Ulasan

PELUNCURAN DAN DISKUSI BUKU LOLONG ANJING DI BULAN

Ruang Seminar Driyarkara, 9 November 2018

Lolong Anjing di Bulan adalah novel pertama Arafat Nur yang saya baca. Ini baik karena saya tidak perlu membandingkannya dengan novel-novel Nur lain yang sudah lebih dahulu terkenal dan beberapa terbukti telah memenangkan berbagai penghargaan sastra.

Dari satu novel ini, semoga saya tidak salah menyimpulkan bahwa Arafat Nur adalah pengarang yang “hanya” bermodalkan cinta. Ia cinta pada dunianya – dunia sastra; ia cinta pada kehidupan; dan terutama ia cinta pada kemanusiaan.

Alam Aceh terbentang dengan nyata dalam novel Lolong Anjing di Bulan. Bagi pembaca yang terbiasa melihat pemandangan alam di Jawa dengan sawah, parit, dan tumbuhan tumpang sarinya, sungguh unik dan mengesankan panorama yang tergambar dalam novel ini. Ladang kunyit, kebun kelapa, sawah dan padi gunungnya. Pemandangan alam Aceh dan kehidupan petani serta penggarap kebun hadir di depan mata, seolah kita bisa bercakap-cakap dengan Nasir sang pencerita, kedua orangtuanya, saudara-saudara perempuannya. Kisah kakek dan nenek Nasir serta penderitaan yang dialami di akhir hidup mereka terbayang dengan jelas.

Karena bermodalkan cinta tadi, saya tidak mendapati penggambaran berlebihan tentang kekejaman, tubuh remuk, gelimang darah, dsb. Kezaliman tentara pemerintah maupun pemberontak tidak dikisahkan dengan kasar, tetapi justru menyentuh hingga mengaduk-aduk nurani kita.

Sejak awal, novel ini telah memberi tengara: Perang adalah kesia-siaan belaka. Perang adalah perayaan budaya kematian, padahal kita harus menjunjung tinggi budaya kehidupan. Setiap orang dipanggil untuk melindungi dan mencintai hidup, karena hidup itu anugerah Tuhan kepada manusia. Tuhan lah pemilik kehidupan manusia. Perang memungkiri semua itu.

Dari banyak pengisahan tentang sejarah suram Aceh yang ditulis dengan apik oleh Arafat Nur, yang paling mengesankan menurut saya adalah saat kakek Nasir panen pisang. Agak antroposentris, memang, tetapi pemerian ini berbicara banyak tentang kehidupan. Karena terbatasnya waktu, saya kutip beberapa saja:

Setiap tiga bulan sekali muncul sebuah mobil Chevrolet bak terbuka dengan membawa pekerja berpakaian gelap. Dua pekerja itu mencari sendiri tandan pisang yang tiba waktunya untuk dipanen. Dengan parang yang sangat tajam, mereka begitu lihai menebang batang pisang itu. Libasan parang pertama, dengan kekuatan terukur di tengah batang, membuat pohon itu tetap tegak. Tebasan kedua, yang miring, membuat pohon itu menunduk perlahan setengah rebah, seperti menyerahkan buahnya secara hormat. (Nur – Lolong Anjing di Bulan – h. 128)

Entah mengapa bagian ini begitu mengesankan buat saya. Metafora apa yang dibidik oleh pengarang, saya belum mendalaminya. Tetapi saya menduga bahwa alam bersikap ramah kepada kita kalau kita juga memperlakukan alam dengan baik. Kakek merawat dengan telaten kebun pisang itu hingga bisa menghidupi keluarga. Di kebun pisang itu pula Nasir kecil memperoleh pembelajaran pertama tentang arti kata melawan. Waktu itu dengan rasa takut luar biasa Nasir mengintip sekawanan tentara yang mengobrak-abrik kebun pisang kakek. Mereka mencari pemberontak yang bersembunyi tetapi tidak berhasil. Serdadu-serdadu itu kemudian berlalu sambil memanggul setundun pisang yang telah ranum. Pada titik ini Nasir paham mengapa pemberontak Aceh tidak takut pada serdadu. Mereka tidak percaya kalau tentara hadir untuk membela rakyat. Di mata Nasir kecil, perang timbul dari gairah untuk melawan. Gairah ini lebih kuat ketimbang rasa takut.

Langgam novel ini perdamaian terbukti dengan penggambaran yang berimbang antara ketakutan dan kebencian penduduk pada tentara di satu pihak, dan di pihak lain, orang-orang berseragam yang geram, gusar, dan penasaran, bertekad memburu pemberontak yang menyusup di mana-mana. Nur mencoba mengajak pembaca melihat bencana beruntun yang timbul ketika ada anggota keluarga yang bergabung dengan pasukan pembangkang. Ia menyaksikan satu demi satu orang-orang terkasih terenggut dari kehidupannya; semua itu gara-gara Panglima Sagoe bernama Arkam yang adalah pamannya. Tanpa ampun pasukan pemerintah menghabisi siapa saja yang dicurigai sebagai GAM. Maka ketika akhirnya Nasir memutuskan untuk angkat senjata. Tokoh kita ini melakukannya bukan untuk balas dendam. Si vis pacem, para bellum. Nasir ingin menyudahi budaya kematian karena ia merindukan kehidupan.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa melalui Lolong Anjing di Bulan, Arafat Nur hendak berpesan: Bacalah sebanyak mungkin buku-buku sastra. Sastra memperkaya batin meredam ketidakakuran. Contoh sudah diberikan, yakni buku-bukunya yang menunjukkan rasa cintanya yang mendalam pada jagad sastra, kehidupan, dan kemanusiaan.

Semarang Keynote

Dalang Publishing & PGRI

 Merayakan Bulan Bahasa

Dengan

Mengulang Soempah Pemoeda

Lian Gouw

Dalang Publishing

dalangpublishing@gmail.com

 

Selamat pagi Bapak-bapak dan Ibu-ibu.

Terima kasih banyak pada para pimpinan Universitas PGRI terutama Pak Prasetyo dan Ibu Maria Yosephin yang telah memberikan kesempatan ini kepada saya untuk membagikan suatu hal yang sangat memusatkan pikiran dan gerakan hidup saya pada saat ini: yaitu: melindungi bahasa kita dalam suasana gaya hidup yang lebih condong mengikuti arus dunia daripada menghargai dan merayakan kekayaan dan keindahan dari kebudayaan dan bahasa kita sendiri.

Saya sadar bahwa saya menghadapi banyak tentangan dari orang orang yang berpendidikan maupun dari “orang-biasa.” Namun, bagi saya, mengikuti semangat dan kejujuran panggilan hati lebih penting daripada meraih kemasyhuran umum.

Setelah terjadi beberapa bentrokan antara “kebandelan” saya dalam menahan pendapat saya dan pendapat umum (termasuk teman dekat dan kenalan yang berpendidikan di bidang bahasa) saya menggali diri untuk mencari alasan atas tujuan yang begitu mengusik saya.

Sebagian dari hasil “penggalian” itu adalah kesadaran atas pentingnya peran bahasa dalam hidup kita sehari-hari. Bahasa adalah alat yang paling diperlukan dalam berhubungan dengan sesama manusia. Membungkamkan seseorang adalah sama dengan menghancurkan jiwanya.

Dari zaman purbakala hingga sekarang pengacauan bahasa adalah senjata tersembunyi yang sangat ampuh untuk menumbangkan musuh.

Contoh: Tuhan di zaman purbakala menyerakkan orang-orang Babel dengan mengacaukan bahasanya,  selama kita dijajah oleh Belanda, hanya orang yang mampu berbahasa Belanda secara lancar dan benar “dianggap,” pada perang dunia ke II orang Jerman dan orang Jepang memaksa masyarakat di negara-negara yang didudukinya untuk belajar bahasa Jerman dan Jepang, dan pada saat Indonesia mencapai kemerdekaan,  Presiden Soekarno dengan tegas mengumumkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia.

Dengan kebijaksanaannya beliau mengerti bahwa kita sebagai bangsa yang tersebar  di antara lebih dari 17.500 pulau-pulau dari Sabang sampai Merauke perlu bersatu untuk mampu mempertahankan diri dalam menghadapi negara-negara besar yang lain di dunia ini. Karena itu beliau membimbing kita, bangsa Indonesia, dengan lambang Bhinneka Tunggal Ika untuk bersatu di bawah satu bendera dan bersatu dalam menggunakan satu bahasa resmi, yaitu Bahasa Indonesia.

Saya sangat setuju bahwa bahasa apapun harus berkembang sehingga dapat bermanfaat dalam pelayanan bangsa dan negara yang berkembang. Perkembangan ini akan mengantarkan beberapa keadaan baru yang dengan sendirinya akan membangun kata-kata dan istilah-istilah baru. Nah di sinilah terletak tugas para ahli bahasa kita untuk mengatur dan membawa kata-kata ini dalam bingkai bahasa kita dengan memberikan perhatian pada irama bahasa kita dan cara berpikir jiwa kita. Hal ini memerlukan keahlian. Penanganan hal ini membutuhkan jauh lebih banyak kecerdasan daripada hanya menempelkan awalan dan akhiran dari bahasa Indonesia pada kata asing.

Penyebab dari hal ini dalam pendapat terbatas pribadi saya berasal dari ketidakmauan kita sebagai bangsa untuk mencari jalan keluar yang lebih tepat daripada hanya meniru atau menyalin dan juga karena kecenderungan kita untuk menampilkan diri sebagai orang yang berpendidikan di luar negeri.

Saya sering heran bahwa sepertinya tidak ada seorang pun yang terganggu dengan irama atau “bunyi” kata-kata seperti: memfokusberkommunikasi – ngeprin – webset dll – kata-kata serapan yang lebih sering dan suka digunakan daripada: memusatkan perhatian – berhubungan – mencetak – situs dll.

Para ahli bahasa kita tidak hanya dibebani dengan tugas untuk mencari kata yang tepat namun sebagai anak bangsa juga bertanggung jawab untuk menjadi penjaga yang teliti dan tulus untuk gerbang kamus besar bahasa Indonesia.

Dari beberapa perbincangan yang saya lakukan khusus untuk membahas hal ini dengan berbagai ahli bahasa, guru, mahasiswa, pegawai negeri dan swasta, saya mendapatkan kesimpulan yang menyedihkan.

Jarang sekali saya bertemu dengan seseorang yang menunjukkan kekhawatiran pada pengrusakan bahasa kita oleh serapan bahasa asing. Kebanyakan dari antara mereka berujar, “Ya begitulah—apa lagi yang dapat kita lakukan?”

Pernyataan yang membuat saya langsung memekik, “Banyaklah yang dapat dilakukan! Terutama jangan mengekori para perusak bahasa ini, dan kedua melawan perilaku mereka dengan memberi contoh yang baik dan menolak ikut serta dalam perilaku yang tidak dapat patut itu.”

Ada juga jawaban yang lebih menyedihkan dan menjengkelkan saya. Bunyinya seperti ini: “Dengan use kata-kata itu, kita kan menunjukkan kita tidak ketinggalan zaman. Kita hidup now, bersifat global…, berpendidikan….”

Salah seorang mahasiswa berkata: “Me-use word bahasa asing kan cool, Bu!” Yaa….  Ampun! Jika anak muda ini adalah calon “tiang” masyarakat kita di kemudian hari — hasil didikan para orang tua dan guru sekarang ini — apa yang dapat diharapkan untuk masa depan bangsa dan negara kita?

Saya sedih dan prihatin memikirkan hal ini. Apalagi karena dengan memikirkan hal ini saya tidak mampu mengabaikan upaya nenek moyang kita yang mewarisi kita kemerdekaan yang dengan sendirinya memberikan hak kepada kita masing-masing untuk secara bebas menggunakan bahasa kita sendiri. Mungkin juga sukar sekali untuk orang-orang muda yang hanya menikmati hasil perjuangan pahit leluhurnya untuk dengan sadar berterima kasih terhadap kemerdekaan yang mereka nikmati. Mungkin juga karena mereka dilahirkan dalam   keadaan negeri merdeka orang-orang muda itu lupa atau tidak punya ketertarikan untuk menghargai dan menghormati perjuangan leluhur dalam perilaku mereka sehari-hari.

Nah, beginilah keluhan saya terhadap penggunaan bahasa kita secara umum dalam semua kalangan; dalam berbicara maupun menulis, dalam hal-hal resmi maupun sehari-hari.

Mengujar keluhan adalah mudah sekali. Namun mencari jalan keluar dari masalah yang dikeluhkan adalah perkara yang lebih sulit. Saya bersikap bahwa keluhan tanpa diiringi usulan yang dapat mengatasi masalah yang dikeluhkan itu, tidak berguna. Dan jawaban saya pada si pengeluh selalu adalah pertanyaan: “Apa usulan Anda untuk mengatasi masalah yang dikeluhkan itu?” Karena itu, saya pun melontarkan pertanyaan itu kepada diri saya. Dan saya senang sekali ketika saya menemukan cukup banyak cara untuk memecahkan masalah ini.

Atas dasar jawaban yang terlontar oleh para mahasiswa itu dan kenyataan bahwa mereka adalah penerus masyarakat di masa depan dan menjadi bagian penting dalam perkembangan negara kita, saya bertanya: Apa yang menjadikan anak muda ini berpikir seperti itu? Apa alasan yang membuat dia berpendapat bahwa menggunakan kata-kata bahasa asing akan menampilkan dirinya sebagai seorang “terpelajar” atau “keren?” Dari perbincangan kami, saya mendapatkan beberapa kesimpulan:

  1. Kecenderungan umum pada saat ini adalah bahwa menggunakan kata-kata keinggrisan adalah tanda “terdidik” dan juga pernyataan bahwa sang pembicara pernah belajar di luar negeri atau cukup bergaul dengan orang asing.
  2. Tidak ada perasaan kasih atau bangga terhadap bahasa sendiri. Suatu sikap yang akan menghindari pemerkosaan kata-katanya.
  3. Kita sudah merdeka 73 tahun, namun kita masih merasakan dampak penjajahan yang menghapus kepercayaan dan kebanggaan diri kita dan, selama 350 tahun, telah “menyekoki” kita dengan kepercayaan bahwa segala yang kita miliki secara keberadaan tidak bernilai. Kita juga dibuat untuk meyakini bahwa hanya jika mampu meniru cara dan hidup mereka, ada kemungkinan kita dianggap sederajat.

Berdasarkan tiga kenyataan tersebut, saya menyimpulkan bahwa bahasa kita berada dalam keadaan yang genting karena:

Dengan pemahaman tersebut, apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki keadaan buruk ini?

Saya kira tindakan yang paling penting adalah menyalakan kembali api perasaan kebangsaan hingga berkobar seperti di zaman perjuangan. Api yang berkobar-kobar dan memberikan masyarakat Indonesia yang sedang dicengkram dalam cakar penjajah semangat, harapan, dan keberanian untuk maju dengan kepercayaan diri. Api yang dinyalakan dan dipicu oleh Presiden Soekarno pada saat itu sekarang perlu dihidupkan kembali.

Dengan membangun kembali perasaan kebangsaan, kebanggaan dan keinginan untuk melindungi dan membela tanah air termasuk kepentingannya bisa tercapai, sedangkan perasaan kepercaan diri pun bisa sekaligus berkembang. Sekolah-sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi adalah ladang penyemaian yang sempurna untuk menebarkan benih kebangsaan. Melalui mata pelajar ilmu bumi, sejarah, kebudayaan dan bahasa, perasaan dan kesadaran terhadap kebangsaan dapat dibangun.

Saya masih ingat bahwa di zaman penjajahan kami takut sekali menggunakan bahasa Belanda yang tidak baik dan benar. Betapa kami dihina jika menggunakan tata bahasa yang keliru, mengucapkan sebuah kata dengan tidak tepat.

Heran juga bahwa sekarang kita tidak mampu menerapkan aturan itu bagi bahasa kita sendiri. Kesadaran bahwa pelanggaran itu tidak hanya dilakukan oleh bocah yang masih kencur dalam pikiran, namun juga oleh para kaum dewasa dalam lingkungan pendidikan dan pemerintah, sangat menyedihkan.

Setelah seseorang meninggalkan bangku sekolah, ketertiban dalam menggunakan bahasa dapat dilanjutkan di lingkungan kerja. Di zaman penjajahan seseorang yang tidak mampu menulis surat dengan menggunakan bahasa yang baik dan benar tidak mungkin mendapat kesempatan untuk melamar pekerjaan yang mendudukannya di depan meja tulis. Misalnya dalam lingkungan penerbitan mulai dari surat kabar, ke majalah, ke buku, penguasaan bahasa diperlukan. Nah apa yang dimaksudkan dengan penguasaan bahasa?

Dalam pengertian saya sebagai seorang penerbit, seseorang yang menguasai bahasa tidak hanya fasih dalam berbicara dan menulis tetapi juga mengerti apa yang dikatakan dan tertulis dalam bahasa itu. Seorang yang menguasai bahasa, selain dari mampu memahami juga mampu berfikir, merasa, melihat, mendengar dan menyentuh dengan menggunakan bahasa itu. Dengan lain kata, bahasa yang dikuasai adalah salah satu jalan dan sarana untuk hidup. Dan di-situ-lah tempat lahirnya penulis yang hebat.

Lee Young Li, seorang penyair Amerika yang lahir di Jakarta dalam karyanya berjudul “Immigrant Blues” —renungan sedih seorang perantau—berkata tentang belajar bahasa asing, “Practice until you feel the language inside you….” —berlatihlah hingga bahasa itu menelusup dalam jiwamu. Tidak terdengar, tidak tertulis, tidak terucap, namun, terasa. Hanya dengan keterkaitan dengan bahasa sedalam inilah, seseorang dapat mengaku “menguasai” bahasa.

Sebelum kita sebagai bangsa mengejar cita-cita menjadi penduduk dunia, khususnya berperan dalam dunia kesusasteraan, dan bercenderung merangkul kebudayaan dan bahasa asing, mari kita mendahulukan mencari pengertian kebudayaan sendiri dan penguasaan bahasa sendiri.

Namun pada zaman sekarang, kemampuan untuk menguasai bahasa-ibu pun bermasalah. Ada kemungkinan besar bahwa bahasa yang digunakan ibu dan ayah adalah bahasa kejangkitan. Masalah ini diperbesar dengan keputusan orang tua itu untuk menyekolahkan anaknya di sekolah antar bahasa yang dengan sendirinya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dan ada kemungkinan besar bahasa Indonesia tidak termasuk mata pelajaran.

Karena saya sepakat dengan inti suatu peribahasa dalam bahasa Inggris yang mengatakan: You need to walk the talk – yang berarti: jangan hanya berkata namun lakukan apa yang dikatakan, saya melakukan cara yang menurut pendapat saya mungkin dapat membantu menyelamatkan bahasa kita dari terhapusnya sebagai bahasa khusus dan mandiri. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari dan secara khusus dalam pekerjaan sebagai penerbit, saya berusaha semampu saya untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar. Saya mohon pengertian dari siapapun yang merasa gusar dan terbebani oleh perilaku saya ini yang semata-mata didasarkan pada perasaan kebangsaan dan cinta yang dalam bagi pada bangsa dan negara.

Sebelum memperkenalkan hasil kerja sama Penerbit Sanata Dharma dan  Dalang Publishing terbitan karya Arafat Nur, Lolong Anjing di Bulan dan terjemahannya oleh Maya Denisa Saputra yang diterbitkan oleh Dalang Publishing dengan judul Blood Moon over Aceh,  saya ingin menutup bagian acara ini dengan mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Bapak-bapak dan Ibu-Ibu dan mengundang para hadirin untuk berdiri dan bersama mengulang dan menghidupkan kembali sumpah suara rakyat Indonesia yang telah berumur sembilan puluh tahun. Marilah kita berseru: “Kami Poetra dan Poetri Indonesia, men

Terima kasih – semoga pernyataan ini diingat dan dilakukan dalam hidup sehari-hari hadirin sekalian.

***

Lima menit berikutnya akan digunakan untuk tanya jawab. Setelah itu saya secara singkat akan memperkenalkan Lolong Anjing di Bulan – karya Arafat Nur hasil terbitan Penerbit Universitas Sanata Dharma bekerja sama dengan Dalang Publishing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dan diterbitkan oleh Dalang Publishing dengan judul Blood Moon over Aceh.

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kaum muda yang dilahirkan dalam keadaan negeri merdeka lupa atau tidak punya ketertarikan untuk menghargai dan menghormati perjuangan leluhur dalam perilaku mereka sehari-hari.

  1. Sebelum kita sebagai bangsa mengejar cita-cita menjadi penduduk dunia, mari kita mendahulukanlah mencari pengertian kebudayaan sendiri dan penguasaan bahasa sendiri.

Pohon Pu Tao Tua

Teguh Afandi senang menulis cerpen, esai, dan ulasan buku. Tulisannya mendapatkan penghargaan Pena Emas dari Program Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Strategis (PPSDMS), Juara 1 sayembara cerpen Femina, dan Juara 3 sayembara Green Pen Award dari Perhutani. Cerita pendeknya diterbitkan surat kabar seperti Harian Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, dan majalah wanita Femina. Ulasan bukunya dimuat antara lain di Koran Tempo, Jawa Pos, dan media daring Jurnal Ruang.

Teguh sekarang bekerja sebagai penyunting di salah satu penerbit di Jakarta.

Dia dapat dihubungi di teguhafandi@gmail.com.

Hak cipta ©2018 ada pada Teguh Afandi. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan ©2018 ada pada Laura Harsoyo.

 

Pohon Pu Tao Tua

 

Di halaman rumah Boneo, sebatang pohon pu tao yang lebih sering disebut pohon jamblang, tampak payah menopang tubuhnya yang semakin tua. Tinggi batangnya tak melebihi genting rumah. Cecabangan menyeruak membuat tajuk mendompol, tetapi kering karena banyak daun rebah ke tanah oleh kelelahan. Pohon pu tao itu berdiri sama tua dengan rumah si empunya. Hanya, rumah yang dulu berlantai tegel hitam dan berdinding papan kayu nangka kini sudah berubah dengan lantai keramik warna metalik dan dinding bata dan jendela kaca.

Sudah lama pula pohon pu tao itu tak pernah berbuah. Memang, ketika musim berbuah datang, akan tumbuh bunga dan bakal buah yang merimbuni tajuk. Namun, pohon pu tao terlalu lemah untuk mempertahankan sebiji buah pun. Walau pu tao berbuah lebat sekalipun, tidak akan ada yang berniat memakannya. Buah dari pohon tua itu sudah disingkirkan dari meja makan. Buahnya masam tidak menimbulkan minat.

Meski pohon pu tao itu sudah sedemikian tua, Boneo belum berniat menebangnya. Dia masih takut akan nasihat ibunya.

Kata Harmunik, jangan sampai ditebang pohon pu tao itu sebelum Boneo menikah dan punya keluarga baru. Bagaimanapun, pohon itu kenangan hidup atas almarhum ayah dan hari kelahiran Boneo.

Ayahnya menanam pohon pu tao ketika tahu anak pertamanya adalah lelaki. Anak lelaki kelak membawa tanggung jawab untuk mikul dhuwur mendhem jero. Mengangkat derajat orangtuanya dan mewarisi nama keluarga.

Harmunik terus marah-marah. Akhir-akhir ini, banyak hal kecil yang mengusik kemarahan Harmunik. Seolah-olah segala sesuatunya tidak berada di tempat semestinya dan membangkitkan kekesalan. Dedaunan pu tao yang luruh karena angin membuatnya mengomel. Suara anak-anak yang riuh sepulang sekolah membuatnya gerah. Semua dirasakannya salah. Penyebab utamanya ialah Boneo yang belum juga menikah. Seperti pohon yang masuk musimnya, tapi enggan menumbuhkan buah.

“Kamu ini kenapa, Boneo? Pekerjaan sudah mapan, harta juga sudah cukup, tapi masih belum juga mau menikah,” Harmunik berbicara dengan nada yang cukup tinggi. Anak satu-satunya itu seperti menutup telinga dari semua omongan Harmunik dan para tetangga.

“Belum ada yang cocok,” Boneo menjawab santai. “Meski menikah adalah hukum alam, tidak mungkin bila dipaksakan.”

Kesendirian Boneo sempat menimbulkan desas-desus kurang baik, bahwa dia adalah keturunan Luth yang ditenggelamkan hujan batu karena suka sesama jenis. Bagaimana mungkin seorang lelaki bereperawakan kekar, wajah tak terlalu buruk, pendidikan tinggi (yang membawanya ke kedudukan yang baik di kantor), tapi terus melajang hingga umur kepala empat. Pastilah ada sesuatu di benak Boneo yang tidak beres.

Akan tetapi, desas-desus itu terbantahkan ketika suatu kali Boneo pulang bersama seorang wanita berpipi kuning mentega. Para tetangga –yang selalu tidak sabar bila melihat berita baru– tersenyum bangga.

Perjaka mapan yang tidak lekas kawin penanda dua hal, sakit jiwa atau tenggelam dalam kemaksiatan. Nyatanya hubungan dengan wanita berpipi mentega itu tak lebih dari selembar almanak bulanan. Boneo kembali berjalan sendirian sambil mengulum senyum tanpa penyesalan.

“Ayahmu pasti menangis di kuburnya, Boneo!”

“Mengapa?”

“Keturunannya putus di kamu,” Harmunik terhenti sampai di situ. “Percuma ayahnya menanam pohon pu tao ini, penanda kebusukanmu.” Ada keputusasaan dalam nada bicara Harmonik.

“Apa tidak menikah itu tanda busuk, Bu?”

“Apa yang hendak kamu cari setelah semuanya kamu dapatkan? Pendidikan, pekerjaan? Apa tidak hendak kamu mencari pasangan?” Pertanyaan Boneo dijawab dengan pertanyaan kembali.

“Belum ada yang cocok,” selalu itu yang dikatakan Boneo sebagai alasan penutup percakapan.

Seolah aneka alasan lain akan dibantah Harmunik, kecuali yang satu ini.

Kerutan yang telah berdiam di wajah Boneo semakin dalam ketika dia tersenyum dan melaju meninggalkan Harmunik. Air mata membasahi pipi Harmunik. Dia meraung seperti koak sepasang gagak yang mewartakan kematian bagi keturunan Boneo.

***

Harmunik mulai sering melamun. Mata sayu menatap dahan putau yang semakin sepuh. Kulit kayu mengelupas dierami sarang semut. Beberapa klarapsejenis kadal yang mampu terbang, beranak-pinak di rongga pokok pu tao. Rasanya, ada bagian di hatinya yang mulai keropos. Saban hari, sindiran dan gunjingan tetangga seperti jarum kasur yang dilesatkan tepat ke dada Harmunik.

“Silsilah keluarga seperti pohon semakin ke tua semakin rimbun. Banyak keturunan,” kata suami Harmunik ketika menanam pu tao tepat pada hari menanam ari-ari Boneo. Pohon pu tao adalah tanda keberlanjutan keturunan. Selama keturunannya masih hidup, pu tao harus tetap dijaga. Sebaliknya, selama pu tao masih berdiri tegak, selama itu pula keturunannya harus dilanjutkan.

Darah yang tumpah di dipan saat melahirkan Boneo tidak boleh sekejap menguap. Terlebih, dulu, pernikahan Harmunik ditentang semua orang. Bagaimana mungkin, Harmunik yang sekadar putri penjual serabi kuah minggah bale dengan menikahi lelaki bergaris biru di pembuluh nadinya. Meski tidak beroleh restu keluarga mertua, Harmunik menikah dengan dampak tak diperkenankan menggunakan nama keluarga. Sudah dilepas menjadi sebatang pohon baru yang tidak ada kaitannya dengan dahan induk.

“Makanya aku pilih pu tao,” Harmunik mengingat perkataan suaminya. “Pu tao tidak berharga, tapi selalu ada buah yang memaniskan lidah.”

***

Semakin lama, pohon pu tao semakin tidak menunjukkan daya. Sebagaimana Harmunik yang tak kuasa menahan kuasa tua. Angin kencang mematahkan beberapa dahan. Dedaunan rontok ke tanah. Halaman rumah Harmunik dipenuhi rerontokan daun dan cabang-cabang pu tao yang saling silang. Hingga selesai masa duha, Harmunik tak berniat membersihkannya. Dia hanya menunggu kepulangan Boneo dari perjalanan dinas luar kota. Harmunik memendam gejolak perasaan yang beriak laiknya air di buluh yang digoyang lindu.

“Bu, kutebang saja ya pohon pu tao itu?” tanya Boneo sore itu, selepas perjalanan dinas.

Harmunik masih diam.

“Bu, Boneo janji, tahun depan akan menikah. Hanya, Boneo belum menemukan calon yang sesuai.”

“Apa saja, terserah kamu,” Harmunik tidak berselera menjawab.

“Sekarang, Boneo mau menebang pohon pu tao tua itu,” Boneo gegas berdiri.

Dia kemudian memanggul kapak lalu mendekati pokok pu tao. Dengan beberapa tebas saja, pohon pu tao sudah rebah ke tanah. Dengan kapak juga, Boneo merampasi dahan-dahan lalu memotong-motongnya menjadi beberapa bagian dengan ukuran sepadan. Dia menumpuk potongan dahan itu di tepian teras. Bisa dijadikan kayu bakar atau arang untuk membakar jagung, pikirnya. Boneo mengelap peluh di dahi dan bahu. Lalu, dia masuk ke dalam rumah, ingin mendinginkan suhu badan.

Harmunik masih terdiam di kursi. Sebingkai foto pernikahannya tergeletak di pangkuan. Matanya terpejam. Beberapa jenak sebelumnya, ketika pertama kali terdengar suara berdebam, saat pokok pu tao tua membentur tanah pekarangan, Harmunik menyebut-nyebut nama Allah, mewiridkannya dengan suara begitu lemah.

Cahaya senja menerobos lewat kisi-kisi jendela, membentuk pola di kulit Harmunik. Pohon pu tao yang biasa menghalau cahaya kini sudah tiada.

“Bu, sekarang rumah kita lebih cerah. Tidak ada penghalang sinar matahari lagi.” sambil meraih segelas air dingin, Boneo melanjutkan, “Bu, kemarin Boneo bertemu dengan Amhar, kawan kuliah dulu, yang sama-sama belum punya pasangan. Besok, Boneo kenalkan sama ibu.” Senyum Boneo mengembang.

“Bu, kalau tidur di kamar,” kata Boneo. Dia mendekati tubuh Harmunik yang sudah lemas.

Pohon pu tao itu sudah ditebang. Harmunik tak lagi merisaukannya.

***

 

Old Pu Tao Tree

Laura Harsoyo dilahirkan di Makassar dan dibesarkan di Palembang dan Surabaya. Laura menyelesaikan kuliah S-1 pada tahun 1994 dari jurusan Sastra Inggris, Universitas Airlangga.

Laura suka membaca karya sastra dan tertarik untuk menulis fiksi. Sewaktu bekerja di dunia perhotelan selama 21 tahun, dia sempat menulis artikel kuliner untuk majalah kuliner Chef! di Jakarta. Dia juga bekerja sambilan sebagai penerjemah lepas untuk berbagai lsm yang harus memberi laporan kepada yayasan pendana.  Sekarang Laura khusus bekerja sebagai penerjemah lepas untuk nonfiksi maupun fiksi.

Laura dapat dihubungi di: harsoyolaura@gmail.com

 

 

The Old Pu Tao Tree

 

In Boneo’s front yard, a pu tao tree—better known as a jamblang or Java plum tree—seemed to have trouble holding up its aging frame. The height of the trunk did not break the roofline of the house. Its branches created a thick canopy, but the foliage was dry; many leaves had fallen to the ground.

The pu tao tree was as old as its owner’s house. The house had originally been built with black tile flooring and walls made of jackfruit wood boards, but now had a ceramic tile floor in a metallic color, brick walls, and glass windows.

It had been a long time since the pu tao tree had borne any fruit. After the tree flowered, young fruits would fill the leafy canopy. However, the pu tao tree was too weak to mature even a single fruit. And even if the tree had borne fruits, no one would be interested in eating them. The fruit of the pu tao tree was no longer served at the table; its sourness made it undesirable.

Even though the pu tao tree was old, Boneo had no intention of cutting it down. He still respected his mother’s advice.

Harmunik had said not to cut the pu tao tree down before Boneo married and had his own family. After all, the tree was a living memory of his late father, as well as of Boneo’s birth.

His father had planted the pu tao tree when he found out that his firstborn was a boy. A son would carry the responsibility of upholding his parents’ reputation while covering up their shortcomings. He would raise his parents’ stature and inherit the family’s royal surname.

Lately, many little things incited Harmunik’s anger. It was as if everything was not where it should be, and that provoked her resentment. The pu tao leaves that the wind had blown to the ground bothered her. The loud voices of children returning from school annoyed her. Everything felt wrong. The main cause was Boneo, who had no plans to marry. He was like a mature tree that was reluctant to bear fruit.

“What’s wrong with you, Boneo? You have a steady job, you have enough money, and still you don’t want to marry.” Harmunik spoke in an agitated voice. It seemed her only child had no ears for her words or the neighbors’ gossip.

“I haven’t found the right one yet,” Boneo answered casually. “Even though marriage is a law of nature, it’s impossible to enforce.”

Boneo’s extended bachelorhood had provoked an unfavorable rumor that he was like the people in the story of Lot, who were struck by a meteor shower for being attracted to the same sex. How was it possible that an athletic, handsome man, with a good education (which had landed him a good position in his office), stayed single until he was in his forties? Something must have gone wrong in Boneo’s mind.

The rumor became disputable, however, when Boneo came home with a woman who had a smooth, creamy complexion. The neighbors—who were always eager to check out good news—smiled proudly.

If a well-established bachelor didn’t marry, it could only point to two facts: either he was mentally ill or steeped in immorality. It turned out that Boneo’s relationship with the fair-skinned woman did not last longer than a month. After that, Boneo walked alone again, smiling and without regrets.

“Your father must be crying in his grave, Boneo.”

“Why?”

“His lineage will end with you.” Harmunik stopped. “It’s pointless that your father planted this pu tao tree; now it’s a sign of your corruptness.” There was despair in her voice.

“Is being single a sign of corruptness, Mom?”

“What are you looking for, after all that you’ve acquired? Education? More money? Don’t you want to find a partner?” Harmunik answered Boneo’s question with questions.

“I haven’t found the right one yet,” Boneo said to end the conversation.

Harmunik disputed all other reasons except for this one.

Boneo’s smile deepened the wrinkles around his eyes; he started to leave.

Tears ran down Harmunik’s cheeks. Her howling sounded like a pair of crows proclaiming the demise of Boneo’s descendants.

***

Harmunik began to daydream frequently. She often rested her glazed eyes on the old pu tao tree. Ants had nested in the bark, and klarap— flying lizards—had bred in the tree’s hollow. She felt that a part of her heart had started to become hollow. The neighbors’ daily innuendos and gossip were large needles that pierced into her chest.

“A family is like a tree. The older it gets, the denser its foliage becomes. More descendants,” Harmunik’s husband had said when planting the pu tao on the day Boneo’s placenta was buried. The pu tao tree was a symbol of the continuity of the family’s lineage. As long as the descendants were still alive, the pu tao tree must be kept. Conversely, as long as the pu tao tree was still standing, the procreation must continue.

The blood that had been spilled while giving birth to Boneo could not be removed. From the onset, Harmunik’s marriage was opposed by everyone. Harmunik, daughter of a serabi kuah vendor—a Javanese rice pancake vendor—was fortunate to marry a man with royal bloodlines. Harmunik’s marriage went forward without her in-laws’ blessings, and, as a result, she was not allowed to use the family’s royal surname. She was an offshoot that had been deemed incompatible with the parent tree.

“That’s why I chose the pu tao,” Harmunik remembered her husband saying. “The pu tao might be worthless, but it is a prolific producer and will always provide a snack.”

***

Just like Harmunik, who couldn’t hold back the aging process, the pu tao tree was getting older and losing its vigor. A strong wind broke some of its branches, and Harmunik’s yard was filled with broken, tangled branches and rotting leaves. Even though it was past the Duha praying time—around nine in the morning—Harmunik had no intention of cleaning up. She was waiting for Boneo to return from an out-of-town business trip. Harmunik was filled with turmoil; she felt as if she was pounding water in a mortar. After he returned from his business trip that afternoon, Boneo asked, “Mom, should I just cut down the pu tao tree?”

Harmunik remained silent.

“Mom, I promise I will get married next year. It’s just that I haven’t found the right one yet.”

“I don’t care; it’s up to you.” Harmunik did not feel like responding.

“All right, then I’ll cut down that old pu tao tree.” Boneo sprung to his feet and went to fetch an ax. With a few strikes, he felled the pu tao. Boneo stripped the branches and cut them into pieces of equal size. He piled the wood on the edge of the porch. It could be used as firewood or charcoal to roast corn. Boneo wiped the sweat off his forehead and shoulders, then went inside to cool off.

Harmunik was still sitting silently in her chair. Her wedding photo lay on her lap. Her eyes were closed. A few moments earlier, when she heard the thud that the old tree made as it hit the ground, Harmunik had called the name of Allah repeatedly, in a weak voice.

The light of dusk broke through the window lattice and formed a pattern on Harmunik’s skin. The pu tao tree that used to shade the room was gone now.

“Mom, our house is brighter now. Nothing is blocking the sunlight.” Reaching for a glass of cold water, Boneo continued, “Mom, yesterday I met with Amhar, a college friend, who’s also still single.” Boneo’s smile widened. “Tomorrow, I will introduce Amhar to you,” he said. “Mom, you better take a nap in the bedroom.” Boneo approached Harmunik’s limp body.

The pu tao tree had been cut down, and Harmunik no longer worried about him.

***