Hikayat Emak

Guntur Alam, lahir di Desa Tanah Abang Selatan, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan, 20 November 1986. Alumnus Teknik Sipil Universitas Islam 45 Bekasi ini mulai tekun menulis cerita pendek di koran pada tahun 2010. Cerita pendeknya telah dimuat di berbagai media, di antaranya Kompas, Jawa Pos, Tempo, Media Indonesia, dan Majas. Beberapa kali cerpennya terpilih dalam buku cerpen pilihan Kompas.

Cerita pendeknya lebih banyak mengusung nuansa kelam, horor dan misteri. Pada tahun 2015, dia menerbitkan kumpulan cerita pendek dengan tema gotik berjudul Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang, Gramedia Pustaka Utama. Dia pernah diundang oleh Ubud Writers and Reader Festival, 2012 dan pada tahun 2016 menjadi peserta residensi ASEAN Literary Festival. Guntur bisa dihubungi di email guntur486@gmail.com atau di akun Twitter @AlamGuntur dan Instagram @gunturalam_

Terbit bulan April 2020. Hak cipta ©2020 ada pada Guntur Alam. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan ©2020 ada pada Oni Suryaman.

 

Perihal Sebatang Kayu di Belakang Limas Kami yang Ada dalam Hikayat Emak

 

Jangan sesekali kau dekati batang kayu itu. Selalu itu yang Emak katakan bila mata bocahku mulai berbinar-binar menatap batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas kami itu. Lalu, aku akan melempar tanya yang sama lewat retina mata yang seketika meredup mendengar larangan Emak itu. “Mengapa?”

“Di dahan yang paling dekat dengan pokok batangnya, ada seekor ular coklat besar bersarang. Ular itu akan menggigit siapa saja yang mengusiknya.”

Mendengar jawaban Emak itu, aku pasti akan berjinjit ngeri. Terburu membunuh keinginan yang meluap-luap untuk bergumul di dahan-dahannya. Dan sejak saat itu, aku selalu menikam luapan rasa yang sama.

Namun, semakin gigih aku meredam keinginan mendekati batang kayu itu, semakin gencar pula Emak mengulang-ulang hikayatnya. Cerita yang aku pun mulai hafal tiap bagiannya. Entah, Emak seolah-olah tengah menggodaku, serupa seseorang yang hendak menguji; seberapa patuh aku akan larangannya itu? Sementara itu, sifat kanak-kanakku yang penasaran akan kebenaran hikayat Emak, menggebu-gebu: Apa benar? Atau ini hanyalah dongeng Emak semata agar aku tak jadi anak gadis bengal yang bergumul dengan dahan-dahan kayu, macam bujang-bujang ingusan itu.

Di batang kayu itu ada seekor ular coklat besar yang siap mematuk siapapun yang mendekatinya. Dulu, ada seorang gadis muda dengan wajah bulat telur, leher jenjang, kulit sawo matang dengan ikal mayang yang bergelombang sebatas pinggulnya, mata belok, hidung bangir, dan bibirnya sangat tipis. Dia gadis yang cantik.

Selalu itu yang jadi pembuka hikayat Emak. Lambat laut, aku seperti merasa: Tidakkah tokoh gadis yang ada dalam hikayat Emak itu diriku? Sejak menduga-duga serupa itu, aku kerap mematut wajahku di cermin dalam bilik. Rambut hitam yang legam serupa ombak bergelombang sampai pinggang, mata belok, hidung bangir, kulit sawo matang. Persis. Emak seolah-olah tengah menghikayat cerita tentang diriku.

Gadis muda itu tinggal bersama emaknya di limas mereka. Seorang perempuan tua yang mulai terdengar begitu cerewet baginya. Selalu saja melarangnya mendekati batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas mereka. Padahal, di bawah batang kayu itu, saban hari menjelang siang sampai malam merayap datang, ada seorang bujang yang duduk dengan kambing-kambingnya.

Bujang berahang keras dengan sorotan mata elang, tangannya besar dengan bidang dada yang begitu luas untuk bersandar. Sebelum emaknya memergoki dia kerap datang dan bercerita bersama bujang itu tentang kambing, batang kayu tempat mereka berteduh, sampai kain tenun (setelah itu emaknya selalu melarangnya mendekati batang kayu itu), gadis itu merasa telah menemukan hidupnya. Diam-diam, ada yang tumbuh di dadanya, sekuntum mawar liar yang menggeliat-geliat.

Di bagian hikayat itu, aku selalu menemukan raut muka Emak berubah. Ada binar-binar yang tak dapat Emak sembunyikan, serupa sipu gadis pemalu yang jatuh cinta. Jarang sekali, aku menemukan riak-riak bahagia di gurat muka Emak yang keras.

Gadis itu tak dapat meredam geliat mawarnya. Lebih-lebih bila mata beloknya tengah menerawang di langit-langit kamar. Bayangan dia yang menyandarkan kepala di dada bujang itu selalu saja mengantar-kantar matanya. Genggaman jemari besar dengan telapak kapalan terasa begitu lembut saat memegang tangannya. Dia tak tahan. Dia tak dapat menahan rindu yang menyekap.

Lalu, raut muka Emak akan kembali berubah. Setelah binar-binar yang demikian jarang aku temui itu, aku akan menemukan wajah Emak yang nelangsa. Penuh beban, penuh derita, seperti seseorang yang menahan rindu begitu besar, hingga rindu itu terasa tengah meremas-remas hatinya tanpa belas.

Setelah tak sanggup menahan rindu yang mengantar-kantarnya, gadis itu melarang pantang emaknya. Pada pagi menjelang siang yang kelak gadis itu catat sebagai hari paling pekat dalam hidupnya, dia menemui bujang itu.

Mereka melepas rindu yang sudah tak tertakar, hingga meluapkan segala rasa sampai tak sadar kain tenun telah tersingkap dan seekor ular coklat besar yang mengintai mematuk si gadis yang lengah. Bisa telah tersembur, taring telah tertanam. Si gadis membiru dalam ketakutan, si bujang cemas hingga lari ditelan rimba, meninggalkan gadis bermata belok menampung bisa yang merenggut nyawanya.

***

Sesungguhnya, aku tak suka bila Emak telah berhikayat. Selain cerita Emak yang selalu sama: Tentang seorang gadis cantik dan batang kayu yang tumbuh rindang di belakang limas kami itu, cerita Emak diam-diam telah menakutiku. Aku kerap bermimpi buruk. Telah berkali-kali aku ceritakan itu kepada Emak. Tentang aku yang ketakutan dalam tidurku. Seolah aku tengah melanggar pantang Emak, diam-diam menyelinap, dan pergi ke bawah batang kayu itu. Di sana, aku menemukan seekor ular coklat yang demikian besar, bermulut lebar dengan kedua taring yang mengerikan.

Itu artinya, jangan sesekali kau pantang Emak. Bila kau lakukan, ular coklat besar itu akan mematukmu, menyemburkan bisanya yang beracun, hingga kau meregang nyawa sendiri dan terlempar ke alam orang-orang mati. Terkuncil. Sendiri. Dan sunyi.

Pasti. Pasti kata-kata itu yang Emak lontarkan bila aku bercerita tentang mimpi-mimpi burukku. Bila telah demikian, Emak akan kembali mengulang hikayatnya, perihal sebatang kayu di belakang limas kami itu dan seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat karena melanggar pantang emaknya.

Setelah aku merasa Emak tak akan pernah berhenti menceritakan hikayatnya yang menakutkan itu, aku memilih untuk tak menceritakan lagi mimpi-mimpi burukku. Sebab, ceritaku tentang mimpi-mimpi yang mengerikan itu tak akan membuat Emak iba dan menyudahi kisah membosankannya.

Sama hal dengan keinginanku untuk pergi bersama bujang-gadis sebayaku yang saban pagi kutatap dari jauh. Mereka tertawa-tawa, berloncat-loncatan, kejar-kejaran dengan baju yang seragam. Putih-merah. Warna yang menggoda mataku. Selalu saja, saban malam sebelum pejam menjemputku pelan berlahan, doaku sama: Hendak rasanya aku bermimpi di antara mereka, dengan seragam yang sama, menderaikan tawa bersama.

Namun, mimpi itu tak kunjung datang, saban malam hanyalah mimpi tentang ular yang bersarang di batang kayu itu yang menemani tidurku. Mimpi mengerikan.

Sejatinya, aku hendak bercerita kepada Emak, mengapa aku ingin sekali mendekati batang kayu itu. Batang kayu yang tumbuh di belakang limas kami, batang kayu yang berdiri kokoh di tengah padang rumput. Di sana, aku kerap menemukan bujang-gadis seumurku berkejaran, berlari menangkapi capung, bersorak-sorak, lalu mereka berguling-guling di atas rumput. Menderai tawa yang rincak di cupingku.

Tapi, aku tak kunjung mampu untuk mengutarakannya. Tersebab, Emak seolah telah mampu membaca pikiran yang ada di batok kepala kanak-kanakku.

Percayalah, mereka tak akan suka padamu. Ebak-emak mereka akan gegas menyeru mereka pulang, bila kau ada di antara mereka. Setelah itu, kau pasti menangis. Dan Emak tak hendak melihat airmata ada di wajahmu, sebab airmata itu tak akan membuat mereka iba. Menyakitkan, bukan?

Entah, apa yang Emak katakan? Hanya saja, air muka Emak terasa sangat mengerikan. Serupa seringai hantu perempuan yang mati penasaran, nelangsa, penuh beban, penuh dendam. Dan, aku memilih mengubur keinginanku bersama hantu perempuan yang menakutkan itu.

***

Ada hikayat yang sesungguhnya sangat ingin kudengar dari Emak. Tentunya, bukan hikayat tentang sebatang kayu yang tumbuh di belakang limas kami dan seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang emaknya. Hikayat ini tentang Ebak yang tak sekalipun dapat kubayangkan rupanya. Tak ada selembar foto atau apapun yang berhubungan dengan lelaki itu di limas kami. Hingga, aku pun tak tahu, harus membayangkan rupanya seperti apa.

Ebak-mu telah mati dan kau yatim bersamaku di limas ini.

Selalu. Selalu itu yang Emak katakan bila aku mulai memancing Emak untuk bercerita tentang Ebak. Dan aku pun akan menemukan air muka Emak berubah keruh. Seperti seseorang yang menahan marah, nelangsa, cinta, kesumat, dan semua rasa yang berbalur dalam hatinya. Rasa yang bergumul-gumul hingga melahirkan raut muka Emak yang terlihat begitu mengerikan juga menumbuhkan iba bila kau pandang lamat-lamat.

Bisakah kita ziarah ke kuburnya?

Dan aku pun mengikuti kebiasaan Emak. Mengulang permintaan yang sama. Berulang-ulang. Walau aku pun tahu, jawaban Emak pasti akan sama pula.

Anak gadis tak elok berziarah ke kubur. Kau mulai lupa apa yang Emak ajarkan? Nabi melarang anak gadis ziarah, tersebab pasti akan menangis meraung-raung di sana.

Lalu, aku mulai memutar otak kanak-kanakku agar dapat meminta Emak menceritakan hikayat tentang Ebak. Selain, aku ingin membuat Emak lupa mengulang-ulang hikayat sebatang kayunya itu, aku kian penasaran dengan sosok laki-laki yang telah membuatku ada di limas ini.

Tak ada yang luar biasa untuk Emak ceritakan tentang Ebak-mu. Dia lelaki berahang keras dengan sorot mata elang, bertelapak tangan besar yang kapalan. Rambut legam dan dadanya serupa padang rumput yang bidang.

Hanya itu. Dan cuma itu. Tak ada yang lainnya, hingga aku hanya dapat mereka-reka wajah Ebak dalam benakku. Dalam benak kanak-kanak. Aku pun tak punya pembanding, seperti apa rupa lelaki itu. Di limas ini, cuma ada aku dan Emak. Dua perempuan yang terasa begitu kaku dalam bercerita.

Apa musabab kematian Ebak?

Aku masih setia mengejar Emak dengan hikayat yang sepertinya tak hendak dia terakan. Bila telah demikian, Emak akan memasang wajah merengut. Mendelikkan mata tak suka padaku. Dan aku pun akan menutup mulut.

Ebak-mu mati di tengah rimba, usai berlari lantaran melihat seekor ular mematuk seseorang. Kematian yang mengerikan, kematian yang membuatnya terlempar ke alam yang tak bisa kau raba. Sudah, tak usah kau tanya tentang itu lagi.

***

Begitulah, Emak selalu saja menghikayatkan tentang sebatang kayu di belakang limas kami itu. Tentang seorang gadis cantik yang dipatuk ular coklat besar lantaran melanggar pantang dari emaknya. Kebiasaan Emak menceritakan hikayatnya itu kian menjadi-jadi saja seiring usiaku yang menampak. Dan aku mulai terbiasa dengan ceritanya, kuanggap dongeng semata, tak perlu dicemaskan. Aku pun tak hendak lagi memaksa Emak menceritakan hikayat tentang Ebak, karena aku tahu Emak pasti tak akan menceritakannya. Dan, aku pun tak perlu bercerita kepada Emak, kalau aku diam-diam telah dua kali ke bawah batang kayu itu. Mengintip seorang bujang yang mulai berjakun, bersorot mata elang dengan rahang keras yang tersenyum padaku.

***

 

Seductive Tree

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, ia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Ia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini ia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Ia bisa dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

 

 

 

 

 

The Seductive Tree

 

Don’t you ever go near that tree. That was what Mom said every time when, as a child, my eyes lit up when I looked at the shady tree growing behind our house. Listening to her command, my eyes would dim as I asked, “Why?”

“At the lowest branch of the tree, there is a big brown snake’s nest. The snake will strike at anyone who disturbs it.”

Mom’s answer always made me flinch, killing my burning desire to linger near the tree, and suppressing my longing for a while.

But the more I subdued the desire to play near that tree, the more frequently Mom repeated the entire story about the tree and the big brown snake. I began to memorize each part of it. Who knew, perhaps Mom was tempting me. Perhaps she wanted to test how obedient I was.

Meanwhile, the child inside me was curious about the truth of her story, and I asked myself fervently, “Is it true? Or did Mom just make it up so that I wouldn’t become a naughty girl who fooled around near that tree, like the teenaged boys?”

“There was a big brown snake on the branch, ready to bite anyone who went near it.” Mom always used that line to start her tale. “Once there was a young girl with an oval face, long neck, brown skin, and long curly hair to her hips. She had big eyes, a fine nose, and thin lips. She was a beautiful girl.”

In time, I began to wonder if the girl in the story was me. Once I started to think that way, I often looked at my face in the mirror in my room. Dark curly hair to my waist, big eyes, a fine nose, and brown skin. I looked exactly like the girl in the story. It was as if Mom was telling a tale about me.

“The young girl lived with her mother in their wooden house,” my mother’s tale continued. “The old woman started sounding too preachy to the young girl. The mother always forbade the girl to go near the shady tree behind their wooden house, where every day, from midmorning until nightfall, a young man sat with his goats.

“He had a square jaw with sharp eyes like an eagle, big arms, and a broad chest to lean against.

“Before her mother caught her, the girl often went there and talked to the young man about his goats, the tree that shaded them, and her cloth of innocence. The girl felt that she had found her life. But then her mother forbade her to go to the tree. Secretly, something grew in the girl’s chest — a wild rose that twisted and turned.”

At this part of the story, I always saw Mom’s expression change. There was a sparkle that she could not hide, she looked like a girl falling in love. I rarely found any shred of happiness in my mother’s hard face.

“The girl could not control the growth of the rose,” Mom continued. “Especially when her big eyes looked at the ceiling of her room, daydreaming. The image of her head leaning against the young man’s chest filled her mind. The grasp of his big hands and calloused palms felt very soft as he held her hands. She could not bear it. She could no longer hold her yearning captive.”

At this part in the story, Mom’s face changed again. The joy she rarely showed turned to sorrow on her face, a face filled with sad burdens, like that of someone whose yearnings tortured her heart without mercy.

“Unable to hold back her longing, the girl disobeyed her mother’s orders,” Mom continued. “Around noon, on a day that she would remember as the darkest day of her life, she went to see the young man.

“They satisfied their deep longing until it overwhelmed their senses, and suddenly her cloth of innocence was unveiled; and a big brown snake bit the unaware girl. The snake’s fangs sank into her skin, and the venom was injected. The girl’s face turned blue in terror. It scared the young man so much that he ran away and vanished into the jungle, leaving the girl with the big eyes full of the venom that might take her life.”

***

To be honest, I didn’t like it when Mom told the story. Not only was it always the same story — about a beautiful girl and the shady tree growing behind a wooden house — but her story frightened me. I often had nightmares, and I told Mom about the horrors in my sleep. In my dream, I violated my mother’s forbiddance, and I would sneak to the tree and find the big brown snake, its wide-open mouth showing two scary fangs.

“The dream means, don’t you ever dare to violate my prohibition,” explained my mom. “If you do, the big brown snake will bite you, injecting deadly venom, and you will die alone and be cast into hell. Banished. Deserted. Alone.”

Mom always spoke the same words every time I told her about my nightmares. She would repeat her tale, about the tree behind the wooden house and the beautiful girl who was bitten by a big brown snake because she violated her mother’s prohibition.

Realizing that Mom would never stop telling me her frightening tale, I quit telling her about my nightmares hoping to stop her from telling her same old tale.

I wanted to join the teenagers I watched every day from afar. They were at the tree, laughing, jumping up and down, playing catch in their uniforms. White and red uniforms. The colors enticed me. Every night before I closed my eyes, I prayed for the same wish: That my dream would take me to them, wearing the same uniform, laughing together.

But that never happened. Instead, I always dreamed about the snake nesting in the tree. A horrible dream.

In truth, I longed to tell Mom why I wanted to go to that tree — the tree behind our wooden house, whose trunk and boughs stood proudly in the middle of the meadow. I wanted to tell her that there, I often found teenagers playing catch, running to catch dragonflies, and rolling on the grass. Their laughter buzzed in my ears. But I could never explain that to her.

It was as if Mom could read my young mind. “Believe me, they will never like you,” she told me. “Their parents will quickly call them home, if they see you are with them. After that, you will cry. Mom doesn’t want to see tears on your face, because your tears will not make them pity you. Now, that hurts, right?”

I didn’t understand what she said. I only noticed that her face looked dreadful, like a grimacing ghost who died in rage, sorrowful under burdens and filled with vengeance. I decided to bury my wish together with the frightening ghost.

***

There was, however, a story that I would have liked to hear from Mom. It was not, of course, the story about the tree behind the wooden house and the beautiful girl who was bitten by a big brown snake because she violated her mother’s prohibition. No, it was the story about my father, whose face I could not even imagine. There was no picture or anything related to him in our house. I therefore never knew what kind of a person he was.  

“Your father died, and now you live with just me in this house,” Mom always said when I pleaded with her to tell me about my father. Her expression would become gloomy. She’d look like someone suppressing anger, loneliness, love, vengeance, and other feelings in her heart. The mixed emotions made her face look scary, but also evoked pity when I looked at her closely.

“Can we visit his grave?” I would do what she did and kept repeating the same request even though I knew her answer would always be the same.

“It is not good for a young girl to visit a graveyard,” she’d say. “Did you forget what I taught you? The prophet forbids young girls to visit the grave because they will wail out there.”

So I used my young wit to make Mom tell the story about my father. Besides, I wanted her to stop repeating the same tale about the tree over and over again, as I became more and more curious about the man who caused me to live this house.

“There is nothing special that I can tell you about your father,” said Mom. “He had a square jaw and eyes like an eagle; his hands were big, and his palms were calloused. He had dark hair, and his chest was as broad as the meadow.”

And that was it. Nothing that could help me form a complete picture of him in my mind.

I also had no one to compare him to. I lived alone with my mom in this wooden house — two women who were not good at telling stories.

“How did he die?” I persisted in asking Mom about the story she didn’t want to tell. At such times, Mom frowned and glared at me with dislike. And I would shut my mouth.

“Your father died in the jungle, where he ran because he saw a snake strike at someone,” she finally told me.  “A horrible death, the kind of death that would cast one into an untouchable world. That’s it. Don’t you ask about that again.”

***

So, that’s the story that Mom kept telling me about the tree behind a wooden house. About a beautiful girl bitten by a big brown snake because she violated her mother’s rules.

She told the story even more frequently after I came of age, and I started getting used to her story, which I considered to be a fairy tale, nothing to be worried about. I didn’t even ask her to tell the story about my father anymore, knowing she would never tell me anything more. And I didn’t tell her that, secretly, I had been to the tree twice, peeking at a young man whose Adam’s apple started to show, whose eyes stared like an eagle, who had a square jaw and smiled at me.

***