Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis dan pengarang ternama Indonesia. Beliau lahir di Padang, Sumatera Barat tanggal 7 Maret 1922 dan wafat di Jakarta tanggal 2 Juli 2004. Karya-karyanya antara lain novel Jalan Tak Ada Ujung (1952), novel Harimau! Harimau! (1975), kumpulan cerpen Perempuan (1956), dan novel Maut dan Cinta (1977) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dalang Publishing Love Death and Revolution (2015).
Terbit bulan Desember 2020. Hak cipta terjemahan ©2020 ada pada Novita Dewi.
Kuli Kontrak
Lampu-lampu di beranda dan kamar depan telah dipadamkan. Ayah sedang menulis di kamar kerjanya. Dan kami anak-anak berkumpul di kamar tidur ayah dan ibu, mendengarkan cerita ibu sebelum kami disuruh tidur. Ibu bercerita tentang seorang pelesit, pemakan orang, yang dapat menukar- nukar tubuhnya dari manusia menjadi macan dan kemudian jadi manusia kembali, berganti-ganti.
Untuk mengenal pelesit itu orang harus melihat bandar bibirnya yang licin di bawah hidung, dan kalau dia berjalan maka tumitnya yang ke depan. Sungguh amat menakutkan dan mengasyikkan cerita ibu itu, dan kami duduk sekelilingnya berlindung dalam selimut; agak ketakutan, amat menyenangkan benar.
Sedang kami begitulah tiba-tiba terdengar ribut di luar rumah dan kemudian terdengar opas penjaga rumah kami berteriak-teriak memanggil ayah dari luar, “Inyik! Inyik!”
Kami semua terkejut.
Ibu berhenti bercerita.
Ayah terdengar bergegas membuka pintu kamar kantornya dan terus ke beranda.
“Aduh, ada lagi kampung yang perang, barangkali,” seru ibu.
Dan kami pun mengikutinya ke beranda.
Di masa itu ayah bekerja sebagai demang di Kerinci dan dalam tahun dua puluhan dan tiga puluhan itu keadaan daerah itu seperti di masa abad pertengahan saja. Karena soal pembagian air sawah, soal kerbau dan sebagainya, satu kampung lalu menyatakan perang kepada kampung yang lain. Senjata yang lazim dipakai dalam perang ini ialah batu sebesar telur ayam diayunkan ke arah musuh dengan tali-tali istimewa untuk pengayunkannya. Baru semingguan yang lalu ayah pergi ke Sungai Deras menghentikan perang semacam ini dan dia kena peluru batu kesasar yang merenggutkan topi helmnya dari kepalanya. Untunglah tidak tepat, kenanya. Hanya pening juga kepala ayah beberapa lama dibuatnya.
Baru setelah perkelahian dapat dihentikan oleh polisi dengan menembakkan senapan berkali-kali ke udara dan kedua kepala kampung dari desa yang berperang itu dipertemukan, dan mereka mendengar ayah nyaris kena lemparan batu mereka yang berperang, maka kepala-kepala kampung itu meminta-minta maaf dan ampun, dan berkata bahwa mereka tidak bermaksud memerangi ayah sama sekali. Akhirnya karena menyesalnya mereka dengan batu yang menyasar itu, maka dengan mudah mereka menerima usul perdamaian ayah dan membagi air untuk sawah-sawah mereka dengan berdamai.
Ketika opas penjaga rumah berteriak-teriak memanggili ayah, hari hampir jam sembilan malam. Di bawah, beberapa orang polisi dengan komandannya berdiri, dan tidak terdengar olehku mula-mula apa katanya pada ayah. Kami segera juga disuruh masuk, oleh ayah, kembali.
Ayah masuk sebentar dan dengan cepat berpakaian. Dia mengenakan sepatu kulitnya yang panjang, mengenakan pistolnya di pinggangnya, topi helmnya, dan kemudian segera ke luar.
Tiada lama kemudian ibu masuk, dan berkata, “Nah, kini anak-anak semua, tidurlah. Ayah mesti pergi. Ada kuli kontrak lari.” Kelihatan ibu merasa cemas di hatinya.
Esok pagi kami dengar dari Abdullah, opas penjaga rumah bahwa ada lima kuli kontrak yang melarikan diri dari onderneming Kayu Aro, setelah menikam opzichter Belanda.
***
Ketika kami pulang sekolah jam 12 siang, ayah belum kembali juga. Ketika dekat magrib, ayah belum juga pulang. Ibu mulai cemas dan sebentar-sebentar dia ke depan melihat ke jalan. Beberapa kali aku dengar ibu bercakap-cakap dengan opas Abdullah, yang berkata supaya ibu jangan khawatir.
Ayah tiba ketika hari telah malam dan kami semua telah disuruh tidur. Aku dengar ayah bercakap-cakap dengan ibu sampai jauh malam dan kemudian rumah pun sunyilah.
Esoknya kami dengar bahwa kuli-kuli kontrak itu telah tertangkap semuanya dan telah dibawa ke penjara. Penjara terletak di bawah bukit kecil di belakang rumah kami. Dari kebun buah-buahan dan sayur di belakang rumah, jika kami naik pohon jeruk yang besar, dapatlah dilihat lapangan belakang penjara, tempat orang hukuman dibariskan tiap hari atau diberi hukuman.
Dari kebun itulah terdengar suara orang gila yang ditahan dalam penjara, menyanyi-nyanyi atau memaki-maki. Mengapa di masa itu orang gila dimasukkan penjara dan tidak ke rumah sakit tidak jadi pertanyaan bagiku, waktu itu. Kadang- kadang asyik juga aku mendengarkan nyanyiannya yang beriba-iba, kemudian lantang mengeras, dan lebih hebat lagi jika telah mulai memaki-maki, amat sangat kotornya kata-katanya. Sungguh sedap selagi kecil itu dapat mendengar perkataan-perkataan yang terlarang demikian.
Kemudian ibu bercerita bahwa ayah dan polisi dapat menangkap tiga orang kuli kontrak yang melawan opzichter Belanda itu. Hanya tiga orang, tidak lima orang seperti diceritakannya semula. Mereka tertangkap dalam hutan tidak jauh dari onderneming, separuh kelaparan dan kedinginan dan penuh ketakutan. Mereka tiada melawan sama sekali. Dan ketika melihat ayah maka mereka segera datang menyerah dan berkata, “Pada kanjeng kami menyerahkan nasib dan memohon keadilan.”
Menurut ibu, yang didengarnya dari ayah, sebabnya terjadi penikaman terhadap opzichter Belanda itu karena opzichter itu selalu mengganggu istri mereka. Dan rupa-rupanya kuli-kuli kontrak itu sudah mata gelap dan tak dapat lagi menahan hati melihat opzichter itu mengganggu istri-istri mereka. Itulah maka mereka memutuskan ramai-ramai menyerang si opzichter.
“Tidak salah, mereka itu,” kata ibu yang rupanya merasa gusar sekali melihat kuli-kuli kontrak yang ditangkap itu. “Mestinya opzichter jahat itulah yang ditangkap,” tambah ibu.
“Mengapa tidak ditangkap, dia?” tanya kami anak-anak.
Ibu memandangi kami, dan berkata dengan suara yang lunak, “Karena yang berkuasa Belanda! Belanda tidak pernah salah.”
“Tetapi dia yang jahat,” kata kami mendesak ibu.
“Ibu tidak mengerti,” sahut ibu, “tapi jangan kamu tanya-tanya pada ayah tentang ini. Dia sudah marah-marah saja, sejak pulang dari onderneming.”
Ketika ayah pulang kantor dan setelah dia makan, maka kami semua dipanggil ke kamar kerjanya. Kelihatan muka ayah agak suram. Sesuatu yang berat menekan pikirannya. Setelah kami berkumpul, maka ayah berkata, “Tidak seorang yang boleh ke sana. Ayah larang anak-anak pergi ke kebun belakang. Ayah akan marah sekali pada siapa saja yang melanggar larangan ini.”
“Mengapa, ayah?” tanya kami.
“Turut saja perintah ayah!” sahut ayah dengan pendek.
Kami pun mengerti. Jika ayah telah bersikap demikian tak ada gunanya membantah-bantah. Tapi hati kami penuh macam-macam pertanyaan, Mengapa dilarang? Ada apa?
Segera juga ibu kami serbu, hingga akhimya untuk mendiamkan kami ibu pun berkata bahwa esok hari ketiga kuli kontrak itu akan diberi hukuman. Sebelum perkaranya dibawa ke depan hakim maka mereka akan dilecuti, karena telah menyerang opzichter Belanda.
Kecut hatiku mendengar cerita ibu. Rasanya badanku dingin menggigil. Dan setelah masuk kamar tidur, amat lama baru aku bisa tidur. Pikiranku terganggu mendengar kuli-kuli kontrak yang akan dilecuti esok pagi di penjara. Ketakutan berganti-ganti dengan nafsu hendak melihat betapa manusia melecut manusia dengan cemeti.
Pagi-pagi saudara-saudaraku yang harus ke sekolah telah berangkat. Dan kami yang belum bersekolah diberi tahu lagi oleh ayah dan ibu supaya jangan pergi ke kebun di belakang rumah kami.
Dari opas Abdullah kudengar mereka akan dilecut mulai jam sembilan pagi. Semakin dekat jam sembilan semakin resah dan gelisah rasa hatiku. Hasrat hatiku melihat mereka dilecut bertambah besar saja.
Ketika hari telah hampir lima menit menjelang jam sembilan hatiku tak dapat lagi kutahan, dan sambil berteriak pada ibu bahwa aku pergi bermain ke rumah sebelah maka aku lari ke luar pekarangan di depan rumah, ke jalan besar, berlari terus memutar jalan ke jalan besar di belakang rumah, masuk pekarangan rumah sakit, terus berlari ke belakang rumah sakit yang berbatasan dengan kebun di belakang rumah kami, memanjat pagar kawat, meloncat ke dalam kebun, dan dengan napas terengah-engah memanjat pohon jeruk, hingga sampai ke dahan di atasnya tempat aku biasa duduk dan melihat-lihat ke bawah, ke pekarangan belakang rumah penjara.
Pekarangan itu ditutupi batu kerikil. Di tengah-tengahnya telah terpasang tiga buah bangku kayu. Sepasukan kecil polisi bersenjata senapan berdiri berbaris di sisi sebelah kiri. Kemudian kulihat ayah keluar dari gang menuju pekarangan di belakang penjara, di sebelahnya kontrolir orang Belanda, asisten wedana, polisi, dokter rumah sakit. Dan kemudian dari gang lain keluarlah tiga orang yang akan dilecuti itu. Mereka hanya memakai celana pendek dan tangan mereka diikat ke belakang, diiringi oleh kepala rumah penjara dan dua orang polisi.
Hatiku berdebar-debar, dan takut kembali meremasi perutku. Akan tetapi aku tak hendak meninggalkan tempat persembunyianku. Aku hendak melihat juga apa yang akan terjadi.
Ketika kuli kontrak itu dibariskan dekat bangku-bangku kayu yang telah tersedia, mereka disuruh jongkok. Kepala rumah penjara kemudian membacakan sehelai surat. Dan aku lihat kontrolir mengangguk-angguk. Ayah berdiri tegang tidak bergerak-gerak. Kemudian ketiga kuli kontrak itu dibuka ikatan tangan mereka di belakang, ditidurkan telungkup di atas perut mereka di bangku, dan kaki dan tangan mereka diikatkan ke bangku.
Tiga orang mandor penjara kemudian maju ke depan, kira-kira 2 meter dari setiap bangku, di tangan mereka sehelai cemeti panjang yang hitam warnanya. Kemudian kepala penjara berseru, “Satu!”
Suaranya keras dan lantang. Tiga orang mandor penjara mulai mengayunkan tangan mereka ke belakang. Cemeti panjang berhelak ke udara seperti ular hitam yang hendak menyambar, mengerikan. Dan terdengarlah bunyi membelah udara, mendengung tajam; lalu bunyi cemeti melanggar daging manusia, yang segera disusuli jeritan kuli kontrak yang di tengah melonjakkan kepalanya ke belakang. Dari mulutnya yang ternganga itu keluarlah suara jeritan yang belum pernah aku dengar dijeritkan manusia: melengking tajam membelah udara, menusuk seluruh hatiku, dan membuat tubuhku seketika lemah-lunglai.
Karena amat sangat terpengaruh dengan apa yang kulihat, maka ketika hendak turun dan pohon aku salah meletakkan kakiku ke bawah dan menjerit terkejut, jatuh ke bawah amat sakitnya. Beberapa saat aku terhentak diam di tanah, dan kemudian aku menangis kesakitan. Opas Abdullah yang sedang berada di dapur datang ke belakang, melihat aku terbaring lalu cepat menggendongku ke rumah.
Sikuku amat sakitnya. Ibu memeriksanya dan berkata, “Sikumu terkilir. Dan lalu ditambahnya, “Ayah akan marah sekali, engkau melanggar perintahnya. Mengapa kau di kebun?”
Aku hanya menangis. Aku segera dibawa ke rumah sakit dan setelah manteri rumah sakit menarik tanganku, yang rasanya menambah sakit sikuku saja, dan kemudian tanganku diperban, aku disuruhnya tidur dan tidak boleh bermain-main.
Petangnya ayah pulang dari kantor. Aku ketakutan saja menunggunya. Setelah dia makan kudengar ibu bercakap-cakap dengan ayah. Tentu mengadukan aku, pikirku dengan takut.
Tak lama kemudian ayah datang melihat aku. Dia duduk di pinggir tempat tidur. Ditatapnya mukaku diam-diam, hingga aku pun terpaksa menundukkan mata.
“Engkau melihat semuanya?” tanya ayah.
“Ya. Aku salah. Ayah,” kataku dengan suara gemetar ketakutan.
Ayah pegang tanganku dan kemudian berkata dengan suara yang halus sekali, akan tetapi yang amat sungguh-sungguhnya,
“Jika engkau besar, jangan sekali-kali kau jadi pegawai negeri. Jadi pamong praja! Mengerti?”
“Ya, Ayah!” jawabku.
“Kau masih terlalu kecil untuk mengerti,” kata ayahku. “Sebab sebagai pegawai negeri orang harus banyak menjalankan pekerjaan yang sama sekali tak disetujuinya. Bahkan yang bertentangan dengan jiwanya. Untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram menjadi halal, dan sebaliknya.”
Kelihatannya ayah hendak meneruskan pembicaraannya. Tetapi dia lalu berhenti dan cuma berkata, “Ah, tidurlah engkau!”
***