Tekan tombol untuk:

Mariantje dan Pasangan Tua

Erni Aladjai lahir di Desa Lipulalongo, desa penghasil cengkeh paling ujung Sulawesi Tengah, 7 Juni 1985. Ia adalah puteri sulung sepasang petani cengkeh: Hasarudin Aladjai dan Mardia Abd Karim. Erni menamatkan kuliahnya di jurusan Sastra Perancis, Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelum memutuskan menjadi penulis penuh waktu, ia sempat bekerja sebagai wartawan di Makassar, penyunting berita. Kemudian ia memutuskan menulis penuh waktu. Selain menulis, ia bekerja sebagai penyunting novel lepas.

Sejumlah karyanya baik berupa puisi, esai, cerpen, dan novelet dimuat di media setempat dan nasional. Cerita pendeknya “Sampo Soie Soe, Si Juru Masak” menjadi pemenang ketiga dalam Jakarta International Literary Festival (JILFest) Tahun 2012, dua noveletnya, Rumah Perahu dan Sebelum Hujan di Seasea menjadi pemenang ke-II dan pemenang ke-III dalam Sayembara Cerber Femina 2011. Di tahun yang sama, novelnya Kei meraih pemenang unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.

Bukunya yang sudah terbit : Pesan Cinta dari Hujan (Insist Press, 2010), Ning di Bawah Gerhana (Bumen Pustaka Emas, 2013) dan Kei (GagasMedia 2013).

Ia bisa dihubungi di : erni_aladjai@yahoo.com

“Mariantje dan Pasangan Tua” terbit pertama kali di koran Media Indonesia tanggal 21 April, 2013, hak cipta ada pada Erni Aladjai. Terbitan perubahan hak cipta © 2014 oleh Erni Aladjai. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan © 2014 oleh Nurhayat Indriyatno Mohamed.

***

Mariantje dan Pasangan Tua

Pada Rabu pagi yang bercahaya, mereka terbangun dalam satu selimut. Pagi ini, Laura dan Don masih bersama. Tak ada yang pergi lebih dahulu. Tuhan masih ingin melihat mereka melewati hari-hari baru. Tiap malam, saat jelang kelopak mata mengatup, Laura akan memasukkan jemarinya ke sela-sela jemari Don. Itu kebiasaan rahasia dia, yang hanya diketahui Mariantje.

Perlahan-lahan Laura bangkit dari ranjang, mengamati rambutnya yang setiap helainya telah berwarna kelabu. Mengamati pipi dan dagunya yang merosot. Tiga tahun lalu, dia masih sering duduk di depan meja rias ini, menyemir rambutnya sembari bersenandung lagu jaz kuno. Dia dan Don penyuka jaz. Mereka menikmati musik itu sejak pertama kali masuk Batavia.

Dia masih ingat baik, suatu malam, Batavia begitu ramai, beberapa musisi Filipina datang ke Batavia mencari kerja. Di ruang masuk hotel dan jalan-jalan, mereka mengenalkan alat musik angin. Trompet. Saksofon. Bolero. Rumba. Ah kenangan itu selalu bagai embusan angin sore yang menenangkan. Ingatan dia pada irama jaz pertama kali di kota ini selalu abadi di kepalanya, sebab pada hari itu juga, sesuatu yang membuatnya bahagia telah terjadi.

Mula-mula Don—yang sekarang terus “lelap” di belakangnya itu—membeli dua buah karcis untuk menonton pertunjukan jaz di Hotel Des Indes. Waktu itu, umur Don tujuhbelas tahun. Masih muda dan senang memakai topi bowler―serupa topi yang sering dikenakan Charlie Chaplin, celana pantalon dan jas.

Sementara Laura berumur enambelas tahun. Mengenakan gaun sifon bertabur bunga lotus, dia naik trem bersama Don. Mereka naik trem listrik pertama. Dia mendengar keterangan itu dari pembicaraan dua orang meneer dalam satu gerbong. Dan pada saat irama saksofon soleano dari si musisi Filipina itu terdengar di langit-langit hotel Des Indes, bersamaan itu juga Don memasangkan sebuah cincin perloop, verlooft di jari manisnya.

***

Laura menyukai pagi. Dia tak pernah mau melewatkan saat matahari keluar. Dan pagi ini, dia tak lagi menyemir rambut. Laura Tua seolah telah berjanji pada setiap helai rambutnya, bahwa mulai hari ini hingga di kemudian hari, rambutnya tak akan lagi “sesak napas” oleh baluran pewarna rambut yang kaku. Tak ada lagi sarung tangan. Tak ada lagi bubuk semir Tancho di atas meja riasnya.

Wanita tua itu kemudian melangkah ke ambang jendela kamar. Jendela itu selalu dia umpamakan layar bioskop. Di sana, di balik kacanya, ada dua pohon kersen dengan batang saling silang. Sangkar burung nuri peliharaan Don tergantung di salah satu tunggulnya. Setiap pagi, si nuri akan menyapa ketika Laura membuka tirai.

“Selamat pagi, sayangku!” itulah yang dikatakan si nuri. Don yang mengajari burung nuri itu menyapa Laura saban pagi. Seolah ketika itu, Don sudah tahu kalau suatu hari dia hanya bisa berbaring dengan selang di hidung. Penyakit telah mematikan sebelah tubuhnya. Laura tua mengangguk, menertawai burung nuri yang mengoyang-goyangkan pantatnya.

Lalu ucapan yang sama juga selalu dia dengar dari mulut Mariantje. “Selamat pagi, hari ini Nyonya tampak sehat dan bercahaya.” Laura tertawa.

Mariantje perempuan tinggi-besar, berkulit kelam, dan rambut diikat saputangan itu riang memasuki kamar Laura sambil membawa tongkat pel. Mariantje baru saja selesai merebus kentang untuk sarapan pagi Laura. Mariantje membantu segala hal di rumah Laura. Dia memasak. Mencuci pakaian. Menyetrika. Menyapu pekarangan dan belanja. Sudah lima tahun perempuan asal Sanger, Manado itu bekerja pada Laura.

Setiap Sabtu pagi, ada tambahan belanja yang ditugaskan Laura padanya. Laura memintanya pergi ke Senen, membeli novel terbaru yang akan Laura bacakan untuk Don menggunakan kaca pembesar. Laura menyukai cara Mariantje bekerja.

Mariantje menyukai rumah Laura. Wangi jeruk, sederhana, dan senantiasa terdengar alunan jaz. Setiap pagi, Mariantje akan mengengkol gramofon kuno milik Laura, memasang piringan hitam lagu jaz yang dipesannya.

“Pagi ini Natalie Cole, Mariantje!”

Bagi Mariantje, ada banyak keharuan di rumah Laura. Seperti dua malam lalu, saat dia datang memeriksa keadaan Laura. Dia lihat perempuan tua itu duduk di sisi Don, membacakan Don sebuah buku bersampul merah. Laura percaya, meski Don tak bisa bergerak lagi, tapi Don masih bisa mendengar. Seperti biasa, suara Laura terdengar gemetar.

“Don sayang, aku akan membaca sebuah penggalan sajak Heine yang dikutip dalam Max Havelaar. Aku pikir kau mungkin menyukainya,” kata Laura. Setelah berdeham, ia mulai membaca. “’Nun di sana menderau air sungai yang suci, di sana kita menyelam di bawah naungan palma… mimpikan impian yang serba bahagia.’ Jadi bahagialah, Sayang!”

Diam-diam, di bingkai pintu kamar Laura, Mariantje melihat pemandangan itu dengan haru. Laura memang seorang pembaca novel yang baik. Yang sedang dibaca Laura adalah Max Havelaar terbitan tahun 1977, yang Mariantje beli di Jalan Kwitang. Dulu, si pedagang buku membujuk Mariantje agar membelinya. “Ini buku bagus, Pram dan Kartini membacanya, kau harus punya!” katanya.

***

Setelah membaca novel seperti biasa, Laura menemui Mariantje. Mereka bercakap di dapur. Ini kali Laura melakukan pembicaraan sungguh-sungguh dengannya. “Mariantje, saya minta maaf tak bisa membayar gajimu beberapa bulan ini. Saya sedih, namun kau tak pernah mengeluhkan itu.”

“Nyonya jangan minta maaf. Membolehkan saya tinggal di sini, itu sudah lebih dari cukup.” Mariantje menggenggam tangan Laura.

“Jika, suatu hari saya tiba-tiba pergi, maka kunci rumah saya selamanya milikmu. Itulah yang mampu saya wariskan padamu. Tolong rawat burung nuri Don. Kelak jika ada museum jaz di kota ini, sumbangkanlah piringan hitam kami.”

“Terima kasih telah mengurus saya dan Don,” tambah Laura setengah berbisik.

“Tak perlu mengulang-ulang terima kasih, Nyonya. Sayalah yang berterima kasih.”

Sudah empat bulan memang, Mariantje tak lagi dibayar oleh Laura. Uang pensiun Don dan Laura bahkan hanya cukup untuk biaya perawatan Don, makan seadanya, dan membeli buku terbaru setiap pekan.

Mariantje tak mengeluh. Baginya mengenal Laura adalah kebahagiaan. Mariantje ingat wajahnya lebam, bibirnya pecah pertama kali dia bertemu Laura.

Mereka bertemu di toko. Laura datang membeli mayones dan susu manis kental. Mariantje datang membeli sebungkus biskuit untuk mengganjal perutnya. Tak ada yang peduli dengan wajah lebam dan bibirnya yang pecah. Semua orang hanya memperhatikan rak belanja. Satu-satunya orang yang menanyakan keadaannya hanyalah Laura.

“Kenapa wajahmu? Kau jatuh?” tanya Laura mendekat. Tanpa menunggu jawaban, Laura menggandeng tangan Mariantje ke rumahnya. Di sana, Laura mengompres dahi, pipi dan bibir Mariantje dengan es batu.

“Kenapa Nyonya mau membawa saya masuk?”

“Kau terluka.” Itu saja jawaban Laura. Ia memberi Mariantje pakaian, sebuah daster bergambar kembang sepatu. Memberinya selimut, dan mengantar Mariantje ke kamar tamu.

Bertemu Laura, membuat Mariantje yakin untuk berpisah dari Tigor. Dia tak tahan dengan segala hal yang ada pada Tigor. Bau bir. Membanting telepon. Menyembunyikan uang. Menggebrak meja. Merontokkan kaca jendela. Mariantje lari pada tengah malam ke rumah Laura. Semua ini terjadi sekitar lima tahun yang lalu.

***

Minggu pagi, Mariantje berangkat ke gereja. Mariantje ingin berdoa agar Don dan Laura tetap sehat. Ia sangat takut jika Tuhan memanggil kedua orang itu. Jika boleh memilih, Mariantje berharap dia yang mati lebih dulu. Dia tak punya siapa-siapa di Pulau Jawa selain Laura. Mariantje menghitung, besok tepat 170 hari Don terbaring di tempat tidur. Sungguh waktu yang sabar bagi Laura.

Dalam perjalanan pulang dari gereja, Mariantje singgah membeli bunga. Dia membeli setangkai mawar merah dan setangkai mawar putih.

Mariantje melangkah pelan-pelan ke kamar Laura dengan bunga mawar di dadanya. Kamar begitu sunyi. Di sana, di atas ranjang berseprai putih, Laura berbaring miring, tangan kanannya melingkari tubuh Don yang terlentang dengan mulut terbuka.

Mariantje menghampiri Laura. Perlahan-lahan jari telunjuknya menyentuh lubang hidung Laura. Tak ada embusan. Mariantje meraba tangan Laura. Begitu dingin. Air mata Mariantje mulai mengalir, membasahi pipi. Perutnya bergolak.

Tiga jari kanannya kemudian menyentuh pergelangan tangan Don, dia tak merasakan ada denyut di sana. Don sudah bebas.

“Mungkin memang sudah saatnya mereka pergi,” batin Mariantje. Dia terisak. Teringat pembicaraan dia dan Laura tempo hari, “Mariantje, sudah lama saya ingin pergi bersama Don. Pergi selama-lamanya. Konon di dunia sana, kami akan kembali muda. Bukankah itu indah, Mariantje?”

***

Choose Site Version
English   Indonesian