Indonesia menjadi tamu kehormatan dalam ajang Frankfurt Book Fair yang berlangsung tanggal 14 – 18 Oktober 2015


Dalang Publishing menampilkan 8 judul buku terbitannya sebagai bukti keterlibatan dan dukungan terhadap kesusastraan Indonesia dalam ajang itu.

Buku-buku kami terpajang di ruangan khusus Indonesia dan juga terdapat di American Collective Stand.

Beberapa acara terpisah sehubungan dengan ajang itu:

Asri Saraswati, seorang mahasiswi Universitas Buffalo SUNY yang sedang mengambil gelar PhD dan juga adalah seorang pengajar di Universitas Indonesia, menjadi pembicara dalam “70 years of textual Production in Indonesia: Cultural Traditions informing Modern Productions,” sebuah sarasehan yang diadakan oleh Goethe University, Frankfurt, tanggal 12-13 Oktober 2015. Beliau menggunakan buku Only a Girl karya Lian Gouw sebagai bahan dalam sebuah pembahasan yang bertajuk, “Writing in Mobility: The Work of Indonesian Writers in America” bagian dari babak pembahasan “Indonesia in local and global trajectories.”

Manneke Budiman, Pengajar Sastra, Universitas Indonesia, menyebutkan kami dalam wawancara yang dilakukan oleh The Conversation sehubungan dengan penyelenggaraan Frankfurt Book Festival tersebut.

Oktober 4 – 10, 2015
Menikmati keindahan San Francisco Bay Area

Setelah satu minggu bekerja keras, tibalah saat berlibur.

Julie Anderson adalah seorang pemandu istimewa yang memimpin kami berwisata di daerah San Franciso. Dalam waktu singkat, kami belajar untuk berjalan kaki dengan gaya cepat melintasi jalanan SF yang naik turun. Kami dibawa keliling dan mendapat penjelasan mengenai beberapa tempat-tempat yang menjadi tujuan wisata di kota San Francisco seperti Civic Center, Union Square, China Town dan North Beach, Ghirardelli Square, dan Fisherman’s Wharf. Erni mendapati sebuah kata yang tertulis di pinggir jalan North Beach dekat toko buku City Lights Books. Paul Yamazaki, atasan dari bagian pembelian pasokan toko, meyakinkan dukungan beliau pada Dalang dengan menguraikan sejarah toko buku istimewa ini seraya menunjukkan setiap bagian tokonya.

Kami melintasi Jembatan Golden Gate dengan berkendaraan dan makan siang di Marin Headlands, kemudian menuju Golden Gate Park, di mana kami mampir di De Young museum dan Conservatory of Flowers.

Kami mengunjungi Alcatrez, penjara terkenal, dengan menumpang kapal. Setelah itu kami berjalan di sepanjang pantai menuju Ferry Building untuk makan siang.

Jika mengunjungi California tak mungkin tidak menyusuri pantainya, mengunjungi menara mercusuar, dan melihat pohon redwood. Kami menghabiskan waktu sepanjang hari diantara pohon-pohon redwood di Big Basin National Park dan dalam perjalanan pulang melewati CoastHway 1 kami mampir di Pidgeon Point Lighthouse.

Karena John Steinbeck adalah salah satu penulis Amerika pujaan Anin dan Salinas tidak jauh dari rumah, kami mengunjungi Steinbeck Museum, makan siang di Old Steinbeck house, dan mengunjungi The Farm, sebuah pertanian organic untuk menikmati apa yang disebut “the fat of the land” oleh Steinbeck dalam karyanya “Of Mice and Men”. Yessenia Guzman dan Eric Mora, Tour and Marketing Coordinator dari Steinbeck Center, dengan ramah mengatur segala keperluan kami pada hari itu.

Tamara Donovan meluangkan waktu untuk berbagi pengetahuannya mengenai kampus Standford. Sejarah awal Standford dijelaskannya dengan sangat menarik sambil berjalan menuju ke masing-masing tempat terkenal di Stanford. Mulai dari The Oval, kami menuju ke White Plaza, Main Quad, Canter Center, Hoover Tower dan berakhir di sebuah taman dengan patung-patung ukiran khas Papua.

Mengunjungi Amerika pada tanggal 30 Oktober berarti harus siap untuk ikut mengukir buah labu sebagai acara persiapan pesta Halloween.

San Francisco Bay Area terkenal akan berbagai macam makanan. Bagi pendatang yang baru pertamakali berkunjung daerah ini yang harus dicoba adalah steamed artichokes, sarapan pancake, dan makan malam steak and roasted vegetables, sajian daging panggang lengkap dengan sayur-sayuran.

Anindita Thayf – penulis Daughters of Papua (Tanah Tabu):

“Membuat saya lebih mengenal Amerika; manusia dan budayanya—ternyata saya dan mereka tidaklah jauh berbeda.”

Steinbeck Museum: “Bertemu penulis Steinbeck–walaupun hanya berupa foto dan peninggalannya–adalah sesuatu yang paling berkesan bagi saya. Sebab Steinbeck adalah salah satu penulis kesukaan saya.”

Mendapat teman baru: “Saya dan Stef adalah satu pasangan penulis dan penerjemah yang “dijodohkan” oleh Dalang, dan untuk pertama kalinya bertemu muka sehari sebelum kami berangkat ke Amerika. Bersama-sama, kami melewati ngantuk dan lelah, panik dan lega, tekanan dan tuntutan selama seminggu acara berlangsung. Hasilnya, kami membawa pulang banyak kenangan, juga pelajaran, serta benih persahabatan baru.”

Mengunjungi China Town lalu ke City Lights Book Store. Toko buku ini berperan besar dalam sejarah toko buku San Francisco dan masih berdiri kokoh hingga sekarang.

Stefanny Irawan – penerjemah Daughters of Papua (Tanah Tabu):

Ini merupakan salah satu pengalaman tak terlupakan dalam hidup saya. Sungguh menyenangkan bertemu dengan orang-orang baru yang bersemangat membicarakan tentang sastra Indonesia yang saya terjemahkan. Kami terlibat dalam obrolan yang menarik dan berarti tidak hanya mengenai karya tersebut, namun juga tentang kebudayaan dan masyarakat Indonesia secara umum. Semua ini adalah pengalaman yang sangat berharga bagi saya selaku penerjemah dan orang Indonesia.

San Francisco: Sungguh menyenangkan! Andai saja kami punya lebih banyak waktu untuk menjelajahi SF Bay Area dengan lebih baik lagi.

Point Lobos: Pantai yang dipenuhi batu-batu kecil sejauh mata memandang? Menakjubkan.

Pumpkin at Lian’s house: Ini kali pertama saya mengukir labu dan saya membuat satu labu yang gembira!

Erni Aladjai – penulis Kei (Kei):

Pengalaman berharga adalah betapa orang Amerika membuka hati dan tangan mereka untuk mendengarkan kami berbicara tentang karya kami. Tempat yang paling mencerahkan adalah Penjara Alcatraz bagi saya, karena di sini saya merenungkan dan bersyukur atas segala yang saya miliki, kebebasan dan kemerdekaan saya.

Nurhayat Indriyatno Mohamed – penerjemah Kei (Kei):

Saya berangkat dengan harapan saya akan mampu menyumbang pada memperkenalkan sastra Indonesia. Ternyata, perjalanan ini membuat saya merasa bahwa selain dari ikut terlibat dalam membuka lebar pemahaman akan sastra Indonesia, dalam jati diri saya terbangun keyakinan dan kecerdasan yang memperkaya diri sendiri. Penghargaan Nobel untuk Ibu Lian!

Aku sangat menyukai perjalanan ke Jembatan Golden Gate dan Marin Headlands, karena hal yang paling istimewa dari San Francisco adalah Jembatan Golden Gate. Berjalan melintasi jembatan, dengan pemandangan kota secara penuh, adalah pengalaman luar biasa. Karena aku dulu kuliah di jurusan teknik, aku dapat menghargai pembangunan teknis dari jembatan ini, terutama ketika pertama kali dibangun.

Berjalan-jalan di hutan pohon redwood Big Basin adalah pengalaman yang luar biasa. Berada di antara pohon-pohon raksasa dan mengetahui bahwa mereka telah berdiri di sana selama berabad-abad, beberapa dari mereka sebelum kedatangan Columbus ke Dunia Baru, adalah pengalaman yang merendahkan hati dan menunjukkan betapa kecilnya kita dalam alam semesta.

Untuk keindahan pemandangan tidak banyak yang bisa banding dengan terbenamnya matahari di pantai kerikil di Point Lobos. Warna yang mempesona dan permainan cahaya di air dan batu membuat pandangan yang sangat indah yang hampir bisa disentuh.

28 September – 3 Oktober, 2015
Tatap muka penulis dan penerjemah Indonesia di San Francisco Bay Area, Amerika

Oleh Gemah Rahardjo

Untuk pertamakalinya sebuah penerbit karya sastra Indonesia di Amerika mendatangkan langsung penulis dan penerjemah buku terbitannya. Dengan persiapan matang selama hampir satu tahun, sederetan acara pembahasan, tanya jawab serta penandatanganan buku di berbagai toko buku, perpustakaan kota dan beberapa universitas terkemuka itu berlangsung sangat memuaskan. Puluhan orang yang selalu datang menghadiri setiap acara terlihat sangat tertarik dan terpesona dengan suguhan bedah buku dan pembacaan cerita yang dilakukan secara bergantian oleh sang penulis dan penerjemah.

Forest Books, San Francisco mendapat kehormatan sebagai tempat pertama penyelenggaraan acara. Toko buku yang terletak di dalam lingkungan Japan Town, San Francisco itu hanya menjual buku-buku pilihan tertentu yang bagi Gregory Wood, pemilik toko buku itu, adalah menjadi daya tarik dan kebanggaan menjual buku semacam itu. Menjadi kebanggan bagi kami Dalang Publishing ketika Gregory mengambil semua karya terjemahan Dalang sebagai pelengkap toko bukunya. Bapak Bernard F. Loesi, sebagai Konsul Hubungan Sosial dan Budaya dari KJRI San Francisco membuka acara pertemuan itu dengan kata sambutan.

Acara di Forest Books diumumkan oleh surat kabar San Francisco.

Professor Christian Jochim dari San Jose State University (SJSU) beserta perpustakaan Dr. Martin Luther King Jr. menjadi tempat giliran hari kedua. Beberapa pengajar SJSU hadir pada acara itu. Suatu kehormatan bagi kami ketika Prof. Danilyn Rutherford dari UC Santa Cruz hadir pula dalam acara itu. Prof. Danilyn Rutherford adalah salah satu yang menulis ulasan dan tanggapan di belakang sampul buku Daughters of Papua. Perpustakaan berlantai lima yang terletak di tengah kota San Jose ini memiliki banyak sekali buku-buku dari berbagai Negara di dunia, tetapi yang sangat menyedihkan bagi kami, ketika kami berkunjung kesana, Emily Chan, seorang pustakawati mengantarkan rombongan kami ke sebuah rak buku yang terletak di lantai tiga dimana disitu hanya terdapat dua buah buku mengenai Indonesia, dan itu hanyalah kamus bahasa Indonesia berukuran kecil. Emily mengatakan kepada kami bahwa mereka tidak pernah ditawarkan dan tidak tahu dimana harus mencari buku-buku karya sastra Indonesia.

Pucuk dicinta ulam tiba, kami semua bersorak gembira! Hari itu adalah hari yang bersejarah dan membanggakan bagi kami. Lian Gouw selaku pendiri Dalang Publishing langsung menawarkan semua karya kami dalam bentuk asli sebagai pengisi kelengkapan sastra dunia di perpustakaan itu. Seketika, delapan buku karya sastra Indonesia, terbitan beberapa penerbit Indonesia telah tersedia di rak lantai tiga perpustakaan tersebut.

Hari ketiga kami berada di Berkeley. Acara di UC Berkeley diprakarsai oleh Ibu Ninik Lunde, seorang pengajar Sastra dan Bahasa Indonesia di universitas tersebut. Professor Sylvia Tiwon, yang menulis ulasan dan tanggapan di belakang sampul buku Kei, dan juga Virginia Shih, pustakawati yang berwenang mengurusi kumpulan buku mengenai Asia Tenggara ada diantara hadirin bersama para pengajar lain. Hadir pula di acara itu para mahasiswa yang sebagian besar adalah mahasiswa Indonesia. Acara berlangsung sangat menarik dan akrab dikarenakan hadirin duduk mengelilingi meja bundar cukup besar dengan beberapa deretan bangku dibagian sisi kiri dan kanan. Layaknya sebuah pertemuan dalam rapat besar, acara berlangsung santai tetapi pembahasan buku menjadi lebih terpusat. Sambil menikmati hidangan lemper, kue pastel dan krupuk yang kami bawa sebagai camilan, suasana dalam ruangan menjadi terasa hangat meskipun diluar sana tersapu dinginnya hujan.

Selepas dari tempat ini kami harus segera meluncur memenuhi undangan makan siang sebuah kelompok pencinta bahasa Indonesia yang sebagian besar anggotanya adalah orang Amerika. Julie Anderson yang bertindak sebagai nyonya rumah dan ketua perkumpulan ini menyambut kami dengan sangat ramah bersama beberapa orang teman. Dengan hidangan makanan buatan mereka sendiri, siang itu kami benar-benar merasakan nikmat dan lezatnya masakan rumahan ala Amerika.

Sore menjelang malam kami pun bersiap untuk acara berikutnya di sebuah toko buku di dekat kampus Berkeley, University Press Books. Sebuah toko buku yang tidak terlalu besar tetapi sangat nyaman dan hangat. Pembahasan dan tanya jawab pun berlangsung lancar dan menyenangkan.

Jumat, 2 October adalah hari keempat. Kami menggelar acara di sebuah perpustakaan umum milik kota Foster City, Foster City Library. Cynthia Rider sebagai pustakawati yang selalu mendukung Dalang Publishing dalam segala kegiatannya telah berbaik hati memberikan waktu dan tempat untuk kami. Sebuah perpustakaan yang besar, nyaman dan tertata rapih serasa menjadi lebih dari sekedar tempat menikmati buku. Cynthia menyambut dengan hangat dan memperkenalkan kami kepada pengunjung yang banyak hadir sore itu. Keramahan dan kebaikan beliau menjadikan acara di tempat itu memiliki kesan tersendiri.

Jane Johnson menyambut kami di rumahnya untuk pemaparan pada perkumpulan pembacanya. Para hadirin menikmati percakapan lintas-budaya dan terlibat dalam pembahasan yang hidup mengenai kedua karya yang ditampilkan.

Wisma Indonesia, San Francisco adalah tempat yang sangat tepat untuk mengakhiri lawatan buku ini. Sebagai tanda dukungan besar dari pemerintah Indonesia terhadap perjuangan Dalang Publishing dalam memperkenalkan sastra Indonesia kepada pembaca di Amerika, Bapak Ardi Hermawan selaku Konsul Jendral Republik Indonesia mempersilahkan kami menutup acara di kediaman resmi beliau. Bapak Ardi Hermawan memberikan kata pembukaan dengan memberikan wejangan dan harapan kepada rombongan kami agar dimasa yang akan datang akan banyak acara-acara serupa seperti yang dilakukan oleh Dalang Publishing.

Anindita S. Thayf
Anindita S Thayf, penulis buku Daughters of Papua (dari karya asli, Tanah Tabu), dengan keberaniannya berhasil mengangkat cerita mengenai masyarakat Papua di lembah Baliem yang terkena dampak keterpurukan dan ketertindasan terutama kaum wanita dan anak-anak akibat keberadaan Freeport, sebuah perusahaan tambang besar yang berasal dari Amerika. “Kami masyarakat Indonesia, menciptakan keadaan dimana perempuan tunduk dan patuh terhadap laki-laki. Kita membiarkan keadaan itu mengatur kehidupan kita, mengedepankan kaum laki-laki, dan meminggirkan kaum perempuan; kita menerima keadaan itu sebagai suatu keadaan yang tak akan pernah berubah. Pada kenyataannya, semua itu dapat dirubah,” jelas Anin pada saat tanya jawab berlangsung.
Anin diwawancarai oleh Author Story – http://authorstoryinterviews.blogspot.com/2015/10/anindita-s-thayf-plight-of-papuan-women.html.

Erni Aladjai
Erni Aladjai, penulis buku Kei (dari karya asli, Kei). Penulis muda berbakat ini adalah salah satu penulis yang mengangkat peristiwa kerusuhan agama di kepulauan Kei. Yang menjadi sangat menarik, Erni melihat peristiwa ini bukan hanya sebagai kerusuhan agama semata tetapi dia ingin mengangkat hal penting yang sangat perlu diangkat dalam cerita, yaitu Ken Saa Faak sebuah upaya damai yang dilakukan masyarakat Kei. Ken Saa Faak adalah kebudayaan dan keyakinan setempat yang mampu meredam pertempuran, dalam hal ini perseteruan karena perbedaan agama tanpa adanya campurtangan pihak luar. “Selain itu dengan buku ini saya juga ingin memperkenalkan kepada semua orang, terutama pembaca di luar negri bahwa ada satu pulau kecil di Indonesia yang bernama Kei,” begitu kata Erni.

Stefanny Irawan
Stefanny Irawan selaku penerjemah Tanah Tabu / Daughters of Papua mampu mengikat keseluruhan cerita buku ini menjadi sebuah sajian yang sangat mengena dan menarik melalui terjemahan yang sangat baik, terlebih lagi Stefanny mampu memukau hadirin pada saat pembacaan buku. Dengan kalimat yang sangat jelas, lantang dan penuh perasaan, Stefanny sepertinya ingin menghidupkan cerita, menampilkannya tidak hanya melalui tulisan tetapi berusaha mewujudkannya dalam sebuah gambaran yang membawa hadirin merasakan dan memahami penderitaan serta persoalan masyarakat Papua yang sebenarnya, seperti apa yang ingin diceritakan dalam buku itu.
Stef diwawancarai oleh Author Story – http://authorstoryinterviews.blogspot.com/2015/10/steffany-irawan-on-being-translator-of.html.

Nurhayat Indriyatno Mohamed
Nurhayat Indriyatno Muhamad penerjemah untuk buku Kei / Kei adalah seorang wartawan suratkabar berbahasa Inggris di Jakarta yang terbiasa tampil dihadapan umum. Kefasihan Hayat dalam berbahasa Inggris membuat penyampaian pembahasan serta tanya jawab buku itu menjadi lebih hidup dan jelas. Selain itu, Hayat mampu membuat suasana akrab dengan candaan segar yang sering meluncur dari mulutnya.

Karya sastra Indonesia bagi sebagian besar orang Amerika sepertinya masih terdengar asing dan bukunya pun sangat sulit didapat. Kesimpulan yang kami peroleh dari setiap acara yang terselenggara telah menjadi jelas. Kekurang pahaman dunia barat terhadap kesusastraan Indonesia bukan karena karya sastra Indonesia tidak dapat mendunia, namun karena karya sastra Indonesia yang diterjemahkan secara baik dan benar sangat terbatas.

Selain membutuhkan sebuah karya yang baik, kerja keras, dan tentu saja usaha membuka hubungan seluas-luasnya terhadap segala hal yang terkait dengan dunia buku di Amerika, masih perlu ditambah banyak sekali dukungan perhatian dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Penghargaan dan kebanggaan terhadap karya sastra suatu bangsa hanya dapat terwujud dari dukungan dan keperdulian masyarakatnya.

Sebagai sebuah langkah awal kami telah berusaha membuka jalan yang memungkinkankita berjalan dengan bangga. Dengan menyelenggarakan acara A Taste of Indonesian Literature Dalang Publishing telah berusaha memperkenalkan karya sastra Indonesia di daerah San Francisco, California dengan menampilkan penulis-penulis muda berbakat bersama penerjemahnya. Kami bangga menerbitkan khusus karya penulis dan penerjemah yang semua berasal dari Indonesia, negara kita sendiri. Begitupun dengan perancang sampul buku kami.