Tekan tombol untuk:

Tembang Dan Perang (Bab 3)

Pemenang penghargaan Junaedi Setiyono sejak 1997 mengajar di almamaternya: Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah Purworejo, Jawa Tengah.

Junaedi tertarik menulis fiksi sejarah yang berkaitan dengan Perang Jawa (1825-1830). Naskah novel pertamanya, Glonggong, (Serambi 2007) memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2006 dan masuk pilihan terakhir Khatulistiwa Literary Award Tahun 2008. Novel keduanya, Arumdalu (Serambi 2010) memenangkan pilihan Khatulistiwa Literary Award Tahun 2010. Pada 2012, naskah novel ketiganya, Dasamuka (Ombak 2017) kembali memenangkan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun yang sama, novel tersebut diterjemahkan dalam Bahasa Inggris dan diterbitkan oleh Dalang Publishing. Pada tahun 2020 Dasamuka meraih pemenang penghargaan sastra dari KEMDIKBUD.

Junaedi berharap bisa membagi keyakinannya bahwa manusia sudah semestinya bebas dari sekat-sekat suku, agama, bangsa, atau golongan melalui penulisan. Dia percaya bahwa sastra mampu mempersatukan umat manusia seluruh dunia.

Di samping mengerjakan novel sejarah berikutnya, yang berlatar kerajaan Jawa di Abad ke-12, Junaedi mengadakan penelitian tentang pengajaran Bahasa Inggris yang dapat mendukung pengajaran Bahasa Indonesia di Indonesia.

Junaedi dapat dihubungi lewat alamat surelnya: junaedi.setiyono@yahoo.co.id

***

 

Bab 3

Baginda Raja Janggala sedang duduk berhadap-hadapan dengan Rara Suci di ruang dalam istana. Mereka tengah membicarakan perihal kawinnya sang putra mahkota dengan anak perempuan Patih Kudanawarsa — perkawinan yang menuai persoalan berat bagi istana.

“Benarkah Panji tidak mau beristri lagi sesudah kawin dengan Angreni?” tanya Baginda Raja dengan wajah tidak percaya.

“Tidak salah, Dinda. Memang itulah yang saya dengar dengan kedua telinga saya dari mulut Panji sendiri,” jelas Rara Suci.

Baginda Raja menggeleng-geleng tidak percaya, “Bukankah Angreni dikawini hanya untuk menjadi selir bagi Panji?”

Rara Suci tidak langsung menjawab pertanyaan adindanya. Dia malah memalingkan wajahnya ke arah sangkar burung perkutut yang bergoyang diembus angin.

“Bukankah Angreni hanya selir bagi Panji?” tanya Baginda Raja sekali lagi.

“Bukan hanya seorang selir. Lebih dari itu,” jawab Rara Suci sambil tetap memalingkan wajahnya.

“Angreni hanyalah selir bagi Panji. Tidak lebih daripada itu,” kata Baginda Raja. Kata-kata yang seolah ditujukan kepada dirinya sendiri. “Kandaku di Kadiri kuharap juga berpikir seperti itu: Angreni bukanlah istri resmi Panji, apalagi permaisurinya.”

Sudah menjadi rahasia umum bahwa seorang putra mahkota layak untuk memiliki perempuan-perempuan yang diharapkan dapat mendewasakannya. Kedewasaan itu, terutama dalam berolah asmara, diharapkan menjadi bekal nanti pada saat harus membahagiakan istri atau permaisurinya di ranjang. Kepuasan sang permaisuri sangat erat kaitannya dengan kesentosaan putra atau putri yang akan dilahirkan dari rahimnya. Kemampuan untuk memberikan kepuasan itulah yang menjadikan seorang putra mahkota dipersilakan untuk belajar tidak hanya melalui tulisan-tulisan bernas tentang asmaragama dari lontar, tetapi juga dari tubuh-tubuh hangat dalam hubungan naluriah dengan perempuan.

Ucapan tandas Baginda Raja seolah titah yang pantang dibantah. Kemudian kesenyapan merajalela di ruangan dalam keraton itu.

Harumnya ruangan yang berasal dari asap setanggi, yang biasanya menyegarkan, dirasakan menyesakkan bagi Rara Suci.

Sore itu, ruangan dalam keraton memang sepi. Rara Suci diam-diam membandingkan terang hangatnya suasana di rumah Panji yang baru saja dikunjunginya dengan redup dinginnya suasana ruang tengah istana yang sekarang seolah mengurungnya.

“Saya tidak mampu melunakkan hati Panji. Dia tetap tidak mau melangsungkan perkawinan dengan Sekartaji,” kata Rara Suci dengan suara yang dalam tertelan dan gugup terputus-putus; kedalaman yang menunjukkan kesungguhan pada ucapannya, kegugupan yang menunjukkan kekhawatiran pada bencana yang akan diakibatkannya.

“Yunda tidak mengatakan bahwa Panji menolak kawin dengan Sekartaji, bukan?”

“Memang itulah yang saya katakan, Dinda.”

Roman muka Baginda Raja memerah. Wajahnya menegang. Duduknya ditegakkan.

Dengan suara bergetar dia berkata, “Saya memohon perkenan Yunda untuk segera memanggil Panji seorang diri ke kediaman Yunda di Pucangan. Seorang diri.”

“Kapan itu, Dinda? Sepekan lagi? Bagaimana kalau sepurnama lagi? Baru tadi aku berbincang dengannya. Waktu sepurnama merupakan waktu yang tepat untuk mengundangnya karena kangen.”

“Sepekan, Yunda!” Baginda Raja berkata seolah berteriak. “Sepekan lagi dia akan saya panggil menghadap dan saya katakan bahwa dia ditunggu bibinya di Pucangan.”

“Baik, saya tunggu kedatangan Panji di Pucangan sepekan lagi,” kata Rara Suci datar bergetar menahan kenyerian dadanya dibentak adiknya. Dia tidak menutup-nutupi ketidaksenangannya diminta untuk memanggil Panji ke kediamannya. Dia tidak bertanya maksud Baginda Raja memintanya memanggil Panji. Tebakannya atas alasan dia diutus memanggil Panji membuat hati sang pertapa berdesir. Tanpa berpamitan, dia melangkah pergi begitu saja. Baginda Raja yang sedang terbakar hatinya tidak menggubris kepergiannya.

*****

Cuplikan ini ditampilkan dengan izin khusus dari penulis.

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://toko.kanisiusmedia.co.id/product/tembang-dan-perang/

 

.

Choose Site Version
English   Indonesian