Lolong Anjing di Bulan

Penjelasan Isi Buku

Dari tahun 1989 sampai 2002, Nazir menyaksikan sejarah kelam bangkitnya pemberontakan di kampung halamannya. Dia putra tunggal seorang petani di Alue Rambe, kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara sebelah selatan kota Lhokseumawe.

Ayah Nazir menafkahi keluarganya dari hasil berkebun dan berladang dengan menanam kelapa, pinang, kemiri, padi gunung, dan kunyit.

Munculnya pemberontakan, yang terkenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka, seketika mengubah kehidupan seluruh penghuni kampung.

Arkam, adik ibu Nazir, adalah seorang pemberontak yang menghasut penduduk untuk melawan tentara yang dikirim dari Jakarta untuk membasmi pemberontakan. Arkam membujuk Ayah untuk menerima jabatan camat dalam Gerakan Aceh Merdeka.

Arkam terlibat dalam penyerangan markas tentara di Krueng Tuan pada 26 September 1989 dan di Buloh Blang Ara pada 28 Mei 1990. Tentara mengamuk atas serangan itu; mereka membalas serangan pemberontak yang menyebabkan penduduk kampung dicengkeram ketakutan siang dan malam. Akhirnya Arkam tertangkap dan dibunuh tentara dalam perjalanan pulang dari menjenguk ibunya yang sekarat.

Nazir, yang waktu itu masih siswa SMP, hanya mampu menyaksikan betapa parahnya kehidupan orang-orang di sekitarnya. Dia akrab dengan keluarganya dan rajin membantu Ayah di ladang. Ayah menekankan pentingnya pendidikan kepadanya.

Melihat Ayah yang menderita akibat bujukan Arkam, yaitu untuk menjadi camat dalam gerakan pemberontak, membuat hati Nazir resah tidak menentu. Terlebih saat sejumlah serdadu memerkosa kakaknya dan membunuh Ayah, jiwa Nazir begitu hebat terguncang. Kehilangan gadis cinta pertamanya yang terseret dalam pergaulan bebas dengan tentara menyebabkan dendamnya terhadap tentara semakin membara.

Setelah Ayah tewas, Nazir terpaksa menggantikan tanggung-jawab ayahnya sebagai kepala keluarga. Susah payah dia menyelesaikan SMA yang ditempuhnya sambil bekerja di ladang dengan bantuan ipar, ibu, dan dua kakaknya. Sementara itu, kerusuhan akibat perseteruan antara pemerintah dan pemberontak terus berlanjut, dan kekacauan itu menyebarkan penderitaan pada rakyat Aceh; korban pun terus berjatuhan setiap harinya.
Dalam keterpurukan hidup dan terperangkap dalam buruknya keadaan, Nazir tetap bersekolah dan bekerja di ladang. Dia merindukan ketenangan dan kedamaian dengan hidup tanpa ketakutan.

 

Keterangan Buku

  • Harga: Rp.85.000.00
  • Sampul Tipis: 343 halaman
  • Penerbit: Sanata Dharma University Press & Dalang Publishing
  • Bahasa: Indonesian
  • ISBN: 978-602-5607-43-1
  • Ukuran Buku: 20 x 14 x 2 cm
  • Berat: 0.5 kg

 

 

Ulasan

PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU LOLONG ANJING DI BULAN

Ruang Seminar Driyarkara, 9 November 2018

Lolong Anjing di Bulan adalah novel pertama Arafat Nur yang saya baca. Ini baik karena saya tidak perlu membandingkannya dengan novel-novel Nur lain yang sudah lebih dahulu terkenal dan beberapa terbukti telah memenangkan berbagai penghargaan sastra.

Dari satu novel ini, semoga saya tidak salah menyimpulkan bahwa Arafat Nur adalah pengarang yang “hanya” bermodalkan cinta. Ia cinta pada dunianya – dunia sastra; ia cinta pada kehidupan; dan terutama ia cinta pada kemanusiaan.

Alam Aceh terbentang dengan nyata dalam novel Lolong Anjing di Bulan. Bagi pembaca yang terbiasa melihat pemandangan alam di Jawa dengan sawah, parit, dan tumbuhan tumpang sarinya, sungguh unik dan mengesankan panorama yang tergambar dalam novel ini. Ladang kunyit, kebun kelapa, sawah dan padi gunungnya. Pemandangan alam Aceh dan kehidupan petani serta penggarap kebun hadir di depan mata, seolah kita bisa bercakap-cakap dengan Nasir sang pencerita, kedua orangtuanya, saudara-saudara perempuannya. Kisah kakek dan nenek Nasir serta penderitaan yang dialami di akhir hidup mereka terbayang dengan jelas.

Karena bermodalkan cinta tadi, saya tidak mendapati penggambaran berlebihan tentang kekejaman, tubuh remuk, gelimang darah, dsb. Kezaliman tentara pemerintah maupun pemberontak tidak dikisahkan dengan kasar, tetapi justru menyentuh hingga mengaduk-aduk nurani kita.

Sejak awal, novel ini telah memberi tengara: Perang adalah kesia-siaan belaka. Perang adalah perayaan budaya kematian, padahal kita harus menjunjung tinggi budaya kehidupan. Setiap orang dipanggil untuk melindungi dan mencintai hidup, karena hidup itu anugerah Tuhan kepada manusia. Tuhan lah pemilik kehidupan manusia. Perang memungkiri semua itu.

Dari banyak pengisahan tentang sejarah suram Aceh yang ditulis dengan apik oleh Arafat Nur, yang paling mengesankan menurut saya adalah saat kakek Nasir panen pisang. Agak antroposentris, memang, tetapi pemerian ini berbicara banyak tentang kehidupan. Karena terbatasnya waktu, saya kutip beberapa saja:

Setiap tiga bulan sekali muncul sebuah mobil Chevrolet bak terbuka dengan membawa pekerja berpakaian gelap. Dua pekerja itu mencari sendiri tandan pisang yang tiba waktunya untuk dipanen. Dengan parang yang sangat tajam, mereka begitu lihai menebang batang pisang itu. Libasan parang pertama, dengan kekuatan terukur di tengah batang, membuat pohon itu tetap tegak. Tebasan kedua, yang miring, membuat pohon itu menunduk perlahan setengah rebah, seperti menyerahkan buahnya secara hormat. (Nur – Lolong Anjing di Bulan – h. 128)

Entah mengapa bagian ini begitu mengesankan buat saya. Metafora apa yang dibidik oleh pengarang, saya belum mendalaminya. Tetapi saya menduga bahwa alam bersikap ramah kepada kita kalau kita juga memperlakukan alam dengan baik. Kakek merawat dengan telaten kebun pisang itu hingga bisa menghidupi keluarga. Di kebun pisang itu pula Nasir kecil memperoleh pembelajaran pertama tentang arti kata melawan. Waktu itu dengan rasa takut luar biasa Nasir mengintip sekawanan tentara yang mengobrak-abrik kebun pisang kakek. Mereka mencari pemberontak yang bersembunyi tetapi tidak berhasil. Serdadu-serdadu itu kemudian berlalu sambil memanggul setundun pisang yang telah ranum. Pada titik ini Nasir paham mengapa pemberontak Aceh tidak takut pada serdadu. Mereka tidak percaya kalau tentara hadir untuk membela rakyat. Di mata Nasir kecil, perang timbul dari gairah untuk melawan. Gairah ini lebih kuat ketimbang rasa takut.

Langgam novel ini perdamaian terbukti dengan penggambaran yang berimbang antara ketakutan dan kebencian penduduk pada tentara di satu pihak, dan di pihak lain, orang-orang berseragam yang geram, gusar, dan penasaran, bertekad memburu pemberontak yang menyusup di mana-mana. Nur mencoba mengajak pembaca melihat bencana beruntun yang timbul ketika ada anggota keluarga yang bergabung dengan pasukan pembangkang. Ia menyaksikan satu demi satu orang-orang terkasih terenggut dari kehidupannya; semua itu gara-gara Panglima Sagoe bernama Arkam yang adalah pamannya. Tanpa ampun pasukan pemerintah menghabisi siapa saja yang dicurigai sebagai GAM. Maka ketika akhirnya Nasir memutuskan untuk angkat senjata. Tokoh kita ini melakukannya bukan untuk balas dendam. Si vis pacem, para bellum. Nasir ingin menyudahi budaya kematian karena ia merindukan kehidupan.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa melalui Lolong Anjing di Bulan, Arafat Nur hendak berpesan: Bacalah sebanyak mungkin buku-buku sastra. Sastra memperkaya batin meredam ketidakakuran. Contoh sudah diberikan, yakni buku-bukunya yang menunjukkan rasa cintanya yang mendalam pada jagad sastra, kehidupan, dan kemanusiaan.

Semarang Keynote

Dalang Publishing & PGRI

 Merayakan Bulan Bahasa

Dengan

Mengulang Soempah Pemoeda

Lian Gouw

Dalang Publishing

dalangpublishing@gmail.com

 

Selamat pagi Bapak-bapak dan Ibu-ibu.

Terima kasih banyak pada para pimpinan Universitas PGRI terutama Pak Prasetyo dan Ibu Maria Yosephin yang telah memberikan kesempatan ini kepada saya untuk membagikan suatu hal yang sangat memusatkan pikiran dan gerakan hidup saya pada saat ini: yaitu: melindungi bahasa kita dalam suasana gaya hidup yang lebih condong mengikuti arus dunia daripada menghargai dan merayakan kekayaan dan keindahan dari kebudayaan dan bahasa kita sendiri.

Saya sadar bahwa saya menghadapi banyak tentangan dari orang orang yang berpendidikan maupun dari “orang-biasa.” Namun, bagi saya, mengikuti semangat dan kejujuran panggilan hati lebih penting daripada meraih kemasyhuran umum.

Setelah terjadi beberapa bentrokan antara “kebandelan” saya dalam menahan pendapat saya dan pendapat umum (termasuk teman dekat dan kenalan yang berpendidikan di bidang bahasa) saya menggali diri untuk mencari alasan atas tujuan yang begitu mengusik saya.

Sebagian dari hasil “penggalian” itu adalah kesadaran atas pentingnya peran bahasa dalam hidup kita sehari-hari. Bahasa adalah alat yang paling diperlukan dalam berhubungan dengan sesama manusia. Membungkamkan seseorang adalah sama dengan menghancurkan jiwanya.

Dari zaman purbakala hingga sekarang pengacauan bahasa adalah senjata tersembunyi yang sangat ampuh untuk menumbangkan musuh.

Contoh: Tuhan di zaman purbakala menyerakkan orang-orang Babel dengan mengacaukan bahasanya,  selama kita dijajah oleh Belanda, hanya orang yang mampu berbahasa Belanda secara lancar dan benar “dianggap,” pada perang dunia ke II orang Jerman dan orang Jepang memaksa masyarakat di negara-negara yang didudukinya untuk belajar bahasa Jerman dan Jepang, dan pada saat Indonesia mencapai kemerdekaan,  Presiden Soekarno dengan tegas mengumumkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia.

Dengan kebijaksanaannya beliau mengerti bahwa kita sebagai bangsa yang tersebar  di antara lebih dari 17.500 pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke perlu bersatu untuk mampu mempertahankan diri dalam menghadapi negara-negara besar yang lain di dunia ini. Karena itu beliau membimbing kita, bangsa Indonesia, dengan lambang Bhinneka Tunggal Ika untuk bersatu di bawah satu bendera dan bersatu dalam menggunakan satu bahasa resmi, yaitu Bahasa Indonesia.

Saya sangat setuju bahwa bahasa apapun harus berkembang sehingga dapat bermanfaat dalam pelayanan bangsa dan negara yang berkembang. Perkembangan ini akan mengantarkan beberapa keadaan baru yang dengan sendirinya akan membangun kata-kata dan istilah-istilah baru. Nah di sinilah terletak tugas para ahli bahasa kita untuk mengatur dan membawa kata-kata ini dalam bingkai bahasa kita dengan memberikan perhatian pada irama bahasa kita dan cara berpikir jiwa kita. Hal ini memerlukan keahlian. Penanganan hal ini membutuhkan jauh lebih banyak kecerdasan daripada hanya menempelkan awalan dan akhiran dari bahasa Indonesia pada kata asing.

Penyebab dari hal ini dalam pendapat terbatas pribadi saya berasal dari ketidakmauan kita sebagai bangsa untuk mencari jalan keluar yang lebih tepat daripada hanya meniru atau menyalin dan juga karena kecenderungan kita untuk menampilkan diri sebagai orang yang berpendidikan di luar negeri.

Saya sering heran bahwa sepertinya tidak ada seorang pun yang terganggu dengan irama atau “bunyi” kata-kata seperti: memfokusberkommunikasi – ngeprin – webset dll – kata-kata serapan yang lebih sering dan suka digunakan daripada: memusatkan perhatian – berhubungan – mencetak – situs dll.

Para ahli bahasa kita tidak hanya dibebani dengan tugas untuk mencari kata yang tepat namun sebagai anak bangsa juga bertanggung jawab untuk menjadi penjaga yang teliti dan tulus untuk gerbang kamus besar bahasa Indonesia.

Dari beberapa perbincangan yang saya lakukan khusus untuk membahas hal ini dengan berbagai ahli bahasa, guru, mahasiswa, pegawai negeri dan swasta, saya mendapatkan kesimpulan yang menyedihkan.

Jarang sekali saya bertemu dengan seseorang yang menunjukkan kekhawatiran pada pengrusakan bahasa kita oleh serapan bahasa asing. Kebanyakan dari antara mereka berujar, “Ya begitulah—apa lagi yang dapat kita lakukan?”

Pernyataan yang membuat saya langsung memekik, “Banyaklah yang dapat dilakukan! Terutama jangan mengekori para perusak bahasa ini, dan kedua melawan perilaku mereka dengan memberi contoh yang baik dan menolak ikut serta dalam perilaku yang tidak dapat patut itu.”

Ada juga jawaban yang lebih menyedihkan dan menjengkelkan saya. Bunyinya seperti ini: “Dengan use kata-kata itu, kita kan menunjukkan kita tidak ketinggalan zaman. Kita hidup now, bersifat global…, berpendidikan….”

Salah seorang mahasiswa berkata: “Me-use word bahasa asing kan cool, Bu!” Yaa….  Ampun! Jika anak muda ini adalah calon “tiang” masyarakat kita di kemudian hari — hasil didikan para orang tua dan guru sekarang ini — apa yang dapat diharapkan untuk masa depan bangsa dan negara kita?

Saya sedih dan prihatin memikirkan hal ini. Apalagi karena dengan memikirkan hal ini saya tidak mampu mengabaikan upaya nenek moyang kita yang mewarisi kita kemerdekaan yang dengan sendirinya memberikan hak kepada kita masing-masing untuk secara bebas menggunakan bahasa kita sendiri. Mungkin juga sukar sekali untuk orang-orang muda yang hanya menikmati hasil perjuangan pahit leluhurnya untuk dengan sadar berterima kasih terhadap kemerdekaan yang mereka nikmati. Mungkin juga karena mereka dilahirkan dalam   keadaan negeri merdeka orang-orang muda itu lupa atau tidak punya ketertarikan untuk menghargai dan menghormati perjuangan leluhur dalam perilaku mereka sehari-hari.

Nah, beginilah keluhan saya terhadap penggunaan bahasa kita secara umum dalam semua kalangan; dalam berbicara maupun menulis, dalam hal-hal resmi maupun sehari-hari.

Mengujar keluhan adalah mudah sekali. Namun mencari jalan keluar dari masalah yang dikeluhkan adalah perkara yang lebih sulit. Saya bersikap bahwa keluhan tanpa diiringi usulan yang dapat mengatasi masalah yang dikeluhkan itu, tidak berguna. Dan jawaban saya pada si pengeluh selalu adalah pertanyaan: “Apa usulan Anda untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan itu?” Karena itu, saya pun melontarkan pertanyaan itu kepada diri saya. Dan saya senang sekali ketika saya menemukan cukup banyak cara untuk memecahkan masalah ini.

Atas dasar jawaban yang terlontar oleh para mahasiswa itu dan kenyataan bahwa mereka adalah penerus masyarakat di masa depan dan menjadi bagian penting dalam perkembangan negara kita, saya bertanya: Apa yang menjadikan anak muda ini berpikir seperti itu? Apa alasan yang membuat dia berpendapat bahwa menggunakan kata-kata bahasa asing akan menampilkan dirinya sebagai seorang “terpelajar” atau “keren?” Dari perbincangan kami, saya mendapatkan beberapa kesimpulan:

  1. Kecenderungan umum pada saat ini adalah bahwa menggunakan kata-kata keinggrisan adalah tanda “terdidik” dan juga pernyataan bahwa sang pembicara pernah belajar di luar negeri atau cukup bergaul dengan orang asing.
  2. Tidak ada perasaan kasih atau bangga terhadap bahasa sendiri. Suatu sikap yang akan menghindari pemerkosaan kata-katanya.
  3. Kita sudah merdeka 73 tahun, namun kita masih merasakan dampak penjajahan yang menghapus kepercayaan dan kebanggaan diri kita dan, selama 350 tahun, telah “menyekoki” kita dengan kepercayaan bahwa segala yang kita miliki secara keberadaan tidak bernilai. Kita juga dibuat untuk meyakini bahwa hanya jika mampu meniru cara dan hidup mereka, ada kemungkinan kita dianggap sederajat.

Berdasarkan tiga kenyataan tersebut, saya menyimpulkan bahwa bahasa kita berada dalam keadaan yang genting karena:

Dengan pemahaman tersebut, apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki keadaan buruk ini?

Saya kira tindakan yang paling penting adalah menyalakan kembali api perasaan kebangsaan hingga berkobar seperti di zaman perjuangan. Api yang berkobar-kobar dan memberikan masyarakat Indonesia yang sedang dicengkram dalam cakar penjajah semangat, harapan, dan keberanian untuk maju dengan kepercayaan diri. Api yang dinyalakan dan dipicu oleh Presiden Soekarno pada saat itu sekarang perlu dihidupkan kembali.

Dengan membangun kembali perasaan kebangsaan, kebanggaan dan keinginan untuk melindungi dan membela tanah air termasuk kepentingannya bisa tercapai, sedangkan perasaan kepercaan diri pun bisa sekaligus berkembang. Sekolah-sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi adalah ladang penyemaian yang sempurna untuk menebarkan benih kebangsaan. Melalui mata pelajar ilmu bumi, sejarah, kebudayaan dan bahasa, perasaan dan kesadaran terhadap kebangsaan dapat dibangun.

Saya masih ingat bahwa di zaman penjajahan kami takut sekali menggunakan bahasa Belanda yang tidak baik dan benar. Betapa kami dihina jika menggunakan tata bahasa yang keliru, mengucapkan sebuah kata dengan tidak tepat.

Heran juga bahwa sekarang kita tidak mampu menerapkan aturan itu bagi bahasa kita sendiri. Kesadaran bahwa pelanggaran itu tidak hanya dilakukan oleh bocah yang masih kencur dalam pikiran, namun juga oleh para kaum dewasa dalam lingkungan pendidikan dan pemerintah, sangat menyedihkan.

Setelah seseorang meninggalkan bangku sekolah, ketertiban dalam menggunakan bahasa dapat dilanjutkan di lingkungan kerja. Di zaman penjajahan seseorang yang tidak mampu menulis surat dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar tidak mungkin mendapat kesempatan untuk melamar pekerjaan yang mendudukannya di depan meja tulis. Misalnya dalam lingkungan penerbitan mulai dari surat kabar, ke majalah, ke buku, penguasaan bahasa diperlukan. Nah apa yang dimaksudkan dengan penguasaan bahasa?

Dalam pengertian saya sebagai seorang penerbit, seseorang yang menguasai bahasa tidak hanya fasih dalam berbicara dan menulis tetapi juga mengerti apa yang dikatakan dan tertulis dalam bahasa itu. Seorang yang menguasai bahasa, selain dari mampu memahami juga mampu berfikir, merasa, melihat, mendengar dan menyentuh dengan menggunakan bahasa itu. Dengan lain kata, bahasa yang dikuasai adalah salah satu jalan dan sarana untuk hidup. Dan di-situ-lah tempat lahirnya penulis yang hebat.

Lee Young Li, seorang penyair Amerika yang lahir di Jakarta dalam karyanya berjudul “Immigrant Blues” —renungan sedih seorang perantau—berkata tentang belajar bahasa asing, “Practice until you feel the language inside you….” —berlatihlah hingga bahasa itu menelusup dalam jiwamu. Tidak terdengar, tidak tertulis, tidak terucap, namun, terasa. Hanya dengan keterkaitan dengan bahasa sedalam inilah, seseorang dapat mengaku “menguasai” bahasa.

Sebelum kita sebagai bangsa mengejar cita-cita menjadi penduduk dunia, khususnya berperan dalam dunia kesusasteraan, dan bercenderung merangkul kebudayaan dan bahasa asing, mari kita mendahulukan mencari pengertian kebudayaan sendiri dan penguasaan bahasa sendiri.

Namun pada zaman sekarang, kemampuan untuk menguasai bahasa-ibu pun bermasalah. Ada kemungkinan besar bahwa bahasa yang digunakan ibu dan ayah adalah bahasa kejangkitan. Masalah ini diperbesar dengan keputusan orang tua itu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah antar bahasa yang dengan sendirinya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan ada kemungkinan besar bahasa Indonesia tidak termasuk mata pelajaran.

Karena saya sepakat dengan inti suatu peribahasa dalam bahasa Inggris yang mengatakan: You need to walk the talk – yang berarti: jangan hanya berkata namun lakukan apa yang dikatakan, saya melakukan cara yang menurut pendapat saya mungkin dapat membantu menyelamatkan bahasa kita dari terhapusnya sebagai bahasa khusus dan mandiri. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari dan secara khusus dalam pekerjaan sebagai penerbit, saya berusaha semampu saya untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar. Saya mohon pengertian dari siapapun yang merasa gusar dan terbebani oleh perilaku saya ini yang semata-mata didasarkan pada perasaan kebangsaan dan cinta yang dalam bagi pada bangsa dan negara.

Sebelum memperkenalkan hasil kerja sama Penerbit Sanata Dharma dan  Dalang Publishing terbitan karya Arafat Nur, Lolong Anjing di Bulan dan terjemahannya oleh Maya Denisa Saputra yang diterbitkan oleh Dalang Publishing dengan judul Blood Moon over Aceh,  saya ingin menutup bagian acara ini dengan mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Bapak-bapak dan Ibu-Ibu dan mengundang para hadirin untuk berdiri dan bersama mengulang dan menghidupkan kembali sumpah suara rakyat Indonesia yang telah berumur sembilan puluh tahun. Marilah kita berseru: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, men

Terima kasih – semoga pernyataan ini diingat dan dilakukan dalam hidup sehari-hari hadirin sekalian.

***

Lima menit berikutnya akan digunakan untuk tanya jawab. Setelah itu saya secara singkat akan memperkenalkan Lolong Anjing di Bulan – karya Arafat Nur hasil terbitan Penerbit Universitas Sanata Dharma bekerja sama dengan Dalang Publishing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dan diterbitkan oleh Dalang Publishing dengan judul Blood Moon over Aceh.

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kaum muda yang dilahirkan dalam keadaan negeri merdeka lupa atau tidak punya ketertarikan untuk menghargai dan menghormati perjuangan leluhur dalam perilaku mereka sehari-hari.

  1. Sebelum kita sebagai bangsa mengejar cita-cita menjadi penduduk dunia, mari kita mendahulukanlah mencari pengertian kebudayaan sendiri dan penguasaan bahasa sendiri.

Indonesia 2018

Pada bulan November 2018 yang lalu Dalang Publishing berkesempatan mengunjungi Tanah Air selama kurang lebih satu bulan. Tujuan utamanya adalah untuk ikut serta dalam peluncuran novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur yang penerbitannya adalah kerja sama Dalang Publishing dengan Penerbit Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta.  Novel tersebut diterjemahkan oleh Maya Denisa Saputra ke dalam Bahasa Inggris berjudul Blood Moon Over Aceh yang diterbitkan oleh Dalang Publishing.

Selain peluncuran di Jogja tanggal 9 November 2018, Dalang juga ke Aceh mengunjungi tempat cerita novel Lolong Anjing di Bulan/Blood Moon over Aceh tersebut. Perjalanan berikutnya adalah memperkenalkan novel Arafat Nur ini di seminar, kuliah umum, dan pertemuan sastra di kota-kota di Pulau Jawa dan Sumatera.

 

Jakarta, 5 November 2018

Kami mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Jakarta pada hari Senin siang, 5 November 2018. Pak Nono, keponakan Ibu Lian beserta istrinya mbak Oeke, serta Riri Satria, menyambut kami di bandara. Mereka menemani kami menunggu sampai penerbangan kami ke Semarang sore harinya.

 

Semarang, 7 November 2018

Seminar Nasional – Menduniakan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

Universitas PGRI Semarang.

Atas bantuan dan kerjasama dari Bapak Dr. Prasetyo Utomo, seorang penulis yang juga dosen di Universitas PGRI Semarang, kami ikut serta dalam Seminar Nasional Menduniakan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam rangkaian peringatan Sumpah Pemuda 28 Oktober. Terima kasih juga kepada Ibu Maria Yosephin Widarti selaku Ketua Seminar Nasional dan Pak Arisul yang telah berkenan menyambut kedatangan kami di Semarang.

Ibu Lian sebagai pembicara kunci menampilkan bahasan Merayakan Bulan Bahasa dengan Mengulang Soempah Pemoeda, Dalam tampilan tersebut, Ibu Lian juga menekankan pentingnya menjaga bahasa Indonesia dari serbuan bahasa Inggris terutama pada kehidupan yang mendunia saat ini.

 

 

Yogyakarta, 9 November 2018

Peluncuran Novel Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur

Universitas Sanata Dharma.

Peluncuran Lolong Anjing di Bulan dibuka oleh Rektor Universitas Sanata Dharma Bapak Drs. Johanes Eka Priyatma, M.Sc., Ph.D. Terima kasih pada Bapak Eka yang telah menyempatkan hadir dan membuka acara peluncuran ini.

Kami juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak F.X. Ouda Teda Ena, M.Pd., Ed.D. dan semua pegawai kantornya terutama Mbak Elin atas segala bantuan dan kerja sama yang lancar berkaitan dengan peluncuran ini.

Lolong Anjing di Bulan /Blood Moon over Aceh diperkenalkan oleh penulis Arafat Nur, penyunting Dr. Junaedi Setiyono, M.Pd. penerjemah Maya Denisa Saputra, dan salah satu pengulas sampul belakang, Penyair/Pegiat Sosial Zubaidah Djohar, serta pengulas dari Penerbit Universitas Sanata Dharma, Dra. Novita Dewi, M.S., M.A.(Hons), Ph.D. Ibu Lian Gouw mewakili Dalang Publishing bertindak sebagai pemandu.

 

 

Sumatera, 10 – 18 November 2018

Dalang sangat beruntung bahwa perjalanan ke Sumatera ini ditemani oleh Zubaidah Djohar. Selain sudah tinggal lama di Aceh, beliau juga melakukan penelitian dan kegiatan sosial di Aceh, salah satunya dari Aceh Institute untuk penanganan pertikaian bersenjata di Aceh. Zubaidah juga memperkenalkan kami kepada pemandu yang membantu kunjungan kami ke Alue Rambe, dekat Lhokseumawe.

 

Aceh, 10 – 15 November 2018

Banda Aceh

Di Banda Aceh, kami berkesempatan bersilaturahmi dengan Bapak Dr. Ir. M. Dirhamsyah, MT, seorang dosen di Universitas Syiah Kuala dan mantan Dekan di Universitas Islam Negeri Ar. Raniry. Pak Dirham memperkenalkan kami dengan Universitas Ar-Raniry dan membantu mencarikan kendaraan serta supir yang handal, Pak Rizwan, selama kami di Aceh. Kami juga menikmati makan malam dengan Pak Dirham dan istri beliau, Ibu Dian.

Terima kasih juga kami sampaikan pada Prof. Eka Srimulyani, salah seorang pengulas sampul belakang dari Blood Moon over Aceh, yang di sela-sela waktunya yang sangat padat menyempatkan diri bertemu dengan kami dengan makan siangnya yang lezat.

Hari Minggu, 11 November 2018, pak Rizwan mengantarkan kami berkeliling Banda Aceh. Kami mengunjungi pantai Lampuuk yang indah, rumah bersejarah pahlawan wanita Aceh, Cut Nyak Dhien, museum tsunami Aceh, dan Mesjid Raya Baiturrahman. Selain itu Pak Rizwan juga mengantarkan kami menikmati makanan Aceh yang sedap.

Pantai Lampuuk

Pemakaman umum korban gempa dan tsunami tahun 2014

Rumah Pahlawan Aceh, Cut Nyak Dhien

Museum Tsunami Aceh

Mesjid Raya Baiturrahman

 

Banda Aceh, 12 November 2018

Kuliah Umum

Ikatlah Ilmu dengan Menuliskannya

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

 

Terimakasih kepada Pak Dirham yang telah memperkenalkan kami kepada Bapak Dr. Hendra Syahputra, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Ar-Raniry.

Pak Hendra mengundang Ibu Lian Gouw memberikan kuliah umum tentang penulisan untuk mahasiswa di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Kami senang atas sambutan mahasiswa yang bersemangat.

 

Banda Aceh, 13 November 2018

Seminar Penerbitan dan Bedah Buku

Universitas Syiah Kuala

Zubaidah Djohar dan penulis Kura-Kura Berjanggut (Penerbit Banana, 2018) Azhari Ayyub bergabung dengan Dalang menjadi pembicara dan pembahas Lolong Anjing di Bulan di Universitas Syiah Kuala. Seminar ini diprakarsai oleh Bapak Herman RN, seorang penulis cerita pendek yang juga pengajar dari Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syiah Kuala.

Sambutan dari mahasiswa peserta juga sangat menggembirakan, dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan mengenai penulisan dan penerbitan buku.

 

Alue Rambe, 14 November 2018

Bersama Zubaidah Djohar dan pegiat sosial yang juga menjadi pemandu kami, Bapak Zulfikar Muhammad, Dalang mengunjungi Gampong Alue Rambee tempat cerita novel Lolong Anjing di Bulan. Selama di sana, kami diterima dengan sangat ramah oleh bapak Kepala Desa Alue Rambee beserta tetua kampung dan juga oleh Bapak Abdussalam yang merupakan salah satu sosok pemberi ilham dan banyak membantu Arafat Nur ketika menulis novel tersebut.

 

Sumatera Barat, 16 dan 17 November 2018

Dalam perjalanan ke Sumatera Barat, kami berkeliling mengunjungi tempat-tempat bersejarah: Pantai Air Manis, Padang; Amai Setia di Koto Gadang, tempat pendidikan perempuan yang didirikan oleh Ruhana Kudus, seorang wartawan perempuan pertama di Indonesia; Rumah Puisi Taufik Ismail di Aie Angek, Padang Panjang; Fort de Kock di Bukittinggi, benteng pertahanan yang didirikan oleh Belanda; danau Singkarak, salah satu tempat yang terdapat dalam novel Mochtar Lubis, Maut dan Cinta yang diterjemahkan oleh Stefani Irawan dan diterbitkan oleh Dalang dengan judul Love, Death, and Revolution (Dalang Publishing, 2015). Kunjungan kami terakhir adalah Istana Pagaruyung, istana Minangkabau di Pagaruyung, Batusangkar.

 

Rumah Puisi Taufik Ismai, Aie Angek, Padang Panjang

 

 

Amai Setia, Koto Gadang

 

Fort de Kock, Bukittinggi

 

Danau Singkarak

 

Istana Pagaruyung, Batusangkar

 

Pertemuan dengan sastrawan Padang

Pada hari Sabtu, 17 Desember 2018, Dalang Publishing bersama Zubaidah Djohar mengadakan pertemuan di Kubik Kafe, Padang, dengan sastrawan dari Sumatera Barat, Bapak M. Ibrahim Iljas, seorang penerima Anugrah Sastra Indonesia Badan Bahasa 2017, kategori naskah drama, dan Bapak Dr. Hermawan,M.Hum, seorang kritikus sastra di Padang yang juga menjadi pengajar sastra dan bahasa Indonesia di  Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Rokania Rokanhulu Riau serta Ketua Komisariat Sumatera Barat untuk Himpunan Sarjana Kesusastraan.

 

Yogyakarta, 19 November 2018

Kuliah Umum Penulisan

Universitas Sanata Dharma

Terima kasih kepada Ibu Peni dan Pak Yapi yang telah memberikan kesempatan kepada Ibu Lian untuk memberikan kuliah umum tentang penulisan dengan tujuan penerbitan. Selain menjelaskan mengenai unsur-unsur penulisan, Ibu Lian juga menekankan pentingnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar tanpa harus menggunakan kata-kata campuran berbahasa Inggris.

Peserta mahasiswa memberikan perhatian dan semangat yang besar selama kuliah ini.

 

 

Purworejo, 21 November 2018

Lokakarya Pemanfaatan Unsur-unsur Penulisan Secara Cerdas Dan Tepat Untuk Menulis Laporan Peristiwa Dengan Menarik

Universitas Muhammadiyah Purworejo

 

Terima kasih banyak kepada Pak Andrian atas kesempatan yang diberikan untuk menyampaikan pesan kami kepada mahasiswa kelas Bapak. Terima kasih juga kepada Bapak Junaedi Setiyono yang telah mengantarkan kami ke Universitas Muhammadiyah Purworejo.

Ibu Lian menyediakan novel Dasamuka oleh Junaedi Setiyono (Penerbit Ombak & Dalang Publishing 2017) dan Lolong Anjing di Bulan oleh Arafat Nur (Sanata Dharma University Press & Dalang Publishing 2018) sebagai hadiah kepada mahasiswa dengan tulisan yang terbaik dan mahasiswa yang paling bersemangat. Pemenang Trasta Dia memilih Lolong Anjing di Bulan untuk hadiah tulisan terbaiknya dan Diki Bayu, sebagai peserta yang paling bersemangat, memilih Dasamuka.

 

Kesan peserta lokakarya: Diki Bayu Aji

 

Saya bangga bisa mengikuti kegiatan lokakarya yang membahas cara mengolah unsur-unsur sastra dalam laporan peristiwa atau berita. Hal yang sering saya rasakan sebagai pembaca khususnya saat membaca laporan peristiwa adalah kejenuhan. Melalui bahan pelatihan, saya sekarang memiliki gagasan bagus untuk menghindari hal ini dalam tulisan saya.

Ibu Lian Gouw menerangkan bahwa dalam menulis laporan peristiwa secara tepat dan terperinci kita harus mengelola tiga alat yang telah kita miliki sejak lahir, yaitu telinga, mata, dan hati. Saya juga terilhami dengan semangat Ibu Lian Gouw yang tinggal di luar Indonesia namun menekankan agar kita, masyarakat Indonesia, mencintai Bahasa Indonesia seperti yang terdapat dalam semangat Soempah Pemoeda. Bahan yang telah saya dapatkan mampu mengilhami saya agar tetap bersemangat menulis. Terlebih kenang-kenangan berupa novel Dasamuka, karya Pak Jun, menjadi pemicu saya untuk berani berkarya. Terima kasih Ibu Lian Gouw dan Bapak Junaedi Setiyono.

 

Kesan peserta lokakarya: Trasta Diah Surya

 

Membaca berita di koran atau majalah mungkin dirasa menjadi suatu hal yang membosankan bagi masyarakat. Namun, kegiatan membaca sama sekali tidak membosankan bagi saya saat membaca novel, khususnya novel Lolong Anjing di Bulan, karya Arafat Nur.

Melalui kegiatan lokakarya yang diadakan oleh UKM Jurnalistik Sinar Surya Universitas Muhammadiyah Purworejo pada Rabu, 21 November 2018, saya dan beberapa mahasiswa lainnya diberikan peluang untuk berperan menjadi wartawan. Bahan yang disampaikan oleh Ibu Lian Gouw sangat menarik. Beliau menjelaskan bagaimana cara menulis sebuah laporan peristiwa dengan tepat dan terperinci. Istimewanya lagi, Ibu Lian Gouw yang berasal dari luar Indonesia juga menghimbau kami agar menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam menjalin hubungan dan dalam menulis laporan peristiwa. Terima kasih Ibu Lian Gouw dan Bapak Junaedi Setiyono yang telah mengilhami para mahasiswa.

Setelah lokakarya selesai, Rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo, bapak Drs. H. Supriyono, M.Pd mengundang Ibu Lian dan Pak Jun berbincang di kantornya.

 

Jakarta, 23 November 2018

Temu Wicara Dapur Sastra Jakarta

Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin

Taman Ismail Marzuki

 

Sebagai acara terakhir Dalang Publishing di Indonesia adalah acara Temu Wicara dengan Dapur Sastra Jakarta di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki. Acara temu wicara dipandu oleh Riri Satria, pengelola Dapur Sastra Jakarta, dan dihadiri oleh para anggota Dapur Sastra Jakarta dan masyarakat umum. Dalam kesempatan tersebut Ibu Lian memperkenalkan kegiatan Dalang Publishing dan Ibu Lian memberikan wejangan bagaimana pentingnya kita sebagai bangsa Indonesia mempertahankan Bahasa Indonesia dengan selalu menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sebagai penutup, kami bacakan cuplikan novel Lolong Anjing di Bulan.

Terima kasih banyak Bapak Riri Satria yang telah memperkenalkan kami pada Dapur Sastra Jakarta.

 

 

Setelah acara Temu Wicara, Kepala PDS HB Jassin, Bapak Diky Lukman, memperlihatkan berkas asli tulisan tangan penyair Indonesia Chairil Anwar dari tahun 1940an. Sungguh suatu kebahagiaan dan kebanggaan menyaksikan langsung goresan tangan asli pujangga besar tersebut. Terima kasih Pak Diky.

Setelah sekitar sebulan di Indonesia, kami kembali ke Amerika Serikat membawa kenangan yang tidak terlupakan untuk mengakhiri tahun 2018. Dalang kembali dengan tenaga dan semangat baru menyambut tahun 2019.

Selamat tahun baru 2019, semoga tahun 2019 memberikan banyak keberkahan untuk kita semua.