Cal Day 2019

Oleh Gemah Rahardjo

 

Perayaan CalDay 2019 (California Day 2019) terselenggara dengan semarak di dalam kampus Universitas UC Berkeley pada hari Sabtu, tanggal 13 April yang lalu. Bersamaan dengan itu kami, Dalang Publishing, mendapat undangan kehormatan dari Ibu Virginia Shih, Kepala Perpustakaan Asia Tenggara di Universitas UC Berkeley, untuk menggelar acara buku kita di perpustakaan tempatnya bekerja.

Ibu Virginia Shih membuka acara pagi itu dengan kata sambutan kepada para pengunjung dan kemudian beliau segera mempersilahkan Ibu Lian untuk mengambil alih memulai acara.

Di selenggarakan di ruangan yang teduh dan nyaman, dilingkupi oleh rak-rak buku yang berjajar rapi, dan dihadiri para pengunjung yang penuh perhatian, acara pemaparan keseluruhan buku terbitan Dalang Publishing itu menjadi penuh makna. Ditambah kemudian dengan acara tanya jawab yang membuat acara lebih menarik.

Hadir di antara para pengunjung: Ibu Abby Scheel, Kepala Bidang Seni dan Ilmu Pengetahuan Budaya  Perpustakaan UC Berkeley, dan Ibu Sylvia Tiwon, Profesor Madya  studi Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Kami berterima kasih kepada Ibu Virginia Shih atas kesempatan yang diberikan untuk ikut serta dalam acara CalDay, yang merupakan acara terpenting dalam daftar acara-acara yang diselenggarakan oleh UC Berkeley setiap tahun.

Ketuk Lumpang

Muna Masyari, lahir di Pamekasan, Madura, Jawa Timur, pada 26 Desember 1985. Dinobatkan sebagai penulis Cerpen Terbaik Kompas 2017, atas cerpennya yang berjudul ‘Kasur Tanah’. Tulisan-tulisannya termaktub dalam antologi “Munajat Sesayat Doa”, 2011, “Rumah Air”, 2011, “Lafaz Cinta di Ambang Gerhana”, 2011,Tanah Air”, 2016, “Kasur tanah”, 2017. Cerpen-cerpen lainnya juga tersiar di Harian Kompas, Jawa Pos, Tempo, Media Indonesia, Horison, Republika, Suara Mendeka, Jurnal Nasional, Femina, Nova, Pikiran Rakyat, Sinar Harapan, dan media-media lainnya. Baru saja menerbitkan buku kumpulan cerpen “Martabat Kematian” (Sulur Pustaka, 2019).

Muna bisa dihubungi melalui masyarimuna@gmail.com.

Hak cipta ©2019 ada pada Muna Masyari. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan ©2021 ada pada Junaedi Setiyono.

 

 

Ketuk Lumpang

Bibir Arsap menyungging seolah mengejek. Matanya tak lepas menatap orang-orang yang menyaksikan Marinten mengetukkan alu ke bibir lumpang. Sakit hati Arsap terobati sudah. Bara di dadanya padam tersiram.

Bulan alis mengintip dari balik pelepah janur. Petromaks mendesis-desis di langit beranda rumah, dikerubungi serangga. Sepasang paha sapi yang sudah dikuliti digantung sungsang di beranda dapur. Bau dupa tertindih bau satai bakar yang meruap terbawa angin.

Semula, irama ketuk lumpang yang berseiring dengan gemerincing tutup tempolong kuningan terdengar sumbang. Antara ketukan Marinten dengan lainnya tidak selaras. Bukan irama yang biasa dimainkan saat pembuatan dodol, penyembelihan sapi, panen raya maupun pada saat mengabarkan duka ketika ada yang meninggal dunia.

Ada rasa berbeda yang tercipta. Semakin didengar, menyerupai irama kabar duka, namun ketukan alu lebih halus dan patah-patah. Lain waktu, iramanya menghentak cepat. Tutup menangan bergemerincing nyaring serasa dalam semarak panen raya. Lalu melirih perlahan seperti terpagut angin.

Arsap tahu, itu bukan kesalahan semata. Pemainnya merupakan kesatuan kelompok yang diketuai Marinten, yang dikenal mahir dalam memainkan macam-macam irama ketuk lumpang. Sudah dikenal di penjuru kampung. Jika ada hajatan, orang-orang biasa mengundang mereka. Tidak mungkin Marinten keliru memimpin kawan-kawannya memainkan irama.

Marinten, selain mahir memainkan irama, perempuan itu memiliki daya pikat melebihi kawan-kawannya, dan membuat orang selalu tertarik mengundang. Dengan mengenakan sampir batik bercorak kembang cengkeh, kebaya bunga-bunga, rambut disanggul miring berhias untaian kembang melati, Marinten berhasil mencuri perhatian di setiap acara. Meskipun berdandan seadanya, Marinten tetap terlihat cantik. Sederhana namun memesona. Ada yang bilang, Marinten memiliki daya pikat yang diwariskan ibunya.

Menurut cerita orang-orang, dulu ibu Marinten juga pandai memainkan ketuk lumpang. Irama yang dimainkan mampu melepas lelah saat panen raya, menyemarakkan suasana dalam acara perkawinan maupun khitanan, dan bisa membuat orang terhanyut kesedihan saat dimainkan untuk mengabarkan duka.

Bila ada acara hajatan yang mengundang dirinya, para undangan segera datang berduyun-duyun. Bunyi ketukan alu yang beradu dengan gemerincing tempolong kuningan seolah menyihir mereka untuk segera hadir. Yang semula berhalangan, tetap mengusahakan hadir demi melihat ibu Marinten mengetukkan alu bersama kawan-kawan dalam memainkan irama ketuk lumpang.

Sama dengan Marinten, ibunya juga menjadi pusat perhatian para undangan maupun orang-orang yang hadir sekadar menonton. Banyak pemuda kampung terpikat dan terkagum-kagum pada kecantikan serta kemahiran ibu Marinten dalam memainkan ketuk lumpang. Kemampuan itulah yang ditularkan pada Marinten.

Setiap panen raya maupun musim perkawinan, Marinten dan kelompoknya tak pernah sepi undangan. Bahkan ada yang terpaksa ditolak karena waktunya berbenturan.

Akan tetapi, irama yang dimainkan Marinten sekawan malam ini sungguh berbeda. Iramanya kadang terdengar sedih, marah, lalu tiba-tiba berirama kacau sebagaimana orang yang tengah dilanda putus asa.

Sebagaimana perhatian para undangan, mata Arsap tak lepas dari sosok Marinten di halaman. Dia menikmati kacaunya irama ketuk lumpang yang dimainkan perempuan itu sebagai irama kemenangan, membayar kekalahan.

***

Malam merangkak perlahan. Ketukan alu dan gemerincing tutup tempolong kuningan semakin jelas terdengar. Bau satai bakar kian meruap. Undangan dan penonton tidak ada yang beranjak meskipun irama yang dimainkan Marinten sekawan tidak sesuai dengan acara, dan cenderung kacau. Bayi-bayi lelap dalam gendongan ibunya.

Arsap menghisap batang rokoknya dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Asap bergulung-gulung, melayang ke udara. Puntung rokok menumpuk di pinggir tatakan cangkir. Wajik dan dodol masih tersisa empat kerat di piring.

Pantang bagi lelaki direndahkan oleh perempuan! Arsap tersenyum pongah dalam hati.

Penolakan lamaran oleh ibu Marinten telah membakar hati Arsap. Ditolak tanpa alasan sungguh suatu penghinaan! Padahal dia dan Marinten sudah mengikat hati sejak keduanya menginjak remaja.

Maka, dengan darah mendidih, Arsap pun meminta pada ayahnya agar dicarikan seorang perempuan yang bersedia dinikahi secepatnya. Maksar, yang semula sudah keberatan Arsap melamar Marinten, mencari calon menantu dengan segera.

Begitu Maksar menemukan perempuan yang dirasa cocok dinikahi Arsap, mereka pun melamarnya. Sesuai kemauan Arsap, tanggal pernikahan dimusyawarahkan secepat mungkin.

Tidak lebih dari dua pekan sejak ibu Marinten menolak lamaran Arsap, tanggal baik pun ditetapkan. Arsap sengaja mengundang Marinten memainkan ketuk lumpang pada malam menjelang pernikahannya. Tentu untuk menyirami bara di hati. Untuk menunaikan penghinaan yang ditanggungkan oleh ibu Marinten.

Bunyi ketuk lumpang terus bertalu. Bau dupa yang baru dibakar sebagai ganti yang sudah mati datang menyerbu. Sebagian para ibu yang bertugas menyiapkan ragam masakan untuk undangan besok pagi masih sibuk di dapur.

Malam merangkak semakin lamban. Arsap dan ayahnya masih menemani para kerabat dan undangan di beranda. Maksar tampak bergembira dengan tawa yang kadang membahak di sela-sela obrolannya. Dodol dan wajik tinggal dua kerat. Cangkir-cangkir sudah menyisakan ampas.

Tiba-tiba Arsap melihat kemunculan Kakek Samulla di halaman dengan sebatang rokok mengepul terjepit di sela jarinya. Jalannya melambat memerhatikan Marinten dan kawan-kawan.

Mau apa lelaki tua itu, pikir Arsap. Dia menyikut lengan ayahnya. Tawa Maksar terhenti seketika, mengikuti arah pandangan Arsap. Maksar menatap Kakek Samulla dengan mata tak suka.

Langkah Kakek Samulla terhenti sebentar, mengamati Marinten yang tengah memainkan ketuk lumpang dari jarak yang cukup dekat. Tak segera naik ke beranda untuk menemui tuan rumah. Tatapannya aneh. Cara menghembuskan asap rokok perlahan dari mulutnya memberi kesan ada suatu kepahaman yang berhasil diraba.

Dada Arsap rusuh menggemuruh. Dia pernah diceritai ayahnya tentang sosok tua itu.

***

“Memalukan!” Ibu Marinten marah-marah menyambut kedatangan anaknya.

Daun pintu ditutup lagi dengan kasar. Dari tadi ibu Marinten tidak bisa memejamkan mata mendengarkan bunyi ketuk lumpang yang dimainkan Marinten di rumah Arsap.

Marinten diam. Perempuan itu nyelonong masuk, mengempaskan pantat pada kursi kayu dengan wajah layu. Dia melepas untaian kembang melati di sanggulnya.

“Bagaimana kamu bisa memainkan irama sekacau itu? Bukankah kau sudah mahir memainkan irama untuk acara perkawinan?” pertanyaan Ibu Marinten masih bernada gusar meskipun suaranya sedikit kurang jelas.

Sambil mengunyah sirih-pinang, Ibu Marinten mondar-mandir di depan anaknya. Sesekali membuang ludah pada kaleng bekas berisi abu tungku di dekat kaki lincak. Wajahnya mengeras. Bibirnya basah dan merah. Lalu mencecar Marinten lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak tuntas dia pikir sejak tadi. Kemarahan dimuntahkan.

“Kenapa pula teman-temanmu ikut bermain tak karuan? Seharusnya kalian menyelaraskan irama satu sama lain!”

Marinten tidak menyahut.

“Itu pasti gara-gara kamu! Pikiranmu ke mana-mana!”

“Bukankah Ibu yang mengajariku memainkan ketuk lumpang dengan menyatukan jiwa dan pikiran? Menghayati penuh perasaan. Dalam acara gembira, kita harus bermain dengan jiwa riang. Begitupun sebaliknya. Dengan begitu, irama yang kita mainkan akan mampu menyentuh hati siapa saja yang mendengar. Menggiring mereka pada kedalaman jiwa dan rasa yang sedang kita hayati. Bukankah begitu?”

“Betul. Lalu kenapa yang kaumainkan tadi iramanya jadi seperti itu? Seharusnya kau memainkan dengan jiwa bahagia.”

“Aku sudah memainkan ketuk lumpang dengan jiwaku. Jadi tidak ada yang perlu kusesali.”

“Kamu diundang untuk acara pernikahan, bukan kematian!” suara ibu Marinten meninggi.

Geraham Marinten bergesekan. “Apa aku harus bahagia dengan perkawinan Kak Arsap?” dia bangkit, menatap ibunya lekat-lekat, lalu menggeleng keras. “Tidak, Bu!”

“Dasar bodoh! Kau menyesal karena aku menolak lamaran Arsap?”

“Beri aku alasan, kenapa Ibu menolak lamarannya?”

“Dia tidak baik untukmu. Kau boleh menikah dengan siapa pun asal bukan dengannya!”

“Dengan siapa pun?” Senyum Marinten menyeringai mengejek, belum yakin ibunya tidak akan menjilat ludah sendiri.

“Ya! Dengan siapa pun!” ibu Marinten menegaskan.

Dagu Marinten sedikit terangkat, “Baik, kalau begitu, besok pagi aku akan ke rumah Kakek Samulla, menerima lamarannya untuk menikahiku!” Marinten meninggalkan ibunya begitu saja.

Ibu Marinten tercekat di tempat. Kunyahan pinang-sirih di mulutnya terhenti. Sekian detik matanya tak berkedip meskipun punggung Marinten sudah lenyap di balik pintu.

Sementara Marinten merebahkan tubuhnya ke lincak. Mengempaskan napas. Pikirannya mengawang. Marinten sudah tahu dengan alasan apa ibunya menolak lamaran Arsap. Antara Kakek Samulla, Maksar dan ibunya, ternyata pernah terlibat suatu persoalan.

Dulu, Maksar dan Kakek Samulla sama-sama menyukai ibu Marinten. Keduanya sering mencegat ibu Marinten di jalan ketika pulang dari undangan. Dua lelaki yang beda usia itu berebut akan melamar ibu Marinten. Namun ibu Marinten menjatuhkan hatinya pada Maksar. Selain lebih muda, lebih gagah dan tampan, Maksar juga pintar meramu kata-kata manis. Kakek Samulla yang saat itu sudah hampir berkepala empat, tidak berdaya atas pilihan ibu Marinten.

Maksar merasa memeroleh kemenangan tanpa harus berperang. Dia berniat melamar ibu Marinten secepatnya. Namun orangtua Maksar justru tidak setuju karena ibu Marinten dikabarkan memiliki susuk pemikat, dan mencarikan perempuan lain.

Kakek Samulla berang. Dia tidak terima Maksar menyia-nyiakan ibu Marinten begitu saja dengan tuduhan yang belum tentu benar adanya. Terjadi pertengkaran sengit antara mereka berdua. Hampir saja terjadi carok, adu celurit.

Marinten yakin, menolak lamaran Arsap merupakan suatu cara ibunya untuk membalik cerita masa lalu. Membayar sakit hati pada keluarga Maksar yang selama ini dipendamnya. Kalaupun dia menyuruh Marinten memenuhi undangan mereka memainkan ketuk lumpang, biar kesannya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Marinten meringis. Begitu manis ibunya bersandiwara. Geraham Marinten kembali bergesekan. Tatapannya menggantung ke langit-langit kamar.

Sepulang dari undangan tadi, Kakek Samulla mencegat Marinten di jalan. Dari lelaki tua  yang belum pernah menikah hingga sekarang itulah Marinten mendengar kisah masa lalu ibunya, dan mendapatkan kesimpulan, mengapa ibunya menolak lamaran Arsap.

***

Dahi Marinten mengerut begitu membuka pintu, dia mendapatkan alu yang digunakan semalam telah patah jadi tiga dan berserakan di beranda. Buru-buru Marinten berlari ke dapur. Sepi. Mulut tungku masih dingin membisu. Marinten juga tidak melihat parang yang biasanya disandarkan pada palang kaki lincak.

Dada Marinten berdegup kencang. Kembali dia berlari ke beranda. Memungut dua patahan alu dengan hati cemas.

Kabut tipis masih bergelayut di dahan-dahan pohon kelapa. Marinten menatap jauh ke jalan.

***

Requiem for a Wedding

Penulis pemenang penghargaan Junaedi Setiyono, lahir di Kebumen pada 16 Desember 1965, menyelesaikan pendidikannya dari sekolah dasar sampai sarjana di Purworejo. Pada 2013 dia memperoleh beasiswa untuk bimbingan disertasinya di Ohio State University Amerika Serikat selama empat bulan. Dia menyelesaikan doktornya dalam bidang Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Semarang pada 2016.

Pada 2006 naskah novelnya berjudul Glonggong memenangi Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, dan setelah diterbitkan Serambi, 2007, novel tersebut menjadi Finalis Khatulistiwa Literary Award 2008. Novelnya yang kedua, Arumdalu, (Serambi, 2010) masuk sepuluh besar Khatulistiwa Literary Award 2010. Pada 2012, naskah novelnya yang ketiga, Dasamuka, kembali memenangi Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, dan kemudian diterbitkan oleh Penerbit Ombak pada 2017. Pada tahun yang sama, novel tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dan diterbitkan oleh Dalang Publishing di California, USA. Novel ini pemenang Penghargaan Sastra 2020 dari KEMDIKBUD.

Setiyono dapat dihubungi lewat alamat surelnya: junaedi.setiyono@yahoo.co.id

 ***

 

 Requiem for a Wedding

 

Arsap sneered as he watched the people gathered around Marinten, tapping the lip of her bowl-shaped vessel with her alu, wooden pestle, making music with her band outside in his yard. He had recovered from his heartache, and the fury inside him had subsided.

A waning moon peeked out from behind the fronds of a coconut palm. A hissing kerosene lamp on the veranda attracted insects. Two steer hindquarters hung upside down from the rafters of the kitchen porch, curing. The fragrance of incense and roasting satay wafted in the wind.

At the beginning of Marinten’s performance, the rhythm of the large wooden pestles hitting their vessels, along with the clanking brass lids, seemed off. Marinten and the other performers were not in sync. The tune they were supposed to play tonight was different from the music they played when making dodol, a sweet toffy-like confection, or the music they played when livestock was slaughtered for a special occasion or the music they played to celebrate a harvest of crops or to express sympathy.

This music created a different atmosphere. The arrangement seemed to convey a condolence, but the tap of the alu was softer and irregular. At other times, the tapping was quick and punctuated. Then, accompanied by a loud crashing of the cymbals, the music sounded like a piece played during a harvest celebration. But next, the music tapered off, becoming softer and softer, as if it were carried by a breeze.

Arsap knew that the peculiarity in the rhythm was not caused by human error. The players constituted a music group led by Marinten. She was known in her village as a skilled musician capable of playing various rhythms of ketuk lumpang, a Madurase way of making music using brass spittoon lids along with wooden mortars and pestles. Marinten’s band was usually asked to perform at all the gatherings in the village. It was impossible that Marinten had made a mistake in directing her fellow musicians.

Aside from being a competent musician, Marinten was charming, which made people want to invite her to play. Although Marinten dressed plainly, she still looked beautiful. Wearing a clove-flower patterned batik shawl and a flowered kebaya, an Indonesian long-sleeved blouse, with her hair put up in a slanted chignon and decorated with strands of jasmine, Marinten caught people’s attention during every occasion. Her appearance was simple, but attractive. Some people said that she had inherited her mother’s charisma.

According to hearsay, Marinten’s mother had once been known as a skilled ketuk lumpang musician too. It was said that her tapping could relax tired muscles after a big harvest, liven up the atmosphere during a wedding celebration or circumcision ceremony, and console mourners drowning in their sadness at a funeral.

When Marinten’s mother was invited to play at a circumcision ceremony, the invited guests thronged to the event, as if the music of tapping pestles and clanking brass lids enticed them to rush to the occasion. Even those who already had other obligations made arrangements so they could come for the sake of watching Marinten’s mother when she and her friends performed the ketuk lumpang music.

Like Marinten, her mother had been the center of attention, not only from the invited guests, but also from people who came without an invitation. Many young men in the village were attracted to her beauty and amazed at her competence in playing ketuk lumpang. Marinten had inherited all of these attributes.

During every harvest and wedding season, Marinten and her musicians never lacked for invitations to play. They even had to turn down some invitations when dates overlapped one another.

But this night, the music that Marinten and her group played was quite different. The music sounded sad, then angry, then suddenly chaotic, like a cadence played by someone in despair.

Like the other guests, Arsap could not take his eyes off Marinten’s figure in the middle of his yard. He enjoyed listening to the incongruous rhythm of the ketuk lumpang music, and he considered Marinten’s off-beat performance as retribution for his defeat.

***

The night moved on slowly. The tapping and the clanging of the brass tops became more apparent. The aroma of satay roasting on the hot grills filled the air. Even though the music Marinten and her group played was not in accordance with the occasion and tended to be off-key, people still stayed to listen. Babies slept soundly in the warm safety of their mothers’ slings.

Arsap took a deep drag on his cigarette and then exhaled slowly. The smoke rose coiling into the air. His cigarette butts were piled up on the edge of his saucer. Four pieces of wajik, an Indonesian sweet made of glutinous rice, and dodol remained on a serving platter.

A woman is not supposed to underestimate a man! Arsap thought arrogantly.

Marinten’s mother’s refusal of Arsap’s wedding proposal to Marinten had made him very angry. To be refused without any reason was quite a humiliation. In fact, he and Marinten had been in love since they were teenagers. Consequently, Arsap asked his father, Maksar, to find him a girl who was willing to be married immediately.

Maksar, who had also objected to his son proposing to Marinten, immediately started looking for a prospective daughter-in-law. As soon as Maksar found a girl he considered an appropriate wife for Arsap, Maksar proposed to her for his son.

They set the date for Arsap’s wedding less than two weeks after Marinten’s mother had refused Arsap’s proposal.

Arsap intentionally invited Marinten to perform ketuk lumpang on the night before his wedding. The invitation was meant to snuff the hot humiliation, anger, and heartache that had fueled his heart and to retaliate against Marinten’s mother.

While the sounds of the ketuk lumpang continued, the scent of a new block of incense that had replaced the burned one drifted through the house. In the kitchen, women remained busy preparing various kinds of food for the wedding guests.

The night dragged on. Arsap and his father mingled with their relatives and guests on the veranda. Maksar seemed happy, his laughter interspersing the conversations. Now, there were only two pieces of dodol and wajik left and only coffee dregs remaining in the cups.

Suddenly, Arsap noticed the arrival of old man Samulla in the yard. Holding a burning cigarette between his fingers, the old man walked slowly while watching Marinten and her group play.

What is the old man doing here? Arsap wondered. He nudged his father’s arm with his elbow.

Maksar followed Arsap’s gaze, and abruptly stopped laughing. He frowned, looking at old man Samulla.

Samulla stood still for a while, watching Marinten from a near distance as she played the ketuk lumpang. He didn’t walk to the veranda to see the host. He had a strange look in his eyes. The way he slowly exhaled the cigarette smoke from his mouth gave the impression that he had gained some kind of truth.

Arsap’s heart pounded in his chest. Some time ago, his father had told him about that old man.

After the performance was over, Marinten walked home. She saw Samulla waiting for her at the roadside. The old man, who had never married, told Marinten her mother’s story. Now Marinten understood why her mother had refused Arsap’s proposal.

***

That night, Marinten’s mother could not fall asleep. Sitting by a window, she kept hearing the discordant sounds of ketuk lumpang music that her daughter was playing at Arsap’s wedding celebration.

Suddenly, she heard the door being pushed open and then slamming shut. Without any greeting, Marinten stomped into the house and dropped herself on one of the wooden chairs. Sulking, she removed the strands of jasmine from her hair and loosened her chignon.

“Shame on you!” Marinten’s mother approached her daughter angrily. “How could you mess up that badly? Don’t you know how to play wedding music?”

Chewing on a wad of betel leaves, Marinten’s mother paced in front of her daughter. Every so often, she spat betel juice into a can that contained ashes from the earthen stove, sitting near the leg of a bamboo bench. Her face hardened as she bombarded Marinten with questions that had been bothering her for some time.

“Why did your musician friends follow your lead? Everyone knows you should harmonize the rhythm with one another!”

Marinten didn’t respond.

“I am sure that you caused the performance to fail. Your thoughts were everywhere except on what you were invited to do!”

“Was it not you, my mother, who taught me to unite my soul and thoughts when I play ketuk lumpang? You said that we have to instill all our feelings in our music. For a happy occasion, we must play with gladness in our soul, and the other way around. Thus, the music we play can touch the hearts of our audience. The music will enable them to reach the depths of their souls and experience the feelings we are instilling. Right?”

“You are right. So, then, why didn’t the music you play convey that? You should have played happy tunes!”

“My soul was in the music I played; there is nothing I regret.”

“You were invited to play at a wedding, not a funeral!”

Marinten gritted her teeth. “Am I supposed to be happy at Arsap’s wedding?” She rose from her seat, glared at her mother, then shook her head hard. “No, Mother!”

“How stupid you are! You are upset that I refused Arsap’s proposal to marry you?”

“Give me a reason why you refused his proposal.”

“He is not good enough for you. You may marry whoever you want except him!”

“Marry whoever I want?” Marinten grimaced.

“Yes! You may marry whoever you want to marry!”

Marinten threw her head back and laughed. “All right! Then, tomorrow I will go to old man Samulla’s home and accept his proposal to marry me!”

Marinten’s mother was struck speechless. She stopped chewing the wad of betel leaves in her mouth. She stared at Marinten’s back as her daughter vanished through the door.    

***

Marinten lay down on a bamboo bench. She slowly exhaled while her thoughts drifted to what Samulla had told her earlier that night ⸺ why her mother had refused Arsap’s proposal. It was a problem that involved Samulla, Maksar, and her mother.

A long time ago, according to the story, both Maksar and old man Samulla had courted her mother. Both of them often waited for her when she walked home from an engagement. The two men — one old, one young — competed for her mother’s hand.

Marinten’s mother had chosen Maksar. Not only was Maksar younger, brawnier, and more handsome than Samulla, but he was also a slick sweet-talker.

Samulla, who was almost forty then, did nothing to change her mother’s choice.

Maksar felt he had gained a victory without having to go to war. He made plans to propose to Marinten’s mother as soon as possible.

Unfortunately, Maksar’s parents didn’t agree. Going by a rumor that Marinten’s mother owned a susuk pemikat — a magic gold pin that could supposedly bewitch a man — Maksar’s parents made him marry another girl.

Samulla was furious when he heard what happened. He could not accept that Maksar had abandoned Marinten’s mother because of a rumor. The two men quarreled bitterly and almost fought each other with sickles.

Marinten was sure that refusing Arsap’s proposal was her mother’s way to settle her score with the past. It was her way to compensate for the hurt Maksar’s family had inflicted on her and that she had kept buried all this time. She had intentionally told Marinten to accept Maksar’s invitation to play the ketuk lumpang at Arsap’s wedding celebration in order to show his family that there were no hard feelings.

Marinten grimaced. Her mother had put on a big show. Marinten clenched her teeth and stared at the ceiling.

***

The next morning, Marinten frowned as soon as opened the doors to the veranda. The alu she had used the night before lay broken into three pieces on the floor. Marinten ran to the kitchen. It was quiet there. The hearth was still cold. The cleaver that was usually propped up against one of the legs of the bamboo bench was gone.

Her heart racing, she ran back to the veranda and anxiously picked up two pieces of the broken pestle.

The light fog still hung on the branches of the coconut tree. Marinten gazed down the road.

***