbagai acara. Dia bertanggung jawab atas suntingan semua bahan tulis, mulai dari suntingan pengumuman untuk pengguna jasa hingga petunjuk kebijakan perusahaan. Menuju usia pensiun, dia kembali melanjutkan pekerjaannya sebagai penyunting lepas.

Terre dapat dihubungi melalui surel: terregorham@gmail.com

 

 

 

 


Kandei pun Enggan Kembali

Wigati Yektiningtyas-Modouw adalah perempuan Jawa yang tinggal di Jayapura sejak 1986. Dia dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Cenderawasih. Selain menulis berbagai buku ilmiah dan makalah pada jurnal nasional dan internasional, dia juga rajin menulis cerita anak-anak dalam bahasa Indonesia, daerah Papua, dan Inggris. Tujuan penulisannya adalah sebagai upaya melestarikan pusaka budaya tanah Papua dan meningkatkan kemampuan baca, tulis, dan hitung anak Papua. Usahanya ini membuatnya dinobatkan sebagai salah satu Pegiat Literasi Terbaik Papua pada 2021. Menulis cerita pendek adalah dunia baru yang dirambahnya dan dilakukannya dengan penuh semangat sebagai salah satu usahanya mengenalkan alam, masyarakat, dan budaya Papua kepada dunia.

Kini dia berdiam bersama suami, James Modouw di Waena, Jayapura, yang dikelilingi perbukitan dan bersebelahan dengan Danau Sentani dan Laut Pasifik.
Wigati dapat dihubungi melalui wigati_y@yahoo.com

***

 

Kandei pun Enggan Kembali

Sinar matahari pagi yang mengintip dari celah-celah dinding papan rumah dinasnya membangunkan Onomi pagi itu. Onomi membuang selimut yang membungkus badannya semalaman. Dia harus bergegas menuju bandara Wamena. Dia bersyukur karena akhirnya dia memperoleh libur sekitar sebulan setelah menyelesaikan tugas mengajarnya selama dua tahun di pedalaman Papua, di sebuah SMP di Tiomneri, Lanny Jaya.

Hati Onomi penuh dengan rasa bahagia. Dia dapat menengok mamanya di kampung halamannya. Pulau Asei adalah salah satu dari sembilan belas pulau yang berada di Danau Sentani, Jayapura.

Onomi segera mengikat rambutnya yang keriting kecil dengan pita biru. Anak-anak rambutnya yang dibiarkan lepas mempercantik wajahnya. Tanpa sarapan dia berlari menuruni bukit menuju rumah ibu kepala sekolah yang kebetulan akan belanja peralatan sekolah di Wamena. Dibalasnya sapaan anak-anak yang sedang bermain di depan halaman honai, rumah asli suku Lanny.

Onomi jadi ingat muridnya, yang dengan bangga menceritakan honai di depan kelas. Dia menjelaskan bahwa honai adalah bangunan berbentuk lingkaran dengan garis tengah sekitar tiga meter, terbuat dari papan kayu, dan tanpa jendela. Atapnya yang bulat terbuat dari rumput. Lantainya pun diberi alas rumput. Karena dingin, para penghuninya membuat perapian di dalam honai untuk menghangatkan badan.

“Ibu Guru, hati-hati! Jangan lari-lari, nanti jatuh!” seru anak-anak itu.

Onomi hanya tersenyum lebar mendengarnya. Tidak lama kemudian, sampailah dia di depan rumah ibu kepala sekolah.

“Cepatlah, Onomi! Kenapa ko lama sekali?” ibu kepala sekolah menegur.

“Maaf, Ibu,” kata Onomi sambil menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan yang dilakukannya manakala dia merasa gugup dan bersalah.

***

Setelah lima puluh menit perjalanan dengan mobil sewaan, sampailah mereka di depan bandar udara Wamena. Begitu turun dari mobil, tidak lupa Onomi mengucapkan terima kasih kepada Ibu Kepala Sekolah atas pemberian tumpangannya.

Bandara penuh dengan calon penumpang karena bulan Juni adalah musim libur sekolah akhir semester.

Setelah setengah jam menunggu, Onomi pun naik ke pesawat. Dia bersyukur mendapatkan kursi di dekat jendela yang memungkinkannya menikmati pemandangan yang membentang dari Wamena sampai Jayapura.

Benar saja, Onomi melihat indahnya barisan pegunungan Maoke dengan Puncak Trikora yang tampak hijau kebiruan serta sungai Baliem dan Membramo yang melingkar bagaikan sepasang ular raksasa yang sedang tidur.

Setelah empat puluh menit terbang, Onomi dapat melihat Gunung Dobonsolo dan Danau Sentani dengan puluhan pulaunya ⸺ danau yang begitu indah, bersih, dan tenang. Dilihatnya beberapa perahu milik penduduk setempat yang sibuk mengantar penumpang antarpulau. Bahkan dia bisa melihat kampungnya, Pulau Asei, yang tampak lebih padat perumahannya. Tiba-tiba saja air matanya mengalir. Kerinduannya kepada mama dan kampungnya semakin menggebu. “Pasti sudah banyak perubahan setelah aku tinggalkan selama dua tahun,” gumam Onomi.

Setelah pesawat dua baling-baling itu mendarat sempurna, Onomi turun. Dari tangga pesawat dia ingin berlari agar cepat sampai rumah. Namun tidak bisa. Dia harus terlebih dulu berdesak-desakan karena penumpang lain juga ingin cepat-cepat keluar dari bandara.

Setelah berhasil lepas dari kerumunan, Onomi segera berlari ke pangkalan ojek motor di sudut bandara. Dia merasa kepanasan dan melepaskan jaketnya. Setelah tinggal dua tahun di Tiomneri yang bersuhu udara 15° C, badannya kaget dengan suhu Jayapura yang 28° C saat itu.

Setelah hampir setengah jam perjalanan menggunakan ojek motor, sampailah Onomi di Dermaga Kalkhote, di tepi Danau Sentani. Dari ujung dermaga dia bisa melihat kampungnya. Dia bahagia. Namun, kebahagiaannya itu hanya sebentar dirasakannya. Dilihatnya danau yang begitu kotor. Sampah plastik menggunung di sekitar dermaga, botol kemasan minuman pun mengapung liar di permukaan danau. Apakah danau juga semakin dangkal? begitu batinnya bertanya-tanya. Meski airnya keruh, dia masih dapat melihat sandal, sepatu, dan kaleng makanan menjelempah di dasar danau. Air matanya mengalir, kemudian semakin deras, sampai akhirnya dia menangis tersedu.

Tangisan Onomi mirip tangisannya tahun lalu, yakni ketika dia gagal meraih emas dalam lomba renang di PON 2021 yang diselenggarakan di Jayapura. Namun, tangis kali ini dipenuhi dengan amarah pada tangan-tangan yang telah membuat Danau Sentani bagaikan tempat pembuangan sampah raksasa. Kedua tangannya ditudungkan di kepalanya. “Hanya dua tahun kutinggalkan, dan sekarang danau ini telah berubah seperti ini,” desahnya di tengah tangisnya. Danau di depan mata memang tidak seindah seperti saat dia melihatnya dari udara.

“Onomi! Onomi! mari sudah kitong pulang.” Terdengar suara mamanya memanggilnya. Mamanya berseru dari atas perahu tidak jauh dari dermaga.

Onomi tersentak dan berusaha menyembunyikan tangisnya. Dia melompat ke perahu dan memeluk mamanya sekuat-kuatnya. Tangisnya kembali pecah di dada mamanya yang menyimpan keheranan atas perilaku anaknya yang tidak biasa.

***

Sampai di rumah, Onomi disambut Martha yang memeluknya dengan hangat.

“Martha, ko su tinggi sekali, su lebih tinggi dari sa,” seru Onomi sambil terus menyapu adiknya dengan pandangan matanya dari kepala sampai kaki.

“Kak Omi,” kata Martha yang memanggil Onomi dengan panggilan kesayangannya.

“Kitong makan dulu yo, sa su masak. Pasti kakak suka masakan sa,” lanjut Martha dengan percaya diri.

Onomi tersenyum. Dia bangga dan bahagia sekarang adiknya sudah pandai memasak. Padahal dulu Martha adalah anak yang paling sering membuat mamanya sakit kepala. Dia malas bangun pagi, mandi pagi, bersih-bersih rumah, apalagi masak. Kini dia sudah besar bahkan sudah pandai masak.

Mama, Onomi, dan Martha makan bersama dengan lahap. Martha memasak keladi dan ubi jalar, ikan goreng saus tomat, tumis kangkung bunga pepaya, dan sambal kesayangannya. Makanan khas Sentani yang kaya akan bumbu ini akhirnya dapat dinikmati lagi oleh Onomi yang makan dengan lahapnya. Di Tiomneri, dia cenderung makan apa adanya karena kesibukannya mengajar.

“Kenapa ko tidak masak ikan kandei? Ko malah masak ikan lohan dan gastor?” tanya Onomi yang telah membayangkan akan makan ikan kandei kesukaannya. Selain dagingnya yang enak, tulangnya teratur dan mudah dipisahkan dari dagingnya. Ikan kandei sudah terbiasa dimakannya sejak kecil. Dia tidak dapat menemukannya di tempat lain. Gastor dan ikan lohan ditebarkan orang secara liar di Danau Sentani. Gastor merupakan singkatan Gabus Toraja sedangkan Ikan lohan juga dijuluki “Setan Merah.” Kedua ikan ini menjadi pemangsa ikan-ikan asli Sentani.

“Kak, sekarang kitong tidak bisa dapatkan kandei dengan mudah,” Martha menjelaskan. “Kemarin sa su mancing berjam-jam tetapi sa hanya dapat ikan lohan dan gastor. Mungkin ada di tengah danau, itu kata mama, tapi sa tra berani mancing sampai ke sana – takut gelombang.”

“Ma, besok pagi jalan-jalan keliling danau, yok!” ajak Onomi tiba-tiba seolah tidak menghiraukan cerita Martha.

“Ko tra capek kah?” tanya mamanya.

“Sa tra capek,” jawab Onomi sambil tersenyum.

“Sa tra bisa ikut ya, sa harus latihan lari,” sela Martha. “Sa ikut lomba lari minggu depan di Manokwari.

***

Esok pagi yang ditunggu Onomi pun tiba. Keliling danau memang kebiasaannya. Bahkan ketika bapaknya masih hidup, dia selalu minta diantar berperahu. Ayah Onomi adalah mantan olahragawan dayung yang dengan kelompoknya sering memenangkan penghargaan emas di ajang PON. Sebelum meninggal, ayahnya adalah pelatih dayung andalan Papua.

“Onomi, ko cepat sudah!” teriak mamanya dari atas perahu di bawah kolong rumah panggungnya. Penduduk di Pulau Asei biasa membuat rumah panggung di sekeliling pulau itu. Mereka menyandarkan perahunya di kolong rumah mereka.

“Ya, Ma!” Onomi berteriak. Dia berlari secepat kilat dan melompat ke perahu.
Dengan cekatan mamanya mendayung perahu ke arah barat. Seperti kemarin, Onomi melihat sampah-sampah plastik mengapung di danau. Dia berusaha menutup matanya untuk tidak melihatnya, tetapi dia tidak bisa menutup hatinya. Dia sedih melihat kenyataan bahwa sampah dibuang semaunya oleh orang-orang tidak bertanggunjawab.

“Ma, kenapa sekarang banyak sampah di danau?” tanya Onomi memecah keheningan. Lalu dia melanjutkan, “Perasaan sebelum sa ke Tiomneri danau masih bersih. Paling tidak, sampah tidak sebanyak ini.” Matanya nanar menatap gelombang air danau. Perasaan marah dan gelisah berperang dalam benaknya. Tiba-tiba tangan kanannya meninju permukaan air danau. Kepala dan wajahnya yang basah terciprat air sedikit mendinginkan isi kepalanya yang mendidih menahan amarah.

“Onomi, kalau kitong bicara sampah di danau, orang bukan hanya buang sampah ke danau. Ko lihat nanti di jalan-jalan. Banyak orang buang sampah sembarangan. Jika hujan sampah masuk selokan, masuk ke kali, kemudian akhirnya masuklah ke danau. Sekarang danau jadi tempat pembuangan sampah.” Mama Onomi menghela napas sebelum melanjutkan, “Kitong yang tinggal di tepi danau jadi korban. Danau Sentani jadi dangkal, air danau kotor, rumput danau mati. Ikan-ikan danau tidak ada lagi dekat kitong pu pemukiman. Kitong jadi susah. Mau ambil air untuk minum saja kitong harus pergi ke tengah danau. Karena hanya di tempat itu saja yang kitong rasa airnya bersih.” Mamanya bicara panjang lebar.

“Dulu, waktu Bapak masih hidup, Bapak sangat galak kepada orang-orang yang membuang sampah ke danau,” kata Onomi yang bangga akan bapaknya. Bapak Onomi dulu kepala suku yang amat disegani oleh masyarakatnya. Onomi masih ingat waktu kecil, dia selalu diingatkan bapaknya untuk tidak membuang sampah sekecil apa pun ke danau. Ungkapan bapaknya, “Nanti dewa marah” kembali terngiang di telinganya.

“Ma, dulu Bapak bilang kalau orang buang sampah ke danau, dewa marah, itu betul kah?” tanya Onomi, pertanyaan yang sudah dia ketahui jawabannya.

“Ya itu dulu orang-orang tua bilang begitu.” jelas ibunya. “Kalau dewa marah, dia tidak akan mengirim ikan ke danau,” lanjut mamanya.

Sebagai lulusan Universitas Cenderawasih, yang menekuni bidang ilmu alam dan lingkungan, Onomi tersenyum. Dia mulai mengambil kesimpulan sendiri bahwa yang diajarkan orang-orang tua Sentani kepada anak-anaknya merupakan cara masyarakat Sentani menjaga alam mereka. Pengetahuan lingkungan leluhur inilah yang dahulu telah menyelamatkan masyarakat Sentani dari bencana alam dan kelaparan.

“Ko tahu Onomi, ikan kandei sudah jarang sekali ditemukan di danau. Ikan kandei tidak bisa tinggal di tempat kotor– ikan itu pasti akan mati.” Mamanya menerangkan. Dulu mamanya pernah memberitahukan bahwa ikan kandei merupakan salah satu jenis ikan asli Danau Sentani yang juga sering disebut sebagai ikan kakap danau.

“Jadi ikan itu pergi ke tempat yang lebih bersih?” tanya Onomi.

“Ya. Jadi bukan karena dewa marah, tapi karena manusia tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan. Ikan yang suka lingkungan bersih seperti kandei musnah atau berpindah,” jawab mamanya.

Satu jam lebih mendayung, sampailah mereka di tengah danau. Onomi takjub melihat beberapa burung bangau danau yang bertengger berbaris rapi di atas batang kayu yang mengapung. Tanpa terusik oleh kedatangan mereka, burung-burung itu tetap santai berayun di batang pohon yang bergoyang di atas gelombang yang diciptakan perahu mereka. Bahkan ada bangau-bangau yang terlihat tengah bercanda. Coba kalau burung-burung itu di pedalaman Pulau Asei, habislah mereka ditembak ketapel anak-anak usil, batin Onomi.

Onomi melihat dengan jelas perbedaan antara keadaan di tepian danau dan tengahnya itu. Tiba-tiba dia bertekad untuk berbuat sesuatu demi menyelamatkan danau dari sampah dan membuatnya menjadi rumah yang aman bagi satwa dan tumbuhan. Namun, dia tidak tahu pastinya akan berbuat seperti apa.

***

Setelah seminggu sejak kedatangannya di Pulau Asei, Onomi terbangun karena dering telepon genggamnya. Yakoba, sahabat baiknya ketika masih kuliah, mengajaknya jalan-jalan keliling kota Jayapura. Setelah mandi dan sarapan, Onomi menemui mamanya yang sedang sibuk memberi makan babi-babi piaraan mereka.

“Mama, sa boleh pinjam perahu mama kah? Sa mo ke dermaga dulu, Yakoba ajak sa jalan-jalan di Jayapura,” pintanya.

“Pakailah, biar Mama nanti pinjam perahu Martha jika mau keluar. Ingat ya, ko ikat perahu baik-baik, jangan sampai hanyut,” kata mamanya sambil tersenyum.

Onomi tahu mamanya sedang menggodanya karena dia sering lupa mengikat perahu sehingga perahu hanyut di danau. “Baik Ma, sa akan ingat,” jawabnya cepat.

Setelah mendayung sekitar lima belas menit, sampailah Onomi di dermaga. Mobil putih Yakoba tampak diparkir di bawah pohon ketapang. Setelah mengikat perahunya di sebuah batang pohon di tepi danau, dia lari secepat angin ke arah mobil Yakoba.

Yakoba lalu membuka pintu mobilnya dan melompat memeluk sahabatya dengan erat. Dia tertawa lebar. Deretan gigi putihnya tampak menghiasai wajah manisnya. “Selamat pagi, Putri Duyung, ko cantik sekali pagi ini.”

Onomi tertawa bahagia. Sudah lama tidak ada yang memanggilnya Putri Duyung. Itu adalah julukannya sejak 2016, ketika dia mulai mempersiapkan dirinya untuk mewakili Papua di PON 2021. “Cenderawasih, sa su rindu ko.” Wajah Onomi tampak berseri. Mata bulatnya bersinar indah. Yakoba dijuluki Cenderawasih karena dia cantik dan mempunyai perhatian khusus pada kehidupan cenderawasih yang mulai terancam punah di Papua. Dia kini menjadi peneliti di World Wildlife Fund Jayapura yang berkantor pusat di Swiss.

“Sa juga rindu ko, Putri Duyung,” timpal Yakoba. Mereka tertawa renyah.

Setelah dua tahun di Tiomneri, Onomi kaget melihat Jayapura yang kini padat dengan mobil dan motor. Jayapura jadi penuh asap. Sementara di Tiomneri jarang ada motor dan mobil. Sepi dan bersih udaranya. Dia pun lalu merindukan suasana Tiomneri.

Onomi memandang hiruk-pikuk kota yang sudah lama tidak dilihatnya. Tiba-tiba botol plastik terbang dari jendela kanan sebuah mobil mewah di depan mereka. Tidak lama kemudian botol kedua dan kantong plastik besar yang mungkin berisi sisa makanan dilempar dari jendela kirinya. Onomi berteriak kaget. Dia tidak percaya dengan kejadian yang dilihatnya.

Yakoba yang sudah terbiasa dengan pemandangan ini hanya tersenyum mendengar teriakan Onomi.

“Yakoba, kita ikuti mobil itu!” pinta Onomi.

“Ko mo bikin apa?” tanya Yakoba.

“Kelakuan buruk mereka harus kitong hentikan. Sampah yang mereka buang ke jalan seperti tadi bakal berakhir di danau. Ko ingat, sa tinggal di tepi danau,” Onomi meremas jari-jari tangannya.

“Bagaimana kalau kita ambil foto nomor mobilnya saja?”

Seperti ada yang memberi aba-aba, mereka serentak mengambil foto nomor mobil yang ada di depan mereka.

“Sa mau unggah foto ini di sa pu Facebook. Sa mau tulis cerita tentang mobil mewah yang mengotori jalan ini,” kata Onomi.

“Mungkin itu lebih bijak. Kalau kitong kejar mobil itu lalu tegur mereka, pasti mereka malah marah kitong. Sa sedang malas ribut deng orang.” Yakoba menimpali.

Onomi mengangguk menyetujuinya.

“Sa juga mau bagi di sa pu Facebook,” lanjut Yakoba.

“Sa pikir, untuk dapatkan mobil mewah pasti mereka dulu bersekolah tinggi, lalu dapat pekerjaan bagus, dan lantas bisa beli mobil mahal. Tapi nyatanya kelakukan mereka seperti orang tra sekolah.” Omoni mencurahkan kekesalannya.

Belum selesai dengan masalah mobil, tidak lama kemudian mereka melihat dua orang pengendara motor yang membuang plastik minuman ke selokan di pinggir jalan. Mereka, seusia Martha, tampak tidak merasa bersalah berbuat begitu. Hal itu membuat Onomi berang dan Yakoba pun terpancing.

Yakoba tancap gas mengejar motor itu dan menghentikannya.

Onomi langsung membentak anak muda bertubuh kurus itu. “Hai ko tadi buang apa di selokan? Ko tahu akibatnya kalau selokan penuh sampah, sampah plastik pula!”

“Ko masih ingat banjir tahun 2019 di Jayapura yang menyebabkan ratusan orang meninggal? Salah satu penyebabnya ya sampah itu,” tambah Yakoba.

“Sekarang ambil sampah tadi dan bawa pulang!” perintah Onomi tidak main-main.

Tampak dua anak muda itu enggan untuk melakukannya. Namun, Onomi dan Yakoba memasang wajah marah dan setelah melirik Onomi yang berperawakan tinggi dan tegap, keduanya melakukannya dengan ogah-ogahan. Mereka tampak bingung menentukan sampah yang barusan mereka buang karena banyak sampah plastik di selokan itu.

“Angkat saja semua sampah yang ko bisa!” bentak Onomi lantang.

“Nih, ko kumpulkan di tempat ini!” Yakoba melemparkan tas belanja yang diambil dari mobilnya. Suaranya keras menghardik.

Dua pemuda dengan perawakan kerempeng seperti pecandu obat terlarang gemetar ketakutan. Mereka buru-buru mengambil tumpukan sampah plastik dan memasukkannya ke dalam tas yang dilemparkan oleh Yakoba.

“Ingat ya bawa pulang sampah itu, jangan ko ulangi dan bilang ko pu teman-teman untuk tidak melakukan yang sama.” Onomi mengingatkan mereka dengan dengan raut wajah garang.

Onomi dan Yakoba bertukar tatapan, ada rasa puas di sana.

***

Unggahan foto mobil dengan nomornya, dan cerita tentang pengendara mobil dan motor yang mengotori jalan, ramai di dunia maya. Banyak pula yang membagikannya ke orang-orang lain. Muncullah berbagai tanggapan, yang sebagian besar mengecam perbuatan mengotori jalan itu. Menariknya, ada berbagai macam cerita serupa. Kisah tentang anak-anak yang membuang sampah di jalan dan selokan, juga dibagi oleh pengguna jaringan daring pribadi lain.

Akhirnya, ada keberanian dari orang-orang yang peduli kepada kelestarian lingkungan untuk memunculkan warta-warta pencemaran alam kepada masyarakat. Muncul pula ungkapan dari beberapa tokoh masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan terutama danau yang sudah parah limbahnya.

Atas tindakannya itu, Onomi dan Yakoba tidak “selamat” begitu saja. Telepon dan jaringan pemberitaan daringnya penuh dengan makian dan umpatan yang menuduhnya mencari ketenaran dengan memunculkan cerita di perangkat daring ini.

Umpatan dan makian itu tidak menggentarkan kedua gadis pemberani itu, tetapi justru membuat mereka semakin tak terhentikan.

“Kita sudah terlanjur terjun ke dalam air, Putri Duyung. Mari kita berenang menyeberang sekalian,” kata Yakoba suatu hari.

“Siapa takut, Cenderawasih, ko tahu sa to, apa yang sudah sa mulai akan sa akhiri dengan baik.” Onomi menanggapi.

Onomi dan Yakoba dahulu memang terkenal sebagai mahasiswi pemberani. Sebelum menjadi juara renang tingkat provinsi, Onomi sering gagal memenuhi batas waktu yang ditentukan pelatihnya. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya latihan. Yakoba sudah terbiasa keluar masuk hutan untuk meneliti cenderawasih. Keganasan hutan yang biasa dihadapinya jauh lebih berat jika dibandingkan dengan umpatan dan makian orang di jaringan pemberitaan daring pribadinya.

Tidak lebih dari sebulan setelah heboh cerita dan berbagai tanggapan orang di jaringan pemberitaan daring, Onomi dan Yakoba diundang oleh Sekolah Adat Sentani yang telah mengumpulkan puluhan anak muda. Ternyata kegalauan Onomi dan Yakoba tentang sampah plastik di danau juga menjadi kekhawatiran para pengurus Sekolah Adat.

Onomi dan Yakoba diminta kepala Sekolah Adat untuk memimpin pertemuan itu. Banyak gagasan baik yang lahir dari pertemuan itu. Dengan tidak banyak menyita waktu, sekian hari kemudian di tempat umum di sekitar danau dan jalan raya mulai berdiri papan-papan dengan tulisan himbauan seperti Cintai Lingkunganmu, Bawalah pulang sampahmu, Danau bukan tempat sampah, Hanya orang bodoh yang membuang sampah sembarangan, dan tulisan-tulisan lain yang senada.

Yang menarik, anak-anak muda dengan suka rela bergabung dan menamai kelompok mereka dengan Anak Muda Penjaga Danau. Mereka bersepakat untuk memberi pelajaran mengenai pentingnya lingkungan yang bersih dan teguran kepada orang-orang yang membuang sampah sembarangan. Mereka juga melakukan kegiatan bersih-bersih danau dan lingkungannya.

Melihat bersemangatnya gerakan masyarakat ini, Onomi dan Yakoba tersenyum puas. Mereka sadar bahwa memang tidak mudah menertibkan orang-orang yang sudah terbiasa dengan kebiasaan buruk. Tetapi paling tidak, diharapkan gerakan anak muda ini akan membuat orang lain yang suka membuang sampah sembarangan menjadi malu. Menjadikan orang malu membuang sampah semaunya memang butuh waktu yang lama.

“Cenderawasih, kalau nanti danau sudah bersih, sa bayangkan ikan-ikan asli Sentani akan keluar dari persembunyiannya ⸺ kandei, kayou, kahe, dan yang lain. Sa jadi ingat dulu sa pu Bapak melantun tentang aneka ragam ikan danau.” Onomi bercerita sambil mengenang mendiang bapaknya.

Onomi lalu melantun dengan merdunya.

Igwabun neiboi manende (mendekati sepanjang wilayah Igwa)
Ebaeit yo miyae kandei holo ereijae ereyole (perempuan dari
kampung Ebaeit melihat kawanan ikan kandei)
Thaibun neiboi manende (mendekati sepanjang wilayah Thai)
Hayaere yam miyae kahe holo haleijae haleyole (perempuan dari kampung Hayae   melihat kawanan ikan kahe)

Yakoba terpana, dia tidak menyangka bahwa Onomi mampu melantun dalam bahasa Sentani dengan fasihnya.

“Yakoba ko tahu,” kata Onomi tiba-tiba. “Kalau danau kotor, jangankan sa, kandei pun enggan kembali.”

 

*****

 

 

The Homeless Kandei

Yuni Utami Asih adalah seorang pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mulawarman sejak tahun 2005 yang juga merupakan tempatnya menuntut ilmu pada tingkat sarjana. Masa kecilnya akrab dengan buku cerita anak yang biasa dipinjamkan bapaknya dari perpustakaan keliling. Pada masa SMA dia jatuh cinta dengan novel terjemahan Erma dalam Bahasa Indonesia dari The Count of Monte Cristo (Dunia Pustaka Jaya, 1992). Dia melanjutkan pendidikan jenjang magister dan doktor di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Pada tahun 2011 dia berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke Universitas Leiden selama 2 bulan untuk pendalaman tugas akhir program doktor dengan biaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain mengajar, dia juga beberapa kali menjadi narasumber dalam pelatihan tentang pembelajaran Bahasa Inggris.

Yuni Utami Asih: kelasyuni@gmail.com

***

 

The Homeless Kandei

The morning sun peeking through the cracks in the boarded walls of her official residence in the interior of Papua woke Onomi. She threw off the blanket that had covered her all night. She had to rush to the Wamena airport. She was grateful for getting about a month’s holiday after completing her two-year teaching assignment at a junior high school in Tiomneri, Lanny Jaya.

Onomi quickly tied her curly hair with a blue ribbon. Some loose fringe accentuated her beauty. Without having breakfast, she ran down the hill to the house of the principal, who happened to have to go shopping for school supplies in Wamena. Onomi greeted the children playing in front of the honai yard, the traditional house of the Lanny tribe.

She remembered her student proudly telling the story of honai in front of the class. The honai was a windowless 9.8 feet circular wooden plank house. The student had told the class that the round roof and the floor of the house were made of dried grass. The residents made a fireplace in the honai to keep them warm.

“Be careful, ma’am! Don’t run, you’ll fall!” the children exclaimed.

Onomi just smiled broadly. Soon, she arrived in front of the principal’s house.

“Hurry up, Onomi! What took you so long?” the principal reprimanded her.

“Sorry, ma’am,” Onomi said, biting her lower lip ⸺ something she did when she felt nervous and guilty.

***

After fifty minutes of traveling by a rental car, they arrived in front of the Wamena airport. Onomi thanked the principal for giving her a lift.

June was the end of the semester school holiday season and the airport was crowded.

After half an hour of waiting, Onomi boarded the plane. She was grateful to get a window seat which allowed her to enjoy the landscape between Wamena and Jayapura.

The beautiful, bluish green Maoke mountain range with its prominent Trikora peak … the Baliem and Membramo rivers coiled like a pair of giant, sleeping snakes.

After forty minutes of flying, Onomi saw Mount Dobonsolo and the beautiful, clean and calm Lake Sentani with its dozens of islands. Several boats owned by local residents were busily transporting passengers between islands. Her hometown village, Asei Island, seemed more densely populated. Suddenly she burst into tears expressing her deep longing. “A lot has changed since I left two years ago” Onomi muttered. She was excited to visit her mother in Asei, one of the nineteen islands in Lake Sentani, Jayapura.

After the two-propeller plane landed perfectly, Onomi anxiously disembarked. She wanted to get home quickly, but she first had to jostle other passengers who also wanted to leave of the airport.

After managing to escape from the crowd, Onomi immediately ran to the motorcycle taxi stand at the corner of the airport. Feeling hot, she took off her jacket. That day, the temperature in Jayapura reached 82.4° F. After living for two years in Tiomneri she was used to 59° F.

After almost half an hour’s journey by motorbike taxi, Onomi arrived at the Kalkhote Pier, on the shore of Lake Sentani. She was happy seeing her village from the end of the pier, until she saw piles of plastic waste around the pier. Empty water bottles were bobbing wildly on the lake’s surface. Is the lake getting shallower too? she wondered. Through the murky water she could still see sandals, shoes and empty cans lying at the bottom of the lake. Her tears started to flow again and turned into uncontrolled sobbing. She felt like last year when she failed to win the 2021 gold medal in the swimming competition at Pekan Olahraga Nasional (PON), the National Sport Week, held in Jayapura. However, this time her crying was also filled with anger at the people who had made Lake Sentani look like a giant dump. “I’ve only been away for two years, and the lake has changed like that,” she cried out amidst her tears, holding her head. The lake in front of her was not as beautiful as it seemed from the air.

“Onomi! Onomi! Come on, let’s go home.” Onomi heard her mother calling from her canoe near the dock.

Onomi gasped and tried to hide her tears. She jumped into the canoe and hugged her mother hard only to break out again in tears against her mother’s chest who was surprised at her daughter’s unusual behavior.

***

When Onomi arrived home, Martha, her favorite sister hugged her tightly.

“Martha, you’re so tall! Now, you’re taller than me!” Onomi exclaimed as she studied Martha from top to toe.

“Omi,” Martha called Onomi by her favorite nickname. “Let’s eat first, I cooked. “I’m sure you’ll like my cooking,” Martha continued confidently.

Onomi smiled proudly. She was happy that now her little sister could cook well. As a child, Martha often gave their mother headaches. Martha was too lazy to get up early, take a shower in the morning, or do the housework. Now she had grown up and was even able to cook a meal.

They ate together heartily. Martha had prepared taro and sweet potatoes, fried fish in tomato sauce, sauteed kale, papaya flowers, and Onomi’s favorite chili sauce. Finally, Onomi could enjoy the traditional Sentani food. She ate with great gusto. In Tiomneri, she was busy teaching and did not pay too much attention to her meals .

“Why didn’t you cook kandei? Why did you cook lohan and gastor instead?” Onomi asked. She had imagined eating kandei, her favorite fish. Kandei not only tasted delicious, the bones are easily separated from the meat. Onomi used to eat the fish since she was a child. She could not find it anywhere else. The gastor or gabus Toraja and the lohan or “red devil” were predators of the native Sentani fish.

“Now we can’t get kandei easily,” Martha explained. “Yesterday I fished for hours but I only caught lohan and gastor. “Mom said maybe the kandei are in the middle of the lake, but I don’t dare to go fishing there ⸺ I’m afraid of the waves.”

“Mom, let’s go for a walk around the lake tomorrow morning!” Onomi asked suddenly as if she did not pay attention to Martha’s story.

“Aren’t you tired?” her mother asked.

“No, I’m not.” Smiling, Onomi answered.

“I can’t come, I have running practice,” Martha interrupted. “I’m in a race next week in Manokwari.

***

The morning, Onomi had been waiting for, finally arrived. She always liked going around the lake. Her father used to take her on his boat. Onomi’s father and his team often won gold medals at PON events. Before he died, he was Papua’s main rowing coach.

“Onomi, hurry up!” her mother shouted from the boat under their stilt house. Residents on Asei Island usually built stilts houses around the island. They moored their boat under their houses.

“Yes, Mom!” Onomi shouted. She ran and jumped into the boat.

Her mother deftly rowed the boat westward. Like yesterday, Onomi saw plastic waste floating in the lake. She tried to ignore it, but it kept bothering her. The fact that irresponsible people kept littering saddened her.

“Mom, why is there so much rubbish in the lake now?” Onomi broke the silence and continued, “Before I went to Tiomneri the lake was still clean. At least there wasn’t as much trash.” She stared blankly at the waves. Anger and anxiety warred in her mind. Suddenly she punched the surface of the lake. The splash of cold water slightly cooled her anger.

“Onomi, people not only throw trash into the lakes but also on the streets. When it rains, rubbish enters the gutters and river then ends up in the lake. Now the lake has become a dump.” Onomi’s mother took a deep breath before continuing, “The people who live by the lake are the victims. Lake Sentani has become shallow, the water is dirty, the grass is dead. The fish no longer exist near our houses. It’s so difficult for us. If you want to get water to drink, you have to go to the middle of the lake. That’s the only place where the water is clean.”

“When Dad was still alive, he used to be very strict towards people who littered the lake,” Onomi proudly recalled her father. Onomi’s father was a highly respected tribal chief. Onomi still remembered when she was little, her father always reminded her not to throw even the smallest piece of rubbish into the lake. She suddenly recalled him saying, “God will be angry.”

“Mom, Dad used to say that God gets angry if people throw rubbish into the lake, is that true?” Onomi asked the question but she already knew the answer.

“Yes, that’s what the old people used to say.” her mother explained and continued, “If God is angry, he won’t send fish to the lake.”

As a graduate of Cenderawasih University who studied natural and environmental sciences, Onomi smiled. She began to draw her conclusions that what Sentani parents taught their children was their way of protecting nature. The ancestral environmental knowledge had saved the Sentani people from natural disasters and famine.

“Do you know Onomi, the kandei now are rarely found in lakes. Kandei cannot live in dirty waters – they will definitely die.” Her mother explained. She once had said that the kandei, often referred to as lake snapper, was an indigenous fish of Lake Sentani.

“So the fish went to a cleaner place?” Onomi asked.

“Yes. So it’s not because the gods are angry, but because humans cannot keep the environment clean. Fish, such as kandei, that like clean environments are disappearing or moving,” her mother answered.

After more than an hour of rowing, they arrived in the middle of the lake. Onomi was amazed to see several cranes perched in neat rows on floating logs. Undisturbed by their arrival, the birds continued to casually swing on the tree trunks that swayed on the waves of their boat. Some cranes seemed to be playing. If the birds lived in the interior of Asei Island, they would have been the target of children’s slingshots. Onomi thought.

Onomi clearly saw the difference between the conditions at the edge of the lake and its center. Suddenly she was determined to do something to save the lake from rubbish and make again it a safe home for animals and plants. However, she did not know exactly what to do.

***

After a week since her arrival on Asei Island, Onomi woke up to her cell phone ringing. Yakoba, her best friend in college, had invited her to visit the city of Jayapura. After showering and having breakfast, Onomi asked her mother who was busy feeding their pigs. “Mama, can I borrow your boat? I want to go to the pier. Yakoba will take me for a walk in Jayapura”.

“You can use it, I can borrow Martha’s boat if necessary. Remember, to tie the boat so it won’t drift!” her mother smiled.

Onomi knew her mother was teasing. She had often forgotten to tie the boat and it had drifted on the lake. “Okay Mom, I’ll remember,” she answered quickly.

After rowing for about fifteen minutes, Onomi arrived at the dock. She saw Yakoba’s white car under a ketapang, an Indian almond tree. After tying her boat to a tree trunk on the edge of the lake, she ran towards Yakoba’s car.

Yakoba opened the car. She laughed showing rows of white teeth which alleviated her beauty. “Good morning, Mermaid, you look beautiful this morning.”

Onomi laughed happily. It had been a long time since anyone had called her Mermaid, her nickname since 2016, when she started preparing herself to represent Papua at the PON in 2021.

“Cenderawasih, I missed you.” Onomi looked radiant. Her round eyes shone beautifully. Yakoba was nicknamed the Cenderawasih because she was beautiful and paid special attention to the life of the cenderawasih. These birds were starting to become an endangered species in Papua. She was now a researcher at the World Wildlife Fund Jayapura, which was headquartered in Switzerland.

“I missed you too, Mermaid,” Yakoba said. They laughed heartily.

After two years in Tiomneri, Onomi was surprised to notice how polluted the air of Jayapura was. Contrary to the quiet and clean Tiomneri, Jayapura was also crowded with cars and motorbikes. She then missed the atmosphere of Tiomneri.

Onomi looked at the hustle and bustle of the city she had not seen for two years. Suddenly, a plastic bottle flew from the right window of a luxury car in front of them. Then, from the left window flew a second bottle and a large plastic bag that seemed to contain food waste. Surprised, Onomi shouted. She could not believe what she saw.

Familiar with the sight, Yakoba only smiled when she heard Onomi scream.

“Yakoba, let’s follow that car!” Onomi shouted.

“Why do you want to do that?” Yakoba questioned.

“We must stop their bad behavior. The rubbish they throw on the road will end up in the lake. Remember, I live by the lake.” Exasperated, Onomi clasped her head.

“What if we just take a photo of the license plate?”

As if someone had commanded them, they simultaneously took photos of the car in front of them.

“I want to upload the photo on my Facebook. I want to write a story about the luxury car driver littering the road,” Onomi said.

“Maybe that would be wiser. If we chase the car and then scold them, they will definitely get angry with us. I just don’t want to fuss with people.” Yakoba chimed in.

Onomi nodded in agreement.

“I also want to share it on Tiktok,” Yakoba continued.

“I assume they are well educated and have a good job so they have a luxury car. But in fact, they act like uneducated people.” Onomi said, frustrated.

They were hardly finished with the car problem, when they saw two motorbike riders throw plastic bottles into the ditch on the side of the road. The cycelists who were of Martha’s age did not seem to feel guilty about doing that. It made Onomi and Yakoba angry.

Yakoba floored the gaspedal and chased the motorbike.

After they stopped it, Onomi immediately shouted at the thin young men. “Hey, what did you throw in the gutter? Do you know the consequences of gutters full of rubbish, especially plastic waste!”

“Do you still remember the 2019 flood in Jayapura that caused hundreds of people to die? One of the causes was trash,” Yakoba added.

“Now pick up your trash and take it home!” Onomi scolded them in earnest.

The two young people seemed reluctant. However, after they took in Onomi and Yakoba’s anger and Onomi’s tall and well-built posture, they unwillingly set to the task. There was a lot of plastic rubbish in the gutter and they seemed confused about which was theirs.

“Just pick up all the trash you can!” Onomi snapped.

“Put all the garbage in here!” Yakoba shouted harshly and threw a shopping bag she took from the car at them.

The two skinny young men trembled with fear. They hurriedly picked up the pile of plastic waste and put it in the bag.

“Remember, take the trash home, don’t litter anymore and tell your friends not to do the same thing.” Onomi reminded them, fiercely.

Satisfied, Onomi and Yakoba glanced at each other.

***

Uploads of photos of cars with their license numbers, and stories about car and motorbike drivers who polluted the roads, went viral. Most of the responses condemned the act of littering. Interestingly, users of other online networks shared many kinds of similar stories about teenagers throwing rubbish on roads and in ditches.

Finally, environmentalist mustered the courage to express their concerns about environmental sustainability. They introduced the public to informative articles about pollution. Several community leaders campaigned the importance of maintaining the cleanliness of the environment, especially the lakes which had serious waste problems.

However, Onomi and Yakoba suffered some consequences of their actions. Many people insulted and cursed them on the phone and accused them of using online networks to seek fame.The curses and insults did not deter the two brave girls, but instead made them even more enthust.

“We’ve started it, Mermaid. Now, let’s finish it,” Yakoba said one day.

“Bring it on, you know I always finish what I start.” Onomi responded.

Onomi and Yakoba were once known as brave students. Before becoming a provincial swimming champion, Onomi often failed to meet the time limits set by her coach. She was used to the rigors of training.

Yakoba was used to going in and out of the forest to research the cendrawasih. The hardship she usually had to face in the forest was much more compared to the swearing and insults of people on her online network.

Less than a month after the story went viral and various people’s responses online, the Sentani Traditional School invited Onomi and Yakoba for a meeting. The administrators of the school had gathered dozens of young people who shared their concern about plastic waste.

The head of the school asked Onomi and Yakoba to lead the meeting. Many good ideas emerged. A few days later, signs with messages such as Love Your Environment, Take your trash home, Lakes are not rubbish bins, Only stupid people throw away trash carelessly, and other similar expressions were posted.

Interestingly, the young people volunterily joined and named their group the Young Guardians of the Lake. They agreed to educate people about the importance of a clean environment and warned against littering. They also cleaned the lake and its surroundings.

Onomi and Yakoba were satisfied with the enthusiasm of the community movement. They realized that it was not easy to discipline people who were used to bad habits. Although it took a long time, at the very least the youth movement would make people feel embarrassed to litter.

“Cenderawasih, I imagine the native Sentani fish ⸺ kandei, kayou, kahe, and others will come out of hiding when the lake is clean. I remember that my father used to sing about various kinds of fish in the lake.” Onomi said as she recalled the memory of her late father.

Onomi then sang melodiously:
          Igwabun neiboi manende (approaching along the Igwa region)
          Ebaeit yo miyae kandei holo ereijae ereyole (a woman from Ebaeit village saw      schools of kandei)
          Thaibun neiboi manende (approaching along Thai territory)
          Hayaere yam miyae kahe holo haleijae haleyole (women from Hayae village saw a school of kahe.)

Yakoba was stunned, she did not expect that Onomi could sing fluently in the Sentani language.

“Yakoba do you know,” Onomi suddenly said, “if the lake is dirty, not only I, even the kandei will be reluctant to come back.”

*****

Choose Site Version
English   Indonesian