Tekan tombol untuk:

Aimuna dan Sobori (Bab 10)

Hanna Rambe seorang penulis Indonesia yang giat dalam menulis, diantara karya-karyanya adalah beberapa riwayat hidup dan novel-novel sejarah. Mengisahkan ulang sejarah Indonesia dalam bentuk cerita disertai pelukisan keadaan alam negeri yang indah adalah kekuatannya sebagai penulis.

Tulisan-tulisannya mengajak pembaca untuk memperhatikan nasib penduduk pribumi. Dua dari novelnya yang patut diperhatikan adalah Pertarungan (Indonesiatera, 2002) dan Mirah dari Banda (Universitas Indonesia Press 1988).

***

 

Bab Sepuluh

Pada suatu senja, dari sekian banyak senja yang mereka lalui dalam perjalanan kilat itu, Muna duduk di geladak memandang ke laut, ke kejauhan. Gamati sedang mandi di laut. Lepa-lepa mereka sedang berhenti. Makela dan Makasuli menyiapkan makanan. Orang muda semua mengurus perahu dan makanan. Saat makan malam hampir tiba.

Sobori naik ke lantai geladak, pelan sekali. Dipandangnya istrinya yang sedang duduk menghadapi air laut. Muna tak sadar Bori duduk di dekatnya. Pikirannya terpusat pada dirinya. Muna membelai perutnya yang bulat penuh. Mungkin ia sedang memikirkan saat melahirkan yang sudah tambah dekat. Dengan lembut ia membujuk bayi di perutnya, agar diam, karena ia kesakitan. Mungkinkah sudah tiba waktunya? Mulasnya bertambah sering. Seperti ada iramanya, tiap sekian waktu sekali.

Bori beringsut pelan sekali, sampai ke sisi Muna.

Ia berbisik, “Muna, bilakah bayi kita lahir? Kita akan sangat berbahagia, punya keturunan. Ada yang meneruskan cita-cita Kurubela dan Ranila, orangtuaku.”

Muna terkejut sejenak, namun berusaha tenang. Ia memutar tubuhnya, kini membelakangi laut.

Angin laut membelai destar di kepalanya, penutup gundulnya.

Dengan mata yang berseri-seri dipandangnya Sobori, yang belum pernah dilihatnya jelas sejak ia balik dari benteng Tutua. Kesibukan mereka bertubi-tubi. Kebahagiaan yang menghangatkan seluruh tubuhnya terasa seperti aliran aneh dari kepala sampai ke kakinya. Perasaan seperti itu belum pernah dialaminya sebelumnya. Hangat. Segar.

Tiba-tiba Sobori menubruknya, mendekapnya erat-erat.

Bori berbisik mesra, “Muna, mohon pa Upulanite, anak ini selamat. Jika lahir di laut, ia akan jadi pahlawan laut. Ia kenal laut kita sampai ke dasarnya sekalipun,” bisiknya.

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui:

https://obor.or.id/Aimuna-dan-Sobori-Sebuah-Novel-tentang-Pemusnahan-Pohon-Cengkeh?search=aimuna%20dan%20sobori

 

Choose Site Version
English   Indonesian