Semayamkan Mamak

Lintang Amartya Padmarini adalah perempuan kelahiran 2002 yang dibesarkan di Sleman, Yogyakarta. Sehari-harinya, Lintang adalah mahasiswa Studi Perdamaian dan Konflik di S1 Hubungan Internasional UGM. Dia turut berkecimpung di Girl Up UGM, perkumpulan yang menyuarakan kesetaraan antara lelaki dan perempuan di kampusnya. Perjalanannya menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi mengenalkannya pada banyak peminatan baru, termasuk di antaranya pemberdayaan perempuan, menentang kekerasan, dan mendukung perdamaian. Walau demikian, Lintang tetap menggemari kesusastraan Indonesia, khususnya buku-buku Ahmad Tohari. Judul novelnya Lintang Kemukus Dini Hari mengilhami nama Lintang.

Lintang dapat dihubungi melalui surel: lintangamartya02@gmail.com

 

 

Semayamkan Mamak

 

Tidak bosan-bosannya aku mengenang kisah hidup Mamak yang dia ceritakan sendiri selama hidupnya. Menurut cerita tersebut, aku terlahir sebagai anak haram. Mamakku wanita Jawa baik-baik, dilahirkan oleh keluarga terhormat yang bermukim di Semarang, sebuah kota pelabuhan di Pulau Jawa, jauh dari Pulau Buru ini. Dia mengungkapkan bahwa dirinya dan serombongan gadis seumurannya diboyong paksa ke Pulau Buru untuk dijadikan wanita penghibur oleh tentara Dai Nippon. Mamak berkata merekalah yang menduduki tanah air kita selama Perang Dunia II berlangsung di Indopasifik dari 1942 hingga 1944.

Mamak mengutuk para serdadu keparat yang setelah menghamili gadis-gadis itu, langsung pergi meninggalkan mereka begitu Jepang dikabarkan kalah. Miris hatiku mendengar penggambaran Mamak akan betapa kejamnya perilaku serdadu Jepang tersebut.

Tidak hanya sampai di situ, Mamak turut mengenang bagaimana dia dan sekumpulan gadis-gadis lainnya tidak punya perlindungan di tengah-tengah pulau terpencil yang langka penghuni. Mereka terancam kelaparan, melahirkan tidak selamat, dan terjangkit penyakit malaria. Satu per satu tumbang. Hanya Mamak dan seorang temannya yang selamat. Keduanya akhirnya menikah dengan laki-laki penduduk suku Alfuru, seorang di antaranya adalah bapak tiriku. Berdasarkan kisahnya, Mamak dan bapak tiriku menikah hanya karena dengan itulah, Mamak dapat bertahan hidup, sedangkan Bapak menikahi Mamak karena kecantikannya.

Lahirlah aku di tengah-tengah suku Alfuru, suku pedalaman di Pulau Buru, pulau terpencil yang adalah bagian dari kepulauan Maluku. Akulah satu-satunya kulit kuning di antara kulit kehitaman khas penduduk asli pulau itu. Satu-satunya sipit di antara wajah-wajah bermata bulat di pulau itu. Rasanya seperti diriku ini memang ditakdirkan untuk diasingkan. Tidak ada yang mau berteman denganku, apalagi mengajak berburu. Temanku hanya Mamak, orang pertama yang mengajariku bahasa Indonesia. Setiap kali waktuku tidak kuhabiskan untuk berburu, pastilah aku bercengkerama dengan Mamak menggunakan bahasa Indonesia. Mamak adalah wanita cerdas yang dapat dengan mudahnya mengenalkanku ke bahasa ibunya itu, sehingga jadilah bahasa itu bahasa rahasia kami berdua di Pulau Buru.

Karena Mamak dan bapak tiriku tidak menikah atas dasar cinta, begitupun hubunganku dengan bapak tiriku itu. Dia tidak punya pilihan lain selain menerima keberadaanku karena dengan demikian, Mamak mau mempertahankan pernikahan mereka. Mustahil menghadirkan adik sambung yang dapat memperbaiki hubungan kami karena setelah melahirkanku dengan susah payah, rahim Mamak tidak kuat menaungi jabang bayi lagi. Hubungan kami tetap dingin, hampir-hampir disisipi benci. Setiap kali bapak tiriku mulai mencak-mencak karena gagal menangkap hewan buruan, Mamak selalu berbisik kepadaku dalam bahasa Indonesia, “Lari! Lari sebelum kamu kena pukul.”

***

Di tahun 1969, beberapa bulan setelah Mamak meninggal ketika umurku 25, Pulau Buru kedatangan penghuni baru. Mereka orang-orang dari Jawa, kebanyakan lelaki. Semuanya bisa bicara bahasa Indonesia. Perawakan sebagian besar diantaranya mirip Mamak, bahkan ketika kutemui lebih dekat, cara bicara mereka juga mirip. Kagum betul aku. Walau ternyata mereka lebih kagum — dan juga kaget — ketika melihat lelaki sipit kuning berpakaian bawahan kolor khas Alfuru tapi mirip Asia Timur. Para penghuni baru ini lebih kaget lagi ketika mengetahui aku mampu berbahasa Indonesia, walau jauh dari kata mahir.

Diketahuilah bahwa orang-orang itu adalah tahanan. Aku melihat bagaimana mereka ditertibkan dengan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan bapak tiriku kepadaku. Pada waktu itu memang kemampuan bahasaku sangat payah, tapi manusia tetap bisa mencium amarah dan penindasan, dalam keterbatasan berbahasa sekalipun. Terenyuhlah aku melihat mereka, mengingat kami sama-sama korban amarah dan penindasan.

Ada seorang di antara mereka yang sangat membekas. Karman namanya. Lelaki yang gagah, tegap, seumur bapak tiriku. Bedanya dengan bapak tiriku, Karman tidak pernah memarahi, apalagi memukulku. Kami berteman baik sejak dia mendapati kehadiranku yang malu-malu mengintip dari balik pagar penjara. Dia menyapaku dan menggaetku dalam perbincangan mendalam. Kami sama-sama diselimuti rasa ingin tahu yang sama kuatnya. Dia yang menganggap kehadiran laki-laki kulit kuning di Buru ini janggal, dan aku yang baru sekali ini melihat orang Jawa selain Mamak. Aku serbu dia dengan pertanyaan tentang Jawa. Kuceritakan pula tentang Mamak yang katanya lahir di Jawa, tetapi telah berpulang beberapa bulan lalu, dan pada saat-saat terakhirnya mengharap dikuburkan di sana.

Karman tertawa kecil ketika kutanyai. Matanya menerawang, sepertinya dia tidak sabar ingin pulang. “Jawa itu pulau besar, tak seperti Buru ini,” katanya.

Aku manggut-manggut. Seperti apa, sih, pulau yang besar itu? Kupikir pulauku ini sudah cukup besar, ternyata masih ada yang lebih besar lagi. Aku memikirkan Mamak yang minta dikebumikan di Jawa. Pasti menyenangkan jika bisa bersatu dengan tanah yang luar biasa luasnya.

“Bagaimana dengan Semarang? Mamak lahir dan ingin dimakamkan di sana. Apakah kotanya cukup luas?” tanyaku. Karman membalasnya dengan anggukan.

“Kalau kau ingin memenuhi kemauan mamakmu, pergilah ke Jawa naik perahu,” ujar Karman sambil berlari mundur ketika ada seruan meneriaki namanya. Itu seruan sipir penjara, memanggil nama tahanan yang masih keluyuran meski sudah waktunya bagi mereka untuk kembali melakukan kerja paksa. Karman menambahkan di sela-sela napasnya yang terengah, “Semarang itu kota pelabuhan yang ramai.”

Begitu lama aku berpikir, hingga tak sadar Karman lenyap dari mata. Rupanya dia sudah kembali ke dalam bangunan penjara. Belum juga sempat aku melambaikan kepergiannya.
Untung kami bertemu lagi. Aku dan Karman mulai lebih akrab. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah pertemuan rahasia kami, begitupun kemampuan berbahasa Indonesiaku semakin membaik. Sebetulnya, mustahil juga pertemuan ini disebut rahasia.

Kami bukan pasangan muda dimabuk cinta yang sembunyi-sembunyi bertemu di semak-semak. Siapapun yang berdiri cukup dekat dengan kami akan dengan mudahnya mendapati bahwa kami duduk saling membelakangi, dibatasi oleh pagar hunian tahanan di Pulau Buru, supaya kalau kami ketahuan, aku tinggal lari.

Baru juga kuketahui di kemudian hari bahwa Karman dan kawan-kawannya ini bukan tahanan biasa, mereka adalah tahanan politik. Di mataku yang saat itu masih awam dengan kemutlakan kuasa negara, sulit untuk membayangkan bagaimana seseorang bisa ditahan hanya karena berpolitik. Karman dipenjara karena ikut andil dalam PKI yang dituduh menyulut pemberontakan yang menghabisi nyawa 7 petinggi militer, walau sebetulnya dia tidak tahu-menahu tentang pemberontakan itu. Maklum, tahu apa seorang juru tulis pemula tentang pembunuhan pembesar militer? Yang Karman lakukan hanya menulis persuratan sesuai perintah, tahu-tahu saja dia ditangkap.

Mungkin karena itulah Karman tidak pandai berburu. Dia bukan pembunuh ulung. Dia tidak ditahan karena menghilangkan nyawa seseorang, tetapi karena menulis. Badannya tegap tapi tidak berguna, dia terlampau kikuk untuk membidik ayam hutan. Jemarinya yang panjang lebih sering dipakai untuk diam-diam berguru menulis pada Pak Pram, salah seorang tahanan yang lebih mahir dalam kepenulisan, dan bukannya untuk melepaskan anak panah. Walau ini bukan masalah besar baginya. Dia tetap bisa menyantap rangsum untuk makanan sehari-hari. Namun, bagiku, tanpa tangkapan unggas atau ikan harian, aku tidak akan bisa makan. Alhasil, pada hari kami berjanji untuk bertemu, tangan kami berdua selalu penuh oleh hasil buruanku. Satu dua kubawa pulang untuk dimakan bersama bapak tiriku yang sudah jompo, sisanya diperdagangkan ke kepala sipir dengan Karman sebagai perantara. Bukan apa-apa, aku hanya menjual hasil buruanku untuk mendapatkan uang. Karman memberitahuku bahwa orang tidak lagi mempertukarkan barang dan jasa dengan hasil buruan, tetapi menggunakan uang. Karenanya, aku gigih mengumpulkan uang tersebut untuk membiayai perjalananku ke Jawa demi memakamkan Mamak, meskipun Karman sempat tergelak melihatnya. Agaknya butuh ribuan hari jika hasil buruanmu hanya sebatas unggas, begitu katanya.

“Lain kali, cobalah berburu celeng. Kurasa harganya lebih mahal,” Karman terkekeh melihatku menyodorkan bangkai ayam hutan lewat celah pagar.

“Kau pikir mudah menangkap celeng seorang diri?” dengusku.

“Memang tidak. Kenapa tak minta bantuan orang lain?”

Aku terhenyak. Sudah seumur hidup dikucilkan, kukira aku sudah kebal. Rupanya aku tetap tertohok ketika tersadarkan bahwa aku memang terasingkan. Untungnya, Karman tidak menunggu jawaban, buru-buru dia memilah hasil buruanku hari ini. Iseng saja aku menyeletuk, “Karman, menurutmu mengapa Mamakku minta dimakamkan di Jawa?”

“Entahlah. Mungkin Buru bukan tempat pulang bagi beliau,” Karman mengedikkan bahu.

“Bahkan meskipun anak semata wayangnya ada di sini?” kepalaku tertunduk, tungkaiku lunglai. Aku memalingkan wajahku, takut-takut mendengar jawaban dari Karman, apapun itu.

Karman mendongak cepat ketika mendengar pertanyaanku. “Yang benar saja? Aku yakin bukan itu maksud beliau.”

Aku mengangguk lesu. Tidak dapat kumungkiri bahwa kerisauan ini sudah lama bercokol di ujung pikiranku, “Aku juga berharap demikian.”

“Jawab jujur. Memangnya kau sendiri merasa nyaman berada di Buru? Jangan menyamakan rasa nyaman dengan kebiasaan, kau juga tahu bahwa keduanya berbeda.

Siapa tahu tempatmu bukan di sini, siapa tahu mamakmu ingin mencarikanmu kenyamanan yang selama ini tak kau dapatkan. Tidak ada salahnya mencoba melancong ke Jawa, kalau memang itu yang kau hendaki.”

Aku merengut mendengar jawaban Karman. Harga diriku mencoba berontak biarpun kalah ketika pikiranku mengiyakan Karman. Alhasil, kami kembali terjebak dalam diam.

“Ngomong-ngomong, kalau nanti aku mati, apakah kau keberatan menguburkanku di Buru ini?”

Aku sudah menduga Karman akan buka suara duluan, hanya tidak menyangka dia akan menanyakan itu. Sejenak teringat tatapan mengawang Karman ketika belum lama aku menghujaninya dengan pertanyaan seputar Jawa. Sepertinya aku salah duga, barangkali tatapan itu bukan tatapan mendamba ingin pulang, justru tatapan pedih karena tak merasa rindu dengan tanah sendiri. Ibu Pertiwi pasti bercanda, bagaimana bisa ada sekian banyak anak manusia yang tercerai berai dari rumahnya?

***

Tahun ini 1972, tiga tahun berselang setelah meninggalnya Mamak. Jumlah manusia di bumi Indonesia ini sudah semakin banyak, tetapi baru sekali ini dalam 28 tahun aku hidup kulihat kerumunan manusia sebanyak ini. Kudapati diriku terkungkung di tengah lautan manusia khas kerumunan di kota pelabuhan, Semarang. Memang benar, semasa hidupnya, Mamak sering bercerita tentang betapa sibuknya Semarang. Walau ternyata, bagi seseorang yang dibesarkan di pedalaman Pulau Buru sepertiku, tempat ini masih jauh lebih bising daripada apa yang aku bayangkan. Tidak habis-habisnya aku tercengang ketika mendapati bahwa tanpa bergerak pun, bahuku tetap bersenggolan dengan bahu manusia-manusia lain yang lalu-lalang di pelabuhan. Sudah seramai ini, padahal matahari masih menyebul malu-malu di ufuk timur.

Kakiku terus melangkah hingga akhirnya menjauh dari tepi pelabuhan. Tujuanku hadir di kota ini hanya satu, yaitu mencari adik Mamak, bernama Sumarni yang lebih akrab dipanggil Marni. Menurut cerita Mamak, beliau tinggal di Kelurahan Tanjung Mas, tidak jauh dari pelabuhan. Atau semisal aku gagal menemukan beliau, paling tidak aku harus mendapati keturunan R. Projowinoto, yang menurut catatan yang diberikan Mamak, kakekku sendiri, mantan polisi pelabuhan di Semarang.

“Permisi,” ujarku seraya menghampiri sekumpulan bapak-bapak yang tengah bersenda gurau di warung kopi Pelabuhan Tanjung Mas. “Bisakah saya ditunjukkan kediaman Bapak R. Projowinoto? Beliau mantan polisi yang pernah ditempatkan di pelabuhan ini.”

Bapak-bapak tersebut mengernyitkan kening. Salah seorang di antara mereka bertanya,

“Anda siapanya? Bapak R. Projowinoto sudah meninggal sejak lama.”

Aku manggut-manggut. Masuk akal bahwa kakekku sudah meninggal karena anak sulungnya saja juga sudah. Akan tetapi, sepertinya sulit dipercaya kalau aku bilang akulah cucunya. Kujawab saja sekenanya, “Hanya kerabat.”

Mereka terlihat lebih bingung lagi. Tentunya bingung mendapati lelaki muda sepertiku, bermata sipit, berkulit kuning, tetapi mengaku berkerabat dengan R. Projowinoto, yang kuduga terlihat seperti lelaki Jawa pada umumnya.

“Kerabat?” tanya seorang dari bapak-bapak tersebut. Pandangannya tidak bersahabat.

Aku menelan ludah lalu menjawab, “Saya cucunya.”

Sontak bapak-bapak itu tak kuasa menahan raut terkejut. Seorang di antara mereka bertanya dengan salah satu alis terangkat, “Betul kamu cucunya? Siapa ibumu? Lahir dari putri yang mana kamu?”

“Mamak saya Sumaryati, Pak.” jawabku dengan sedikit terganggu.

Lebih terkejut lagi raut bapak-bapak itu. Seorang lain menanggapi, “Ya Gusti, Sumaryati yang itu? Yang sudah lama hilang itu?”

Mendengar tanggapan tersebut, sepertinya Mamak dianggap hilang oleh orang-orang di kampungnya.

Sek digowo karo Jepang kuwi? Yang dibawa oleh Jepang itu?” Bapak-bapak itu saling bertanya dalam bahasa daerah yang tidak dapat kupahami.

Salah seorang turut menimpali. “Maryati adalah temanku di Sekolah Rakyat.”

Seorang bapak kemudian melihat ke arahku dan bertanya, “Ada bukti apa yang bisa menunjukkan kalau kamu benar anak Maryati?”

Tanganku merogoh bungkusan sederhana yang aku bawa dari Pulau Buru. Kusodorkan foto Mamak semasa gadis. Foto itu disimpan Mamak baik-baik, sebelum akhirnya diwariskan ke aku. Sambil memperhatikan bapak-bapak itu mencermati foto Mamak, aku diam-diam tersenyum. Foto itu mengingatkanku pada cerita Mamak. Kata beliau, waktu kecil, aku begitu heran melihat Mamak ada di kertas.

“Betul, ini memang Maryati,” ujar seseorang, ditanggapi dengan anggukan oleh lainnya yang ikut mencermati foto Mamak.

“Karena Bapak R. Projowinoto sudah berpulang, bisakah saya diantar ke rumah Ibu Marni?” aku menyela. Beliaulah adik kesayangan Mamak yang namanya kerap muncul dalam igauan dan yang agaknya Mamak rindukan di alam bawah sadarnya. Di saat nyawanya digerogoti malaria sekalipun, hanya Marnilah nama yang Mamak serukan.

Bapak-bapak tersebut mengangguk. Beriring-iringanlah kami menyusuri tepi jalan raya menuju kediaman Marni.

Ke rumah kayu yang kokoh itulah aku diantarkan oleh bapak-bapak warung kopi. Kulihat lalu-lalang manusia yang sibuk menjemur dan mencelup kain di halamannya. Kain panjang bercorak berukuran besar-besar digantung di tali-tali yang melintang disangga tongkat, warna dan coraknya yang beragam mengingatkanku pada cerita Mamak akan indahnya kain yang bernama batik. Para wanita di sini terlihat masih menggunakannya, walau tidak sedikit juga yang tidak.

Aku menunggu di ambang gerbang sementara para bapak memasuki halaman rumah dan menemui seorang perempuan tak jauh dari pintu utama. Mereka berbincang, samar-samar kudengar mereka menyebut nama Mamak dan Marni. Salah satu bapak berseru menyuruhku mendekat, mengenalkanku kepada perempuan berkebaya dan berkain batik yang sedari tadi mereka ajak bicara. “Marni, ini dia. Anak muda yang mengaku putranya Maryati.”

Pandanganku bertumpu ke sepasang mata milik Marni, bibiku. Marni mirip sekali dengan Mamak, walau Mamak lebih kurus dan kumal sedangkan Bibi Marni nampak molek. Awalnya aku tangkap raut curiga ketika dia melihat ke arahku dengan raut tidak percaya, keningnya mengernyit dan mulutnya sedikit terbuka. Lalu kutangkap pula raut haru ketika lamat-lamat dia melihatku. Dihampirinya aku, dilihatinya aku dan semakin kentara raut harunya melihatku.

“Siapa namamu, Nak?” tanya Marni.

“Man Beta, Bibi.”

Marni, yang tampak terhenyak, mengatupkan tangannya di mulut. Sebelum bertanya lebih lanjut, tak lupa dia mengucap terima kasih kepada para bapak yang mengantarkanku.

Matur nuwun, terima kasih,” begitu ucapnya, lantas dibalas oleh bungkuk hormat dari para bapak yang izin pamit.

Sepeninggal para bapak, Marni mengajakku untuk masuk dan duduk berhadapan di meja ruang tamu. Dia memperhatikan garis wajahku lebih seksama sambil bergumam, “Walau sipit begini, begitu mirip kamu dengan Mbakyuku, Maryati.” Senyum tipis merekah di bibirnya, air mukanya penuh haru. “Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Bisakah aku bertemu dengannya?”

Aku menggeleng, “Mamak sudah meninggal sejak lama. Sakit malaria, tak tertolong.”

Marni terkejut, lalu menengadahkan kepala. “Gusti, belum juga aku sempat bertemu lagi dengan Mamakmu. Rupanya dia sudah tenang di atas sana, cepat sekali dia berpulang.”

Sorot mata Marni meredup, bahunya terkulai lemas.

Aku tersenyum getir, menunjukkan belas kasihku.

Suasana hening sejenak, Marni masih berusaha melumat kabar duka. Sementara, aku tidak enak mengusiknya. Tidak terbayang seperti apa rasanya dipisahkan berpuluh tahun hanya untuk mendengar kabar bahwa yang tercinta sudah tiada.

“Jadi, selama ini dimana kau tinggal? Di mana Mbakyuku tinggal?” tanya Marni.

“Di Pulau Buru, Bibi. Pulau kecil di timur sana, jauh dari Jawa.”

“Astaga, jadi para Jepang itu membawa Mbakyu jauh ke sana? Ke pulau terpencil?

Bahkan aku tak tahu ada pulau bernama itu di timur.” Marni menghela napas untuk kesekian kalinya, tatapannya merana seakan penuh penyesalan karena tidak dapat mengelakkan takdir yang tidak mengenakkan.

“Ya, Bibi,” jawabku dengan sendu.

“Jangan bilang, kau anak dari Jepang itu?”

“Benar, Bibi.”

Marni mengusap wajahnya gusar. “Astaga, tak kusangka. Ternyata Mbakyuku sendiri yang jadi korban tentara Jepang. Sungguh kasihan, padahal Bapak bilang Mbakyu akan disekolahkan.” Tatapannya yang tadinya merana kini berkilat-kilat penuh kebencian, agaknya Marni tersakiti karena dikhianati.

“Betul, Bibi.”

“Ada maksud apa kau kemari?” Kata-katanya lugas, tetapi memancarkan kehangatan.

Aku mengeluarkan kantong istimewa dari dalam buntel kadutku. “Aku hendak menguburkan Mamak.”

Gemeletak bunyinya ketika kantong tersebut kuletakkan di atas meja. Rasanya seakan tapak kaki Mamak kembali mengetuk bumi ini.

***

Tidak butuh waktu lama bagi Marni untuk segera menghubungi adik laki-lakinya dan memanggil pemuka agama setempat ke rumahnya. Langsung dipastikan bahwa Mamak akan dimakamkan sekarang ini juga di pemakaman keluarga. Kantong berisi Mamak sudah diambil alih oleh Marni dan adiknya, aku hanya terbengong-bengong hingga Marni menyerukan namaku untuk ikut bergegas. Di tengah huru-hara pemakaman sekalipun, masih kudapati adik Marni mendelik ke arahku sembari bertanya ke kakaknya, “Berarti, sekarang tanah warisan Bapak akan dibagi tiga?” Marni hanya mendesis menyuruh adiknya diam.

Perjalanan dari rumah Marni menuju tempat kuburan terasa begitu panjang. Kakiku berat melangkah, walau pikiranku berulang kali meyakinkan diri bahwa inilah yang Mamak mau.

Aku tidak kuasa menahan nuraniku untuk tidak mengenang Mamak. Berkali-kali ku camkan bahwa kepulangannya tidak sama dengan kehilangannya, bahwa dia tetap bersamaku.

Mamakku, Mamakku yang manis. Yang kini tinggal belulang.

Mamakku yang ku pertanyakan. Mamakku yang entah dimana, tapi orang bilang dia sudah tenang di atas sana. Di atas yang mana?

Mamakku yang kupertanyakan. Katanya harus dimandikan, biarpun hanya tinggal belulang. Padahal di Buru sana, aku yang mengais kuburannya dengan hati-hati, mengelapi sisa-sisanya tiap hari menjelang keberangkatanku ke Jawa. Apakah masih tidak cukup bersih?

Mamakku yang kupertanyakan. Kata pemuka agama harus didoakan dengan salat, padahal aku tak tahu Mamak punya agama. Padahal aku sendiri pun tak punya.

Mamakku, Mamakku.

Yang dikebumikan dengan tata aturan yang bahkan aku tidak mengerti. Dibungkus kain, didoakan dengan rapalan doa yang berbeda dengan yang dibacakan tetua adat di Pulau Buru. Liang lahatnya digali dengan pacul, berlainan dengan kuburnya di Pulau Buru dulu yang hanya boleh digali dengan kayu. Salah satu kebaya kesayangannya tidak boleh ikut dikuburkan, bertolak belakang dengan di Pulau Buru. Tidak mengapa.

Yang dikuburkan diiringi dengan pertengkaran adik-adiknya mengenai warisan kakek, soal apakah aku yang anak orang asing ini patut mendapatkannya atau tidak. Soal adik Marni yang tidak terima ketika kakaknya berniat menyisakan warisan untukku, walaupun aku sendiri tidak menginginkannya. “Untuk apa memberikan warisan kepada seseorang yang tidak mengharapkannya? Tidak ada guna!” begitu seru adik Marni ketika menentang kakaknya. Tidak mengapa.

Yang disemayamkan tanpa aku ikut serta di dalamnya.

Ketika liang lahat sudah digali, tanah merah sudah menganga, wajah-wajah asing mengelilingi liang. Tukang kubur sudah membawa seonggok kain putih berisi Mamak, walau sudah bukan Mamak yang kubungkus dengan kantong anyaman. Saat itulah aku menjerit.

Susah payah aku katakan pada tukang kubur untuk serahkan Mamak padaku. Tak ada yang mengerti raunganku meminta Mamak. Wajah-wajah itu menatapku keheranan. Tidak sedikit pula yang risih melihat lelaki dewasa menangis meraung di pekuburan.

Barulah ketika Marni menyerahkan Mamak kepadaku, aku terdiam.

Wajah-wajah itu seakan diberi jawaban atas keheranannya.

Angin bertiup hening, kicau burung terdengar samar di kejauhan.

Selamat berpulang, Mamak. Setelah penantian panjang, berlabuhlah engkau dalam kedamaian tiada ujung. Putramu ini telah semayamkan engkau.

Mengapa.

*****

Mother’s Footsteps

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Dia dapat dihubungi melalui surel: umar2x.umar@gmail.com

 

 

Mother’s Footsteps

 

I never tired of reminiscing about the stories my mother told me about her life. Although she was born to a respectable family in Semarang, a port city on Java Island, I was an illegitimate child. Mother said that when the Japanese occupied our country during World War II, they forced her and other teenage girls to be their “comfort women” on Buru Island, a remote island within the Maluku Islands of Indonesia.

Mother cursed the soldiers who used the girls as sex slaves, then abandoned them — pregnant girls and young mothers alike — as soon as Japan lost the war. Mother’s stories about the cruelty of the Japanese soldiers always made me sad.

Mother also told me stories about how hard life was for her and the other girls on this almost uninhabited desert island. With no one to protect them, children were born without any medical help and young mothers suffered from malnutrition and malaria. In the end, only Mother and one other girl survived. They eventually married men of Buru’s Alfuru tribe. Mother said that the only reason she married my stepfather was to save our lives.

Thus, I was born into the Alfuru tribe of Buru Island. I was the only one among the black islanders who had light skin; the only one among the round-eyed faces who had slanted eyes. I felt destined to be ostracized. No one wanted to be friends with a boy who looked like me, let alone ask me to go hunting with them. My only friend was Mother, who was very smart. She easily taught me to speak her mother tongue, and whenever I wasn’t hunting for food, I chatted with Mother in Indonesian, which became our secret language on Buru Island.

My mother did not marry my stepfather out of love, and their strained relationship impacted that of mine with my stepfather. He had no choice but to accept me, as doing so was his only assurance that mother would stay in their marriage. A sibling might have eased my relationship with my stepfather, but after giving birth to me, Mother was too weak to bear another child.

Therefore, my interactions with my stepfather remained cold and indifferent, bordering on hate. Whenever my stepfather started yelling at me because his fishing net came up empty or his arrows missed their prey, Mother always whispered to me in Indonesian, “Run! Run before he hits you!”

***

In 1969, a few months after Mother died, a boatload of people landed at Buru Island. They were from Java — mostly men — and I was very surprised to discover that all of them spoke Indonesian. Most of them had the same physical features Mother had; even their way of speaking sounded like Mother’s.

However, I, in turn, surprised them as well. Clearly they were startled to see a light-skinned young man with slanted eyes, dressed in the drawstring pants that Alfuru men wore. When I spoke to them in halted Indonesian, they stared at me in disbelief.

Later, I learned that the boat people were prisoners. I watched them being forced into submission with the same cruelty my stepfather exhibited toward me. Despite my poor Indonesian, I could understand their emotional words of anger and oppression. I felt sorry for them. We were all victims of anger and oppression.

I will always remember Karman, a handsome, strong man about my stepfather’s age. But unlike my stepfather, Karman never said a harsh word to me, let alone hit me. We became best friends after he caught me peeking over the prison fence. He greeted me, and we engaged in a friendly conversation. We were curious about each other. He said the presence of an Asian-looking man on Buru struck him as odd, and I said it was the first time I’d met a Javanese other than my mother. I told him about Mother — that she had been born on Java and had passed away a few months ago. I also told him about her wish to be buried on her home island.

Then I grilled him with questions about Java.

Karman chuckled and looked sadly into the distance, as if he could see the homeland he longed for. “Java is a big island.” He paused. “Nothing like Buru.”

“How big is the island?” I thought Buru Island was big, but apparently Java was a bigger one. I thought about Mother’s last wish to be buried on Java: It would be nice to be buried on such a big island.

“How about Semarang? Is that a big city?” I asked. “It’s where Mother was born, and she still has relatives there. That’s where she wants to be buried.”

Karman nodded. “To fulfill your mother’s wish, you’ll have to go to Java by boat.”
A prison guard hollered out the names of the prisoners who had not reported in for their period of forced labor.

“Semarang is a bustling port city,” Karman said while trotting backward toward the guard. I was so buried in my thoughts about Semarang, I didn’t realize Karman had disappeared into the prison building before I could wave goodbye.

Slowly, Karman and I began getting to know each other better. As the number of our secret meetings grew, so did my Indonesian vocabulary. Our meetings were not secret in the sense of young lovers meeting clandestinely; anyone with eyes could easily see us, sitting back to back, separated by the prison fence. If anyone objected to my sitting there,

I could just run away.

I found out that Karman and the other boat people were not ordinary prisoners; they were political prisoners. At that time, I had no idea about the absolute power of the Indonesian government. Therefore, it did not make sense to me to hear that someone could be arrested just because of his political affiliation.

Karman said he was imprisoned for being a member of the PKI, the Communist Party of Indonesia, that was accused of carrying out a coup against the current Indonesian government and killing seven of Indonesia’s top military officers. Karman was arrested even though he knew nothing about the coup.

“What would a clerk like me know about assassinating military officers?” he asked. “All I had done was my job ⸺ writing letters. I was not arrested for being a skillful killer, but simply for writing.”

That explained why Karman was not a good hunter. His body was sturdy but useless in that regard. His fingers were too clumsy to aim an arrow at wild chickens or birds. Instead, he used his long fingers to learn how to write stories from Pak Pram, a fellow prisoner who was also more proficient at writing than aiming arrows.

But being a competent hunter was not as big of a necessity for Karman as it was for me. Without hunting, he could still eat — he had his prison food rations — but I would starve. Consequently, on the days we promised to meet, I always took one or two birds from my bag home to eat with my elderly stepfather, and sold the rest to the prison guards, with Karman as an intermediary.

Karman had told me that people no longer bartered goods and services. Instead, they used money. Therefore, I was determined to earn enough money to pay for my trip to Java to bury Mother, even though Karman laughed when I told him my plan.

“If all you sold were your hunted birds, it would take thousands of days to earn enough money to travel to Java!” Karman chuckled as I wriggled a dead wild chicken through the gap in the fence. “Now, a wild boar might bring you more money!”

“You think it’s easy to catch a wild boar by yourself?” I grumbled.

“Of course not!” Karman gave me a once-over. “Why don’t you ask a friend to help you?”

Karman’s question startled me. Having been ostracized all my life, I thought I was accustomed to being on my own. But his question made me realize how lonely I was. Fortunately, Karman did not wait for my answer; he was too busy inspecting my catch of the day.

“Karman, do you know why my mother wanted to be buried in Java?”

“I have no idea.” Karman shrugged. “Maybe Buru never became home for her.”

“Even though her only son was born here and lives here?” I looked down, afraid to hear Karman’s answer, whatever it was.

Karman quickly looked up. “I’m sure that’s not the way she looked at it.”

I nodded wearily. “I hope you’re right.” The thought had been brewing in my mind for a long time.

Karman looked at me closely. “Are you comfortable living in Buru all by yourself? Be honest. Don’t confuse comfort with habit; you know they are different. Perhaps you don’t really belong here. Who knows? Your mother may have wanted you to find the comfort you’ve never experienced so far. There’s nothing wrong with traveling to Java, if that’s what you want.”

I scowled at Karman’s answer, but I knew he was right, and I remained silent.

“By the way,” Karman continued, “when I die, will you bury me here in Buru?”

Though I had expected Karman to continue our conversation, I had not expected him to continue it with a question like that. I thought back to Karman’s empty gaze when I bombarded him with questions about Java. Perhaps I had been wrong in thinking that he was homesick then. Perhaps his sadness came from the fact he had no place to be homesick for. Could Mother Nature be so cruel that she would allow so many of her children to be torn from their homes?

***

I had heard that the population in Indonesia had grown, but it was not until 1972, three years after Mother’s death, that I saw as many people as I saw upon arrival in Semarang. I quickly found myself trapped in their midst.

During her life, Mother had often told me how busy Semarang was. And she was right! But, as a man who was born and raised on Buru Island for all of my twenty-eight years of life, I never imagined any place could be as busy as this. Even though dawn was just breaking, people crowded the street. Even standing to the side of the road, I could not avoid being bumped by other people as they hurried by.

I continued walking away from the port. I had to find my mother’s sister, Aunt Marni. Mother had told me that her sister lived in Tanjung Mas, a neighborhood adjacent to the port. According to the note Mother had left me, I needed to find either my Aunt Marni, or a relation of Raden Projowinoto — my grandfather and a former policeman in this port.

A group of gentlemen were sitting around at the Tanjung Mas Harbor Coffee Shop. “Excuse me,” I said, interrupting their lively conversation. “Do any of you know a Raden Projowinoto? He used to be a policeman at this harbor.”

The men frowned. “Who are you?” one of them asked. “Mr. Projowinoto died a long time ago.”

I nodded. I had not expected my grandfather to still be alive. After all, even his eldest daughter — my mother — was dead. But realizing I would have to tell a long, complicated story if I identified myself as his grandson, I simply said, “I’m just a relative.”

Now everyone looked at me, clearly confused. It must have indeed been mystifying to hear a young, Asian-looking man, speaking Indonesian, state that he was related to Raden Projowinoto, who I imagined looked like a typical Javanese man.

“A relative?” asked one of the men, scrutinizing me.

“I am his grandson.”

The men could not contain their surprise. “Really?” one of them asked with raised eyebrows. “Who is your mother?”

“My mother was Sumaryati, sir.” I was starting to feel annoyed with their suspicious questions.

Now the men looked stunned. “Oh, my Lord!” one exclaimed. “That Sumaryati? The one the Japanese took away?”

The man turned to the others, and everyone started talking at once in an animated, regional dialect that I could not understand.

One of the men looked up at me. “Maryati was my friend in elementary school.”

“Can you prove you’re Maryati’s son?” asked another.

I reached into my bag and pulled out the picture of Mother as a young girl. She had always cherished the picture, now after her death, it was mine to cherish.

While watching everyone crowd over Mother’s picture, I quietly smiled, remembering Mother telling me that when I was little and saw the picture for the first time, I was startled to see her face on a piece of paper.

“I’m sure, this is Maryati,” said the man I had given Mother’s picture to. The others nodded.

I quickly spoke up to prevent them from further interrogating me. “Perhaps one of you could show me the way to my Aunt Marni’s house?”

Aunt Marni was Mother’s favorite sibling ⸺ the one she said she missed the most. Marni’s name had been the one Mother called most often during the delirium of her final days, before succumbing to malaria.

The men nodded, and we all walked along the sidewalk to Aunt Marni’s house.
As we entered her neighborhood, we passed people drying and dyeing textiles in their yards. Long, large-patterned cloths hung on the clotheslines. The assorted colors and motifs reminded me of Mother’s stories about the beautiful Javanese batik cloth. Many of the women here still wore it, although just as many of them did not.

I waited at the gate while the men entered the front yard of a sturdy wood house. A woman met them at the door. I could faintly hear them mentioning Mother’s and Aunt Marni’s names. One of the men called out for me to come closer and introduced me to a woman dressed in a kebaya, Indonesian blouse, and batik sarong. “Marni,” he said, as he waved me closer, “this is the young man who claims to be Maryati’s son.”

I looked at Aunt Marni. She resembled Mother, except that Mother had been skinny and disheveled while Aunt Marni looked healthy and cared for.

At first, Aunt Marni looked at me suspiciously. Frowning, she took stock of me for several seconds. Then I saw her eyes change. The longer she looked at me the sadder her eyes grew. She whispered, “What is your name, son?”

“Man Beta, Aunt Marni.”

Aunt Marni’s hand flew to her mouth, and she quickly thanked the men who had brought me.

They bowed and said goodbye.

Aunt Marni invited me in, and we sat together in the living room. She took a closer look at my face and murmured, “Even though you have slanted eyes, you still look like my sister, Maryati.” Her lips curved into a gentle smile, and her eyes filled with tears. “How is she now? Is she fine? Can I see her?”

I shook my head. “Mother died from malaria, three years ago.”

Aunt Marni’s face turned to shock. “Oh, my God! My sister went to heaven before I had the chance to see her. She passed away at such a young age.” Aunt Marni’s eyes dimmed, and her shoulders drooped. She grew silent, trying to process the bad news I’d delivered.

I grimaced; I felt her sorrow. I could only imagine what it must have been like to be separated from one’s sister for decades only to be told that the beloved sister had passed away.

“So where have you been living all this time?” asked Aunt Marni. “Where did my sister live?”

“We lived on Buru Island, Aunt. A small, deserted island in Maluku, far from Java.”

“So the Japanese took my sister all the way there, to a small, deserted island,” Aunt Marni murmured. “I didn’t even know there was such an island in the east.” Aunt Marni’s gaze languished, as if regretting her powerlessness to reverse fate.

“You’re a Japanese soldier’s son?”

“That’s right, Aunt.”

Aunt Marni ran a hand brusquely across her face. “This is so hard to believe. My poor sister was a war victim of the Japanese army. Father had told me that the Japanese would send her to a school.” Her eyes now glittered with the hatred of betrayal. “Why did you come here?” Her question was straightforward yet warm.

I took a woven drawstring sack out of my bag. “Mother wanted to be buried here,” I said. The sack made a tapping sound when I put it on the table. It sounded like Mother’s footsteps.

***

Aunt Marni immediately contacted her younger brother, my uncle, and the neighborhood priest. They decided to bury Mother that same afternoon in the family plot. Aunt Marni and my uncle took my drawstring sack containing Mother’s bones from me. Everything was happening so fast! I sat bewildered until Aunt Marni called my name and hurried me along.
In the midst of the busy funeral arrangements, my uncle, glaring at me, asked Aunt Marni,

“Does our inheritance now have to be divided into thirds?”

Aunt Marni hushed Uncle.

The journey from Aunt Marni’s house to the cemetery felt much longer than the actual distance. My feet moved reluctantly, even though I repeatedly reminded myself that this was Mother’s wish. Over and over I told myself that Mother’s return to her birthplace was not the same as her leaving me and my birthplace. She was still with me, would always be with me.

Mother, my dear, sweet mother. Now only her bones were left.

Mother, my dear, sweet mother. I did not know where she was, but people said she was at peace up there. Where was “up there”?

Mother, my dear, sweet mother. The priest said her bones had to be bathed, even though in Buru, after I had carefully dug up her grave, I had wiped her bones every day before my departure for Java. Even in death, was Mother still not clean enough?

Mother, my dear, sweet mother. The priest said we had to say their funeral prayer for her. I didn’t know if Mother had practiced any faith. I didn’t.

Mother, my dear, sweet mother.

She was buried in a way that even I did not understand. Here, she was wrapped in a cloth, her bones were prayed over with a prayer different from that of the elders on Buru Island. Here, they dug her grave with shovels and hoes; while in Buru, only wooden tools were allowed to dig her grave. In Buru, she was allowed to be buried with her favorite kebaya; here, this was not allowed.

It did not matter.

I watched the gravediggers shovel out Mother’s final resting place while her siblings squabbled over Grandfather’s inheritance ⸺ about whether I, the son of a foreigner, deserved a share. Uncle argued with Aunt Marni, who wanted to share their inheritance with me, even though I had told them I did not want anything. “Why share our inheritance with someone who doesn’t expect it?” Uncle yelled at Aunt Marni “It doesn’t make sense!”

It did not matter.

When Mother’s grave, a gaping hole in the red earth, was ready, strangers surrounded the pit. The gravedigger picked up the bundle of white cloth that now contained Mother’s bones and prepared to lower it into the grave. And even though they were no longer the bones I had wrapped in a woven drawstring sack and carried with me all the way from Buru to Java, I screamed at the gravedigger, “No! Give Mother to me! I am the one who must bury Mother!”

And this mattered.

No one understood why I was screaming. Some looked confused; others were irritated to see a grown man wailing in the cemetery.
It was only when Aunt Marni took the white bag from the gravedigger and handed Mother to me that I fell silent.

Everyone suddenly seemed to understand.

The wind blew quietly, birds chirped in the distance.

Goodbye, Mother. After your long voyage, you have finally arrived in a place of endless peace. Your son has buried you according to your wish.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.