Widjati Hartiningtyas memiliki ketertarikan yang kuat pada bahasa. Bahasa asing pertama yang dikuasainya adalah bahasa Inggris. Kecintaannya pada buku dan bahasa membuatnya memilih jurusan bahasa di SMU dan jurusan Sastra Inggris di Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Sesudah lulus dari UNNES pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sastra, Tyas bekerja sebagai seorang guru. Selain bekerja sebagai seorang penerjemah lepas, dia mulai menulis cerita untuk anak. Beberapa karyanya yang telah terbit adalah buku kegiatan Siap masuk SD bersama Piko (PT Tiga Serangkai, 2018) dan seri Petualangan Seru Rori (PT Kanisius, 2017).
Widjati Hartiningtyas bisa dihubungi melalui alamat surel widjati@gmail.com
***
Bab 9
Nanna menutupi kuncup-kuncup lembut bunga mawar dengan cangkang telur kosong untuk melindunginya dari serangga. Dia berharap semudah itulah cara melindungi keluarganya dari bahaya. Dalam hati kecilnya dia tahu bahwa para dewa dan leluhurnya tidak akan bisa melindungi mereka hingga perang berakhir. Nanna selalu berpikir bahwa perang adalah urusan lelaki. Namun, perang ini tidak hanya melibatkan Chip dan Ting. Perang ini juga telah melibatkan Jenny.
Suara Chip, Ting, dan Mundi di dapur ditingkahi bunyi orang memalu dan memotong kayu. Chip telah memutuskan untuk bersembunyi di lemari dapur jika orang Jepang mencarinya. Anjing-anjing peliharaan mereka akan bertugas untuk melindunginya.
Nanna tidak meminta penjelasan secara terperinci. Dia bisa merasakan ketegangan yang ada saat ini. Para perempuan menjadi gugup dan mudah jengkel, sementara para laki-laki menjadi lebih pendiam dari biasanya. Nanna banyak menghabiskan waktu duduk-duduk di beranda depan dan mengawasi jalanan. Ketika Jenny mendatanginya dan dengan manja menggelendotinya, Nanna hanya mengelus-elus tangan gadis itu tanpa mengatakan apa-apa. Hatinya dipenuhi kekhawatiran seorang ibu akan keselamatan anak dan cucunya.
Suatu siang, hampir seminggu kemudian, sebuah jip Jepang berhenti di depan rumah Nanna. Empat serdadu Jepang turun dari mobil lalu menyusuri jalan masuk dengan senapan melintang di bahu. Nanna meraih lengan Jenny dan menariknya mendekat.
Serdadu Jepang itu berhenti sesaat di jalan masuk sebelum sang sersan menapaki tangga beranda dengan langkah tegap. Dia membungkukkan badan di depan Nanna lalu menyunggingkan senyum lebar kepada Jenny. Sersan itu mengambil selembar surat dari saku kemejanya kemudian memberikannya kepada Nanna.
Nanna menggelengkan kepala. “Saya tidak bisa membaca.”
“Siapa lagi yang ada di rumah?” Sersan itu berbicara dengan bahasa Maleis berlogat asing.
“Anak perempuan dan cucu perempuan saya.”
Salah satu dari serdadu itu menawarkan Jenny sekeping cokelat yang telah leleh. Ketika Jenny menggelengkan kepala dan beringsut mendekati Nanna, serdadu itu mengangkat bahunya.
“Apakah Nyonya kenal Ong Chip Hong?” tanya sersan itu.
“Ya. Dia anak laki-laki saya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Dia sedang tidak berada di rumah.”
“Kapan dia akan pulang?”
“Saya tidak tahu.”
“Siapa kepala keluarga di rumah ini?”
“Saya seorang janda. Chip anak laki-laki tertua yang tinggal bersama saya. Jadi dialah kepala keluarga kami.” Nanna menatap tajam serdadu itu. “Kepada siapa surat itu ditujukan?’
“Kepada kepala keluarga.” Jawab serdadu yang kini terlihat bingung itu.
“Jika begitu, saya rasa sebaiknya Tuan kembali lagi kalau dia sudah pulang.”
Serdadu yang tadi menawarkan cokelat, mengulurkan tangannya kepada Jenny.
“Kemarilah.” Senyum lebarnya memamerkan sebiji gigi emas. “Di rumah aku punya seorang anak perempuan persis sepertinya.” Serdadu itu menepuk kepala Jenny, kemudian cepat membalikkan badan untuk menyusul serdadu lain menyusuri jalan masuk.
Nanna menunggu hingga suara jip menghilang di jalanan yang sepi sebelum mengajak Jenny masuk ke rumah. Dia tahu tidak lama lagi mereka akan kembali. Kedatangan mereka disebabkan oleh kedekatan anak-anaknya dengan para petinggi Belanda. Mustahil untuk selamanya mencegah serdadu Jepang itu menemukan Chip.
Dua hari kemudian, ketika Nanna dan Jenny sedang mengelap meja sembahyang sementara Carolien mengerjakan pola jahitan di meja makan, anjing-anjing menyerbu masuk rumah sambil menyalak garang. Ada orang di gerbang masuk.
Nanna meletakkan lapnya. “Bawa ke dapur anjing-anjing itu,” katanya, “lalu bilang pada Chip dan Ting kalau orang Jepang ada di sini.” Nanna memandang sekilas potret mendiang suaminya di dinding dekat meja sembahyang.
Empat serdadu Jepang yang datang dua hari lalu telah berada di beranda. Serdadu yang berdiri paling dekat dengan pintu bertanya, “Apakah Ong Chip Hong ada di rumah?”
“Tidak.” Nanna merangkul Jenny.
“Kami harus menggeledah rumah,” kata serdadu itu.
Nanna menegakkan tubuhnya sambil menatap tajam para serdadu itu satu per satu. “Saya tidak akan mengizinkan kalian masuk,” ucapnya tegas.
Beberapa serdadu menggeser senapan di bahu mereka.
Suara salakan anjing terdengar makin samar. Nanna tahu mereka sudah dikunci di dapur saat ini. Dia menarik napas panjang beberapa kali.
Pintu depan terbuka dan Ting melangkah mendekati Nanna. Sambil masih berdiri di belakang Nanna, Ting berkata, “Ma, biar owe yang membantu tuan-tuan ini.”
Nanna tidak bergerak. Dia selalu memperlakukan Ting dengan istimewa, meskipun dia putra kedua. Namun kali ini dia meminta Nanna untuk menuruti arahannya. Apakah hari ini penglihatannya akan menjadi kenyataan?
Nanna meletakkan tangannya di bahu Jenny. Dia menuntun gadis itu melewati para serdadu. “Ayo, Jenny,” ucapnya, “duduk dekat Oma.”
Jenny mematuhi neneknya tanpa suara.
Para serdadu diantar Ting masuk ke dalam rumah, sementara Nanna dan Jenny duduk di bangku beranda.
Anjing-anjing terus menyalaki para serdadu dengan buas, hingga terdengar rentetan tembakan.
Teriakan Carolien, Sue, Emma, dan Els bercampur dengan suara gelisah serdadu-serdadu Jepang itu.
Nanna merasakan dadanya sesak. Dia memegang erat pinggiran bangku dan mencengkeram lengan Jenny dengan tangan satunya.
Anjing-anjing itu diam sekarang.
Nanna menarik napas dalam-dalam. Sesuatu yang berat dan besar seolah lepas dari dalam dirinya tiap kali dia mencoba untuk bernapas dan tetap tenang. Apakah masa berkabung sudah dimulai?
Els berlari melewati pintu depan. “Oma! Oma! Mereka menembaki anjing-anjing. Orang Jepang itu akan membunuh kita semua!”
Jenny melonjak berdiri. “Apakah Claus mati? Apakah orang Jepang itu membunuh Claus?”
“Jenny, diam di sini!” Nanna menarik Jenny kembali ke bangku. Nanna bergeser untuk memberi tempat bagi Els. Dia meraih gadis yang terisak itu.
Suara-suara terdengar lebih jelas. Para serdadu Jepang berjalan keluar rumah. Nanna melihat Chip berada di tengah-tengah mereka. Ketika melihat Ting, Eddie, Sue, Carolien, dan Emma berjalan mengikuti rombongan itu, Nanna mulai bernapas lega. Sepertinya hanya anjing-anjing yang jadi korban.
Nanna menegang ketika rombongan itu berjalan melewatinya. Dia merangkul bahu Els. Sambil menarik Jenny mendekat, Nanna melirik Chip. Anak laki-lakinya memalingkan wajah. Namun Nanna sempat melihat sekilas wajah Chip yang lebam dan bercak merah segar di sapu tangan yang dia tekan di mulutnya.
Nanna mengawasi Chip naik ke jip serdadu Jepang. Dia bergerak dengan lamban, dibebani oleh rahasia-rahasia petinggi Belanda. Nanna tahu anak laki-lakinya tidak akan membocorkan apa pun. Darahnya akan mengalir kental dalam kebisuan yang sunyi.
Carolien duduk di lantai kamar Ting sambil memangku kepala Claus.
Ting, yang duduk di sisinya, sedang membalut telapak kaki anjing itu dengan sepotong handuk. Claus menegang kesakitan dan Carolien mengelus telinga anjing itu.
Salah satu telapak kaki Claus sobek. Ting menengadah dengan wajah murung. “Mungkin dia menginjak pecahan beling.”
“Apa yang akan kamu lakukan?” Carolien merasa jengkel. Dia tidak pernah bisa memahami Ting yang begitu sayang pada anjing-anjingnya. Dia ingin bilang kepada Ting untuk bersyukur karena serdadu Jepang hanya menembaki anjing-anjing. Para serdadu bisa saja menembak seseorang dari antara mereka. Namun, Carolien tahu, lebih baik dia diam.
“Aku harus menemukan pecahan beling itu dan mencabutnya. Tekan terus handuk ini ke lukanya. Cobalah untuk menghentikan pendarahannya.” Ting berdiri. “Aku harus mengambil sesuatu untuk mengobatinya.”
Begitu sendirian di dalam kamar, Carolien meluruskan tubuhnya. Punggungnya terasa pegal karena lama duduk membungkuk. Tumpukan handuk berdarah mengingatkannya pada kejadian sore tadi. Serdadu-serdadu Jepang itu menyerbu masuk ke rumah. Mereka mengacungkan senjata sambil berteriak, “Ong Chip Hong! Keluar!” Anjing-anjing menyalak dan melompat di balik pintu dapur yang tertutup. Penembakan terjadi dan anjing-anjing tergeletak di lantai.
Carolien berdiri dengan lutut gemetar, khawatir salah satu peluru mengenai lemari dapur, menembus kayu dan melukai Chip. Apa yang akan mereka lakukan kepada Chip? Meskipun tidak akrab dengan Chip, Carolien menghormati abangnya.
Ting kembali ke kamar diikuti Eddie dan Jenny.
“Claus!” teriak Jenny sambil menjatuhkan diri dekat anjing itu. Claus mengangkat kepalanya dan merintih.
“Ini, pangku kepala Claus supaya Mama bisa membantu Om Lik memeriksa kakinya.” Carolien memindahkan kepala anjing itu dengan perlahan ke pangkuan Jenny.
“Oh, Claus. Kamu akan baik-baik,” Jenny menggaruk lembut telinga anjing itu. Sambil mengelus moncong Claus, dia mengulang lagi, “Kamu akan sembuh. Lihat saja nanti.”
Claus menghela napas dan ia mengibaskan ekornya ke lantai.
Jenny memperhatikan Ting membasuh kaki Claus dengan campuran air dan obat merah sebelum mencabuti beling dengan pinset. “Aku mau jadi dokter hewan kalau sudah besar nanti,” katanya.
Ting tertawa dan Eddie berkata, “Kurasa kamu akan jadi dokter yang baik.”
Carolien mengerutkan dahinya. Jenny terlalu banyak meniru Nanna dan Ting. Mengapa dia ingin menjadi seorang dokter hewan? Bukankah banyak pekerjaan lain yang lebih layak?
Eddie membantu Ting dan Carolien membereskan kamar sebelum duduk di tepi ranjang.
“Di mana anjing-anjing yang lain?” Jenny mengelus telinga Claus.
“Mati.” Rahang Eddie menegang.
“Caesar juga mati?”
“Tidak. Dia hampir membunuh salah seorang serdadu. Seharusnya kamu lihat cara Caesar menyerangnya.” Eddie bangkit berdiri. “Syukurlah serdadu Jepang itu hanya mementungnya. Di tengah kekacauan itu, Om Lik berhasil menyingkirkannya lalu menaruhnya di kamar mandi pembantu. Emma sedang menemaninya. Bahu patahnya akan segera pulih.”
“Mengapa serdadu Jepang itu membawa Om De dan membunuh anjing-anjing kita?” tanya Jenny tanpa mengalihkan pandangannya dari Claus.
“Sebelum perang, Om De bekerja untuk pemerintah Belanda. Bahkan sebenarnya sampai sekarang pun masih ….” Penjelasan Eddie terhenti ketika Carolien melotot ke arahnya.
“Lalu?”
“Serdadu Jepang minta Om De memberitahu mereka tentang kantornya. Om De bersembunyi di lemari dapur. Kami pikir dia akan aman di sana. Kami tidak mengira orang-orang Jepang itu akan menembaki anjing-anjing kita.”
“Apakah mereka akan menembak Om De?”
“Semoga tidak,” kata Carolien. “Orang-orang Belanda akan segera kembali dan Mama yakin mereka akan membebaskan Om De.” Carolien berusaha meyakinkan Jenny. Namun dia tahu tidak seorang pun, termasuk dirinya sendiri, memercayai itu.
Peristiwa penangkapan Chip telah berlalu. Anggota keluarga Nanna sudah tidak membicarakannya lagi. Di seantero negeri, orang-orang berusaha tetap mempertahankan hidup anggota keluarga mereka. Pertalian darah menjadi penting. Keluarga-keluarga bersatu padu melewati perang. Karena pemerintahan Belanda ditutup dan tidak ada lagi gaji bagi pegawainya, Ting dan Carolien mulai berdagang di pasar gelap. Toko tembakau Chip dan Ting, yang dijadikan kedok pekerjaan rahasia mereka sejak Jepang berkuasa, kini juga menjual pakaian dan bahan makanan. Carolien mulai menerima jahitan. Bersama dengan Eddie dan Ting, dia giat dalam gerakan bawah tanah Belanda.
Karena sekolah-sekolah Belanda ditutup, Els mengambil alih tanggung jawab guru-guru Jenny. Dengan memanfaatkan buku-buku pelajaran yang ada, dia mengajar Jenny setiap hari agar anak itu tidak tertinggal. Els menerima surat ijazah mengajar dari sekolah Belanda tepat sebelum perang pecah. Dia belum sempat mengajar di mana pun. Keluarganya tidak menyetujui keputusan Els untuk mengajar di sekolah pribumi, padahal belum ada lowongan mengajar di sekolah Belanda saat itu.
Pada bulan September, kembang mangga telah berubah menjadi buah yang besar dan ranum. Namun, belum ada tanda-tanda perang akan segera berakhir. Jenny sedang membantu Nanna dan Mundi memasang penyangga pohon mangga di halaman belakang, ketika sebuah mobil berhenti di depan gerbang dan bel berbunyi. Jenny berlari untuk melihat siapa yang datang, tetapi Nanna memanggilnya kembali dan menyuruh Mundi untuk membukakan pintu.
Jenny melirik Nanna.
Claus dan Caesar berbaring di dekatnya. Kedua telinga anjing-anjing itu tegak dan hidung mereka mengarah pada gerbang. Keheningan mencekam mengisi detik-detik sebelum Mundi kembali sambil membawa surat. Dia berlutut dan menunduk dalam-dalam sebelum menyodorkan amplop cokelat kepada Nanna.
Nanna menegakkan tubuhnya. “Terima kasih,” ucapnya. Suaranya terdengar tenang, tetapi tangannya gemetar ketika memegang amplop itu. “Kamu dan Non Jenny teruslah bekerja.” Nanna mulai melangkah menuju rumah.
Mundi tetap berlutut ketika Nanna berjalan menjauh. “Ini semua karena orang Belanda, Nonnie,” Mundi mendesah. Dia berdiri ketika Nanna sudah tidak terlihat lagi.
“Mengapa kamu bilang begitu?” Jenny mengernyit. Dia tidak terbiasa menghadapi pelayan yang memulai pembicaraan terlebih dahulu.
Mundi meraih bambu yang disandarkan Nanna di batang pohon. “Sudah waktunya orang Belanda kembali ke negara mereka, Non,” kata Mundi sebelum berjalan menjauh.
Jenny mengawasi Mundi yang menghilang ke dalam taman. Apakah Mundi memberontak kepada Belanda? Apakah dia berpihak kepada Jepang? Mungkinkah Mundi seorang pengkhianat?
Setelah makan malam Nanna mengambil surat dari meja sembahyang lalu menyodorkannya kepada Ting. “Serdadu Jepang mengantarkan ini tadi siang,” katanya.
Ting menggunakan pisau buahnya untuk membuka amplop.
Jenny memperhatikan pamannya yang nyaris tidak berkedip ketika menatap lembaran tersebut.
Ting berdeham sebelum membacakan surat itu dengan suara keras. “Kaisar dan pemerintahan Jepang menyayangkan sikap tahanan Ong Chip Hong yang menolak bekerja sama sehingga memaksa kami menggunakan cara yang lebih keras dari biasanya. Dengan menyesal kami sampaikan bahwa tahanan tersebut di atas meninggal pada tanggal 27 September 1944 pada saat berlangsungnya tanya jawab. Pemerintahan Jepang telah membuang jenazahnya.” Suara Ting terdengar parau dan pelan.
Tangis Sue pecah.
Els bangkit berdiri lalu mendatangi Nanna.
Eddie menarik Jenny ke pangkuannya supaya Els bisa duduk di samping nenek mereka.
Carolien dan Emma menangis membungkuki serbet mereka.
Nanna berjalan ke meja sembahyang. Dia menyalakan segenggam batang hio dan mengangkatnya tinggi-tinggi ketika berdoa. “Terlalu banyak yang diharapkan oleh Belanda dari kita,” ucapnya khidmat.
Jenny menatap punggung neneknya yang tegak menegang sambil menggigiti buku-buku jarinya. Dia memperhatikan sebuah guci baru di meja sembahyang. Kapan Oma meletakkannya di sana? Apakah Oma sedang bertanya kepada para arwah mengapa Om De harus meninggal? Apa jawaban mereka nanti?
*****