Ranang Aji SP adalah penulis fiksi dan nonfiksi. Lahir di Klaten, 1 Desember 1978. Cerpennya diterbitkan oleh pelbagai media cetak dan digital di Indonesia, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Lampung Post, Harian Fajar Makasar, dan beberapa surat kabar lain. Cerpennya juga terkumpul dalam antologi tunggal dan bersama: Srigala Yang Berzikir Di Akhir Waktu (Nyala, 2018), Hujan Klise (Penerbit Buku Kompas, 20219), Urban(is)me (Binsar Hiras, 2020). Naskah kritik sastranya berjudul: “Sepotong Senja Untuk Pacarku: Antara Sastra Modern-PascaModern, Makna Dan Jejak Terpengaruhannya” termasuk 20 naskah terpilih dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 Badan Bahasa Kemendikbud dan terhimpun dalam Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang dan Masyarakat. Saat ini tinggal di Magelang-Jawa Tengah.
Penulis dapat dihubungi melalui surel: ranangajisuryaputra@gmail.com
Mitoni Terakhir
Di halaman belakang rumah, peninggalan suamiku, aku duduk sendiri, memandang pohon randu alas yang meranggas. Kukira, waktuku sudah segera akan tiba. Aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi, cepat atau lambat, malaikat maut itu pasti akan segera datang menjemputku. Menyusul para leluhurku untuk berkumpul bersama. Kematian adalah kepastian buat siapa saja, apalagi buat perempuan seusiaku saat ini. Sebelum ajalku, aku hanya ingin merasakan, menyaksikkan dan memberikan berkah pada darah dagingku yang terlahir di bumi ini, agar tumbuh sehat sebagai jiwa terberkati. Seperti para leluhurku juga memberkatiku di masa lalu.
Dari rahimku ini, telah lahir tujuh anak perempuan dan setiap anak telah melahirkan anak-anaknya, para cucuku yang lucu. Kecuali anak bungsuku, Setyaningsih, dia baru dua tahun menikah dan belum sempat mendapatkan anak. Semua anak dan cucuku mendapat restu dan berkah dari orangtuanya dengan cara yang sama. Eka Yuningsih, anak pertamaku, ketika mengandung anak pertamanya, semua menyambutnya dengan bahagia. Ketika usia kandungannya menginjak tujuh bulan, seperti adat Jawa yang terberkati, kami, ayah dan ibunya menggelar acara mitoni. Demikian pula dengan anak-anakku yang lain.
Dalam setiap hajatan itu, semua kerabat datang, semua tetangga hadir juga anak-anak sekitar yang ceria menonton rangkaian acara. Mereka tertawa sembari berdesak-desakan di halaman. Terkadang mereka ikut melihat bagaimana kami mengguyur tubuh anak dan cucuku yang masih di dalam rahimnya, dengan air bunga. Tentu saja aku tahu anak-anak itu menginginkan dawet ayu, dan juga semua makanan yang kami sediakan untuk hajatan ini. Aku membiarkan mereka ribut, gaduh di antara suara gending Jawa yang mengiringi. Terkadang, aku berpura-pura marah, meminta mereka agar diam dan menunggu di latar. Sambil aku tanya, sudah bawa kereweng belum. Kereweng adalah pecahan genteng. Dalam acara mitoni, biasanya ditukarkan dengan dawet, dan lain-lain.
“Sudaah,” jawab mereka serempak.
Namun, semua upayaku agar mereka diam, sia-sia belaka. Para mahluk kecil nan berisik itu, selalu tak tertaklukkan oleh siapa saja, kecuali oleh dawet ayu. Perut mereka yang seluas langit dan sedalam lautan, tak juga kunjung puas, meskipun bermangkok-mangkok dawet sudah disiramkan ke dalam perutnya. Bahkan ketika perut itu sudah dijejali oleh jajanan yang mereka inginkan. Ah, dasar anak-anak.
Semua tampak menjadi sibuk dan repot, memang, namun kerepotan itu membuat kami, para orangtua bahagia. Karena, aku dan mereka tahu, bahwa semua kerepotan dan keringat dari para kerabat, tetangga yang berkumpul dalam acara itu, adalah pancaran tangan kami semua yang menjemput cahaya berkah dari langit. Cahaya berkah yang kemudian kami berikan pada anak dan cucuku di dalam kandungan. Agar kelak, mereka juga tumbuh dan meneruskan berkah itu pada anak cucu mereka. Juga melalui cara ini, sebagai orang Jawa.
Dahulu, di masa kecilku, aku juga seperti mereka anak-anak kampung yang ceria itu ketika ada hajatan, tak kecuali juga ketika ada yang menggelar hajatan bagi seorang calon ibu. Aku bersama kangmasku, setelah mendengar kabar itu, segera berlari gembira di sepanjang jalan kampung, mengumpulkan pecahan genteng, berebut dengan teman-teman yang lain. Semua itu nanti kami tukarkan dengan segelas dawet dan makanan lain. Kami juga dizinkan ayah menonton pergelaran wayang orang atau wayang kulit setelahnya.
Biasanya, anak-anak punya cara agar mendapatkan lebih dawet ayu. Mereka antri sampai berkali-kali, hingga akhirnya, ibu-ibu tua yang menjaga dan melayani, menegur mereka dengan suara serak dan muka cemberut, “Sudah, gantian sama yang lain. Masak terus menerus berputar seperti itu.”
Kami selalu suka dengan semua hajatan, tanpa kecuali. Kami sadar, semua itu cara para leluhur, agar kami anak cucunya bersyukur dan menghargai lingkungan. Tanah yang menumbuhkan semua kebutuhan kami, dan juga pada Sang Hyang Widi di atas langit. Semua itu, tentu saja, seperti kata bapakku, Mitoni adalah cara orang Jawa mencintai, menghargai kehidupan mereka di muka bumi. Juga tentang persoalan bagaimana kelak seluruh keturunan bisa menjalani kehidupan dengan berkah orangtua mereka yang mengemban amanah menjaga kehidupan hingga anak cucu di masa depan.
Namun, sayang, Setyaningsih, anak bungsuku, agak berbeda. Ketika hamil pada akhirnya, dia menolak melakukan hajatan mitoni. Katanya, adat itu sudah terlalu kuno – tak lagi mencerminkan lingkungan masyarakat dan pendidikannya. Katanya, negara barat, Amerika, tempatnya bersekolah, tak ada kebiasaan seperti hajatan di Jawa. Dia memang berniat melakukan hajatan, tetapi dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih sederhana. Dia sebut hajatan itu dalam bahasa Inggris, baby shower. Aku belum pernah mendengar sebelumnya, sampai dia katakan itu.
“Teman-teman sudah seperti itu semua, Bu,” katanya mencoba meyakinkanku.
“Apa bedanya, Nduk? Lagipula kenapa harus seperti teman-temanmu?”
“Repot, Bu, hajatan seperti itu, ribet dan tak masuk akal,” katanya padaku, sedikit tampak enggan menjawab.
“Tentu saja tidak begitu,” kataku sedih. “Tentu saja di sana tak ada mitoni. Semua tempat punya caranya sendiri.” Kupandangi mukanya yang bersih dan halus. Dia perempuan yang cantik. Bahkan lebih cantik dari aku. Lebih pintar dariku. Semua yang diidamkan perempuan, ada padanya. Dia bisa membentuk apa yang dia suka dalam wajah dan tubuhnya, dengan uangnya. Begitu cantik dirinya dengan semua perubahan itu, sampai aku tak yakin apakah benar dia anakku, Setyaningsih. Semua agak berubah, dari alisnya, bentuk bibirnya dan hidungnya yang menjadi mancung. Hampir semuanya tak lagi milikku, atau suamiku.
Aku mulai sadar, dunia ini memang mudah berubah. Semua akan selalu berubah. Tak ada kepastian, selain kematian, bukan? Anakku, Setyaningsih juga tampak jauh berubah. Dia tak lagi seperti anak-anak yang dulu selalu kurawat dan kuberikan pendidikan, agar nantinya dia tumbuh menjadi perempuan Jawa yang ikut merawat miliknya sendiri, dengan percaya diri.
Tapi, tampaknya dia begitu terpesona dengan dunia yang berbeda dari yang dimilikinya. Setyaningsih juga selalu berbahasa lain, yang saudara-saudaranya tak menggunakannya. Berpakaian seperti noni-noni berambut jerami yang menjadi teman-temannya. Suaminya, sama saja. Pramono, seorang pengusaha berhasil yang lebih banyak hidup di negara asing dan mulai kesulitan melafalkan bahasa-bahasa setempat. Dia nurutin saja semua apa yang dikatakan istrinya. Katanya, “Ibu tak usah repot-repot bikin hajatan itu. Biar kami sendiri yang menangani.”
Dari tujuh anak perempuanku, Setyaningsih memang berbeda. Persis seperti pepatah lama, tak ada yang sempurna dari semua telur milik kita. Aku tak menyalahkannya. Dia mendapatkan sekolah yang telah membuatnya berpikir dia lebih pintar dari orang lain. Aku hanya ingin dirinya menjadi diri sendiri, sebagai orang Jawa. Menjalani upacara adat yang sudah menjadi baju masyarakatnya sejak dulu. Itu saja.
Usiaku mungkin akan selesai dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun usia manusia hanya Tuhan yang tahu akan berapa lama. Aku hanya ingin menjalani sekali lagi merasakan bagaimana indahnya memberikan berkat pada anak cucuku yang masih sempat aku lihat. Memberkati bersama para kerabat, tetangga dan anak-anak yang lucu nan bandel dalam acara mitoni.
Eka Yuningsih sudah membantuku menyampaikan semua keinginanku pada Setyaningsih. Katanya, aku harus bersabar. Tidak perlu ngotot dan memaksanya yang sudah punya pendapatnya sendiri. Dia ingin membuat acaranya sendiri, seperti semangat zamannya yang ingin seperti bangsa lain.
“Mungkin paling penting adalah doa ibu saja,” bujuk Yuningsih padaku, setelah gagal membujuk Setyaningsih.
“Ibu, jika tetap berkeras hati juga, nanti malah jatuh sakit. Ibu harus jaga kesehatan Ibu, agar bisa menyaksikkan cucu-cucu tumbuh.”
“Apakah Ibu salah, jika ingin memberikan berkah pada kandungan anakku. Doa terakhir yang tak akan terdengar lagi setelah kematianku nanti?” Yuningsih kulihat bimbang. Dia hanya diam dan mencium tanganku.
“Ibu jangan bicara seperti itu,” katanya kemudian.
Di halaman belakang rumah warisan suamiku ini, aku duduk menatap pohon randu alas yang meranggas – pohon yang tak lagi berdaun di musim kemarau. Mendengarkan tembang megatruh yang mengingatkanku agar bersiap dijemput kematian. Di sana, aku merenung dalam sendiriku. Mungkin aku salah. Mungkin aku semacam orangtua yang kaku. Mungkin aku terlalu memaksakan keinginanku sendiri pada anak-anakku. Orangtua yang sudah tidak sesuai dengan keinginan zaman. Keinginan anak-anaknya. Tidak tahu keinginan anak-anaknya? Hmm ….
Sekilas, aku lihat langit yang penuh awan, di antara sela-sela ranting pohon randu alas yang meranggas. Aku bersedih mengingatnya, jika begitu. Namun, kesedihanku bukan semata karena aku tak dituruti keinginanku. Mungkin memang iya. Aku tak boleh berbohong. Tapi, kesedihanku juga karena mengingat bahwa kematianku nanti, mungkin berarti juga kematian warisan leluhurku di tanahnya sendiri. Kematian doa-doa yang penuh berkah dari langit. Ah, semoga tidak. Aku masih berharap Setyaningsih, anakku yang cantik itu, sadar – sehingga aku masih bisa memberkati anak cucuku dalam hajatan itu untuk terakhir kali. Sebelum ajal menjemputku. Aku berharap seperti itu.
*****