Tekan tombol untuk:

Kisah Cinta Perempuan

Ranang Aji SP menulis fiksi pertama kali di majalah berbahasa Jawa, berjudul Unjuk Rasa (Mekarsari, 1992). Sejak itu cerpennya telah diterbitkan oleh Media Indonesia, Pikiran Rakyat, Kompas, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, DetikHot, BPP Balairung UGM, Sastra Banua, Banjarmasin, dan Minggu Pagi. Sejumlah puisinya diterbitkan Minggu Pagi dan Kompas[dot]Com. Menerbitkan buku kumpulan cerpen Serigala yang Berzikir Di Akhir Waktu (Penerbit Nyala, 2018).

Tahun 2011 bersama sosiolog Universitas Airlangga, Novri Susan, mendirikan media digital KoranOpini[dot]Com. Tahun 2018, bersama seniman Ugo Untoro, Topan dan Adi mendirikan jurnal seni budaya Jurnal Lembar terbit triwulan di bawah Yayasan Museum dan Tanah Liat Yogyakarta (2018).

Ranang bisa dihubungi di ranangajisuryaputra@gmail.com

Terbit bulan Juni 2019. Hak cipta ©2019 ada pada Ranang Aji SP. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan ©2019 ada pada Oni Suryaman.

 

 

Kisah Cinta Perempuan yang Diberkati Kiai Kambali

 

Di sebuah kota kecil, Pati, di pesisir utara Jawa, ada seorang perempuan muda nan cantik dan kaya, selalu menjadi perbincangan hangat dalam masyarakat. Baik itu di rumah-rumah, saat para ibu tengah berkumpul untuk arisan, kondangan, atau hanya sekedar ngobrol tentang kutu rambut Yu Giman –atau juga di jalanan,  tempat para pengangguran berkumpul di malam hari, mengutuki nasib sembari menikmati sebotol ciu oplosan. Semua itu berkat Kiai Kambali yang budiman dan sakti setengah mati. Kisahnya seperti ini.

Menurut cerita, Kiai Kambali yang berdiam di wilayah utara Jawa, adalah guru dari para guru di dunia jin dan manusia. Jika dia berjalan di antara jalan atau pematang sawah menuju gedung utama di daerah pondoknya yang luas, dapat dipastikan dia diiringi oleh seribu jin yang siap melayaninya sebagai tuan guru yang dimuliakan. Hal itu bisa disaksikan oleh semua mahluk di dunia, kecuali manusia.

Meskipun usianya masih tergolong muda, sekitar empat puluhan tahun, tapi karena keberhasilannya mendapatkan sesobek dari ribuan halaman kitab Ratamalsya, milik Nabi Sulaiman (yang semoga damai bersamanya), tiba-tiba dia menjadi menguasai pengetahuan alam jin dan alam manusia. Kemampuannya ini jelas dinilai sangat luar biasa karena banyak orang suci dari seluruh dunia memburu kitab tersebut tanpa hasil.

Hasil jerih payahnya itu diperoleh di sebuah gua di tepi Sungai Silugonggo–setelah mengalahkan jin penguasa setempat dalam sebuah pertarungan maut yang disaksikan oleh para jin dan arwah-arwah suci para guru. Dengan hasil itu, dia kemudian mendapatkan ijazah atas penasbihan gurunya, seorang kiai yang memiliki ijazah dari guru lain dari Kalimantan yang berguru pada guru-gurunya sampai pada Syekh Hussein bin Hussein dari Iran yang langsung berguru pada budak  Sulaiman (yang semoga damai bersamanya), dari sebangsa jin. Berkat ilmu ilmu kesaktian, dan kitab yang dimilikinya itu, Kiai Kambali menolong banyak orang.

Ketika seorang perempuan muda nan cantik datang padanya, untuk meminta petunjuknya agar kehidupannya berubah dari ketiadaan menjadi melimpah ruah, Kiai Kambali yang memiliki sifat kasih sayang, pada perempuan itu memerintahkan muridnya Jafar, mahluk dari kalangan jin, untuk melihat kemungkinan di dunia ini yang mampu mengubah nasib perempuan itu.

Maka, Jafar segera pergi dan kembali secepat kilat dengan membawa berita yang diinginkan.

Perempuan muda nan cantik itu, kemudian diperintahkan untuk menanam tanaman hias. Tapi ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perempuan cantik itu.

“Kamu harus menyiapkan ruangan khusus yang terkunci dan tak boleh dibuka lagi,” ujar Kiai Kambali dengan suara yang tegas.

“Untuk apa, Kiai?” Perempuan muda itu bertanya polos.

“Tidak bertanya tentang syarat adalah bagian dari syarat.” Kiai Kambali berkata sembari tersenyum.

Perempuan itu mengangguk mengerti, dan menerima syarat itu dengan rasa patuh disertai dada penuh gemuruh.

Beberapa bulan kemudian, perempuan muda nan cantik itu, datang kembali dan membawa kabar gembira. Dia menceritakan dengan rasa suka cita bahwa semua tanamannnya dibeli orang dengan harga yang tinggi –bahkan melebihi harapan harga lukisan para seniman di pasar. Kehidupannya sekarang berubah tajam. Dia mampu membeli tanah yang luas, rumah dan mobil yang bagus dan mengembangkan usahanya. Tapi masalahnya, katanya, saat ini ia dia tak memiliki suami.

Mendengar itu, kiai yang penuh kasih sayang pada perempuan itu tersenyum. Dia meminta perempuan muda nan cantik itu menunggu. Kali ini, sang maha guru memerintahkan muridnya  yang lain, juga dari kalangan jin, bernama Bendro, untuk membantu perempuan itu.

Bendro, murid pilihan itu pun segera pergi dan kembali secepat kedipan mata manusia serta mengatakan sesuatu yang hanya bisa dipahami semua mahluk di dunia, kecuali manusia.

Setelah itu, Kiai Kambali meminta perempuan muda nan cantik itu mendekat padanya. “Semua ketetapan hanya ada pada Allah Sang Maha Kuasa. Hanya Allah Yang Maha Pengasih yang akan memberimu jodoh. Apakah kamu siap diberi jodoh oleh Tuhan sendiri?” Kiai Kambali bertanya dengan nada bijak.

Perempuan muda nan cantik itu dengan kepasrahan yang penuh, mengatakan sungguh bahagia bila bisa mendapatkan jodoh atas pilihan Tuhan Yang Maha Bijaksana.

Mendengar suara perempuan itu, Kiai Kambali tersenyum. Perempuan itu dipersilakan pulang dan melakukan upacara di depan kamar khusus sembari puasa mutih, yaitu tidak makan semua yang berasa kecuali nasi dan air putih selama tujuh hari tujuh malam.

Ketika upacaranya selesai, di pagi hari setelah itu, perempuan itu menemukan seorang pemuda tengah duduk bersimpuh di depan teras rumahnya. Tubuhnya kotor dan berbau seperti sampah yang menumpuk tahunan. Dia segera memerintahkan pembantunya memberikan pemuda yang dia sangka sebagai pengemis itu uang seribu rupiah.

Namun pemuda itu tak mau menerimanya. Katanya, dia hanya ingin bekerja di rumah perempuan muda nan cantik itu.

Pembantunya menyampaikan keinginan itu pada majikannya.

Perempuan muda nan cantik yang tengah menikmati makanan buka puasanya, tak begitu menanggapi, dan hanya mengatakan silakan kapan-kapan saja kembali lagi. “Saat ini kita belum butuh,” ujarnya pendek.

Pembantunya menemui pemuda itu dan memintanya pergi setelah menyampaikan pesan majikannya. “Kembali saja kapan-kapan, siapa tahu, mungkin kamu beruntung,” katanya.

Seminggu kemudian pemuda itu datang lagi dan mengatakan meminta pekerjaan.

Kali ini, perempuan muda itu yang langsung menemuinya. Tetapi, karena setengah jijik melihat penampilan pemuda itu, dia langsung menolaknya dengan halus.

“Saya bisa mengurus tanaman,” pemuda itu mencoba menyakinkan.

Tapi, sekali lagi perempuan muda nan cantik itu menolak.

Pemuda itu lantas pergi, tapi kemudian dia kembali lagi –bahkan bolak-balik tanpa jera hingga beberapa minggu kemudian. Kunjugannya yang terakhir, tepat di saat pembantu perempuan muda nan cantik itu menyatakan berhenti bekerja.

Karena perempuan itu sedang membutuhkan tenaga, terpaksa dia memutuskan untuk menerima pemuda itu bekerja di tempatnya. Dia memberikan tugas mengurusi semua tanaman hiasnya.

Menyadari keputusannya ini, perempuan muda nan cantik itu menjadi berpikir dan mulai kuatir, jangan-jangan pemuda inilah yang diberikan Tuhan Yang Maha Pengasih kepadanya. “Ya Allah, apa dosaku,” keluhnya. Dalam hatinya dia marah dan menolak tegas pemuda dekil itu sebagai jodohnya. Maka, dia menjaga jarak agar tak selalu bertemu.

Suatu malam, tanpa bisa ditahan karena kegelisahan dan rasa muak, dia memutuskan mendatangi Kiai Kambali untuk meminta nasihat.  Namun, sebelum sampai di pelataran pondok, tiba-tiba matanya seperti melihat pemuda dekil itu di sebuah gubuk tengah sawah bersama seorang perempuan. Hatinya menjadi semakin kaget bukan kepalang karena ternyata perempuan itu sama persis dengan dirinya. Di sana, dia melihat mereka tengah berbincang mesra selayaknya kekasih. Jantungnya berdebar kencang. Dengan perasaan yang diliputi ketakutan, tapi juga rasa penasarannya, dia memaksakan diri untuk mencoba melihat lebih dekat. Namun, ketika kakinya hendak melangkah, tiba-tiba bayangan itu menghilang.

Karena semakin takut, akhirnya dia memutuskan kembali ke rumah.

Pikirannya kacau.

Hatinya dibingungkan oleh apa yang ia lihat.

Mengapa pemuda itu ada bersama perempuan yang mirip dengan dirinya di gubuk sawah Kiai Kambali? Apakah dirinya tengah mengalami penampakan?

Semakin lama merenungkan, semakin dia merasa kuatir. Bila benar bahwa pemuda dekil itu adalah orang yang dikirim Kiai Kambali, maka seharusnya dia mau menerima. Jika tidak pasti akan membuatnya mendapatkan bencana, pikirnya.

Setelah lelah memikirkannya, perempuan muda nan cantik itu akhirnya membuat kesimpulan, bahwa pemuda dekil yang bekerja untuknya itu mungkin orang yang dikirim oleh Kiai Kambali. Untuk itu, dia seharusnya menemui dan memperlakukannya dengan baik.

Esok harinya dia ingin bicara pada pemuda itu untuk memastikan kemungkinannya, tapi sebelum sempat bertemu,  pintu rumahnya diketuk oleh seseorang. Masih dengan perasaan yang tumpang tindih, dia membukakan pintu untuk melihat siapa yang datang berkunjung. Agak terperangah, karena tamunya kali ini adalah seorang pemuda yang bersih lagi tampan, dengan wajah mirip Kiai Kambali.

“Jafar, Bu… Saya Jafar,” kata tamunya memperkenalkan diri. Pemuda itu mengaku ingin membeli beberapa bunga untuk kebutuhan pernikahan.

Tanpa bertanya siapa yang akan menikah, segera saja dia memanggil si pemuda, untuk mengurus itu semua.

Dalam beberapa hari Jafar kembali datang untuk keperluan yang sama.

Ketika Jafar datang suatu malam untuk ketiga kalinya, mereka menjadi semakin akrab dan perasaannya tiba-tiba merasa terpikat.

Perempuan muda nan cantik itu mulai berpikir bahwa pemuda bernama Jafar ini adalah jodohnya, bukan pemuda dekil yang bekerja padanya. Hari-hari berikutnya kepalanya dipenuhi dengan lamunan asmara. Dia bahkan telah bertekad untuk menikahi Jafar. Keputusannya ini akan dia sampaikan pada Kiai Kambali, sekaligus memohon agar diberi doa mantra asmara sebagai cara memudahkan jalannya.

Perempuan muda nan cantik itu kemudian menemui pembantunya, si pemuda dekil, sebelum berkunjung ke pondok Kiai Kambali.

Namun, saat dia berbicara, tiba-tiba dia merasakan perasaan yang aneh, semacam perasaan yang sama seperti rasanya terhadap Jafar. Bahkan, dia juga melihat wajah pemuda itu nyaris sama dengan muka Jafar, sekaligus mirip Kai Kambali. Diliputi perasaan yang aneh,  bergegas dia datang untuk menemui Kiai Kambali di pondoknya.

Ketika bertemu Kiai Kambali, gurunya itu memandangnya dengan penuh kelembutan.

Sinar matanya yang teduh itu membuat hati perempuan muda itu seperti berada dalam dekapan kedamaian yang penuh cinta di musim bunga. Keadaan itu membuatnya lupa apa yang mesti dia sampaikan. Tersesat dalam perasaan yang aneh seolah masuk dalam sebuah lilitan tanpa ujung, perempuan muda nan cantik itu akhirnya hanya mengatakan bahwa dirinya siap menikah.

Pernyataannya itu membuat Kiai Kambali tersenyum penuh arti. “Bagus kalau seperti itu,” ujar Kiai Kambali lembut. “Kau boleh masuk di dalam kamar yang terkunci sekarang,” tambah Kiai itu.

“Kapan, Kiai?”

“Kapan saja.”

Saat pamit, perempuan muda nan cantik itu ingat apa yang hendak disampaikannya, tetapi kemudian dia urungkan niatnya itu,  karena hatinya tiba-tiba dibebani oleh keinginan yang sama terhadap Kiai Kambali. Seperti hasratnya terhadap Jafar dan pemuda dekil itu. Sepanjang perjalanan pulang, batinnya terasa tumpang tindih, pikirannya tak tentu arah. Tetapi ia mencoba membuat keputusan.

Ketika malam tiba, perempuan muda itu ingat pesan gurunya, bahwa dia bisa membuka pintu kamar khusus yang selama ini terkunci. Maka, didorong oleh rasa penasaran, dibukanya pintu kamar yang selama ini terkunci rapat.

Begitu masuk ke dalam kamar, tiba-tiba seluruh kesadarannya adalah semua jenis kebahagiaan seorang perempuan yang memimpikan pernikahan. Dia melihat dirinya bersanding berjajar di tengah-tengah diapit bersama Jafar, pemuda dekil dan Kiai Kambali. Dalam sebuah pelaminan yang indah itu, matanya seolah-olah melihat bunga-bunga yang berasal dari kebun bunganya. Di dalam pesta itu tampak pula dayang-dayang yang berdiri berjajar di depan pelaminan. Tubuhnya bergetar, sulit sekali rasanya benaknya memahami itu semua. Dengan perasaan yang seperti diayun-ayun, dia mencoba bertanya mengapa bisa menikahi tiga pria sekaligus dalam seketika. Tapi seluruh pertanyaannya itu tiba-tiba lenyap begitu saja ketika dirinyaerasakan betapa seluruh hasrat, rasa senang dan bahagianya telah mencapai puncaknya tanpa bisa dipungkiri. Ketiga pria itu baginya sama saja.

Tak ada yang bercerita bagaimana perempuan muda nan cantik itu berbagi ranjang.

 Cerita yang ada adalah, dia hidup bahagia berlimpah kekayaan bersama tiga suami yang tak pernah disaksikan secara nyata oleh masyarakat sekitarnya.

Demikianlah, kisah perempuan muda nan cantik itu terus diceritakan, dengan tambahan bumbu-bumbu yang setiap waktu bisa berubah rasa dan ceritanya, oleh para ibu yang terpesona dan cemburu dengan keberuntungan perempuan muda nan cantik itu. Juga oleh para pemuda pengangguran yang nestapa dan tak bahagia karena ditolak cintanya, dan juga karena kemiskinan yang mendera. Kisah itu terus diucapkan, setiap saat, setiap waktu dan ketika mereka sempat.

Sebagian dari mereka yang memiliki nyali, kemudian datang untuk melihat kebenarannya di kebun bunga yang diurus oleh pemuda cakap mirip Kiai Kambali dan mengaku bernama Bendro. Terkadang Jafar.

Sebagian masyarakat yang lain, berbondong-bondong mendatangi pondok Kiai Kambali untuk meminta mantra-mantra tertentu agar bernasib sama seperti perempuan muda nan cantik itu. Sebagian yang lain, bahkan  nekad pergi ke gua di tepi Sungai Silugonggo untuk bertirakat, meniru laku Kiai Kambali, dengan harapan mendapatkan kesaktian yang mampu menaklukkan dunia yang keras ini. Semua itu berkat kisah cinta perempuan yang diberkati Kiai Kambali. Seorang kiai, yang bila berjalan, selalu diringi seribu jin –yang semua itu, bisa dilihat oleh semua mahluk di dunia ini kecuali manusia.

***

 

 

 

 

 

Choose Site Version
English   Indonesian