Han Gagas lahir di Ponorogo, 21 Oktober 1977. Dia alumni jurusan geodesi UGM Yogyakarta. Cerpennya dimuat media massa seperti Horison, Kompas, Tempo, Republika, dan Suara Merdeka. Karyanya yang terbit, diantaranya novel Orang-orang Gila (Buku Mojok, 2018). Novelnya Balada Sepasang Kekasih Gila pemenang lomba Falcon Script Hunt 2020 akan difilmkan Falconpicture dan catatan pengalamannya selama tinggal di Yerusalem berjudul Adzan di Israel akan diterbitkan Penerbit Gading pada akhir tahun 2021.
Karya terbarunya, kumpulan cerpen Sepasang Mata Gagak di Yerusalem diterbitkan Penerbit Interlude pada bulan Juni, 2021.
Saat ini tinggal di Solo, Jawa Tengah, selain menulis juga mengelola media daring Nongkrong.co
Penulis dapat dihubungi melalui surel: han.gagas@gmail.com
***
Hikayat Jarot di Agustusan
Para penghuni kolong jembatan sebagian masih terlelap; sebagian ngopi, sebagian yang lain mancing dan menjaring ikan. Ada pula yang mendengarkan siaran radio, “Pidato Kemerdekaan oleh Bapak Presiden, dilanjutkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.”
Jarot sedang membangun bedeng untuk tempat tinggalnya. Saat matanya melihat gitar bas terapung mengalir di arus sungai, dia berlari mengambil. Jarot membersihkan, dan mulai memperbaikinya.
Jarot mau ngamen dengan gitar bas itu buat cari uang. Dia membuat senar dari ban dalam sepeda, dan memasangkannya. Dia coba memetik dan berbunyi “dung-dung-dung.”
Jarot mulai bernyanyi menjajal gitar, sebuah lagu didendangkan:
Di sini senang, di sana senang. Di mana-mana hatiku senang. Lalalalalalala, lalalalalala, lalalala, lalalalalaa, lalalalala, lalalala….
***
Jarot menenteng gitar bas memasuki perkampungan yang penuh bendera merah putih, umbul-umbul terpasang di tepi jalan, berjajar-jajar, semarak karena Agustusan, perayaan kemerdekaan. Dia mendekati sebuah rumah dan mulai menyanyi.
Halo-halo Bandung, ibu kota Periangan. Halo-halo Bandung, kota kenang-kenangan, sudah lama beta… tidak berjumpa dengan kau, sekarang telah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali!
Jarot bernyanyi dengan gegap gempita, hingga banyak orang yang mendengar pada senyum-senyum sendiri.
“Edan, ngamen pakai lagu kebangsaan, hehehe,” terdengar suara seseorang.
Jarot juga menyanyi lagu Indonesia Raya, suaranya semangat penuh seluruh.
“Indonesia Tanah Airku/Tanah Tumpah Darahku/Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku/ Indonesia-kebangsaanku/Bangsa dan tanah airku/Marilah kita berseru/Indonesia bersatu.”
Banyak orang yang mendengar jadi turut menyanyi, terutama pada kalimat, Indonesia bersatu! Seruan itu menggetarkan dan mengobarkan semangat semua terlecut sifat kebangsaannya bahkan beberapa anak mulai mengekornya saat mengamen.
Orang-orang tua, yang dimulai oleh seorang mantan pejuang kemerdekaan yang berbaju coklat, juga ikut. Jadinya mulai banyak orang-orang tua termasuk emak-emak turut mengekor Jarot.
Sambil menyanyi makin semangat, Jarot mengamen dari rumah ke rumah, termasuk kios-kios dan toko.
Semua yang mengekor ikut menyanyi bagai paduan suara jalanan yang penuh gelora. Bulan Agustus, bulan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia, ini tahun terasa lebih ramai dan semangat. Sebagian warga segera mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki, sebagian lain mengambil ember untuk suara tabuhan. Suara Jarot dan paduan suara jalanan itu makin menggetarkan bendera merah putih dan baliho yang berkibar-kibar di seantero jalanan.
Saat menemukan bendera berkibar di depan SD, Jarot berhenti dan berteriak, “Siiiiiiaaaaaaappppp! Graaaakkkk!!” Orang-orang tua yang mengekornya, termasuk anak-anak turut berdiri dalam keadaan siap.
“Kepada bendera merah putih, hormaaaatttttttt graakkk!” seru Jarot.
Jarot menghormati bendera. Orang-orang mengikuti.
Masyarakat yang menonton jadi senyum-senyum sendiri.
Tak jauh dari arak-arakan Jarot, di sebuah warung, sejumlah orang bercakap-cakap sambil makan.
“Orang edan, gemblung kok diikuti!”
“Ndaklah, dia menyatukan mereka, coba lihat, itu ada yang sukunya Batak, Jawa, Sunda, macam-macam jadi satu, iya khan hehehe….”
“Iya seh, hehehe.”
“Eh, pengamen itu siapa namanya?” tanya yang lain. Dia menunjuk Jarot yang wajahnya seperti orang lugu, hidungnya pesek, dan giginya tonggos.
“Jarot tha, kenapa?”
“Asyik orangnya, kemarin aku lihat dia membersihkan sungai. Sampah-sampah dia kumpulkan dan dia pilah mana yang secara alamiah dapat terurai dan mana yang tidak, sebagian dia bakar. Dia juga menanami bantaran sungai dengan bibit pohon mangga.”
“Wah, sungai yang bersih sana itu tha?
Ibu penjual yang mendengar ikut menyahut: “Iya, Jarot yang bersihin!
***
Lambat laun sejumlah penduduk membantu Jarot maka sungai yang sebelumnya sangat kotor dan dipenuhi semak belukar itu kini jadi lebih bersih dan tertata. Seiring berjalannya waktu pohon-pohon makin membesar dan meninggi membuat lingkungan sekitar sungai jadi rindang dan teduh, sehingga jadi tempat yang enak buat memancing. Kadang-kadang pula Jarot ikut memancing, dan memperoleh hasil yang lumayan untuk lauk makan.
Makin hari kehidupan di sekitar sungai makin bertambah maju, dengan dibangunnya taman dan tempat bermain anak-anak. Saran itu adalah usulan yang disampaikan Jarot di rapat warga yang disetujui Ketua RT dan RW. Dengan bantuan dana dari pemerintah kota, taman dan tempat bermain anak itu dibangun. Makin majulah kehidupan di sekitar sungai, dan itu jadi percontohan tempat-tempat lain untuk memajukan wilayahnya masing-masing.
Jarot sendiri makin dikenal sebagai penggiat lingkungan. Kehidupan di tepian sungai itu yang sebelumnya sepi-sepi saja sekarang berkembang.
Jasa parkir dibuka di dekat bantaran sungai, beberapa warung tenda dibuka untuk melayani pengunjung taman. Toko pulsa, tukang cukur, warung nasi, jualan es, jualan bensin dan toko kelontong mendadak ramai, bisa dibilang berkat Jarot usaha para warga sekitar jadi makin laku, makin banyak mendatangkan keuntungan.
Jarot sendiri tak memungut beaya dari siapa saja yang ingin menikmati taman dan tempat bermain anak-anak itu. Hanya ada seorang tetangga yang bertugas mengawasi kendaraan sambil memasang kaleng besar buat wadah uang seikhlasnya untuk membayar parkir. Lembaran-lembaran uang yang masuk ke dalam kaleng itu nanti akan digunakan untuk kebutuhan warga, khususnya untuk membantu biaya pengobatan bila ada yang sakit, dan biaya melahirkan.
Hari-hari jadi penuh kesibukan, penuh kesungguhan. Semua berjalan sesuai adatnya selama beberapa tahun hingga pada satu malam yang tak biasanya, Jarot bermimpi aneh yang membuatnya merasa gelisah, merasa terancam.
Ada bayangan gelap membekapnya malam-malam. Jarot megap-megap tak berdaya, dan terbangun saat dia nyaris kehabisan napas. Keringat dingin bercucuran di dahi.
Dia tak tahu siapa pemilik bayangan itu. Jarot mulai menyelidiki hal ikhwal yang barangkali berhubungan dengan mimpinya. Dia menelisik ke dalam dirinya sendiri. Dia tahu ada sikap suka dan tidak suka dari warga masyarakat mengenai dirinya. Baginya semua itu wajar sepanjang dia tak diganggu, dia sendiri tak berniat mengganggu yang lain, dia akan menjalani semua hal dengan hati ringan.
Dia selalu percaya pada naluri yang kerap terbukti, bahwa ada orang lain yang tak menyukai kehadirannya. Pastinya pemilik bayangan itu. Wajahnya gelap.
Saat Jarot mencoba menerawang lebih dalam dan khusyuk, secara aneh tabir hitam menutupi parasnya membuat muka itu jadi rata. Hanya bagian pakaian yang samar-samar bisa dilihat. Setelan bajunya rapi, berjas dan berdasi, jam berantai emas terselip di saku baju, dia bersepatu selop.
Mimpi buruk tak cuma sekali mendatanginya. Termasuk malam itu, mimpi lebih menyeramkan! Tak hanya bayangan gelap yang membekap tetapi juga puluhan orang datang menyerbu, sedangkan sosok malaikat kematian pun datang mengancamnya. Dini hari itu, Jarot terbangun dengan keringat bercucuran, bayangan itu tak juga lekas pergi. Cukup lama dia terbangun dan cukup lama bayangan itu ada di pelupuk matanya, seakan menjerat ingatannya. Jarot segera mendaraskan wirid yang panjang, bersembahyang sampai subuh menjelang hingga hatinya merasa tenang.
Hari itu Jarot berpuasa.
Dia berpikir barangkali dalam hidupnya pernah melakukan hal tak baik yang tak dia sadari. Dia ingin menebus hal tak baik itu yang barangkali ada hubungannya dengan mimpi buruknya selama ini. Semua hal baik dia upayakan di hari itu, namun kesialan bisa datang kapan saja, tanpa diduga.
Malam itu sesudah Jarot berbuka puasa, seperti biasa dia mempersiapkan diri dengan semangat untuk esok hari merayakan hari kemerdekaan. Jarot mengumpulkan bendera untuk persiapan upacara bendera.
Tiba-tiba datang puluhan orang.
“Jarot!” teriak seseorang.
Dalam kegelapan, gelaran air sungai masih terlihat hamparannya karena tersirami cahaya sinar rembulan. Lampu merkuri di pojok jembatan berkemilau bergoyang-goyang karena
cahayanya terhambat bebatuan.
Tak banyak orang di kolong jembatan pada malam itu, andai pun ada akan menyingkir melihat puluhan orang datang membawa ancaman.
“Keluar kau!” teriak orang-orang itu lebih keras.
Jarot tergeragap, hatinya berdesir, jantungnya berdetak tak biasa, namun dia segera menenangkan diri, melangkah keluar dari bedengnya.
“Ada apa? Tenang, semua bisa dibicarakan.”
“Persetan dengan omonganmu!”
Beberapa orang langsung merangsek menyerang Jarot, mengeroyoknya.
“Tenang, sabar, apa mau kalian? Ayo bicara baik-baik,” kata Jarot sebelum berbagai tonjokan dan tendangan menghantam tubuhnya, bertubi-tubi. Hidungnya berleleran darah, perutnya nyeri tanpa ampun. Kepalanya pusing, pening, ngilu, dan rasa nyeri meradang di sekujur tubuhnya.
“Pergi dari sini kalau kau tak mau mati!” Hajaran itu berlangsung makin beringas tak peduli.
Jarot diam tak melawan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.
“Minggat! Kalau besok kau masih ada, kau akan kami habisi!”
“Ingat itu!”
Sejumlah orang meludahi muka Jarot, “Cuihh! Cuihh! Cuihh!”
“Pergi jauh dari sini! Kalau tidak, kau mampus! atau mereka warga kampung akan kami habisi, rumah mereka akan kami bakar!”
***
Diluar sepengetahuan Jarot, sesudah kejadian malam itu, di sebuah kantor pemerintah daerah, seorang yang berbaju rapi, berjas dan berdasi, dengan jam berantai emas di saku kanan dan bersepatu selop, berbincang dengan seseorang.
“Bagaimana?”
“Sudah kami bereskan, Tuan.”
“Bagus. Tak ada yang bisa menghubungkan gembel itu denganku, karena beberapa bulan lagi pembangunan baru akan dimulai, hahaha.”
“Benar sekali Tuan, hehehe.”
Lelaki yang dipanggil tuan itu puas siasatnya berhasil dengan baik. Dia tahu betul bahwa Jarot bisa jadi ancaman pada pembangunan jembatannya. Dia tahu Jarot punya kemampuan menghalangi rencana pembangunan yang akan merubuhkan jembatan lama dan menggantikannya dengan yang lebih lebar dan besar.
Namun perbaikan itu tidak akan dapat terlaksana tanpa merusak taman Jarot dan menyingkirkan penduduk desa. Belum tersebut dampak pembangunan yang akan timbul pada lingkungan sekitar sungai. Seorang pengusaha juga telah berjanji akan mendirikan sebuah pabrik besar di tepi sungai itu baginya.
Semua jalan telah ditempuhnya. Sesama teman pejabat pemerintah sudah disuap. Hanya baru-baru ini dia menyadari ada perubahan pola pikir dari warga di sekitar jembatan dan sungai, dan itu berasal dari pergerakan yang disebarkan oleh Jarot. Hal itu mudah dilihat dengan semakin bersih dan tertatanya lingkungan sekitar sungai. Dia yakin Jarot bukan orang sembarangan. Dia yakin, Jarot disusupkan oleh gerakan kelompok tertentu. Setidaknya oleh para penggiat lingkungan, atau HAM, LSM kiri, atau kelompok ikatan buruh.
***
Di malam menjelang hari perayaan kemerdekaan, Jarot melangkah kesakitan menjauhi kampung yang telah membuatnya jatuh cinta. Malam itu malam yang naas bagi kehidupan Jarot yang direnggut kebebasannya.
Di hari kebebasan bangsa Indonesia dari penjajah, Jarot terusir dari gubuk tempat tinggalnya selama ini.
Paginya, orang-orang kampung geger, semua bingung tanpa Jarot.
Tak ada Jarot yang memandu upacara bendera, tak ada lagi arak-arakan dan paduan suara yang membahana di kampung itu tepat di Hari Kemerdekaan.
*****