Tekan tombol untuk:

Namaku Mata Hari (Bab 16)

12 Juli 1945 – 12 Desember 2022

Remy Sylado, seorang penulis kenamaan Indonesia telah meninggalkan kita semua pada tanggal 12 Desember 2022 lalu. Selain memiliki bakat musik yang besar, seniman dengan nama lengkap Yapi Panda Abdiel Tambayong ini juga cukup dikenal dalam dunia seni peran.

Dalang Publishing telah menerbitkan terjemahan salah satu karya terbaiknya yang berjudul Namaku Mata Hari (Gramedia, 2010). Terjemahan bahasa Inggris karya Dewi Anggraeni, My Name is Mata Hari telah diterbitkan oleh Dalang Publishing pada tahun 2012.
Kami sangat merasa terhormat dan bangga telah menjadi bagian kecil dari perjalanan karya dan sumbangsihnya yang luar biasa bagi dunia sastra Indonesia.

 

 

Bab 16

Aku merasa dikajeni di sanggar seni pinggir Kali Elo ini. Pemimpinnya sendiri merasa senang karena aku ikut-ikutan memanggilnya Mbah Kung.

Di sini aku diberi sebuah rumah kecil, berdinding papan, pas satu kamar, menghadap ke timur. Di depan rumah ini ada burung perkutut dalam sangkar gaya mataraman terbuat dari penjalin dan bambu, yang arang-arang manggungnya, tapi sekali manggung di latar bunyi gamelan, terdengar magis, tak cukup perbendaharaan kata dari pengalaman batin di usiaku yang begini muda untuk bisa menerangkan asrar kedalamannya.

Rencana yang sudah ada dalam pikiranku, adalah aku masih akan tinggal di sini sampai lusa, dan setelah itu aku belum menentukan ke mana arah langkahku. Satu dan lain hal, karena rasa-rasanya aku masih berminat memelihara marahku pada Ruud.

Selain itu, bicara soal lusa, rombongan kesenian pimpinan Mbah Kung ini pada hari itu akan mengisi acara pertunjukan di bawah Candi Borobudur untuk menyambut Sri Sultan Hamengkubuwono yang akan datang dari Ngayogyakarta Hadiningrat ke sini mengantar seorang tamu agung dari Batavia, J.Th.Cremer, mirip nama Menteri Urusan Koloni.

Mbah Kung memberi kesempatan kepadaku — mudah-mudahan aku sanggup melaksanakannya — menari berdua dengan Astri putrinya. Semua anggota mendukung. Itu membuat aku semakin percaya, bisa menyesuaikan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Di sini aku merasa benar-benar menjadi manusia, bukan bangsa. Kira-kira dengan perasaan ini, hubungannya pas dengan pandanganku sendiri selama ini, tentang keutamaan maknawi atas kata “kemanusiaan” ketimbang “kebangsaan.”

Lihat saja diriku. Siapa sebetulnya aku? Ayahku seorang Fries, dan dengannya, seperti semua orang yang berasal dari provinsi Friesland, tetap merasa bukan bagian dari bangsa Nederland. Kemudian anakku, dari perkawinan dengan orang Skot, harus disebut apa keorangannya? Orang Skot, sebagaimana umumnya mereka yang berasal dari wilayah Skotland, memang berbahasa Inggris, tapi mereka tidak merasa bagian dari bangsa Inggris. Lalu aku siapa pula, kalau ibuku berasal dari tanah tempat aku berdiri saat ini, daerah Borobudur, puser kebudayaan Jawa nan adiluhung. Jadi, tak ragu lagi, aku adalah manusia, dan aku sedang berada di tengah-tengah manusia.

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gpu.id/book/83865/namaku-mata-hari

Choose Site Version
English   Indonesian