Erni Aladjai lahir di Desa Lipulalongo, desa penghasil cengkeh paling ujung Sulawesi Tengah. Dia adalah puteri sulung sepasang petani cengkeh: Hasarudin Aladjai dan Mardia Abd Karim. Erni menamatkan kuliahnya di jurusan Sastra Perancis, Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelum memutuskan menjadi penulis penuh waktu, dia sempat bekerja sebagai wartawan dan penyunting berita di Makassar.
Sejumlah karyanya baik berupa puisi, esai, cerpen, dan novelet dimuat di media setempat dan nasional. Cerita pendeknya Mariantje dan Pasangan Tua terbit ulang bersama terjemahannya di laman Dalang Publishing pada tahun 2014. Cerpen ini terbit pertama kali di koran Media Indonesia tanggal 21 April, 2013. “Sampo Soie Soe, Si Juru Masak” menjadi pemenang ketiga dalam Jakarta International Literary Festival (JILFest) Tahun 2012, dua noveletnya, Rumah Perahu dan Sebelum Hujan di Seasea menjadi pemenang ke-II dan pemenang ke-III dalam Sayembara Cerber Femina 2011. Di tahun yang sama, novelnya Kei meraih pemenang unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.
Bukunya yang sudah terbit : Ning di Bawah Gerhana (Bumen Pustaka Emas, 2013) dan Kei (GagasMedia 2013). Pesan Cinta dari Hujan (Insist Press, 2010).
Erni dapat dihubungi di: erni_aladjai@yahoo.com
Bab 8
Langgur, Awal Mei 1999
Angin laut lebih gigil dari bulan-bulan kemarin. Di bibir Pantai Langgur, para lelaki tua dan pemuda berdiri berjejer. Suasana mencekam. Dari jauh, tiga buah sampan dengan nyala lentera meliuk-liuk menuju ke bibir Pantai Langgur.
“Semua siap siaga!” perintah Tinus — lelaki berumur 45 tahun itu adalah pembantu raja di bidang hukum dalam tatanan adat. Para lelaki menahan napas sejenak saat sampan-sampan itu mendekat. Semakin sampan mendekat, suara kecipak dayung mereka semakin terdengar jelas. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengangkat lampu lenteranya dan berdiri.
“Oooii yaau ya…!” Sosok yang berteriak itu ternyata seorang perempuan berkerudung.
“Apakah kami bisa masuk, kami membawa makanan dan pakaian untuk keluarga kami yang mengungsi di situ,” ujar salah seorang di dalam perahu. Mereka datang membawakan bantuan makanan untuk saudara-saudara mereka yang mengungsi.
“Ya, saudaraku, kalian bisa masuk dengan aman,” seru Tinus.
Semua lega, ternyata mereka bukanlah para penyerang, bukan pula huin demuan — orang-orang penghasut kerusuhan. Tujuan mereka untuk mengguncang Maluku, tetapi di Kei, baik Islam atau Kristen, sama-sama tetaplah orang Kei.
Para lelaki mengantarkan tiga perempuan itu ke tenda pengungsian. Di sana mereka berpelukan dengan kerabat mereka.
“Kalian jangan sedih, tenang-tenang saja dulu. Kami yakin rusuh ini pasti berhenti. Dan kita bisa bersama lagi. Untuk sementara kami tak bisa lama-lama, kalian mengerti, kan? Ini hanya untuk sementara,” kata perempuan yang bersampan itu sembari menghapus air mata kakak kandungnya.
Kekerabatan orang Kei memang sangat kompleks. Banyak orang Islam menikah dengan orang Kristen. Jadi, jika sang nenek Islam, bisa jadi anak dan cucunya Kristen. Sang suami Kristen, bisa jadi istrinya Islam, atau jika sang kakak Islam, bisa jadi adiknya Kristen atau sepupunya Katolik. Karena itu juga, semua orang Kei bersaudara. Kompleksitas kekerabatan di Kei sama rumitnya dengan irama lagu Bohemian Rhapsody yang dilantunkan grup musik legendaris Queen.
Di hati orang Kei bersemayam snib — wasiat leluhur mereka, yang selalu mengajarkan untuk menjaga, melindungi dan menghormati kaum perempuan. Mereka akan dilindungi lelaki Kei di mana pun, siapa pun dia dan penganut agama apa pun. Pengiriman bantuan makanan yang dibawa tiga orang perempuan yang bersampan itu biasa di Kei, sebab perempuan tahu, mereka tak akan disakiti.
***
Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gagasmedia.net/buku/k-e-i/