Laki-Laki dari Ratenggaro

Maria Matildis Banda menamatkan kuliah di Fakultas Pascasarjana UNUD Denpasar. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD dan penulis berbakat dan berhasil ini, mulai menulis cerpen pada tahun 1981. Mengajar dan meneliti tradisi lisan daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur menjadikan kekuatan baginya untuk menulis novel berlatar daerah. Antara tahun 2015 dan 2021, dia menulis tiga novel yang diterbitkan sendiri di PT.Kanisius. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, berlatar budaya patriaki dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan melahirkan di Flores. Suara Samudra bercerita tentang penangkapan ikan paus di Lamalera, Pulau Lembata. Bulan Patah merupakan novel yang dimaksudkan menghentikan kelahiran luar nikah di Pulau Flores. Doben (Lamalera 2017) mengemukakan hal-hal tentang politik dan kepentingan berlatar daerah Timor.

Sejak tahun 2000, Maria menulis “Parodi Situasi” di Harian Umum Pos Kupang.

Maria dapat dihubungi melalui surel: bmariamatildis@gmail.com

 

Laki-Laki dari Ratenggaro

 

“Selamat datang kembali, Julia. Kamu cantik seperti dulu,” Rita melepaskan pelukannya dan memperhatikan dengan saksama wajah Julia. Digenggamnya tangan Julia erat-erat, lalu membawanya ke dalam mobil. “Terima kasih sudah mau datang. Terima kasih Julia,” Rita menghapus air matanya.

Gha Bili tetap menjadi guru. Sama dengan Yusak, guru SMP,” kata-kata Rita mengantarkan mereka ke masa lalu, saat mereka berkawan akrab meski berada di sekolah yang berbeda. Rita dan kakaknya, Bili, datang dari Pulau Sumba bersama Yusak, teman Bili, untuk melanjutkan sekolah di Kupang. Rita yang datang untuk bersekolah Sekolah Pendidikan Keperawatan segera bersahabat dengan Julia dan menjadi simpul yang menghubungkan mereka berempat.

“Harusnya Gha Bili tahu kamu datang untuknya. Ya Tuhan… kamu sungguh-sungguh datang untuk Bilikah?” Rita melirik Julia sekilas.

***

Perjalanan dari Bandara Tambolaka di Weetebula, ke Ratenggaro, melewati padang-padang luas, menambatkan Julia pada kenangannya. Dia bersandar di sudut kursi dan melihat ke luar jendela.

“Terkenangkah?” tanya Rita dengan pelan. “Nanti kita akan lewat lapangan Maliti Bondo Ate.”

Julia hanya mengangguk. Dia terhanyut dalam gelombang kenangan tentang pertama kali dia datang untuk menghadiri pasola, acara adat Sumba Barat yang diselenggarakan setiap tahun antara bulan Februari dan Maret. Sesaat itu, dia nginap di sebuah hotel di Weetebula. Sebelumnya, Bili sudah menjelaskan kepadanya bahwa pasola itu adalah pertandingan ketangkasan berkuda sambil melemparkan lembing tumpul untuk menjatuhkan lawan.

Julia tersenyum saat teringat belajar kayikiling, bersuara seperti ringkikan kuda yang dikumandangkan para perempuan untuk mendukung perjuangan laki-lakinya di lapangan pasola.

Rita tertawa saat Julia berhasil dan berlari ke lapangan.

Dari tempat duduknya di panggung, Julia memperhatikan Rita yang penuh semangat sedang bercakap-cakap dengan Bili.

Bili mengangkat kepalanya sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi dan melambai.

Julia membalas lambaian itu dengan jantung berdebar. Rasa cinta memenuhi hatinya. Dia mengambil tas yang dibawanya, membuka kancing, dan memastikan bahwa lukisan Bili di atas punggung kuda dengan latar belakang pohon konji ada di dalamnya. Dia tersenyum saat terkenang bagaimana Bili meyakinkannya bahwa konji itu mirip sakura.

Saat itu, mereka sedang mengopi pada waktu istirahat kelas. Bili yang gemar memotret itu menyodorkan foto konji berbunga kepadanya. “Tumbuh di kampung,” kata Bili. Melihat ketertarikannya pada foto itu, Bili menyambung, “Di Sumba Barat, pohon konji tidak sebanyak di Sumba Timur. Yang pasti, konji ada di sekitar Ratenggaro, kampung saya. Nanti saya akan antar engko ke sana biar saksikan sendiri indahnya,” kata Bili.

“Sakura Sumba!” kata Julia.

“Konji Sumba. Bukan sakura Sumba.” Bili memperbaiki.

Sekarang, sambil bersandar pada kursi mobil yang sedang melewati lapangan kosong, Julia tersenyum teringat lukisan konji itu. Dia melukis pohon konji yang tinggi dan rindang bunganya memenuhi dahan dan ranting. Bili berpakaian Sumba lengkap. Dia duduk di punggung kuda dinaungi rindang bunga konji. Lukisan itu akan diberikan pada hari disaksikannya sendiri bagaimana Bili berlaga di lapangan Maliti Bondo Ate.

Namun hadiah itu tidak pernah sempat diberikan.

***

Ingatan Julia mengantarkannya kembali pada pasola 1979. Puluhan ekor kuda dengan to paholong, pelaku pasola, tampak berkejaran. Bili berada di tempat terdepan. Tubuhnya tampak lebih tinggi dari to paholong lainnya. Henggul, destar, berwarna merah melingkari kepala. Hanggi, sarung, melingkari pinggang dan menyilang di dadanya yang telanjang. Kudanya berlari kencang dan Bili mengangkat lembing, siap melempar.

“Ririri… ririri… ririri… riririiiii,” begitulah suara yang ditimbulkan ujung lidah bergetar menyentuh bagian bawah langit-langit gigi. Perempuan di sekitar melompat. Rita dan Julia pun melompat girang ketika Bili berhasil menjatuhkan lawan.

Terlihat Bili dan pengiringnya mengitari lapangan sekali dan berhenti di dekat kerumunan laki-laki dari kelompok lawan yang berupaya menolong anggota kelompok mereka yang terjatuh.

Julia dan Rita bergabung dengan kerumunan yang mengelilingi Bili dan korbannya.

“Oh, itu Gha Yusak,” Rita berkata ringan.

“Mereka tidak balas dendam? Setelah dijatuhkan tersungkur begitu, tidak marah?” tanya Julia sambil mengerutkan kening.

“Tidak.” Rita selanjutnya menjelaskan bahwa pasola adalah upacara adat Sumba yang diselenggarakan setiap tahun demi adat, keluarga, dan kemasyarakatan yang menjunjung tinggi sikap jujur, setia, dan kesatria.

Ketika pasola berakhir, Bili bersama beberapa to paholong pergi untuk memastikan Yusak dalam keadaan baik di kampungnya.

Julia bersama Rita dan beberapa perempuan duduk di kaki panggung. Banyak orang yang bertanya langsung siapa Julia. Tidak henti-hentinya Rita menjelaskan dengan ramah bahwa Julia adalah kekasih Bili yang bekerja di Kupang sebagai seorang perawat. Kelak akan tinggal di Ratenggaro bersama Bili.

Salah satu dari mereka bertanya, “Sudah ikut Bili tinggal di Ratenggaro?”

“Segera setelah nikah,” Rita tertawa sambil melanjutkan, “Julia orang Kupang. Dia tidak mau ikut Bili sebelum Bili datang melamar ke keluarganya di Kupang dan menikah.”

Derap kaki kuda mendekat dan memasuki lapangan pasola menarik perhatian mereka. Julia ingat jelas bagaimana dia memperhatikan segerombolan kuda dengan masing-masing dua penunggang berhenti di kaki panggung. Beberapa orang yang dibonceng melompat turun. Dalam waktu sangat singkat dan tanpa kata-kata, para laki-laki itu mengangkat tubuh Rita.

Rita berteriak dan memberontak, tetapi tenaganya tidak seimbang dengan tenaga para laki-laki itu.

Julia kembali bergidik saat diingatnya kembali peristiwa siang itu yang selama ini disimpan dan terkunci dengan baik. Dia kembali merasakan kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan mata berkunang-kunang, dia melihat Rita didudukkan dengan paksa di belakang salah satu penunggang. Lalu, satu laki-laki meloncat duduk di belakang Rita yang terus-terusan memberontak dan berteriak-teriak marah. Laki-laki di belakangnya membekapnya erat-erat.

Julia berlari mengejar sambil berteriak-teriak memanggil Rita.

Sementara, orang-orang yang masih tersisa di lapangan menertawakannya.

“Rita dibawa ke mana?” tanya Julia.

“Diculik! Kawin tangkap!”

“Kawin tangkap? Maksudnya?” tanyanya lagi dengan wajah pucat ketakutan.

“Kawin tangkap. Dijadikan istri, karena ada yang sayang, karena keluarga mau, nanti perempuan juga mau,” jawab salah satu perempuan sambil tertawa ringan. “Dibawa ke rumah laki-laki, masuk kamar, dan tidak keluar lagi sebelum jadi istri. Ya, namanya juga sudah diculik dan dimasukkan ke kamar untuk tidur sama-sama. Ya nikah tinggal diurus…”

“Siapa laki-laki itu? Dari kampung mana? Saya akan lapor polisi,” Julia tambah pucat, tambah ketakutan ketika orang-orang meninggalkan lapangan tanpa beban.

Julia pun teringat jelas kegugupannya saat berjalan ke sisi jalan sendirian. Dia berharap penculikan itu hanya main-main antara orang-orang muda di sana. Dia mematung dan tidak mau beranjak saat beberapa orang penonton mengajaknya ke Ratenggaro, menunggu Bili di sana. Angin berembus kencang menimbulkan gemuruh saat merebahkan ilalang di padang-padang terbuka. Julia berjalan kian kemari, duduk dan berdiri, melihat di kejauhan, memasang telinganya untuk menangkap derap kaki kuda yang datang mendekat, mengharapkan Bili segera datang menjemputnya. Beberapa saat kemudian, didengarnya derap kaki kuda yang muncul dari arah Ratenggaro. Kian lama kian dekat. Julia memberanikan diri untuk menghentikan seorang laki-laki tua yang tampak terburu-buru.

Julia menceritakan dengan singkat apa yang terjadi dengan Rita dan memohon bantuan untuk sampai di jalan raya menuju Weetebula.

“Kawin tangkap,” kata laki-laki itu, “dalam satu tahun ini, sudah tiga terjadi. Rita jadi yang keempat.”

“Bapa tahu dia dibawa ke mana? Apakah ada yang melaporkan ke polisi?” tanya Julia.
Laki-laki itu menggeleng dan mengatakan bahwa hari ini juga keluarga penculik akan datang ke rumah keluarga perempuan.

Julia diam. Hatinya lega. Dia pun meninggalkan lapangan. Dia hanya ingin menjauh dari kegegeran kawin tangkap itu. Dia sangat takut mengalami hal yang sama.

Laki-laki itu mengantarnya sampai di tepi jalan raya.

“Hati-hati di jalan,” katanya.

Jantung Julia berdebar menyadari kebaikan laki-laki tua itu. Dia mengucapkan terima kasih beberapa kali, lalu segera naik angkutan umum ke Weetebula.

Julia memejamkan matanya. Dia memaksa dirinya untuk menyelesaikan ingatan pahit itu yang mengubah kehidupannya.

Di Weetebula, Julia mengurung diri di dalam kamar penginapan menunggu kedatangan Bili. Pada malam hari, salah satu anggota keluarga Bili mengantarkan sepucuk surat. Bili memintanya menunggu di penginapan selama dua atau tiga hari. Katanya dia akan menyusul Julia setelah urusan Rita selesai.

Hingga kini, Julia sukar menerima bahwa hal seperti itu bisa terjadi pada Rita, seorang perawat yang bekerja di Puskesmas Pembantu di desanya. Bagaimana mungkin Rita mau dinikahkan. Pertanyaan-pertanyaan dan rasa marah masih menetap di dalam hatinya ⸺ sulit dihapusnya. Julia menekankan tangannya pada dadanya. Dia menelungkupkan wajahnya dalam telapak tangan dan mengangkatnya kembali sambil mendesah. Dihapusnya air mata yang mengalir di pipinya.

Rita meraih tangannya dan meremasnya. “Engko terkenang tujuh tahun lalukah? Sudah,” katanya lembut, “engko sudah di sini sekarang. Gha Bili pasti akan senang sekali.”

Julia membuka jendela lebih lebar. Angin laut mengeringkan airmatanya dengan usapan segar. Julia menekan kepalanya ke sandaran kursi dan menuruskan kenangannya.

Terasa kembali risaunya ketika Bili belum juga datang ketika pada hari ketiga matahari mulai condong ke barat. Julia ingat dirinya keluar dari rumah penginapan dan berdiri di gerbang. Tiba-tiba, sebuah bemo menepi di tempatnya berdiri. Penumpangnya segera turun dan, dalam sekejap, Julia diangkut ke dalam bemo. Sopir segera tancap gas dengan kecepatan tinggi.

“Mana Bili!” Julia berteriak dan berusaha sekuat tenaga mendobrak pintu. Dia memukul dan menendang, terempas ke kiri dan ke kanan. Dia berteriak dan menangis kehilangan akal. Kedua lengannya lebam akibat genggaman tangan laki-laki yang mendekapnya.

Selebihnya dia hanya menangis kelelahan. Kendaraan tetap melaju kencang berbelok-belok, memasuki jalan yang lebih kecil, melewati padang-padang luas, dan berhenti di gerbang sebuah kampung saat senja sudah dijemput malam. Bili kamu di mana? jeritnya dalam hati.

Pintu bemo dibuka perlahan.

“Kamu berani culik saya? Kamu kira bisa kawin tangkap dengan saya? Awas kamu saya lapor ke polisi. Awas kalau sampai Bili pacar saya tahu!” Julia berteriak. Ketika dia menjejakkan kakinya di tanah, saat itu juga dia diangkut oleh empat laki-laki penculik. Dia segera dibawa naik ke rumah panggung dan segera pula dibawa masuk ke dalam salah satu kamar. Suara teriakannya menimbulkan keramaian warga kampung yang penuh sesak. Mereka mengepung dan menjaga Julia dengan ketat.

Julia merasa terancam. Dia menangis dan berusaha tenang. Sepertinya tidak ada ruang sedikit pun untuk kabur. Kamar itu berukuran satu setengah kali dua meter, berdinding bilah bambu yang disusun meninggi dan dirangkai tali. Loteng kamar adalah bagian dari ujung atap dari lipatan alang-alang. Lantai kamar sekaligus digunakan sebagai alas tidur yang dibuat dari susunan bambu bulat berjejer rapat terangkai tali dilengkapi dengan sebuah bantal tipis bersarung yang tampak masih baru. Kamar itu benar-benar untuk satu atau dua orang tidur. Kamar tanpa kain pintu dan tanpa daun pintu. Sekelompok perempuan berjaga-jaga tepat di depannya.

Suara gong dipukul beberapa kali dan keramaian di luar rumah lebih menakutkan Julia. Makanan yang disodorkan padanya tidak disentuhnya sama sekali. Dia duduk meringkuk di sudut kamar mendengarkan suara-suara di luar.

“Jangan takut,” suara seorang perempuan penjaga bicara. “Nanti laki-laki Inya akan datang. Baik-baik saja. Jangan berteriak. Nanti Inya akan ditertawakan orang-orang yang berjaga-jaga. Tabah saja supaya Inya tidak bertambah sakit.”

Sebutan inya, panggilan untuk perempuan yang dihormati dan dicintai menurut kebiasaan setempat, agak menenangkan Julia.

“Makanlah supaya Inya punya tenaga,” perempuan itu membujuk.

Hari makin malam dan suasana rumah itu makin ramai.

Tidak pernah terlintas sekilas pun dalam pikiran Julia bahwa dia akan mengalami nasib mengerikan seperti itu. Julia terisak, berusaha keras memikirkan cara untuk menyelinap dan menghilang dari keangkeran rumah yang akan menjadi saksi dirinya dibekap laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Tubuhnya sangat penat dan rasa sakit membalut hatinya.

Tengah malam Julia terkejut.

Tiba-tiba, seorang laki-laki muncul di kegelapan dan mendekapnya dengan memutar badannya supaya Julia tidak dapat melihatnya.

Julia memberontak. Tendangannya yang melayang kian kemari menimbulkan bunyi-bunyi di lantai dan dinding kamar. Suara tawa di luar kamar membuatnya lebih menggigil ketakutan sekaligus menjadikannya berbuat nekat. Dia menggigit dengan sekuat tenaga lengan laki-laki yang memeluknya.

“Tenang Julia, ini saya! Julia. Sayang…” suara laki-laki diikuti pelukan erat. “Jangan kuatir. Ini saya, Bili!”

“Kak Bili,” Julia tersentak dan terjatuh dalam pelukan Bili sambil menangis tersedu-sedu.

Suara-suara di luar kamar diliputi tawa dengan penuh tanda tanya tentang berlangsungnya kawin tangkap yang sedang terjadi antara perempuan yang diculik dan laki-laki yang memperistrinya. Sudah biasa, malam pertama yang menegangkan dan menyakitkan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. Urusan lainnya dapat diatur kemudian.

“Julia…sayang,” kata Bili lagi sambil mendekap Julia erat-erat.

“Kenapa kamu tega buat begini?” tanya Julia sambil menghapus air mata. Napasnya terengah-engah, sesak dengan kemarahan.

Julia berada dalam dekapan Bili tetapi masih dengan kewaspadaan penuh pada napas Bili yang memburu. “Saya mohon jangan lakukan apa pun. Diam saja,” Julia menangis perlahan Bagaimana kekasihnya sendiri bisa melakukan penculikan terhadap dirinya dengan tujuan kawin tangkap? Julia berusaha tenang dan berpikir keras apa yang akan dilakukannya.

Suara orang yang berjaga-jaga mulai berkurang. Cahaya pagi menyelinap melalui kisi-kisi dinding kamar dan jatuh pada wajah Bili. Betapa cintanya dia pada laki-laki itu, tetapi betapa bencinya pada kenyataan yang dipaksakan padanya.

***

Julia menarik napas panjang. Berikutnya bagian yang paling menakutkan dari ingatan itu. Dia mengambil sebotol air dari tasnya dan meneguknya, sebelum kembali ke masa lalu.

Hari itu, Julia menghadapi semua kejutan dengan tenang. Dia telah membuat perencanaan yang akan diwujudkannya satu per satu.

Dia diterima dengan ramah oleh ayah Bili dan segenap anggota keluarga.

“Bapa!” Julia tersentak kaget. Laki-laki yang mengantarnya ke tepi jalan raya ternyata adalah ayah Bili.

Julia menikmati hidangan nasi dan ayam rebus yang disiapkan ibu Bili.

Hatinya gelisah, ingin sekali dia bertanya tentang Rita, tetapi tidak ditanyakannya. Dia memperhatikan sekilas kampung dengan rumah-rumah beratap tinggi menjulang ke langit. Dia merasakan berembusnya angin pantai dan debur ombak yang memecah sepanjang waktu di kaki tebing kampung.

“Tolong antar saya ke Weetebula untuk ambil tas pakaian dan ole-ole lukisan yang saya bawa untukmu,” Julia berkata dengan berusaha santai ketika mereka kembali sendirian.

“Kita naik kuda. Berani?” tanya Bili sambil mengedipkan mata. “Sesuai janji, saya akan membawamu berkeliling sampai di tempat pohon konji berbunga. Saya akan ambil beberapa fotomu di sana. Kita berkuda,” Bili tertawa gembira.

Bulan Maret bukan saatnya konji berbunga, kata Julia di dalam hatinya. Namun dia berkata, “Ya, setelah kembali dari Weetebula. Saya harus ganti baju sebelum difoto. Kita kan akan kembali lagi ke sini? Bukankah penculikan ini artinya saya sudah jadi istri kamu?”

“Ya, beberapa hari ini keluarga akan ke Kupang melamarmu dan kita segera menikah di sana,” jawab Bili dengan bangga.

“Ya,” Julia berupaya melemparkan senyum, sedangkan pikiran dan hatinya mendidih oleh rasa marah.

***

Julia tidak pernah bertemu Bili lagi.

Di Weetebula, Julia masuk ke dalam kamar penginapan dan tanpa membawa apa-apa menyelinap keluar melalui jendela kamar mandi, melompati pagar belakang, dan segera menuju lapangan terbang Tambolaka dengan angkutan umum yang kebetulan lewat dan disewa khusus. Dia kembali ke Kupang dengan penerbangan pertama.

Berbagai upaya dilakukan Bili dan keluarganya untuk menebus kesalahan kawin tangkap itu. Mereka datang dengan sejumlah antaran sarung adat, kuda, sapi, dan kerbau sebagai tanda maaf dengan tulus. Kedua orang tua dan adik-adik Bili, termasuk Rita, ikut turun tangan meminta Julia menerima Bili kembali.

Rita menceritakan bahwa otak penculikan terhadap mereka sebenarnya adalah Yusak yang dijatuhkan Bili di lapangan Pasola dan teman baik mereka ketika sekolah bersama di Kupang. Rita tidak memiliki kekuatan menolak akibat rasa malu karena sudah dibawa ke rumah laki-laki itu.

Akan tetapi, Julia tetap menolak. Dia tetap merasa bahwa kawin tangkap melalui penculikan itu telah menenggelamkannya ke dalam ketakutan. Dia takut hidup di lingkungan itu sebagai seorang istri dari lelaki yang ikut dalam kebiasaan yang ditentangnya.

Julia mengepalkan tangan. Hari itu dia menutup riwayat cintanya dengan Bili. Sekarang dia sudah bertahan tujuh tahun. Dia meneguk air dari botol minumnya.

***

Tujuh tahun berlalu. Kini Julia bersama Rita dalam mobil menuju Ratenggaro.

Rita bercerita tentang Bili. Katanya, Bili tidak pernah membicarakan Julia. Guru SMP itu menghabiskan waktunya setelah pulang sekolah dengan beternak di padang, duduk sendirian atau bersama kudanya di bawah pohon konji, menulis buku, dan berjaya di lapangan pasola setiap musim.

“Apakah engko masih marah?” tanya Rita. Setelah beberapa saat dalam keheningan, dia melanjutkan dengan lembut, “Sudah lama sekali…. Sejak melahirkan anak pertama, rasa marah saya berangsur-angsur hilang. Yusak laki-laki yang baik. Entah mengapa dia memilih menikahi saya dengan cara kawin tangkap. Kami memiliki dua anak perempuan. Gha Yusak dan Gha Bili bertobat dan berjanji menjadi penentang kawin tangkap. Mereka sadar bahwa perlakuan kawin tangkap adalah penghinaan pada perempuan dan gadis-gadis zaman sekarang tidak boleh mengalaminya. Kamu bagaimana? Sudah tujuh tahun, Julia. Inya dan Bapa juga sudah tidak ada. Apakah kamu datang untuk Bili?”

Julia tidak menjawabnya. Setelah bekerja di Puskesmas Kota Kupang selama tiga tahun, Julia melanjutkan kuliah di Fakultas Keperawatan selama empat tahun. Pekerjaan dan kuliahnya lancar dan berhasil baik. Dalam kesendiriannya, dia tahu bahwa dia masih mencintai Bili. Akhirnya dia memutuskan bertemu Rita dan berkunjung ke Ratenggaro untuk memastikan bagaimana keadaan Bili sekarang.

Mereka hampir tiba. Debur ombak dari kejauhan menyambut kedatangannya. Mereka melewati barisan kubur-kubur batu di kiri kanan jalan menuju gerbang. Mobil berhenti di dalam gerbang utama Kampung Ratenggaro yang menelannya ke dalam masa lalu.

Rita turun dari mobil dan Julia menyusul.

“Gha Bili,” Rita berteriak.

Bili keluar dari kambu luna, kolong rumah, yang baru saja dibersihkannya. Laki-laki itu terpaku menatap Julia.

Julia menatapnya tanpa kata-kata. Tubuh Bili tampak lebih tinggi dan kurus. Rambutnya terpangkas rapi. Rahangnya kukuh dan sorot matanya tampak teduh. Mata itulah yang pernah membuat Julia jatuh cinta setengah mati. Julia mengulurkan tangan.

Bili diam menatap wajah Julia lekat-lekat. Diraihnya tangan Julia, lalu ditangkupnya dengan kedua tangannya. “Saya tahu saya menyakitimu, Julia,” kata Bili dengan suara serak. Dia menunduk. Setelah diam sejenak, diangkatnya kembali kepalanya dan berkata pelan,

“Pulanglah. Saya tahu kamu masih sendiri. Terima kasih. Pada waktunya nanti, saya dan keluarga akan ke Kupang melamarmu dengan cara yang seharusnya.” Bili membawa tangan Julia ke dadanya. Beberapa saat kemudian, tangan Julia dilepaskannya.

Bili berbalik dan berjalan menuju kudanya yang sedang merumput dalam rindang pohon beringin di samping rumahnya. Dia melepaskan tambatan dan melompat ke atas punggung kuda, menarik tali kendali, dan membawa kudanya lari melalui gerbang kampung.

Julia memperhatikan punggung laki-laki itu yang menjauh menuruni jalan di antara makam. Derap kaki kuda melesat jauh meninggalkan Ratenggaro.

Julia mengikuti Rita memasuki rumah yang dulu begitu mengerikan baginya. Tergetar hatinya saat Rita mengajaknya ke kamar tidur Bili. Kamar tidur di mana dia diringkukkan tujuh tahun lalu. Julia terpaku pada lukisan di dinding yang menampilkan laki-laki dari Ratenggaro itu tegak di atas kudanya dengan latar belakang pohon konji yang sedang berbunga lebat.

Julia teringat lukisan yang ditinggalkan saat melarikan diri dari penginapan tujuh tahun yang lalu. Saat itu, dia berharap Bili akan mengantarnya ke tempat konji berbunga. Waktu itu bulan Maret dan konji belum berbunga. Julia tersenyum sekilas menyadari saat ini konji sedang berbunga dan menampilkan keindahannya pada musim kemarau.

Sementara itu, Bili menghentikan kudanya di bawah pohon konji yang berbunga lebat ⸺ tempat pertemuan yang dijanjikan pada kekasihnya yang gemar melukis itu.

*****

The Man from Ratenggaro

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, dia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Dia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini dia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Oni dapat dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

 

 

The Man from Ratenggaro

 

“Welcome back, Julia.” Tearfully, Rita released her embrace and grasped Julia’s hands. She looked at her friend closely. “You are as beautiful as ever. I appreciate you coming.”

Rita made conversation on their way to the car. “Gha Bili is still teaching,” she said, using the Sumbanese word “gha” to refer to her older brother. “Just like Yusak, he works at a middle school.”

Rita’s words took the friends back to the past when the four of them were close, even though they had attended different colleges. Rita and Bili were from Sumba Island in eastern Indonesia. They went to Kupang, together with Yusak, Bili’s friend, to continue their education. Rita went to nursing school, where she immediately befriended Julia. Rita became the thread that tied the four together.

“I wish Bili knew that you are here to visit me. Oh, my God! You really came here for Bili, didn’t you?”

***

The drive from the Tambolaka Airport in the Southwest Sumba Regency to the Ratenggaro village, took them through the vast savanna. Julia settled back into the corner of her seat and looked out the car window, watching her memories return.

“We’ll drive by the Maliti Bondo Ate pasola field later,” Rita said softly. “Do you remember?”
Julia nodded and began reliving her first pasola on her first visit to Sumba Island when she stayed in a hotel in Weetebula.

***

Bili had explained to her that pasolas were a series of traditional javelin fights on horseback between villages throughout Sumba Island to herald the beginning of the planting season. The annual celebrations were held between February and March, in a festival-like atmosphere.

Sitting in the bleachers before the match, Julia had learned how to kayikiling — bray like a horse — with the other women, as they cheered for their men competing on the pasola field. Rita had run out onto the field to tell Bili about Julia’s accomplishment. During their lively conversation, Bili had looked up and waved at Julia. She waved back, her heart pounding with love. She reached for the large portfolio bag at her feet, to make sure her painting of Bili on horseback beneath a flowering konji tree was still there.

***

Julia smiled, remembering when Bili had tried to explain to her that konji blossoms were not cherry blossoms.

They were having coffee between classes, talking about Bili’s photography hobby, when Bili showed her photos he had taken of blossoming konji trees. “They grow in my village,” Bili said. Noting Julia’s interest, he continued. “In the western part of Sumba, konji trees are not as common as they are on the eastern side. But for sure, they grow around Ratenggaro, my village. I will take you there so you can see for yourself how beautiful they are.”

“Sumba cherry blossoms!” Julia had exclaimed.

And Bili had corrected her, “Sumba konji ⸺ not cherry — blossoms.”

Now, leaning against the back of her car seat, passing stretches of open fields, Julia thought about the konji painting she had kept in her bag of Bili, wearing traditional Sumbanese attire, sitting high on his horse, shaded by the lofty branches of a mature konji tree in full glory, draped with blossoms.

She had planned to give Bili the painting after his competition at the Maliti Bondo Ate pasola field that day. But the gift had never been given.

Julia decided it was time to open the door to the memory she’d kept locked away for seven years.

***

The pasola of 1979.

On the Maliti Bondo Ate pasola field, horses carrying their to paholong, pasola riders, chased one another. Bili was in the front row. He looked taller than the others. He wore a red henggul, triangular headband, and hanggi, a handwoven heirloom cloth wrapped crosswise around his waist and bare chest. Spurring his horse into a gallop, Bili raised his blunted javelin, aiming to throw.

“Ririri! Ririri! Ririri! Riririiiii!” Trilled the women spectators, their cheers shredding the air. Everyone, including Rita and Julia, jumped up excitedly when Bili unhorsed his opponent.

Bili and his team circled the field once in triumph before halting near the crowd gathered around the opposing team, busy helping their fallen teammate.

Julia and Rita joined the crowd.

“Ah, poor Gha Yusak,” Rita said casually.

“Won’t those two hate each other now?” Julia frowned. “How could Yusak not be angry, after Bili knocked him down like that?”

Rita explained a time-honored component of the pasola was to uphold the tradition of family values regarding honesty, loyalty, and chivalry.

After the pasola had ended, Bili and several of his teammates had gone to Yusak’s village to check on their friend, while Julia, Rita, and the other women gathered at the lowest rung of bleachers.

The women were curious about who Julia was. Rita answered their questions, explaining tirelessly that Julia worked in Kupang as a nurse and was Bili’s girlfriend.

“Is she staying with Bili in Ratenggaro?” asked a villager.

“No — but she will as soon as they are married!” Rita laughed. “Julia doesn’t want to live with Bili until Bili has proposed to her family in Kupang and married her!”

The sound of horses galloping onto the pasola field, drew their attention. Julia remembered clearly how the team of horses — two riders on each horse — reined in right in front of them. Three men quickly dismounted. Without saying a word, they grabbed Rita and pushed her up onto the saddle behind a rider, as another man leaped onto the saddle behind her. Rita’s screamed were cut short as the man behind her gagged her. Her struggles meant nothing in the arms of such strong men.

Terrified, Julia had run after them, screaming while the other women watched her, laughing.

“Where are they taking Rita?” Julia cried.

“She is being kidnapped! Bride kidnapping!”

Bride kidnapping?” Julia blanched.

“For marriage!” a woman answered lightheartedly. “Either someone wants her as a wife, or a family wants her as a daughter-in-law. A kidnapped bride is taken to the man’s house and kept in a room. It is only natural that the man and woman will sleep together, and after that — what else but a wedding ceremony can follow?”

“Who is the man? Where does he live? I’ll report him to the police!” Julia grew more frightened when everyone started leaving the pasola field as if nothing had happened.

She had hoped it was just a practical joke ⸺ a Sumbese prank that young people pulled. She stood petrified, not wanting to leave, even when several spectators offered to take her to Ratenggaro to wait for Bili there. Wearily, she walked to the roadside alone.

A strong wind whistled across the open pasola field, bending the tall grasses surrounding it. Standing on the roadside, Julia peered hopefully into the distance, listening for the pounding hooves of Bili’s horse, coming to pick her up.

When an old man on horseback appeared on the road, coming from the direction of Ratenggaro, Julia mustered up her courage and waved at him to stop. The old man seemed to be in a hurry, but listened patiently as Julia told him briefly what had happened to Rita,

The old man nodded. “We’ve had three bride kidnappings already this year. Your friend Rita makes the fourth.”

“Do you know how I can find out where they took her? Will anyone contact the police?”

The old man shook his head. “No, I imagine that the kidnapper’s family will contact your friend’s family later today.”

Julia fell silent. She just wanted to distance herself from the confusion of this bride-kidnapping business. What if it happened to her?

Julia asked the old man for a lift to the main road to the airport.

“Be careful,” he said when he let her off at the main road.

Julia was touched by the old man’s kindness. She thanked the good man many times, then boarded a bus to Weetebula.

***

In the car, Julia closed her eyes, reliving the confusion, the not knowing what had happened or what was going to happen next. She still couldn’t reconcile the Rita she’d known as an educated nurse working at the village’s health center with the Rita who had been a kidnapped bride. Why did Rita accept that forced marriage? Julia still harbored resentment in her heart. Sighing, she wiped her eyes and lifted her head.

Rita reached for Julia’s hand and gave it a squeeze. “Let it go. You’re here now. Gha Bili will be very happy.”

Julia lowered the car window. The refreshing sea breeze cooled her damp cheeks. She pressed her head back into the car seat and continued to reminisce.

***

In Weetebula, she locked herself in her hotel room and waited for Bili. That evening, a letter arrived from him, asking her to wait at the hotel while he handled the matter of Rita’s kidnapping. He would meet her there in two or three days.

She remembered being anxious when on the third day Bili had not shown up when it began to get dark. She had left the hotel room and was standing at the front of the gate when a bemo, motorized rickshaw, pulled up. Four men jumped out and forced her into the vehicle.

She shouted, “Where is Bili?” while kicking at the bemo’s door and banging her fists against its closed windows. She could not keep her balance and was thrown from side to side, as the vehicle sped through winding, narrow roads and a vast savanna. Terrified, she screamed and cried, losing her mind. Her arms ached from the men restraining her. Finally, exhausted and depleted, she could only whimper as the vehicle raced on. It was dusk when the bemo finally stopped at a village gate. Bili, where are you? The bemo door opened, slowly.

Fury fueled her courage. “How dare you kidnap me?” she shrieked. “You think you can force me into a marriage by kidnapping me? No! I will report you to the police. Just wait until my boyfriend Bili finds out about this!” Julia continued yelling and struggling as her kidnappers hauled her up the ladder of a stilt house and directly into a room.

Her screaming had drawn the attention of the villagers, who crowded into the area and surrounded the house like a barricade to prevent her from escaping.

Inside the stilt house, Julia had tried to calm herself. She assessed the small room that was now her prison. The walls were made of bamboo slats tied together by ropes. The ceiling was thatched grass. The floor was made of bamboo poles, strapped together. On the floor, a thin pillow in a fresh pillowcase indicated where she was expected to sleep.

The room was about five feet by seven feet, just big enough to accommodate two people. It had neither a door nor a door curtain. Instead, a group of women guarded the room’s access.

Outside, a gong sounded. Julia heard the crowd grow louder and rowdier.

Julia huddled in the corner. Leaving the food offered her untouched, she listened to the escalating commotion outside.

“Don’t be afraid, Inya,” one of the women guards soothed. “Your man will come soon. Just relax; everything will be fine. Don’t scream; the people outside will only laugh at you. Don’t fight it; you’ll only make yourself sick.”

When Julia heard the woman address her as “Inya” — the word used by locals to address a woman they respected and loved, she became calmer.

“Eat something,” the woman coached. “It will give you some strength.”

The later it became, the more crowd noise grew around the house.

Julia hurt everywhere. Terrified by the thought that a man she had never met would soon overpower her, she tried to focus on how to escape. It had never crossed her mind she would ever have to go through such a horrific experience.

At midnight, she was startled by the appearance of a man who grabbed her and spun her around so that she stood with her back against his chest. She could not see his face.

Julia struggled to break free, and the scuffling of her kicking feet and flaying arms on the floor and walls drew laughter from outside the little room. That boisterous merriment frightened her so much that she bit down hard on the arm of the man who held her tightly against him.

“Calm down, Julia, it is me! Julia, my love!” the man loosened his grip into an embrace. “Don’t worry. It’s me, Bili!”

“Bili!” Stunned, she fell limp into Bili’s embrace, sobbing.

The voices outside of the room were filled with amusement, as people speculated about the goings-on between the man and the kidnapped woman inside the room. The crowd knew that every couple’s first night together started tense and uncomfortable, but usually ended quite pleasantly for them. Everything else could be arranged later.

“Julia, love,” Bili murmured, holding her tightly.

“How could you have the heart to do this to me?” Julia gasped, angrily. She had felt weary in Bili’s arms, and “Please, don’t do anything. Can you just keep still,” How could her own boyfriend kidnap her and try to force her into marriage? She tried to remain calm and figure out what to do next.

The voices of the waiting crowd thinned. The morning light slipped through the slits of the bamboo wall and fell on Bili’s face.

How much she loved this man, and at the same time hated the way he had forced this experience on her.

***

Julia took another deep breath as the countryside sped past her window. The next part of the experience had scared her the most. She removed a water bottle from her bag and took a sip before sinking back into the past again.

The day after the kidnapping, she had forced herself to appear relaxed. She had formulated a plan that she was going to execute, step by step.

Julia was well received by Bili’s entire family. She had been surprised to discover that the kind old man on horseback who had taken her to the main road, was Bili’s father. Regardless, she enjoyed the rice and boiled chicken that Bili’s mother had prepared. She wanted to ask about Rita, but felt too nervous to do so. Instead, she looked around at the Ratenggaro village, taking in the traditional houses with their high-hat roofs, feeling the restful sea breeze, and hearing the waves break against the foot of the cliff that carried the village.

When she and Bili were alone again, she said, “I need to return to my hotel room in Weetebula to get my travelling bag and the painting I brought for you.”

“Would you dare to go on horseback?” Bili winked, then laughed happily. “As I promised, I will take you to the place where the konji trees bloom. I want to photograph you there. Let’s go on horseback.”

After all those years, Julia still remembered thinking, You told me that konji trees do not bloom in March, while saying calmly, “Yes, after we collect my things from Weetebula, I want to change before you take my picture.” For good measure, she had added, “We will return here afterwards to spend the night, right? Your bride-kidnapping me means that I am already your wife?”

“Yes,” Bili had said proudly. “During the next few days, my family will go to Kupang to ask for your hand. After that, we’ll get married there right away.”

Julia had smiled, but inside, she was consumed with fury.

When they arrived at her hotel in Weetebula, Bili waited on his horse. Julia went into her room, grabbed her bare necessities, climbed out through the bathroom window, and jumped over the backyard fence of the hotel. She waved down a passing cab, sped to the Tambolaka Airport, and took the first flight out to Kupang. That had been the last time Julia had seen Bili.

Bili’s family tried to make amends for their cultural misunderstanding of kidnapping a non-Sumbanese woman. They traveled to Kupang, bringing the traditional handwoven fabric, a horse, cow, and buffalo as tokens of their apology. Bili’s parents and siblings, including Rita, asked Julia to accept Bili again.

Rita told Julia that the mastermind behind the kidnappings had been Bili’s friend Yusak, who Bili had unhorsed during the pasola. “How could I refuse to marry Yusak after I had spent the night with him at his house?” Rita asked. “I was too ashamed to do so.”

But Julia remained steadfast. The trauma of her abduction had placed her in a state of constant fear. How could she be a loving wife to a man she feared? How could she be a loving wife to a man who engaged in activities that she considered immoral?

That day, on her way to the Tambolaka Airport, she closed the final chapter of her love story with Bili.

***

Now, seven years later, here she was in a car with Rita on the road to Ratenggaro. Julia clenched her fist, took another sip from her water bottle, and returned to the present.

“Let me tell you about Bili after you left,” Rita said. “He never spoke about you. After school, he always spent his time tending to livestock on the savanna and sitting alone with his horse under a konji tree, writing a book. He continued to participate in every pasola season — and came out a winner. Are you still angry?”

After her question was met with silence, Rita continued, “It has been a long time. After my first child was born, my anger dissolved into love. Yusak is a good man. I may not understand what made him kidnap me as a part of our wedding arrangements, but now we have two daughters. Yusak and Bili have repented, realizing that bride kidnapping is an insult to women and that no woman should have to go through this trauma. What about you? It has been seven years, Julia. Bili’s and my parents have passed away. Are you here to see Bili?”

Julia still did not answer. She had worked three years at the Kupang City Health Center, then continued her education at the Faculty of Nursing in Kupang for another four years. She did well in her career and education, but she had been lonely. She knew she still felt love for Bili, and had finally decided to visit Rita in Ratenggaro to find out if her lingering feelings for him were real.

They were almost there. The distant sound of crashing waves welcomed them as they drove by a row of stone graves. Rita braked inside the gate of the Ratenggaro village, in front of the stilt house where Julia’s imprisonment had occurred seven years ago.

“Gha Bili!” Rita called, as she and Julia got out of the car.

Bili emerged from the kambu luna, the stable beneath the stilt house, which he had just finished cleaning. He saw Julia and froze.

Julia looked at him silently. Bili looked taller and thinner. His hair was well kept. She searched the dark eyes that had once made her fall helplessly in love and offered Bili her hand.

Bili’s jaw set. Solemnly, he took Julia’s hand and held it with both of his. He bowed his head. “I hurt you, Julia,” he said with a husky voice. After hearing no response, Bili raised his head and said quietly, “Thank you for coming. but go home. I know that you are still single. Soon, my family and I will go to Kupang and propose to you properly.” Bili brought Julia’s hand to his chest and held it there tightly.

Then, Bili let it go. He turned away and walked to his horse tethered in the shade of the banyan tree next to the stilt house. He leapt into the saddle took the reins, and spurred the horse out the village gate. Julia watched Bili gallop away past the cemetery and the gates of Ratenggaro.

She and Rita entered the stilt house of Julia’s nightmares. Julia shuddered when she and Rita entered Bili’s room. It was the room where, seven years ago, she had spent hours in terror.

Julia startled when her eye caught sight of a painting showing a pasola rider sitting high on his horse with a blooming konji tree in the background. She now remembered having left the painting in her hotel room when she fled Sumba Island seven years ago.

Seven years ago, she had wished Bili would take her there. But it was March then, and the konji tree was not blooming. Julia smiled. The konji bloomed in the summer, now.

At that same moment, as if by osmosis, Bili halted his horse under a blooming konji tree — the place he had promised to take a girl who loved to paint and lived in his heart.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Pengumuman Terbit

Pujian yang Mendahului Terbitan:

Footprints/Tapak Tilas, buku kumpulan cerpen dwibahasa terbitan Dalang Publishing ini telah dengan gamblang memperlihatkan keadaan masyarakat dan budaya Indonesia melalui bacaan yang ringan ⸺ meski intisari ceritanya cukup berat dan berbobot ⸺ kepada para pembaca Amerika dan Eropa. Takkalah pentingnya, buku ini selain disajikan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia secara berdampingan, juga menyimpan nilai pengajaran bahasa, yakni mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara sekaligus. Ihwal lainnya, buku ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan buku dwibahasa yang dianjurkan, bukan hanya karena kaya akan nilai budaya di dalamnya, tetapi juga mumpuni dalam memberikan gaya tersendiri pada tiap-tiap corak bahasa. Penghargaan yang tinggi saya ucapkan atas upaya dan kesungguhan Dalang Publishing untuk mewujudkan pemartabatan bahasa Indonesia yang bersifat kesertaan dan perantaraan kebahasaan-kebudayaan antarwilayah melalui kumpulan cerpen dwibahasa seperti yang tertuang pada buku ini. Semoga buku ini dapat memicu lahirnya karya-karya serupa di panggung dunia.
⸺ E. Aminudin Aziz
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek

 

Dengan terbitan Footprints/Tapak Tilas, Dalang Publishing dan Lian Gouw, pemimpinnya yang tidak kenal lelah, merayakan sepuluh tahun upaya mengumpulkan kisah-kisah bermutu. Judul kumpulan cerpen ini sangat tepat. Beraneka cerpen yang disajikan dengan murah hati ini mengundang pembaca untuk menelusuri berbagai seluk-beluk sastra Indonesia. Seringkali penjelasan yang muncul secara acak membangun kesan yang kurang tepat mengenai orang, sejarah, dan budaya Indonesia.  Yang perlu disebut juga adalah diikutsertakannya cerita-cerita yang berasal dari pedalaman Sulawesi Barat Daya dan Kalimantan Tengah yang letaknya jauh dari gemerlapnya kota-kota besar.
Dengan menyelusuri cerpen-cerpen ini, pembaca akan dihadapkan pada keprihatinan yang sangat dalam terhadap keadaan lingkungan alam, adat istiadat, dan kesejahteraan penduduk asli yang terancam. Karya dwibahasa yang istimewa ini layak digunakan sebagai sumber yang bermanfaat bagi siapa pun yang tertarik pada alam, bahasa, dan budaya Indonesia.
⸺ Sylvia Tiwon, Associate Professor – Department of South and Southeast Asian Studies, University of California at Berkeley

 

Jarang sekali karya terjemahan sastra menarik perhatian pembaca pada tata cara penerjemahannya. Lagipula, sering sekali penerjemahan sastra dipuji karena berhasil merekayasa pembaca untuk percaya bahwa bahan yang dibaca bukan terjemahan, melainkan tulisan dalam bahasa aslinya.
“Kecurangan” seperti itu tidak akan ditemui oleh pembaca Footprints/Tapak Tilas. Karya asli Indonesia ditampilkan berdampingan dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris dan hasilnya adalah sebuah karya yang sangat bermutu bagi calon penerjemah sastra Indonesia. Bahkan, sebagai seorang penerjemah yang berpengalaman, saya masih dapat belajar banyak ⸺ tidak hanya dari perbandingan antara karya asli dan terjemahannya, tetapi juga dari perbandingan cara bekerja masing-masing penerjemah maupun gaya menulis masing-masing pengarang yang berbeda.
Calon penulis Indonesia juga akan mendapatkan banyak manfaat dari kumpulan cerpen ini. Karya ini memberikan kesempatan untuk membandingkan suara penulis dari berbagai zaman, wilayah, dan pandangan hidup. Dengan demikian, mereka dapat mengasah kemampuannya dalam tulis-menulis.
⸺ Tiffany Tsao, Penerjemah Sastra dan Penulis

 

Kisah-kisah yang terkumpul dalam rampai ini menawarkan peluang berkenalan dengan beragam cara pandang dan suara dalam kehidupan Indonesia pada masa yang berbeda-beda dalam sejarah. Ada yang mewakili pandangan mendalam terhadap peristiwa sejarah yang terkenal dari mata sosok-sosok di pinggiran masyarakat Indonesia. Ada pula yang menyajikan kehidupan Indonesia yang telah terabaikan oleh ingatan bersama bangsa Indonesia. Cerita-cerita ini yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia mewakili kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang kaya dan bineka. Sementara, terjemahannya, yang masing-masing telah melewati pengolahan yang ketat dan saksama, semakin memperkaya perjalanan ke dalam benak rakyat Indonesia. Dengan demikian, kisah-kisah ini, yang sebelumnya telah diterbitkan pada laman Dalang Publishing, dapat berperan sebagai wahana mengembalikan ingatan yang telah terhapuskan ataupun yang dibiarkan hampa oleh pengalaman bangsa Indonesia yang sedemikian rumit dan penuh luka sejak awal masa penjajahan hingga kini. Pembaca Indonesia akan memperoleh wawasan baru tentang dirinya dan berbagai kemungkinan yang dapat tercapai. Pembaca asing pun dapat menyadari betapa kehidupan insan Indonesia beririsan dengan kehidupan mereka sebagai sesama manusia.
⸺ Ari J. Adipurwawidjana, Universitas Padjadjaran, Bandung

 

Sebagai cerminan kehidupan, karya sastra menjadi penting dikarang. Ia tidak jarang memberikan semangat kepada pembaca yang sedang mengalami kepedihan hidup yang melampaui cerita rekaan. Selain itu, cerita-cerita dalam bunga rampai ini menyambut pembaca dengan tangan terbuka untuk masuk, baik sebagai pengkhidmat maupun penghayat lakon-lakon dalam cerita. Pembaca bisa mengalami bagaimana sebuah radio pemberontakan mengirim kepedihan yang lukanya masih menganga hingga puluhan tahun kemudian; bagaimana sebatang pohon dan peristiwa masa lalu menjadi pintu masuk menyelami jiwa manusia yang sakit dan sepi; serta bagaimana pekik burung atau kelengangan pantai menjelma jadi selimut rahasia yang menyembunyikan kegetiran.
Melalui buku ini, pembaca tidak hanya akan membaca, tetapi juga menyaksikan bagaimana cerita rekaan mampu menghidupkan yang tiada di dalam jiwa manusia lewat kisah tentang sejarah, kebudayaan, dan alam.
⸺ Benny Arnas, Penulis dan Pegiat Sastra.

 

*****