Tekan tombol untuk:

Anak Darah

Noce Aimoly dilahirkan pada pertengahan tahun 1997. Selang setahun sejak kelahirannya, perselisihan kemanusiaan terjadi di Maluku. Masa kecilnya dihabiskan di wilayah pengungsian. Pada 2022 dia pertama kali menulis dan menjuarai Sayembara Penulisan Naskah Cerita Anak.

Sayembara itu diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku. Naskah yang ditulisnya berjudul Burung Kakatua.

Majalah Fuli terbitan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Provinsi Maluku menerbitkan karyanya: Menogok sagu menggunakan peralatan tradisional di dusun Nusa Ina (2024), Bobi, si bocah petualang (2023), Pranala kerajaan Nunusaku dan sebutan sungai basi bagi masyarakat Patahuwe di Pulau Seram (2023).

Noce mengikuti berbagai kegiatan tulis-menulis sejak 2018 sampai sekarang. Saat ini dia bekerja sebagai tenaga pengajar di SMA Xaverius Ambon.

Pertanyaan terbaik dari Noce: Adakah siasat jitu yang bisa penulis bagikan untuk menentukan alur di dalam penulisan cerpen sehingga cerpennya menjadi sangat hidup bagi pembacanya?

Noce dapat dihubungi melalui surel: noceaimoly12@gmail.com

***

 

Anak Darah

 

Pagi-pagi buta, tidak dapat kulihat apa pun di hadapanku. Listrik padam. Bermodalkan naluri, aku meraba loga-loga, alat pancingku ⸺ tali senar yang direkatkan pada sepotong buluh. Kuayunkan langkah ke tepi pantai Pulau Seram, kuturunkan perahu kecilku, dan kudayung membelah lautan.

Rumah kami cukup dekat dengan Pantai Nusa Ina di Pulau Seram. Tidak heran setiap harinya kami makan ikan-ikan segar dari hasil memancing setiap pagi buta. Kumelaut saat subuh sampai matahari menyingsing dari ufuk timur, setelah itu menyandarkan perahu di bibir pantai dan pulang ke rumah. Begitulah hari-hari kujalani.

Sebelum kepergian Ibu ke alam baka, pernikahan kami tidak direstuinya. Dua hari sebelum kepergiannya, dia seakan diberi kekuatan oleh Sang Khalik. Pasalnya selama tiga tahun masa penderitaannya, dia tidak banyak berbicara dan bergerak, sampai-sampai bagian belakang tubuhnya seperti direkatkan dengan kasur. Sebelum kepergiannya, Ibu menuturkan silsilah keluarga kami dan keluarga Elis dari keturunan pertama sampai kami berada di Pulau Seram ini, pulau yang sering disebut sebagai “bumi para raja-raja berdiam.” Perkara silsilah inilah yang menjadi alasan bagi Ibu untuk tidak merestui aku dan Elis menikah!

Sambil mendayung perahuku, kuingat kembali ucapan ibuku bahwa Elis adalah bagian dari pela atau saudaraku. Ternyata, eyang Elis dan kakekku merupakan saudara sekandung. Ibu mengakhiri penuturannya dengan berkata, “Tak sepantasnya kamu menaruh hati pada Elis apalagi sampai menikahinya. Kalian berdua memang tak tinggal sekampung di sini, tapi kalian saudara sedarah dari satu silsilah keluarga.”

Sewaktu Ibu masih sehat, dia pernah bercerita. Konon, sekitar abad ke-tiga dan ke-empat sebelum Masehi, sudah berdiri kerajaan tua bernama Nunusaku. Kerajaan ini diyakini sebagai asal-usul semua masyarakat adat yang ada di Maluku. Hancurnya kerajaan itu terjadi pada akhir abad ke-empat sebelum Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya parang serta tombak yang terbuat dari besi yang ditemukan dan dibuktikan terbuat pada zaman itu. Kerajaan itu memiliki lambang berupa pohon beringin tua, dikarenakan di kerajaan itu dahulu banyak terdapat pohon beringin yang dianggap sebagai pelindung.

Di Kerajaan Nunusaku terjalin hubungan yang sangat erat antara masing-masing mata rumah, keluarga dekat dan besar, sehingga kehidupan berlangsung begitu damai dan tenteram. Tidak ada ratapan karena kesedihan atau kertakan gigi karena kemarahan, sebab masyarakat hidup dengan saling mengasihi dan membantu.

Raja Kerajaan Nunusaku berwenang untuk menetapkan saat pelaksanaan tari adat maro-maro. Tarian maro-maro berlangsung menjelang masa panen sagu, padi, singkong, ubi, jagung, dan hasil alam lainnya. Masyarakat di kerajaan itu meyakini di bulan ke-enam, menjelang datangnya bulan purnama, semua hasil alam telah matang sehingga siap dipanen. Masyarakat lalu membawa sebagian dari hasil panen itu kepada sang raja di baileo, rumah adat masyarakat Maluku. Kemudian mereka menari maro-maro selama sehari-semalam untuk mensyukuri berkat-berkat alam itu.

Jadwal perayaan ditetapkan oleh raja Kerajaan Nunusaku. Dia memerintahkan para kapitan, pemimpin mata rumah, untuk memberitahukan kepada para kerabatnya mengenai penetapan. Begitu masyarakat mendapatkan pemberitahuan itu, mereka lalu berarakan menuju pelataran baileo. Para perwakilan setiap mata rumah tidak hanya menghadiri acara, mereka juga bertugas untuk menari maro-maro di pelataran istana Kerajaan. Pada malam perayaan, Putri Haniwele, yang merupakan putri semata wayang sang raja, turut menghadiri acara hikmat itu. Sang putri sangat terkenal dengan paras wajahnya yang cantik nan jelita. Pada malam perayaan seakan langit dan bulan ikut merayakan tarian maro-maro yang diperagakan sang putri dan para kapitan beserta seluruh rakyat.

Rakyat menari mengelilingi Putri Haniwele. Hati sang raja tentu sangatlah senang melihat rakyatnya bersuka ria dan bersorak-sorai. “Mereka pasti sangat berbahagia malam ini,” kata sang raja kepada kapitan pengawalnya. Makin larut malam kelompok penari makin bersemangat, dan makin banyak warga masyarakat yang ikut bergabung menari. Mereka berjingkrak menari mengelilingi sang putri. Melihat keberingasan mereka, hati kecil sang raja gelisah di sela kebahagiaannya.

Dikelilingi begitu banyak penari, Putri Haniwele kepanasan dan napasnya tersengal-sengal. Penari-penari itu tidak menghiraukan, mereka terus saja menari. Akhirnya, sang putri yang berada di tengah lingkaran itu jatuh pingsan. Para penari maro-maro yang makin beringas menari tidak melihatnya. Mereka terus menari dan akhirnya ada yang tanpa sengaja menginjak putri itu hingga dia tewas di tempat.

Sang raja yang menyaksikan dari atas panggung baileo kematian putri satu-satunya dengan cara diinjak berteriak, “Berhenti menari!”

Semua penari, yang tengah dirasuki kegembiraan berlebihan, merasa heran dan mengarahkan pandangannya ke rajanya.

Sang raja lalu berlari ke tengah para penari. Dia angkat putri kesayangannya seraya lantang bersumpah. “Demi alam semesta, barang siapa yang tega membunuh putri semata wayangku ini, dia tak akan kubiarkan hidup,” teriaknya.

Sang raja marah besar, kemurkaan yang menimbulkan kekacauan. Sesama warga masyarakat mulai saling menuduh. Dan, tidak ada yang mau mengaku.

Sang raja lalu memerintahkan para kapitan suruhannya untuk membunuh setiap orang yang malam itu ikut menari maro-maro di pelataran baileo.

Cerita Ibu tentang Raja Nunusaku dan Putri Haniwele masih kuingat dengan baik. Sambil menurunkan tali senar aku masih ingat cerita Ibu tentang banyaknya penduduk yang berlarian meninggalkan kerajaan. Mereka berlari berpencaran meninggalkan Pulau Seram, berlayar ke Saparua, Pulau Ambon, Haruku, bahkan ada yang ke Masohi, utara Pulau Seram, dan sekitarnya. Orang-orang yang semula berdiam di kerajaan itu pergi berpencar berdasarkan mata rumah masing-masing. Sampai sekarang di Maluku terdapat pulau-pulau yang didiami marga-marga tertentu yang merupakan kumpulan orang-orang yang dulu pergi berpencaran.

Hubungan pela mulai terjalin erat saat masyarakat mulai menyadari bahwa mereka adalah saudara dekat yang dulunya mendiami suatu kerajaan sebelum kerajaan itu hancur. Mereka semakin menyadari bahwa mestinya di antara mereka tidak perlu saling memusuhi. Namun, tindakan saling memusuhi bahkan membunuh antara satu dengan lainnya ⸺ karena masalah penguasaan wilayah pertanian, perburuan, atau pemancingan ⸺ sudah berlangsung sejak nenek-moyang.

Ketika orang-orang Maluku menyadari bahwa mereka dulunya berasal dari satu kerajaan yang sama, mereka pun mengangkat sumpah untuk mendidik keturunannya supaya saling memaafkan atas kesalahan yang telah mereka lakukan. Itulah yang dinamakan adat pela gandong, adat saudara. Adat pela ini sangat dipatuhi oleh orang-orang Maluku. Mereka sangat takut melanggarnya. Jika kedapatan ada yang melanggar isi sumpah para leluhur, mereka akan mendapat malapetaka besar, baik menimpa dirinya sendiri ataupun keturunannya.

Ombak menerpa badan perahuku. Terngiang lagi kata Ibu, “Dahulu, pada zaman awal Orde Baru berkuasa, sebelum perkampungan Patahuwe pindah ke wilayah pesisir, para leluhur mendiami wilayah pegunungan Takukulah. Kehidupan mereka berlangsung di situ. Berburu dan bertani, adalah pekerjaan mereka sehari-harinya. Mula-mula kampung kita ini satu wilayah dengan kampung orang-orang di Takukulah, kampung tempat Elis tinggal.”

Ingatanku terhubung dengan cerita Ibu dulu. Sekarang Ibu telah pergi, tetapi nasihat-nasihatnya masih hangat di telingaku, menusuk isi kepalaku, mengalir deras diantarkan darah ke hati, memompa jantung yang menyebabkan berdebar tidak karuan. Elis sudah tiga bulan menjalani masa kehamilannya. Rencananya seminggu setelah mengetahui Elis hamil, aku akan melaporkannya kepada Ibu. Niat baik itu terhalang ketika seminggu berikutnya kami mendapatkan pemberitahuan dari kakak Elis bahwa aku dan Elis bersaudara. Jantungku semakin berdebar. Bagaimana kalau Ibu mengetahui hal ini? Akhirnya aku menyimpan hubungan kami rapat-rapat sambil berharap tidak ada yang mengetahuinya.

Sebelum kepergian Ibu, kakak Elis menekankan untuk tidak melanggar titah yang dipesankan oleh para leluhur. Dia menyampaikan ancaman bahwa keluarga dari pasangan yang melanggar adat akan terkutuk kehidupannya ⸺ keturunannya akan lenyap secara aneh dan tidak akan ada yang mewarisi harta bendanya. Dia, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah orangtua Elis, lalu memintaku untuk mengizinkan Elis tinggal bersamanya di rumahnya – sebagai langkah awal pemisahan kami sebagai sepasang kekasih.

Pada pertengahan bulan April 1992 pikiran membawa Elis kawin lari itu muncul. Ya, tidak ada jalan lain, selain membawanya kabur dari rumah kakaknya di Takukula. Setelah masa empat puluh hari perkabungan meninggalnya Ibu, jiwa ibuku tidak lagi mengembara di bumi dan menyaksikan hubunganku dengan Elis. Roh Ibu sudah tenang di surga.

Sebelum masa perkabungan Ibu selesai, aku menulis surat pada Elis. Kekasihku, aku berharap kau baik-baik saja. Saat ini batinku benar-benar gelisah tak tahu lagi harus berkata apa tentang cara mengatasi ujian yang sedang kita hadapi. Aku berharap kau memahami dan menyetujui pendapat konyolku ini. Sehabis masa perkabungan ini, aku akan mengendarai sepeda motor menuju kampungmu. Jika terdengar ketukan tiga kali di jendelamu pada waktu subuh, aku berharap kau membuka jendela dan menjenguk ke luar. Siapkan pakaianmu. Kita akan pergi jauh. Aku berharap kau memahaminya dan mengikuti arahanku nanti. Salam manis dari Lois, kekasihmu.

Hari perkabungan telah usai. Saat penculikan tiba. Ayam-ayam kampung beterbangan mencari tempat tidurnya yang nyaman pada rerantingan pepohonan yang tumbuh di sekitar pekarangan rumah. Kulipat beberapa potong baju dan celana ke dalam tasku. Tidak lupa kubawa balsam. Aku dapat mengoleskannya pada bagian dada dan pinggul agar tubuhku hangat bila nanti pada perjalananku menuju Takukula angin kencang menghantamku. Tidak seorang pun di rumah sempat membaca gerak-gerikku.

Aku mendorong sepeda motor tuaku sejauh tiga puluh meter dari rumah. Kuputar ke kanan kunci motor. Kuayunkan beberapa kali kakiku sampai akhirnya mesin motor berbunyi.

Perjalanan pun kumulai. Berbekal kenekatan kukendarai motor itu melewati lebatnya hutan demi hutan. Di tengah Hutan Sapalewa terdapat banyak sekali pepohonan beringin. Selain rimbunnya pohon beringin, terdapat perkebunan cengkih dan kelapa milik masyarakat setempat. Tidak sedikit pun ada rasa takut, bimbang, atau pun khawatir akan perjalanan ini. Cinta kuat menarikku menyusuri jalanan bebatuan keluar-masuk hutan demi hutan selama delapan jam. Malam itu, hanya ada satu hal dalam pikiranku ⸺ menculik Elis.

Waktu menunjukkan pukul tiga dini hari. Dengan sigap penuh kehati-hatian kuketuk jendela kamar Elis. Aku mendengar hembusan gelisah napas dan suara Elis, “Lois?”

Dengan gugup kujawab, “Tolong, cepat buka jendela.”

Rupanya Elis telah membaca dengan jelas nada suaraku. Dia membuka jendela.

Aku melompat masuk ke dalam kamarnya, membereskan beberapa barang bawaannya, dan melemparkannya keluar melewati jendela kamar. Lalu kami berdua dengan cepat keluar melewati jendela sebelum ayam berkotek menandakan hari baru telah tiba dan membangunkan seisi rumah.

Tidak seorang pun dari anggota keluarga kakak Elis menemukan jejak langkah kami berdua. “Aku hendak membawamu pergi jauh dari sini, ke arah barat tempat matahari terbenam,” kataku saat kuhidupkan mesin motor.

Elis hanya diam dan mengangguk menuruti kemauanku.

Kembali kukendarai motor tuaku. Tidak ada lagi desiran angin subuh yang dingin. Elis menghangatkan tubuhku dengan pelukan dan kasihnya yang membara.

Di perjalanan kusampaikan kepada Elis bahwa kami berdua akan tinggal di Lumoli bersama sahabat dekatku sewaktu sekolah dulu. Welem, sahabatku itu, tidak mengetahui kedatangan kami ini. Sesampainya di sana aku bisa menjelaskan kepadanya permasalahan yang kami hadapi. Jika diizinkan, kami akan tinggal di sana sampai anak di perut Elis itu lahir.

Sampailah kami di rumah Welem. Dia menerima kami berdua, juga bayi yang berada di perut Elis, dengan baik. Kami diizinkannya tinggal di situ sampai tiba masa Elis melahirkan bayinya.

Selama Elis menantikan hari kelahiran bayinya, aku merasa kewalahan karena harus berjibaku dengan laut terus menerus agar kebutuhan pokok kami sehari-hari dapat terpenuhi. Hanya itulah satu-satunya mata pencaharianku selama masa pelarianku itu.

***

Sebelum anak dalam kandungan itu lahir, kami berdua telah menyepakati nama yang cantik. Jika anak kami lahir perempuan, kami beri nama “Pince”. Jika anak itu laki-laki, dia akan bernama “Ulis”. Kedua nama ini memiliki arti yang sama, yaitu anak pertama yang tangguh.

Tiba hari yang tidak terlupakan dalam sejarah hidupku. Saat subuh dini hari aku bersama Elis berdoa seperti biasa. Sesudah doa usai, Elis berpesan kepadaku, “Kekasihku, pergilah melaut tetapi jangan berlama-lama – segeralah pulang. Kita tengah berada dalam masa penantian. Saat bayi dalam kandungan ini lahir, kuharap kau di sisiku untuk mendoakan dan memberiku semangat.”

“Baiklah kekasihku,” sahutku.

Lautan Oktober bergejolak kencang. Angin menderu. Ombak menggelegak menghantam badan perahuku hingga hampir karam di tengah laut. Akibatnya, tidak ada satu ikan pun yang berhasil kupancing yang masih tersisa dalam perahuku. Aku teringat pesan Elis sebelum berangkat melaut subuh tadi. Secepat mungkin aku mendayung perahuku menuju bibir pantai dan menyandarkannya di sana. Aku berjalan dengan cepat menuju rumah Welem. Namun, sesampainya di rumah tidak kutemukan seorang pun termasuk Elis.

Tergopoh kudatangi rumah seorang tetangga. Menurut ceritanya, saat aku berangkat melaut, perut Elis terasa sangat perih tidak tertahankan. Syaraf-syaraf seakan berpadu menjadi satu, mengumpulkan kekuatan penuh pada dinding rahim Elis. Dia lalu meminta bantuan kepada tetangga di samping rumah. Beberapa ibu sekitar rumah datang dan menolong. Elis pun dilarikan ke rumah seorang dukun beranak.

Di Lumoli memang tidak ada tenaga kesehatan, apalagi rumah sakit tempat mereka bekerja. Aku berlari sekuat tenagaku menuju rumah si dukun. Dari jauh terlihat orang-orang kampung berdatangan mengerumuni rumah dukun beranak itu. Kuhampiri seorang di antaranya dan kubertanya, “Ada apa ini?”

“Ada ibu hamil meninggal,” jawab orang itu. Jantungku serasa melompat keluar dari rongga dadaku. Kusibak kerumunan. Dan, kulihat tubuh Elis yang terbujur diam.

Tubuhku terkulai lemas. Tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku. Air mata keluar bak mata air yang memecahkan badan gunung untuk menemukan hilirnya. Kutatap tubuh Elis kekasihku. Sungguh aku tidak berdaya. Aku memalingkan wajahku tidak kuasa melihat wajahnya, dan mataku mendapati bayi mungil yang lahir dari rahim Elis kekasihku. Mata bayi itu tertutup. Sesekali tampak dia menggerakkan kakinya.

Masa-masa perkabungan pun kujalani di rumah Welem. Aku diam membisu di hadapan ayah dan ibu Elis yang datang setelah mendengar kabar akan kepergian anaknya. Aku hanya mampu menatap ayah dan ibu mertuaku. Dan, Ulis, anakku, harus kuserahkan kepada mertuaku untuk dibawanya pulang menggantikan Elis ibunya.

Di kamar Welem, kutatap tulisan tangan Elis yang rapi pada secarik kertas di bawah piring nazar yang terletak di atas meja sembahyang kami. Kekasihku, kelak anak kita akan dewasa, semua senyumku ada pada wajahnya. Panggil pendeta di kampungmu untuk berdoa pengampunan dan pemutusan keterikatan hubungan pela antara kampung. Kumpulkan Kepala Suku dan para Saniri, majelis adat, untuk memutuskan hubungan darah ini. Anak kita harus hidup dan melanjutkan keturunanmu. Aku mungkin memang harus pergi. Namun, bila memang demikian, rohku akan tetap hidup bersamamu.

*****

Choose Site Version
English   Indonesian