Pameran Indonesia di San Francisco

Bulan Mei tanggal 20, 2023  kemarin Dalang Publishing kembali ikut meramaikan acara 2nd Annual Indonesian Bazaar di gedung La Cocina Municipal Marketplace, San Francisco.

Pihak KJRI San Francisco mengajak serta Dalang Publishing untuk turut ambil bagian memperkenalkan sastra Indonesia melalui karya terjemahan buku-buku terbitan Dalang Publishing.

Acara yang diadakan oleh sebuah kelompok swadaya masyarakat yang bernama Friends Of Indonesia ini berlangsung meriah. Banyak pengunjung yang hadir berasal dari masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitar San Francisco Bay Area, dan diantaranya juga terlihat beberapa penduduk setempat.

Dalang Publishing menampilkan kedua belas judul buku terbitan kami, termasuk buku kumpulan cerita pendek dwi-bahasa Footprints/Tapak Tilas. Buku terbitan terbaru kami ini berisi empat puluh sembilan cerita pendek. Kumpulan cerita pendek ini melibatkan 44 penulis dan 18 penerjemah yang kesemua karya mereka telah kami terbitkan sebelumnya di laman kami www.dalangpublishing.com pada bagian halaman Cerita Anda.

Bapak KonJen Prasetyo Hadi dan istri, Ibu Ota serta Bapak Mahmudin Nur Al-Gozaly (Pak Deden) selaku Konsul Penerangan, Sosial dan Budaya menyempatkan diri menyambangi meja Dalang Publishing.  Perayaan ini juga menampilkan berbagai kekayaan budaya bangsa seperti tarian daerah, seni kerajinan, serta memperkenalkan aneka masakan dan jajanan khas Indonesia.

 

Nyale

Maria Matildis Banda menamatkan kuliah di Fakultas Pascasarjana UNUD Denpasar. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD dan penulis berbakat dan berhasil ini, mulai menulis cerpen pada tahun 1981. Mengajar dan meneliti tradisi lisan daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur menjadikan kekuatan baginya untuk menulis novel berlatar daerah. Antara tahun 2015 dan 2021, dia menulis tiga novel yang diterbitkan sendiri di PT.Kanisius. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, berlatar budaya patriaki dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan melahirkan di Flores. Suara Samudra bercerita tentang penangkapan ikan paus di Lamalera, Pulau Lembata. Bulan Patah merupakan novel yang dimaksudkan menghentikan kelahiran luar nikah di Pulau Flores. Doben (Lamalera 2017) mengemukakan hal-hal tentang politik dan kepentingan berlatar daerah Timor.

Sejak tahun 2000, Maria menulis “Parodi Situasi” di Harian Umum Pos Kupang.

Maria Matildis Banda: bmariamatildis@gmail.com

 

Nyale
Cuplikan dari novel Pasola yang akan segera terbit

 

Malam gelap gulita. Ini malam ketujuh menurut perhitungan rato nyale, tetua adat, yang telah memperhitungkan perjalanan bulan gelap pada bulan Maret tahun 1934 itu untuk kedatangan cacing laut, di Pantai Ratenggaro. Sore hari, semua anggota keluarga membersihkan makam leluhur dan keluarga di depan Kampung Ratenggaro dan sekitarnya. Pada malam hari, perempuan dan laki-laki menari dan kawoking di pelataran.

Setelah Waleka mengikuti Limbu Koni dan Biri pulang ke rumah, masih ada banyak orang yang menari sampai jauh malam demi menunggu waktu kedatangan nyale. Pada jam empat pagi, hampir semua orang meninggalkan rumah menuju pantai yang masih gelap.

Waleka berjalan di depan diikuti Inya Peke. Di belakang Inya Peke, ada Limbu Koni yang menggandeng lengan Banu, anak Inya Peke. Mereka diikuti Biri, teman akrab Limbu Koni, kedua orang tua Waleka, serta anggota keluarga lainnya.

“Kenapa nyale datang waktu bulan gelap?” Banu bertanya. “Nyale takut bulan, takut matahari!” Limbu Koni yang menjawab. “Semoga nyale gemuk-gemuk dan ada semua warna,” katanya lagi.

“Nale atau nyale, Inya?” Banu bertanya lagi.

“Nale atau nyale sama saja, sama-sama cacing laut. Yang pasti, cacing laut yang datang hari ini banyak sekali,” sambung Biri.

Angin berembus perlahan membelai wajah-wajah yang diliputi harapan. Mereka berjalan beriringan menuju Pantai Ratenggaro yang jaraknya hanya selemparan batu dari uma parona.

“Engko cocok tinggal di sini. Dekat pantai. Sudah tiga hari di sini engko tidak pernah mengeluh sesak napas,” kata Limbu Koni yang dijawab Biri dengan lantunan memanggil nyale yang sudah didengarnya sejak sore kemarin.

“Laki-laki yang menarik tanganmu itu … Ndalo namanya? Tidak tahu malu!” Biri berbisik.

“Jangan pedulikan. Biarkan saja. Diam,” kata Limbu Koni.

“Kita pesta hari ini!” kata Inya Peke. “Pesta nyale dan pesta pasola. Waleka pasti gagah sekali hari ini.”

“Saya mau jadi to paholong seperti Bapa Waleka,” Banu berceloteh sambil menarik tangan ibunya.

“Bagus sekali. Bapa Waleka adalah to paholong yang duduk di atas pelana. Gagah perkasa seperti siapa?” tanya Limbu Koni.

“Banu!” jawab Banu sambil tertawa.

Dengan gembira mereka berjalan melalui binya bokolo, pintu gerbang utama di antara makam batu, memasuki jalan setapak menuju pantai. Debur ombak terdengar jelas menandakan bahwa pantai berada sangat dekat. Bulan tidak ada. Kerlap-kerlip bintang, harapan, dan kebutuhan adalah petunjuk jalan menuju pantai. Semuanya ingin menemukan nyale di Pantai Ratenggaro.

Waleka melantunkan kawoking,

Nyale ayam wo wo wu

Ibunda nyale bunda nyale bertelur banyak-banyak

Sebanyak-banyaknya seperti telur siput

Sebanyak-banyaknya seperti telur belalang

Potong-potong gumpalan telur yang banyak

Nyale ayam wo wo wu

Ibunda nyale bunda nyale

Banyak seperti telur siput … wo wo wu

Syair dilantunkan bergantian sejak berjalan dari kampung dengan harapan cacing laut datang dalam jumlah banyak seperti telur siput dan telur belalang. Semua orang masuk ke laut yang sudah surut. Dinginnya air laut di keremangan pagi menyengat kulit kaki yang telanjang. Telapak menyentuh pasir dan batu- batu kecil di dasar laut yang terasa licin. Sementara tangan meraba-raba menyentuh cacing yang licin dan geli. “Oh dapat, licin, banyak, geli, wo wo wu … wo wo wuuu,” ramai suara-suara dengan berbagai ucapan sambung-menyambung.

Bau Nyale adalah kebiasaan menangkap cacing nyale. Bau cacing-cacing laut yang ditangkap itu dapat dicium warga yang ada di pantai.

Waleka bergerak kian kemari menjemput nyale dengan penuh semangat. Dia menyentuh dan menggenggam erat cacing-cacing yang didapatnya dari balik batu-batu kecil.

Inya Peke mengikutinya sambil menadah dengan sebuah keranjang. Banu, Limbu Koni, dan Biri juga berada di sekitarnya. Biri selalu meloncat-loncat karena geli, tapi tetap berupaya untuk memasukkan tangannya ke dalam air, merogoh di balik batu untuk menangkap cacing yang bergerak-gerak dan licin.

Limbu Koni berada dekat Waleka. Dia menahan rasa geli saat cacing-cacing itu menyentuh kakinya berkali-kali. Dia menunduk sambil meraba-raba di balik batu. Demikian juga Waleka. Keduanya tertawa saat tangan mereka saling bertemu. Keduanya menangkap cacing-cacing itu di balik batu yang licin. Mereka bangga bukan main saat berhasil menambah jumlah nyale dalam wadah yang dibawa Banu dan Inya Peke.

“Bola nyale!” tiba-tiba Waleka berseru saat kedua tangannya menjemput sarang nyale. Gumpalan cacing itu membentuk bola besar, sedikit lebih besar dari bola kaki. Dia segera keluar dari air menuju tepi pantai diikuti Limbu Koni, Biri, Banu, Bapa, Inya, kakak, serta keluarganya yang lain.

“Tangkap lagi, Bapa,” Banu girang bukan main. Dia memohon agar boleh menangkap lagi karena di tangannya hanya ada beberapa ekor cacing yang kemudian dimasukkan ke dalam wadah kecil yang tergantung di lehernya.

“Cukup,” jawab Waleka, “ini sudah banyak sekali. Bagi-bagi dengan orang lain,” bisiknya di telinga ponakannya.

Kegiatan menangkap cacing laut itu berhenti ketika ujung sinar matahari mulai muncul di cekungan tanjung kecil di bawah tebing Kampung Ratenggaro. Semua orang kembali ke pantai dengan hasil tangkapannya masing-masing. Dengan gembira, mereka pulang ke kampung. Sarang nyale hanya berhasil didapatkan Waleka.

Meskipun Limbu Koni tidak berkata apa pun padanya, Waleka tahu gadis itu bangga dan mengaguminya.

“Itu tanda engko ada untuk Waleka,” Inya Peke menggoda Limbu Koni. “Jodoh. Lancar semuanya.”

“Pesta tidak lama lagi,” sambung Biri.

“Sama dengan engko. Wuri Wona sudah tidak sabar menunggu,” keduanya tertawa.

Sarang nyale diurai di sisi mata api, bagian tengah rumah panggung yang digunakan sebagai dapur. Bola dibagi tiga dan berada dalam genggaman Limbu Koni, Inya Peke, dan Biri. Selanjutnya diurai. Beberapa kali gumpalan terjatuh karena licin dan cacing yang diurai dari gumpalan bergerak dan merayap gelisah kekurangan air.

Banu yang selalu memungut dan meletakkannya kembali ke dalam wadah. Sungguh sangat banyak cacing gemuk dan berwarna-warni cerah dan menggiurkan.

“Merah, hijau, kuning, putih, hitam, wuiih ada semua warna,” kata Banu dengan gembira. Kedua orang tua Waleka, para perempuan dan laki-laki serta segenap anggota keluarga, gembira. “Gemuk-gemuk! Warnanya terang. Tanda apa Inya?” tanya Banu.

“Tanda subur, panen limpah, hidup jadi lebih baik,” jawab Limbu Koni yang disambut dengan syukur oleh Biri dan Inya Peke. Aneka masakan dari bahan nyale mulai diolah. Limbu Koni dan Biri membantu Inya Peke dan keluarga besar Waleka dengan cekatan.

“Nyale palowor,” kata Inya Peke kepada Limbu Koni.

“Ya Inya,” jawab Limbu Koni sambil tertawa. Bersama Inya Peke dan Biri dia memasak nyale palowor. Masakan dengan bahan utama cacing nyale dan santan kental. Baunya harum dan rasanya lezat setelah dilengkapi dengan berbagai bumbu.

“Kita buat bodho juga kah, Inya?” tanya Biri.

“Ya, dendeng nyale itu disimpan di sini,” jawab ibu Waleka sambil menyerahkan sebuah periuk tanah. “Cukup untuk beberapa bulan ke depan! Wah, banyak sekali!” katanya dengan bangga.

Mereka juga membuat sambal dengan bahan dasar lombok hijau dan cacing yang gemuk-gemuk dan terang warnanya.

Limbu Koni dan Biri terlibat secara langsung dalam segenap kegiatan dapur.

Waleka bangga karenanya. Dia terutama bangga pada Limbu Koni.
Keduanya hanya berani curi-curi pandang dan segera menghindar setelah ketahuan satu sama lain. Akan tetapi, Waleka tahu bahwa nanti di lapangan pasola segalanya akan menjadi lebih indah, memesona.

Sarapan pagi dihidangkan sebelum berangkat ke lapangan pasola. Ayah Waleka bicara sebelum makan. Di hadapan sanak saudara yang datang dari jauh, lelaki tua itu menggarisbawahi beberapa hal. Bapa Tua menyampaikan hal itu dalam bahasa setempat.

“Waleka sudah tangkap sarang nyale pada Bau Nyale di pantai. Jaga itu rezeki untuk sepanjang hidup. Sarang nyale yang besar kumpulan nyale berwarna-warni, gemuk, dan bercahaya. Itu khusus, sangat khusus! Tidak semua pencari nyale mendapatnya. Ini tanda untuk rezeki seumur hidup. Hanya engko saja yang dapat sarang nyale. Itu sungguh luar biasa. Engko diberi banyak. Jaga itu. Kalau engko lupa bahwa engko sudah diberi begitu banyak dalam sarang nyale, apa pun akan diambil kembali dari engko.”

“Ya, Bapa,” jawab Waleka dengan yakin.

“Hidup harus setia dan jujur. Bersyukurlah pada apa yang engko punya. Jangan ambil lebih. Apa pun tantangannya, jangan pernah ambil lebih. Apalagi kalo engko ambil yang bukan engko punya,” kata bapanya lagi. Diikuti dengan berbagai pesan untuk anak cucu turun-temurun. Bapa Tua melengkapi pesan yang disampaikan pada acara duduk bersama di rumah panggung mereka.

“Engko akan jadi to paholong terbaik sepanjang hidup,” kata Bapa Tua lagi dan Waleka mendengar nasihat ayahnya dengan saksama.

“Ya Bapa!”

“Setia dan jujur itu kuncinya,” Bapa Tua tegas. “Tidak hanya pada gaya lompat dan kemampuanmu melayang bersama kudamu, Lenggu Lamura, pada titik lembing dilempar,” Bapa Tua berhenti sejenak sebelum bicara lebih lanjut, “tapi juga setia dan jujur pada kuda yang terbang bersama engko. Di lapangan pasola, engko dan Lamura adalah satu,” Bapa Tua menatap Waleka dengan tajam sambil menggarisbawahi, “Lamura dan engko adalah satu. Ingat itu.”

“Ya Bapa!” Waleka menyetujui dengan sepenuh hati.

“Tidak hanya pada kemenangan dan kepuasan mengenai dan menjatuhkan sasaran, tetapi juga pada kerendahan hatimu merangkul dan menolong kembali lawan yang engko kalahkan.” Bapa Tua berbicara kata demi kata dan diperhatikan dengan saksama oleh semua yang hadir, termasuk Limbu Koni.

Calon istri Waleka itu memperhatikan wajah calon mertuanya. Sorot matanya teduh, alis matanya tebal. Tulang pipinya menonjol dan rahangnya tampak kukuh. Wajah Waleka mirip sekali dengan ayahnya.

“Engko harus yakin bahwa setiap tetes keringat dan setiap tetes darah yang jatuh di lapangan itu jatuh dengan jujur dan setia dan tidak akan jadi kering di sana. Tidak hanya untuk panen hasil kebun, tetapi lebih dari itu, demi kehidupan yang sesungguhnya. Setia dan jujur itu kuncinya!”

Limbu Koni terpana oleh kata-kata Bapa Tua. Dia benar-benar seorang kabani pa ate — julukan yang diberikan kepada laki-laki yang pandai dan cerdas.

Pengalaman hidup dan perantauannya membawa ternak sampai ke Flores, Timor, Alor, bahkan sampai di Maluku dan Sulawesi pada masa muda dulu, membuat Bapa Tua itu matang pada hari tua, di hadapan anak-anak, cucu, dan keluarga besarnya. Apalagi di hadapan Waleka, satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga.

“Bapa Tua itu kabani pa ate yang luar biasa,” bisik Biri.

“Ya,” jawab Limbu Koni. “Semoga Waleka bisa menjaga kata-kata Bapa Tua sepanjang hidupnya,” kata Biri. “Semoga.”

“Ya,” jawab Limbu Koni. Dirinya merasa kata-kata itu tidak hanya ditujukan bagi Waleka sebagai to paholong, tetapi juga bagi dirinya yang sudah diterima sebagai bagian dari uma parona keluarga besar Waleka.

Waleka pun merasakan hal sama. Dia tahu, sebagai laki-laki Ratenggaro, dia harus menjadi laki-laki yang setia dan jujur. Tergetar hatinya ketika menyadari Bapa Tua sedang menatapnya lekat-lekat.

“Kalau engko jujur dan setia, engko pasti bisa jaga harga diri keluarga, uma parona, Ratenggaro, kabisu, suku, dan tentu saja harga dirimu sendiri,” Bapa Tua tersenyum setelah selesai bicara. Sorot matanya memberi sinar dan harapan bagi Waleka.

Diam tetapi pasti, Koni juga mencatat setiap kata Bapa Tua ke dalam pikiran dan hatinya. Dia angkat wajahnya sejenak memperhatikan wajah laki-laki tua itu lagi. Koni terkenang Bapa Bili, guru di Weetebula, yang selalu bicara dengan tenang setiap kali memberi nasihat. Saat Koni berpindah tatapannya ke wajah Mama Tua, ibu Waleka melempar senyum yang ikhlas.

*****

Nyale

Yuni Utami Asih adalah seorang pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mulawarman sejak tahun 2005 yang juga merupakan tempatnya menuntut ilmu pada tingkat sarjana. Masa kecilnya akrab dengan buku cerita anak yang biasa dipinjamkan bapaknya dari perpustakaan keliling. Pada masa SMA dia jatuh cinta dengan novel terjemahan Erma dalam Bahasa Indonesia dari The Count of Monte Cristo (Dunia Pustaka Jaya, 1992). Dia melanjutkan pendidikan jenjang magister dan doktor di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Pada tahun 2011 dia berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke Universitas Leiden selama 2 bulan untuk pendalaman tugas akhir program doktor dengan biaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain mengajar, dia juga beberapa kali menjadi narasumber dalam pelatihan tentang pembelajaran Bahasa Inggris.

Yuni Utami Asih: kelasyuni@gmail.com

 

Nyale
An excerpt from Pasola, an upcoming novel

 

The night was pitch dark. An elder who had calculated the moon journey declared that the nyale, sea worms, were to appear at the Ratenggaro Beach on the seventh night of March 1934. Earlier that afternoon, every family in the Ratenggaro village on Sumba Island, cleaned the ancestral graves and their surroundings. Through the evening, women and men danced and chanted on the village square while waiting for the arrival of the nyale.

After Waleka followed Limbu Koni and Biri home, many people continued to party. Around four in the morning, most of the villagers headed to the dark beach. Bau Nyale was the traditional annual ritual of catching sea worms.

On their way to the beach, Waleka was followed by his sister, Inya Peke. Limbu Koni held Banu, Inya Peke’s son, by the arm as they walked behind them. They were followed by Limbu Koni’s best friend Biri, Waleka’s parents, and other family members.

“Why do nyale come when the moon is dark?” asked Banu.

“The nyale are afraid of the moon and sun!” Limbu Koni replied. “Hopefully there will be a lot of fat, colorful nyale.”

“Nale or nyale, Inya?” Banu asked.

“Nale and nyale mean the same,” Biri replied. “The word refers to a sea worm. I believe that there will be an abundance of sea worms this time.”

The wind gently caressed their hopeful faces as they walked to the Ratenggaro Beach, close to their uma parona, family home. “You should be living here, near a beach,” said Limbu Koni to Biri. “During the three days you’ve been here visiting, you’ve not complained of being short of breath.”

Biri replied by chanting the mantra call for the nyale, then whispered, “The man who pulled your hand — is his name Ndalo? Such a shameless man!”

“Don’t worry about him,” Limbu Koni replied. “Just leave it alone.”

“We’re going to have a party today!” shouted Inya Peke. “We’ll celebrate the nyale catch and the sacred Sumbanese pasola. Waleka will be dashingly handsome at the annual equestrian spear-fighting competition!

“I want to be a to paholong like Bapa Waleka,” Banu said, pulling his mother’s hand.

“That’s good!” Inya Peke replied. “You can be like your Uncle Waleka, a spear fighter who sits high in his saddle. He’s as handsome as …”

“Banu!” Banu replied laughing.

They walked happily through the binya bakolo, the main gate between gravestones, and entered the footpath to the beach. The sound of rolling waves indicated that they were almost there. Starlight, hope, and need led the eager villagers to the Ratenggaro Beach in search of nyale.

Waleka chanted a kawoking, the mantra to call the nyale.

Nyale ayam wo wo wu

The mother of nyale, Mother Nyale

Spawn abundantly

Lay as many eggs as a snail

As many as a grasshopper

Cut up the many egg clusters

Nyale ayam wo wo wu, chicken nyale wo wo wu

The mother of nyale, Mother Nyale

Lay as many eggs as a snail.

The people took turns chanting the mantra as they walked. They hoped the sea worms had been as prolific as grasshoppers and snails. Everyone waded into the receding sea. The chilly water stung their bare legs. Their feet moved across the slippery pebbles while they groped for sea worms. Voices called out in turns: “I caught some!” “They are slippery!” “Wow! There are a lot!” “It tickles!” “Wo wo wu, wo wo wuuu!”

The smell of the sea worm catch filled the air.

Waleka jumped around. Fingering rocks and bed gravel for the sea worms, he held on tightly to the worms he caught.

Inya Peke and Banu followed him, carrying baskets. Limbu Koni, and Biri were nearby. Biri, experiencing her first Bau Nyale, kept dipping her hands in the water, trying to catch the evasive, slippery worms.

Limbu Koni steeled herself when the worms touched her feet. She looked down while fingering a rock. So did Waleka. Both laughed when their hands touched as they caught the worms around the rocks. They proudly added their catch to the growing number of nyale in the baskets Banu and Inya Peke carried.

“A nyale ball!” Waleka shouted as he yanked up a nyale nest. The clump of worms formed a large squirming ball, slightly larger than a soccer ball. He immediately returned to the beach with everyone on his heels.

“Let’s find some more!” Banu shouted excitedly. He wanted to catch more worms because he only had a few in the small basket hanging from his neck.

“We have enough,” Waleka whispered to his nephew. “This is already a lot. We must share with other people.”

The Bau Nyale came to an end as the sun reached the hollow of the small headland below the cliffs of Ratenggaro. Everyone left the shore with their catch and walked cheerfully to the village. Waleka was the only one who had caught a nyale nest.

Though Limbu Koni had not said anything to him, Waleka knew she was proud of him and admired him.

“That is the sign that you are here for Waleka,” Inya Peke teased Limbu Koni. “You are meant for each other. Everything is going smoothly.”

“We will soon have a celebration!” Biri added.

“Just like you. Your fiancé, Wuri Wona, can’t wait.” Limbu Koni and Biri burst out laughing.

Back in the village, the nyale nest was unraveled beside the wood stove, in the center of the stilt house used as a kitchen. The ball was divided into thirds. Limbu Koni, Inya Peke and Biri each took a third. The slippery masses fell several times. The worms, loosened from the ball, writhed and crawled, searching for sea water. Banu always picked them up and put them back into the basket. There were so many fat, bright, colorful, and tantalizing worms!

“Red, green, yellow, white, black — wow, we have every color!” Banu shouted happily. Waleka’s parents and all the other villagers were happy too. “The worms are fat!” Banu shouted again. “They are bright! What does it mean, Mother?”

“It’s a sign of fertile land, abundant harvests, and a better life,” Inya Peke replied. Biri and Limbu Koni agreed, as they skillfully helped Inya Peke and Waleka’s extended family prepare a variety of nyale dishes.

Together with Inya Peke and Biri, Limbu Koni started to prepare nyale palowor, a stew of nyale and thick coconut milk, complemented with various spices. It smelled fragrant and tasted delicious.

They also made a peppery sauce with green chilies and fat, bright, colorful worms. “Are we going to make bodho, too, Inya?” Biri asked.

“Yes, store the nyale jerky here,” Waleka’s mother answered, handing over an earthen pot.

“Wow, we have plenty!” she exclaimed proudly. “This will be enough for several months!”

Waleka was pleased to see Limbu Koni and Biri help with all the kitchen activities. He was especially taken with Limbu Koni. Waleka and Limbu Koni stole furtive glances at each other and immediately looked away after being caught by the other. But Waleka knew that later, on the pasola field, everything would change. Everything would become more beautiful, more intimate.

Finally, breakfast was served. Before everyone started to eat, Waleka’s father, Bapa Tua, gave a speech in the Sumbanese dialect.

In front of the villagers and relatives who had come from afar, the old man underlined several things to the gathering in their stilt house.

“Waleka, you caught a nyale nest during the Bau Nyale on the beach,” he said. “Take care of that fortune throughout life. To find a big nyale nest with colorful, fat, and luminous worms is special, very special indeed! Not all nyale seekers find one. This is a sign of a lifetime fortune. You’re the only one who caught a nyale nest. That is incredible. You’ve been given a lot. Take good care of the gift. If you ever fail to appreciate how much you’ve been given in the form of a nyale nest, you will lose everything.”

“Yes, Father,” Waleka answered confidently.

“Live a life that’s faithful and honest,” his father continued. “Be grateful for everything you have. Don’t take more than you need. Whatever the challenge might be, never take more — let alone things that don’t belong to you.” Bapa Tua continued his speech with life’s wisdoms that had been passed down for generations.

“You will be the best to paholong throughout your life,” Bapa Tua said, and Waleka listened carefully to his father. “Faithfulness and honesty are the keys,” Bapa Tua emphasized. “Not only in the jumping style and your ability to merge with your horse, Lenggu Lamura, when the javelin is thrown, but you also need to be faithful and honest to the horse you are riding. On the pasola field, you and Lamura are one.” Bapa Tua threw Waleka a sharp look before repeating, “You and Lamura are one. Remember that.”

“Yes, Bapa!” Waleka agreed wholeheartedly.

“Keep faithfulness and honesty not only in the victory and satisfaction of defeating an opponent, but also in your humanity in embracing and helping your defeated opponent.” Bapa Tua spoke each word carefully. Everyone present listened attentively, including Limbu Koni.

Waleka’s bride-to-be studied the face of her future father-in-law: calm eyes beneath thick eyebrows, high cheekbones, and a strong jaw. Waleka looked very much like his father.

“You must believe that every drop of sweat and every drop of blood that falls on the field falls honestly and faithfully and will not dry up there. Not just for the harvest, but more than that, for real life. Loyalty and honesty are the keys!”

Limbu Koni was moved by Bapa Tua’s words. He was a true kabani pa ate, a very clever and wise man. In his youth, Bapa Tua had traveled to Flores, Timor, Alor, even as far as Maluku dan Sulawesi to trade livestock. His children, grandchildren, and extended family believed that Bapa Tua’s experience made him wise in his old age. Especially for Waleka, the only son in the family.

“Bapa Tua is an extraordinary kabani pa ate,” Biri whispered to Limbu Koni. “Hopefully, Waleka can live up to Bapa Tua’s words for as long as he lives. Hopefully.”

“Yes,” Limbu Koni replied. She felt that Bapa Tua’s words were not only directed at Waleka as a to paholong, but also at her for being accepted as a part of Waleka’s extended family.

Waleka felt the same. He realized, as a Ratenggaro man, that he must be a faithful and honest man. His heart fluttered when he saw Bapa Tua looking at him intently.

“If you are faithful and honest, you will be able to take care of family pride, uma parona, Ratenggaro, kabisu, tribe, and yourself for sure.” Bapa Tua smiled. The look in his eyes gave Waleka light and hope.

Silently, Limbu Koni recorded all Bapa Tua’s words in her mind and heart. She lifted her head for a moment to watch the old man’s face again. Then Limbu Koni shifted her gaze to Mama Tua. Waleka’s mother threw her a warm smile.

“Do you understand, Waleka?” Bapa Tua asked.

“Yes, Bapa.” Waleka answered confidently.

*****

 

 

 

 

 

.