Tekan tombol untuk:

Bupati di Tengah Kemelut

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, ia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Ia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini ia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Ia bisa dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

Terbit bulan Agustus 2020. Hak cipta ©2020 ada pada Oni Suryaman. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan ©2020 ada pada Dalang Publishing. 

 

 

Bupati di Tengah Kemelut

 

Purwodadi, Oktober 1901

Waktu mendekati tengah malam, langit tidak berbulan. Soeroto berjongkok di antara batang-batang tebu mengawasi rumah penjaga perkebunan tebu di pinggir ladang. Tiba-tiba tak jauh dari tempatnya terlihat sosok belasan orang mengendap-ngendap mendekat dari arah utara, yang bersebelahan dengan hutan. Gerombolan ini membawa parang dan kapak.

Soeroto sudah mengikuti gerak-gerak kawanan ini sejak beberapa hari yang lalu. Dia mendapatkan kabar burung bahwa akan ada perampokan uang gaji perkebunan tebu. Dia mendekat dengan hati-hati.

Kawanan perampok ini mendekati rumah tersebut, lalu menyebar mengitari rumah, menjagai jalan keluar lewat pintu maupun jendela. Tidak lama kemudian, seorang bertubuh gempal yang sepertinya adalah pemimpin gerombolan ini, mengetuk pintu depan rumah.

Soeroto menggeser tempat sembunyinya supaya bisa melihat lebih jelas.

Ketukan yang makin lama terdengar semakin keras bahkan kasar dan sepertinya membangunkan penghuni rumah.

Kabar burung tentang perampokan rumah orang-orang kaya dan pabrik gula ternyata benar. Masalah seperti ini bisa memperburuk kemelut antara Raden Mas Adipati Brotodiningrat, tuannya, dengan Residen Donner. Residen Donner pasti menuduh tuannya ada dibalik semua kejadian ini.

“Siapa di luar? Ada apa mengetuk pintu malam-malam?” terdengar suara Sarmin, penjaga kebun.

“Ada uang 400 gulden di dalam rumah ini. Menyerahlah, sebelum pintu rumah saya dobrak!” teriak kepala para perampok itu.

“Kau sendirian, berani-beraninya merampok rumahku. Aku Sarmin, penjaga kebun tebu, jago daerah ini!”

Sementara itu Soeroto menimbang semua kejadian dalam jarak aman. Sarmin mungkin bisa mengalahkan kepala rampok ini bila bertarung satu lawan satu, tetapi tidak mungkin menang melawan belasan orang sekaligus. Soeroto menghitung jumlah kawanan perampok ini, lalu memutuskan lebih baik untuk tidak campur tangan.

Sarmin mendorong pintunya terbuka dengan kuat dan hampir saja menjungkirkan sang perampok itu.

Namun dengan cepat dia berdiri tegap dan tertawa dan melangkah masuk, tetapi dengan satu gerakan cepat Sarmin langsung menempelkan parang pada lehernya sambil tersenyum penuh kemenangan.

Kepala rampok tidak terlihat gelisah. Dia menoleh ke arah pintu belakang dan dengan santai berkata, “Coba kau lihat istrimu di sana.”

Ternyata para perampok telah berhasil menyelinap masuk dari belakang pada saat Sarmin berada di depan bersiap menghadapi kepala rampok. Istrinya telah disandera. Sarmin tidak punya pilihan kecuali menyerah.

Soeroto pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain meninggalkan tempat ini diam-diam, dan tidak menunda waktu lagi untuk melaporkan peristiwa ini kepada junjungannya, Raden Brotodiningrat.

***

Madiun, Desember 1901

Suasana di Karesidenan Madiun terlihat tidak biasa, wajah-wajah tegang tampak pada orang yang sedang berada di sana. Penjagaan di pintu masuk kantor karesidenan terlihat lebih ketat dari biasanya. Di ruangan kerja, Residen Madiun, J. J. Donner sedang rapat dengan Patih Madiun, Mangoen Atmodjo, dan Kepala Jaksa Madiun, Adipoetro.

“Residen Donner, kita harus menangkap para kepala jago di daerah Madiun dan sekitarnya. Tanpa mereka, para penjahat lain tidak akan berani melakukan perampokan lagi,” ujar Jaksa Adipoetro.

“Benar Residen, begitu pula dengan kepala pengairan Kartoredjo. Dia punya hubungan dekat dengan para kepala rampok dan jago. Kartoredjo juga menjadi tangan kanan dari bupati lama Brotodiningrat. Brotodiningrat pasti diam-diam masih memegang kendali dunia hitam melalui Kartoredjo,” imbuh Patih Atmodjo.”

Donner mondar-mandir di ruang rapat. Dengan dahi berkerut, dia berkata, “Soeradi, pencuri tirai dan taplak milik karesidenan, memang sudah tertangkap di Ponorogo. Namun, pencurian dan perampokan terus terjadi. Saya yakin, bahwa Brotodiningrat berada di balik semua perampokan ini.”

Jaksa Adipoetro berusaha memberikan jalan keluar, “Kita bisa meningkatkan jaga malam.”

Namun Donner mengabaikannya. Dia berkata dengan pelan, “Menurut saya, kejadian ini lebih dari sekadar tindak kejahatan. Brotodiningrat pasti sedang mengincar melakukan sesuatu yang lebih besar. Dia memang ingin membuat Jawa bergolak kembali, seperti yang dilakukan oleh Diponegoro.”

Donner berjalan menuju tempat duduk Patih Atmodjo dan meneruskan, “Dengan menimbulkan kekacauan seperti ini, dia mau melemahkan kedudukan pemerintah Hindia Belanda. Saya juga menduga dia memanfaatkan para kiai-kiai Islam untuk memperkuat kedudukannya. Patih Atmodjo, bagaimana pengamatanmu dengan Kiai Kasan Ngalwi?”

Patih Atmodjo membuka kertas laporan yang ada di hadapannya. “Kiai Kasan Ngalwi sering memimpin arak-arakan sambil berdoa di sepanjang jalan-jalan kampung. Dia pasti sedang menarik dukungan dari rakyat untuk mendukung pemberontakan Brotodiningrat.”

Wajah Donner tampak cemas dan gelisah. Dia duduk, lalu berdiri lagi. “Pemberontakan sudah berada di depan mata. Saya tidak ingin kita kecolongan. Saya akan memerintahkan supaya senjata api dibagikan kepada orang Eropa untuk membela diri. Saya juga akan memerintahkan penjagaan bersenjata di sekitar stasiun Paron untuk mengamankan kereta tebu. Kalian berdua tetap amati gerak-gerik para pengikut Brotodiningrat. Keadaan sudah gawat. Kita harus waspada.”

“Siap Residen,” jawab patih dan kepala jaksa bersamaan.

***

Yogyakarta, Januari 1902

Soeroto, telik sandi Brotodiningrat, berkuda memasuki kawasan Pakualaman Yogyakarta. Dia baru saja tiba dari Madiun untuk menghadap.

Penjaga kawasan Pakualaman sudah mengenal Soeroto dan langsung mengizinkannya masuk.

Brotodiningrat sedang di kamar peristirahatannya saat mendengar derap kuda mendekat. Melewati sela-sela jendela dia cari tahu siapa pendatang itu. Brotodiningrat sudah lama menunggu kabar dari Madiun, kedatangan Soeroto sudah dia nanti-nantikan. Dia melangkah cepat menuju pendopo penerima tamu.

“Salam hormat, Raden,” Soeroto langsung memberi hormat saat Brotodiningrat masuk pendopo.

“Soeroto! Sudah lama saya menunggu kedatanganmu. Duduklah, dulu. Kabar apa yang kau bawa dari Madiun?”

Soeroto menunggu Brotodiningrat duduk terlebih dahulu, lalu menyusul duduk. “Keadaan di Madiun semakin gawat, Raden,” kata Soeroto.

Brotodiningrat berusaha menangkap arah berita ini. “Coba ceritakan dengan jelas apa yang sedang terjadi di Madiun.”

“Baiklah. Raden. Masih ingat pencurian tirai dan taplak meja di rumah Residen Donner pada bulan Oktober tiga tahun yang lalu? Kabar ini masih berkaitan dengan peristiwa itu.”

“Bagaimana mungkin saya lupa dengan kasus itu. Kasus itulah yang membuat saya diasingkan dari Madiun dan tinggal di kota ini,” jawab Brotodiningrat dengan nada kesal.

“Sekarang pencurian seperti itu semakin meluas. Bukan hanya pencurian, tapi yang ada juga dilakukan adalah pembakaran kebun tebu di sekitar Madiun. Baru-baru saja terjadi perampokan di rumah penjaga kebun tebu dekat pabrik gula di Purwodadi. Mereka berhasil merampok uang gaji perkebunan tebu sebesar 400 gulden. Perampok juga menyasar orang-orang kaya di Ngawi dan Magetan.” Nada suara Soeroto terdengar semakin gawat.

Brotodiningrat masih terlihat tenang menerima kabar berita ini. “Sudah kukatakan dulu kepada residen bagaimana cara menanganinya. Tapi residen baru ini memang keras kepala dan tidak mau mendengarkan orang yang sudah berpengalaman menangani kasus seperti ini. Residen Donner ini tidak seperti Residen Mullemeister pendahulunya. Mullemeister mengerti cara orang Jawa menangani masalah seperti ini. Dia akan menyerahkannya sepenuhnya kepada bupati setempat lalu memberikan dukungan dana untuk itu. Bupati sekarang terlalu lemah, dia hanya piaraan Belanda. Mana kenal dia dengan dunia hitam. Dan kalau dia tidak kenal dunia hitam, bagaimana dia bisa mengendalikan mereka.”

Mata Soeroto menyorotkan kegelisahan, sepertinya ada yang ingin dia sampaikan.

“Kau terlihat gelisah, Soeroto. Apakah ada kejadian lain yang ingin kau sampaikan? Kalau hanya masalah meluasnya pencurian, saya pun sudah bisa menebaknya sejak diangkatnya bupati baru.”

Soeroto seperti masih ragu untuk untuk berbicara. Setelah menguatkan dirinya, dia berkata, “Raden dituduh sebagai kepala kraman.”

“Apa?” nada suara Brotodiningrat langsung meninggi.

“Berani sekali Donner menuduhku memberontak!”

Soeroto meneruskan, “Bukan hanya itu, dia juga banyak menangkap orang-orang dekat Raden. Asisten wedana, para polisi desa, bahkan Kiai Kasan Ngalwi, guru Raden, dan juga Kartoredjo, kepala pengairan dan pimpinan telik sandi Raden.”

Muka Brotodiningrat benar-benar memerah. “Kupikir dia sudah puas bisa menyingkirkan saya dari jabatan bupati. Sepertinya dia belum akan puas jika saya belum diasingkan keluar dari Jawa sebagai seorang penjahat.”

Soeroto melanjutkan, “Donner panik membabi buta, Raden. Dia membagikan senjata api kepada warga Eropa dan melapor ke Batavia bahwa akan ada peperangan baru di Jawa.”

“Donner sudah benar-benar gila. Perang baru di Jawa? Saya hanya ingin menjadi seorang bupati baik-baik yang bisa menjaga ketertiban dan ketenteraman di Madiun,” nada Brotodiningrat semakin meninggi.

“Hati-hati, Raden. Mereka bisa menangkap dan mengadili Raden. Guru Raden, Kiai Kasan Ngalwi sudah ditangkap,” kata Soeroto penuh kekhawatiran.

“Kau memang abdi yang setia, Soeroto. Beristirahatlah dulu. Kau pasti sudah lelah menempuh perjalanan panjang dari Madiun. Tinggal di sini satu dua hari sebelum kembali ke Madiun.”

“Baik, Raden,” jawab Soeroto seraya memberi hormat dan mengundurkan diri.

***

Malam itu Brotodiningrat sulit untuk tidur. Dia berpikir kemelut ini sudah selesai saat dia diasingkan ke Yogyakarta. Ternyata Donner masih mendendam. Sepertinya dia ingin membuktikan bahwa seorang residen Belanda memang lebih berkuasa daripada bupati pribumi. Putusan hakim atas penurunan dirinya dari jabatan bupati Madiun gara-gara kasus pencurian itu belum memuaskan Donner.

Pikiran Brotodiningrat melayang ke masa dia masih remaja. Dia masih ingat saat dia bersekolah di Surakarta dan tinggal di lingkup Kasunanan. Dia bisa melihat betapa agungnya Susuhunan Pakubuwono yang mampu berdiri tegak dan dihormati oleh para pejabat Belanda. Kejadian itu membekas dalam ingatannya sehingga dia bercita-cita menjadi seorang bupati yang bisa sejajar dengan seorang residen Belanda.

Dia belajar bahasa Belanda dengan rajin supaya bisa berbicara dengan orang Belanda sebagai rekan yang sejajar. Dia juga menyerap semua ilmu pemerintahan yang dia pelajari selama di sekolah calon pejabat.

Dia lalu dengan tekun menjalani masa magang sebagai seorang pejabat rendah, seorang juri tulis di Madiun. Dia sadar bahwa semuanya ini harus dijalani untuk mencapai cita-citanya, setara dengan orang Belanda.

Cita-citanya terlihat seperti menjadi kenyataan saat dia diangkat menjadi Bupati Sumoroto.  Semua orang, baik pribumi maupun Belanda menaruh hormat padanya.

Namun dia baru merasa benar-benar mampu mengejar impiannya saat bertemu Residen Madiun, Mullemeister, orang yang dianggapnya sebagai pembimbingnya. Mullemeisterlah yang mengusulkannya supaya diangkat menjadi Bupati Madiun. Mereka berdua bisa bekerja sama dengan baik. Sang Residen memberikan kebebasan baginya untuk mengurusi masalah pengairan, keamanan, dan sebagainya. Semua teladan sempurna yang dia pelajari selama duduk di sekolah pejabat bisa dia jalankan di sini, bersama dengan Residen Mullemeister.

Sayang, dia harus berpisah dengan guru dan sahabatnya, yang naik pangkat diangkat menjadi Residen Yogyakarta, berdampingan dengan Sultan Hamengkubuwono, Raja Yogyakarta. Jabatan itu sungguh pantas bagi seorang residen selihai Mullemeister. Namun kepindahan Mullemeister sungguh membawa malapetaka karena penggantinya Residen Donner adalah seorang gila kuasa yang tidak percaya pada pribumi.

Urusannya pun menjadi panjang. Dia harus diadili di Batavia. Untung Mullemeister mati-matian membelanya. Sayang, para pejabat di Batavia lebih ingin menyelamatkan muka mereka, atau lebih tepatnya muka Residen Donner. Bila tuduhan Donner ternyata tidak terbukti, pemerintah kolonial Hindia Belanda akan kehilangan muka.

Selama dia diadili dia diasingkan di Padang selama satu tahun. Dia beruntung sebab surat pembelaan diri yang dia kirimkan ke Ratu Belanda Wilhelmina dan Gubernur Jenderal Rooseboom diterima. Walaupun dia harus dicopot dari jabatan Bupati Madiun, dia diperbolehkan kembali ke Jawa dan hanya diberhentikan secara hormat serta diberi uang pensiun yang cukup tinggi. Dia pun dapat menempati rumah di Pakualaman, Yogyakarta, sampai saat ini.

Namun sekarang dia dituduh memberontak. Para pejabat Hindia Belanda tentu masih dihantui ketakutan Perang Jawa yang dikobarkan oleh Diponegoro. Tuduhan dirinya sebagai Diponegoro kedua adalah sebuah tuduhan yang tidak main-main. Bahkan mereka sudah berani menangkap gurunya, Kiai Kasan Ngalwi. Dia sadar dia perlu berhati-hati dalam melangkah dan memutuskan untuk bertukar pikiran dengan Mullemeister, sahabatnya.

***

Sejak diasingkan di Pakualaman, Yogyakarta, hubungan Brotodiningrat dengan dunia luar memang sebatas surat-menyurat dan surat kabar. Dia memang telah kehilangan kuasa. Namun bagaimanapun, kedatangan sepucuk surat dari Mullemeister bisa menghibur hatinya.

Di amplop surat tertulis,  penting dan rahasia. Brotodiningrat membawa surat itu ke ruang pribadinya. Dengan hati berdebar dia mengambil pembuka surat dan cepat-cepat membuka surat ini.

Beste Brotodiningrat,

Kiranya engkau telah mengetahui bahwa pemerintah kolonial telah mengutus Snouck Hurgronje untuk menyelidiki perkara yang terkait dengan tuduhan Donner terhadap dirimu. Hasil penyelidikannya sudah selesai, dan aku akan membocorkannya terlebih dahulu kepada dirimu.

Snouck memang seorang penyelidik yang handal. Dia fasih berbahasa Arab dan Jawa, sehingga bisa melakukan penyelidikan dengan mendalam. Dia juga mampu bertanya kepada banyak orang di Madiun untuk mendalami kasus ini. Dari penyelidikannya, bisa disimpulkan bahwa yang membuat kejahatan meningkat di Madiun justru adalah perbuatan Donner sendiri. Dia dengan gegabah menangkapi orang-orang kepercayaanmu yang selama ini memegang kendali dunia hitam. Setelah mereka semua ditangkapi, tidak ada yang mengendalikan para penjahat, dan mereka merajalela.

Tapi jangan takut, Snouck tidak menemukan bukti apapun yang memberatkan dirimu. Dia bahkan mengatakan bahwa Donner “sudah terlalu lelah” dan mengusulkan supaya Donner dipensiunkan dan beristirahat saja.

Namun mengenai kasus gurumu, Kiai Kasan Ngalwi, dia harus dikorbankan. Pemerintah kolonial tetap harus menjaga muka. Dia harus diasingkan, kalau tidak masyarakat bisa mengira bahwa pemerintah Hindia Belanda kalah kuat dengan Kiai Kasan Ngalwi. Tapi jangan khawatir, hak-haknya termasuk hak tanah, akan tetap dipertahankan, walaupun dia harus tetap diasingkan.

Semoga kemelut ini cepat berlalu. Snouck sepertinya sudah punya calon residen baru untuk menggantikan Donner. Pemerintah kolonial pun tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama dengan mengangkat orang keras kepala seperti Donner  untuk menggantikannya. Kita semua sudah cukup pusing dengan semua urusan ini.

Salam hangat untuk keluargamu.

Met hartelijke groeten, Salam hangat,

Mullemeister.

 

Surat ini membawa sedikit kelegaan baginya. Mullemeister memang seorang sahabat yang bisa diandalkan.

***

Pakualaman, Yogyakarta, Pertengahan 1903

Soeroto kembali menghadap Raden Mas Adipati Brotodiningrat, junjungannya. Kali ini dia membawa kudanya dengan lebih santai sambil perlahan memasuki kawasan rumah Brotodiningrat. Raut mukanya juga terlihat lebih tenang dibandingkan dengan saat pertemuan dengan Brotodiningrat sebelumnya.

Penjaga pintu langsung menyilakan dirinya menunggu di pendopo. Tak lama kemudian, Raden Mas Adipati Brotodiningrat keluar menemuinya.

“Raden,” Soeroto memberi salam hormat.

“Silakan duduk, Soeroto. Kabar apa yang kau bawa kali ini?”

“Raden tentu sudah mendengar desas-desus terakhir mengenai Donner.”

“Apa yang kau ketahui tentang Donner?”

“Donner sudah putus urat di otaknya. Dia makin gila. Dia bahkan berani menuduh Susuhanan mau memberontak hanya karena Kanjeng Sunan mendapat sambutan meriah sewaktu berkunjung ke Semarang,” kata Soeroto separuh mencibir.

Brotodiningrat tidak bisa menyembunyikan kemenangan di wajahnya. “Dia memang benar-benar sudah gila. Untung pemerintah di Batavia cukup tanggap dan langsung memberhentikan orang tidak waras ini. Dia telah dihantui pikirannya sendiri, bahwa akan ada Diponegoro kedua. Dia benar-benar terlalu banyak berkhayal, sampai mengatakan bahwa aku adalah Diponegoro kedua ini.”

“Sepertinya begitu Raden,” tanggap Soeroto.

“Bagaimana kabar penggantinya di Madiun?” tanya Brotodiningrat penasaran.

Soeroto dengan semangat mencerita, “Residen Boissevain ternyata cukup cakap. Dia telah memecat jaksa kepala yang dulu bertanggung jawab menangkapi bawahan Raden. Semua pengikut Raden sepertinya cukup puas dengan tindakan residen baru ini. Mereka yang dulu dipecat karena tersangkut kasus ini pun sudah diberi jabatan baru, walaupun hanya jabatan kecil di Pacitan dan Ponorogo. Keamanan dan ketertiban tampaknya sudah pulih.”

Brotodiningrat terlihat sedikit termenung, melihat ke arah timur seolah mencoba menerawang ke arah Madiun.

“Sepertinya begitu. Tapi masih ada satu hal yang mengganjal pikiranku, Soeroto.”

“Apa itu, Raden? Apakah Raden masih berniat untuk kembali ke Madiun?” Soeroto seolah bisa membaca keinginan tuannya.

“Itu juga. Namun sepertinya sekarang masih terlalu dini. Kita masih harus melihat dulu perkembangan keadaan.”

“Apa gerangan yang menjadi ganjalan dalam pikiran Raden?” tanya Soeroto kembali.

“Kau sudah cukup lama menjadi abdi saya, Soeroto. Kau sudah mendampingi saya sejak dituduh mendalangi pencurian tirai di rumah residen.

Inggih, Raden.” Soeroto mengiakan.

“Aku ingin bertanya kepadamu sekarang. Menurutmu, bagaimana kedudukan kita sebagai orang Jawa di hadapan orang Belanda?” Brotodiningrat menatap Soeroto dengan tajam.

“Saya tidak berani menjawab, Raden. Biarlah orang-orang pintar seperti Raden yang memikirkan pertanyaan seperti itu.” Soeroto seperti kebingungan untuk bersikap, takut mengatakan hal yang salah sebagai seorang rakyat kecil.

“Kau harus mulai memikirkannya, Soeroto. Saya mencium akan ada angin perubahan. Mungkin bukan seperti munculnya seorang Diponegoro. Tapi dunia akan berubah.”

“Maksud Raden?”

“Merdeka, Soeroto. Merdeka. Merdeka untuk menentukan nasib sendiri, bebas dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda.” Ada senyum tersungging di wajah Brotodiningrat, pada saat dia menerawang seperti menatap masa depan.

“Terlalu sulit bagi saya untuk membayangkan itu, Raden. Bagi saya, bila saya bisa mendapatkan sandang dan pangan, lalu atap untuk tidur, itu sudah cukup, Raden.”

“Tidak salah kau masih berpikir seperti itu, Soeroto. Saya pun baru belakangan ini terpikir hal demikian, setelah melalui prahara tak kunjung usai dengan Donner. Sejak itu, saya baru mulai merenungkan bagaimana kedudukan saya sebenarnya di hadapan pemerintah Hindia Belanda. Apakah saya benar-benar setara dengan residen? Atau saya sebenarnya sampai kapan pun akan tetap menjadi seorang kacung Belanda?” Brotodiningrat berdiri dari tempat duduknya lalu menyambung, “Residen Donner itu pikir saya adalah bawahannya, bukan pejabat yang setara. Padahal sudah ada pembagian tugas yang jelas. Dia mengurus perkara dengan Batavia dan urusan luar negeri Madiun, saya yang mengurusi perkara di dalam Madiun.” Nada suara Brotodiningrat kembali mendidih setiap kali memperbincangkan Donner.

“Apakah dia mendendam pada Raden sejak peristiwa itu?” Soeroto bertanya lembut.

“Mungkin juga. Tapi aku memang sering menjelek-jelekkannya dan membandingkannya dengan Mullemeister yang menurutku memang jauh lebih lihai. Mullemeister bisa berbaur dengan para pejabat setempat dan mengerti sopan santun Jawa.” Brotodiningrat berhenti sejenak lalu meneruskan dengan nada mengejek, “Donner tampaknya tersinggung.”

“Raden beruntung bisa kenal dengan Mullemeister.”

“Ya, saya memang beruntung. Mullemeister telah banyak membantu kasus saya sehingga bisa lolos dari dakwaan, walaupun aku tetap kehilangan jabatan. Ini justru makin menguatkan keyakinanku bahwa kedudukan kita, orang Jawa, tidak sejajar dengan Belanda.”

“Raden masih ingat dengan tulisan sepupu Raden, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, di Pembrita Betawi yang membela Raden dan mengatakan itu sebagai sebuah ketidakadilan? Banyak sekali orang memperbincangkan tentang tulisannya.”

“Bagaimana mungkin saya lupa? Sungguh hebat sepupu saya itu. Dia berani menulis di surat kabar kolom Dreyfusiana bulan lalu dengan huruf-huruf besar: SKANDAL DONNER. Dia mewawancarai banyak pejabat Belanda mengenai kasus ini. Harus saya akui pemberitaannya memberi pengaruh pada pendapat umum mengenai kasus ini, bahkan pendapat orang Eropa. Orang jadi tahu bahwa Donner itu memang gila!”

Brotodiningrat mengambil napas sebentar lalu melanjutkan dengan penuh semangat, “Dia juga dengan berani mengatakan bahwa saya harus diadili seperti halnya seorang Belanda, sama di hadapan hukum, berdasarkan bukti, bukan kabar burung.”

“Benar, Raden. Begitu pula yang dikatakan banyak orang,” Soeroto ikut bersemangat.

“Soeroto, tidak hanya dalam hal hukum kita harus setara dengan orang Belanda, tapi juga dalam pendidikan. Aku beruntung bisa sekolah di sekolah Belanda karena aku adalah seorang keturunan bupati. Tapi kamu, seorang biasa, tidak akan pernah punya kesempatan untuk bersekolah. Kamu hanya bisa menjadi kacung, atau telik sandi, seperti pekerjaanmu saat ini.”

Inggih, Raden.” Soeroto memberi hormat dan menunduk.

“Kulihat kau cukup cerdas. Andaikan kau bisa sekolah, kau mungkin bisa belajar bahasa Belanda, lalu menjadi seorang juru tulis atau bahkan seorang pengawas perkebunan tebu. Namun kau tidak bisa punya kesempatan seperti itu.”

“Saya tidak berani mimpi setinggi itu, Raden.” Soeroto masih menunduk.

“Harus, kau harus berani bermimpi. Soeroto, zaman akan berubah. Tirto sudah menerawangnya lebih jauh, dan saya membenarkan pikirannya. Kita harus memperjuangkan kesetaraan kita dengan Belanda,” lanjut Brotodiningrat dengan berapi-api.

“Apakah artinya kita harus bebas dari pemerintah kolonial Belanda, Raden?” tanya Soeroto.

“Kita harus memperjuangkan kesetaraan kita dengan Belanda!” tegas Brotodiningrat.

“Apa artinya itu, Raden?”

“Artinya harus ada Dewan Rakyat, yang berisikan orang-orang pribumi. Kita harus diberi kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Dewan Rakyat yang bisa memberi usul kepada Gubernur Jenderal.” Brotodiningrat semakin bersemangat.

“Pemikiran Raden terlalu maju, saya sulit untuk mengikutinya.”

“Tidak apa-apa, Soeroto. Saya malah mungkin menderita karena pemikiran yang terlalu maju ini. Mungkin pemerintah di Batavia diam-diam telah membaca pemikiran saya untuk memperjuangkan hak yang lebih setara bagi kita, orang pribumi.”

“Maksud Raden, bahwa Raden sebenarnya diberhentikan dari jabatan bupati karena terlalu berani menantang Belanda?” Ada nada tidak percaya dalam suara Soeroto.

“Pintar kau, Soeroto. Saya terlalu berani menantang Belanda. Mungkin memang belum saatnya buah kemerdekaan ini matang dan jatuh dari pohonnya. Sekarang bunga-bunga kecil baru bersemi malu-malu. Beberapa nantinya akan menjadi buah, dan beberapa di antaranya akan menjadi matang. Aku melihat itu di diri sepupuku, Tirto.”

Inggih, Raden.”

“Perjuangan masih panjang, Soeroto. Ingat kata-kataku ini, kemelut rakyat kita dengan Belanda seperti kasus Donner bukanlah yang terakhir. Kali ini kita menang, sebagian, tapi akan ada kemelut yang lebih besar nanti. Kau adalah abdi saya, bawalah semangat saya di masa depan, supaya bangsa kita tetap bisa menang bila berhadapan dengan Belanda.” Mata Brotodiningrat terlihat berapi-api penuh semangat, walaupun dia kehilangan jabatannya sebagai bupati dalam kemelut.

***

Choose Site Version
English   Indonesian