Berita Duka Cita

Rinto Andriono

22 Agustus 1974 – 29 November 2021

Kami berduka mendalam atas berpulangnya salah satu penulis berbakat yang telah menyemarakkan ruang Cerita Anda di halaman laman kami. Karya Rinto selalu mengetengahkan masalah kemanusiaan dan linkungan. Karya terbaru almarhum, Yang Beralih, baru saja kami terbitkan sebagai Cerita Terkini untuk bulan Desember ini.

Karya almarhum Pohon Pongo yang terbit awal tahun di laman kami adalah sebuah karya yang menunjukkan kepedulian almarhum terhadap pelestarian lingkungan dan satwa di sekitarnya.

Almarhum meninggalkan seorang istri, Dati Fatimah, seorang putra dan seorang putri.

Selamat jalan sahabat.

Istirahatlah dalam damai.

Yang Beralih

Rinto Andriono adalah penyintas serangan penyumbatan pembuluh otak yang menyebabkan kelumpuhan tubuh kanan pada usia 46 tahun. Menulis adalah salah satu kegiatan penyembuhan yang disarankan oleh dokter syaraf untuk mengembalikan kemampuan membangun penalaran. Rinto mulai menulis enam bulan setelah serangan pada tengah 2018.

Sebelum sakit, Rinto adalah perencana pemulihan pasca bencana, yang banyak bekerja di beragam tempat bencana di Indonesia dan Asia. Setelah sakit lebih banyak melakukan kajian, pelatihan daring dan penulisan pembelajaran di bidang yang sama. Untuk mengisi waktu senggangnya, dia suka membaca tentang penyelamatan alam dan filsafat, dan jalan kaki.

Rinto menulis sebagai sarana pemaknaan hidupnya yang sekarang sangat terbatas. Menulis membebaskan pikiran dan batinnya, yang saat sebelum sakit dulu mungkin terbelenggu, meski tubuhnya sangat bebas.

Dengan pendampingan menulis dari Ahmad Yulden Erwin, Rinto membuat belasan cerita pendek yang dibukukan sendiri dalam buku elektronik berjudul Kencan Hikikomori. 

Rinto Andriono telah berpulang pada tanggal 29 November 2021, jam 08.30 pagi (WIB) di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta karena serangan jantung. Kami sangat kehilangan seorang penulis berbakat.

Selamat jalan sahabat. Istirahatlah dalam damai.

 

 

Yang Beralih

 

Matahari sudah tinggi, udara Yogya sudah berjam-jam membungkus badan Soumi dengan gerah. Lengket, panas dan lembab menyatu mengumpulkan resah. Soumi resah, hatinya sangat resah. Resah yang berkepanjangan membuatnya gundah. Gundah pada kehidupan sepinya. Kehidupan yang dipilihnya sendiri semenjak itu. Hidup yang telah memenangkan hati memang bisa jadi sulit, karena ternyata hidupnya tidak selalu bisa dimenangkannya. Tetapi bukan semata-mata dia yang membentuk hidupnya – ada dengus bengis yang turut mendorongnya menyeberangi jati dirinya.

***

“Soumi, bangunlah, sudah subuh!” teriak Karyo dari luar kamar.

Saat itu ibu Soumi sedang menginap di rumah sepupunya yang belum sehari menjanda. Soumi ditinggal serumah hanya berdua dengan Karyo, suami Ibunya yang tentara. Karyo bukan bapak kandungnya. Soumi adalah buah pernikahan ibunya dengan suami sebelumnya. Ibunya dan Karyo tidak beranak. Hanya Soumi semata wayang anak mereka.

Ingatan Soumi cepat mengisi sepenuh kesadarannya, dia sudah terbiasa bangun sebelum subuh. Galibnya ibunya menjerang air di perapian. Pagi ini, dia yang akan melakukan itu tanpa ibunya. Soumi riang dan ringan. Bagai kedasih yang berbahagia dia bangkit dari pembaringan. Soumi segera menyahuti Karyo sambil melangkah membuka gerendel kamarnya.

Tiba-tiba dengan sangat berdaya, pintunya terdorong terbuka. “Heh ….” Seolah kerbau dungu Karyo mendengus dan menyergapnya.

“Ahh ….” Soumi tidak cukup sigap dan berdaya untuk melawan.

Ratusan lukisan hidupnya koyak seketika. Lukisan-lukisan yang polos tentang masa lalunya, yang warna-warni tentang cita-citanya, yang bergelora tentang cintanya dan yang masih samar-samar tentang masa depannya. Semua berubah bagi Soumi pagi itu. Seketika, dia menjadi kain mota yang koyak, luruh dan tidak berguna!

***

Dari dalam kamarnya, Soumi membaui wewangian badan Karyo yang sudah mandi dan hendak pergi bekerja. Seketika Soumi mual. Lantas dia mendengar Karyo pergi sambil bersiul-siul, seolah tidak terjadi apa-apa.

Soumi bergegas pergi ke kamar mandi dengan hati luluh lantak. Dia mandi lama sekali. Seolah noda yang dipaparkan Karyo sangat sulit hilang, dia menggosok tubuhnya lagi dan lagi. Air bilasan mengalir tanpa henti, tapi perasaan ternoda dalam hatinya tetap tidak mau pergi.

Kembali di kamarnya, dia menekuri foto-foto dirinya, kemudian berucap, “Apa gunanya foto-foto ini?” Dia membakar semua foto-foto masa kecilnya, raport sekolah, ijazah tiga kali kelulusan di SD, SMP dan SMA, kartu penduduk serta akta kelahirannya. Dia mengemasi barangnya sekaligus mengemasi batinnya. Soumi merasa harus meninggalkan rumah lamanya dengan segala kelemahan dan kekalahan sebagai perempuan yang pernah dikenalnya.

“Aku tidak mau hidup sebagai perempuan!” ikrar Soumi yang masih dalam tubuh perempuannya, “Dunia ini memang bukan untuk perempuan!”

Sekarang Soumi memang menjadi butuh jati diri yang baru. Namun Soumi belum memikirkan, kemungkinan menjadi lelaki. Dia masih jijik dengan jenis kelamin Karyo.

“Aku tidak ingin berubah menjadi pemerkosa seperti Karyo! Aku juga tidak akan lagi menjadi korban permekosaan siapa pun!” kata Soumi mantap meninggalkan rumahnya.

Bagi Soumi, rumah sudah kehilangan teduhnya, bahkan, dia pergi tanpa merasa perlu menghiraukan pintunya yang masih dibiarkan menganga. Dia hanya meninggalkan pesan pendek untuk berpamitan pada ibunya. Riwayat rumah itu sudah padam bagi Soumi.

“Ini sudah bukan rumah!” Soumi pergi dari rumahnya, sekaligus meninggalkan jati dirinya.

***

Setelah mencobai hidup di Malang dan Surabaya, akhirnya Soumi terdampar di Yogya. Kota berhati nyaman yang telah membuka diri untuknya. Soumi sekarang bertubuh lebih kekar. Dia melatih dirinya dengan bela diri tinju dari Thailand. Rambutnya pun terpotong pendek dan rapi. Dia menggunakan jel rambut yang pekat. Jejak sisir nampak jelas di rambutnya.

Sebelum wabah covid, Soumi bekerja menjadi pramusaji di sebuah rumah makan modern. Pembawaannya yang rapi bahkan cenderung halus membuatnya banyak disukai orang-orang. Pekerjaannya pun membaik, dia tidak hanya menjadi pramusaji namun telah dipercaya menjadi penyelia. Soumi merasa hidup kini telah berpihak padanya. Namun semua kandas setelah wabah covid berjalan hingga bulan kedelapan. Rumah makannya tidak lagi sanggup melawan gempuran kehilangan pelanggan disertai kenaikan harga-harga bahan baku. Benteng penghidupan. Soumi pun ikut runtuh bersamaan dengan itu.

Siang itu, dia berpeluh mengantri. Wabah covid yang berumur setahun telah memakan kehidupannya hingga tersisa remah-remah terakhir. Soumi mengantri untuk mendaftar menjadi penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah.

“Nama?” tanya petugas Kepanewonan Mergangsan pendek.

“Soumi.”

Petugas yang bosan mendongak, mendesak, “Yang benar?”

“Benar, Pak, saya Soumi.” Soumi menegaskan diiringi goresan enggan sang petugas di borang pendaftaran.

“Kau laki-laki atau perempuan?” tanya sang petugas menyelidik.

“Bukan keduanya.” jawab Soumi dengan penuh keyakinan.

Petugas itu berhenti menulis. Dia bersandar di kursinya seolah paling benar. Dia menarik nafas dalam-dalam seperti mempersiapkan sebuah ceramah panjang tentang ragam jenis kelamin yang diijinkan untuk surat-surat kependudukan di negara kesatuan ini. Serangkaian kata berhamburan dari mulut ceroboh tak bermasker. Mulai dari pilihan di borang hingga perintah agama. Intinya, Soumi harus memilih, laki-laki atau perempuan. Titik!

Bagi Soumi, perintah mengisi borang ini sangat berat. Dia enggan membuka kenangan pahit masa lalunya – saat dia masih perempuan dan lemah. Meski sekarang sudah tidak menganggap dirinya perempuan, dia tidak lantas menyebut dirinya laki-laki. Dia sudah mantap dengan dirinya yang bukan keduanya. Kemantapan itu seiring dengan kekosongan jati dirinya yang mulai terlukis dengan gambaran diri yang baru. Soumi merasa nyaman dengan dirinya sekarang yang jauh dari dirinya dahulu, tetapi dia tetap bukan Karyo yang laki-laki dan bengis serta jumawa.

“Coba lihat KTP?” pinta petugas yang mulai putus asa dengan keterangan Soumi.

“Saya tidak punya KTP, hanya kartu penduduk musiman dari Kelurahan,” jawab Soumi.

“Tidak punya KTP tidak boleh mendapat BLT.” kata petugas pendek memungkasi upaya Soumi untuk menyambung hidupnya.

Soumi sebenarnya enggan beradu mulut, tetapi dia sangat membutuhkan BLT untuk kelangsungan hidupnya. Dan jawaban dari petugas di manapun selalu seragam. Jawaban yang sudah dihafal Soumi dari pengalamannya mengurus surat-surat kependudukan. Seolah memutar pita rekaman rusak, Soumi pun mengulang membacakan berbagai rujukan Kesepakatan Internasional tentang pengakuan terhadap jenis kelamin ketiga. Masalah ini sebetulnya bisa teratasi bila Soumi pulang ke kampung halamannya dan mengurus surat pindah. Tapi itu mustahil bagi Soumi karena Karyo masih hidup dan dia sudah tidak menginginkan jati dirinya yang lampau. Lukisan yang telah koyak biarlah usang. Soumi sedang melukis yang baru.

“Urus KTP dulu, baru bisa ambil BLT,” kata petugas ketus memungkasi adu mulut dengan berteriak, “Antrian berikutnya!”

***

Di bulan Maret 2021, Soumi dan kawan-kawannya telah memasuki bulan kelima kehilangan pekerjaan di rumah makan. Wabah ini mengharuskan mereka memutar otak lebih kencang. Inilah saatnya dimana dunia manusia berubah sedemikian cepat sehingga meninggalkan manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Para manusia tunggang-langgang mengikuti dunianya yang telah bergeser tidak sekehendaknya. Ini ibarat rumah yang justru pergi meninggalkan penghuninya.

Soumi dan kawan-kawan pun berangsur kehilangan isi tabungannya dengan pasti. Mereka berusaha menyambung hidupnya dengan berbagai cara. Mengurangi catuan makanan harian adalah pilihan pertamanya. Soumi pun berkeras untuk tidak berobat meski batuk atau demam datang mendera. Soumi telah berpindah ke kamar sewaan yang lebih sempit, kumuh, terpencil, tetapi murah. Sambil mencari pekerjaan apa pun yang mungkin diraihnya.

Kawan-kawannya pun berlaku sama. Pilihannya, terus berusaha sebisanya atau punah. Suatu ketika mereka bersepakat bertemu. Kepencilan masa wabah membuat mereka saling terasing. Mereka butuh bertemu di taman kota untuk sekedar mengadukan keluh dan mendengarkan resah.

“Kau sekarang jadi apa, Gar?” tanya Wulan, dulu sesama pramusaji dengan Soumi.

“Aku jualan ikan cupang,” jawab Tegar, mantan kasir rumah makan yang tegar. “Ikan kecil biaya pemeliharaannya irit.”

“Aku bikin lumpia, tapi harus pesan dulu baru nanti kubuat dan kukirim ke pemesan.” terang Wulan.

Soumi senang kawan-kawannya terus berusaha semampunya. Di masa wabah ini yang penting obah mamah – terus bergerak meski hasilnya sedikit, hanya cukup untuk makan.

“Sekarang pendapatan keluarga kami menjadi lebih sedikit,” papar Wulan, “anak-anak sudah tidak pernah bisa plesir lagi.”

“Ya … tidak ada lagi cukup uang untuk kebutuhan sampingan,” lanjut Tegar, “semua mendapat rejeki tipis-tipis tapi rata, ini waktunya berbagi.”

“Sudah sebulan ini, kami selalu melewatkan sarapan, bukan karena ingin langsing seperti orang-orang gedongan, tapi biar irit,” timpal Wulan.

Lain Wulan dan Tegar, lain pula Yanto. Dia adalah mantan satpam rumah makan. Tubuhnya kekar dan sehat. Memenuhi syarat sebagai penjaga keamanan yang baik. Namun nasibnya tidak sebagus badannya. Yanto ketularan covid dan menghabiskan dua setengah minggu di rumah sakit untuk sembuh dari penyakit ini. Dia sampai harus menggadaikan kendaraannya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Hidup mereka seperti buah simalakama; bila tidak bekerja maka tidak bisa makan tetapi bila terus berusaha maka bahayanya adalah kemungkinan tertular covid.

“Rasanya bagaimana, Yanto?” tanya Tegar.

“Kau pernah merasakan influensa yang sangat berat?” tanya Yanto kembali.

“Iya,” jawab Tegar.

“Nah, rasa itu kau kalikan tiga, begitu rasanya.” terang Yanto. “Pertama kau akan kehilangan penciumanmu, lalu zat asam tidak bisa disera tubuh karena paru-paru berlendir. Bila tak dibantu pasokan zat asam, kau akan lemas dan menemui ajal.”

“Hiiii.” nyali Tegar mengkeret.

Soumi mendapati Jamila, mantan tukang masak di tempat kerjanya dulu, menyendiri dan kurang bersemangat.

“Hai, Jamila.” sapa Soumi.

“Kita ini menyaksikan rumah makan tempat kita bekerja tidak mampu lagi mencari makan.” kata Jamila, tukang masak yang sudah belasan tahun bekerja di situ, seolah menyesali keadaan.

“Sekarang kau kerja apa, Jamila?” tanya Soumi.

“Aku belum dapat, seumurku sudah susah mencari kerja dan memulai dari awal lagi.”

“Tapi kau bisa memasak!” yakin Soumi, “Usaha yang besar memang bertumbangan, tapi usaha yang kecil masih ada peluang tumbuh kembang.”

“Tidak mungkin aku bisa hidup, aku butuh biaya besar.”

“Heh, kau tidak boleh patah.”

Jamila tidak menyahuti Soumi, Dia mengeloyor pulang.

Mereka berpisah, hingga seminggu kemudian, mereka bertemu lagi.

Mereka berkunjung ke rumah sewaan Jamila sebagai pelayat yang hendak menghormati Jamal untuk terakhir kalinya. Wabah covid ini memang seperti saringan yang telah memisahkan manusia yang kuat dari yang lemah dengan garis pembatas yang tegas.

Dari teman-temannya, Soumi tahu bahwa Jamila menderita hepatitis C semenjak dari Jamila masih bujangan tua yang dikenal sebagai Jamal.

***

Sepanjang hidupnya Jamal telah lelah memperjuangkan KTP untuk mendapat Bantuan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Penyakitnya membutuhkan perawatan berlanjutan yang tidak murah. Dia membutuhkan pengobat yang mahal. Semua ongkos perawatan kesehatan itu tidak mampu dibayarnya. Saran kepala desa di kampungnya, Jamal bisa saja mendapatkan KTP asal tidak terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa dia berkelamin lelaki.

“Surat Kelahiranmu laki-laki kan, Mal?” kata Kepala Desa, “Isian jenis kelamin di KTP-mu ikut Surat Kelahiranmu saja, biar nanti bisa dapat BPJS.”

“Iya.” kata Jamal berat.

“Nyatanya yang busuk menggantung itu juga kelamin laki-laki,” sindir Kepala Desa, “jakunmu itu lho, tidak bisa menipu, hahaha ….”

Namun hingga setua ini Jamal alias Jamila enggan mengakui kenyataan tubuhnya. Semenjak akil balik dia tidak pernah merasakan dirinya sebagai laki-laki. Jamal remaja tidak pernah menyelesaikan sekolah menengahnya. Dia tidak betah terus menerus dirisak oleh kawan-kawan juga gurunya. Mereka memanggilnya banci.

Ayahnya pun gemar memukulinya dan ibunya tidak berdaya. Ayahnya tidak bisa menerima Jamal yang berperilaku gemulai seperti perempuan. Dia mendidik Jamal kecil dengan penuh kekerasan karena keyakinannya agar Jamal bisa menjadi lelaki tulen. Dia berpikir, bila sering dipukuli maka Jamal akan berubah menjadi seperti lelaki.

Jamal remaja yang tidak pernah ingin menjadi laki-laki, memilih kabur dari rumah. Dia lebih senang dengan jati diri Jamila-nya. Dia merasa lebih nyaman memasak dan memakai daster yang sejuk. Jamila cukup beruntung, dia tidak pernah terpaksa melacur. Kebisaannya memasak menjaga hidupnya dengan tetap bekerja puluhan tahun dari warung hingga rumah makan. Jamila piawai mencampur bumbu dan mengolahnya sehingga tiap-tiap rempah mengeluarkan rasa terbaiknya.

Namun kini, demi agar ongkos pengobatannya bisa ditanggung negara, akhirnya Jamal luluh. Dia menyerah. Dia nyaris mendapatkan KTP laki-laki untuk mengurus BPJS. Namun takdir berkata lain. Hidupnya telah lebih dahulu luluh sebagai korban pemaksaan jati diri. Kematian adalah cara termurah untuk menghemat biaya pengobatan seorang waria sakit, penganggur, dan putus asa.

***

Sambil menunggui jasad Jamila di rumahnya, Soumi mengenang sahabatnya. Dia berkenalan dengan Jamila di rumah makan itu, sebagai rekan kerja. Namun pertemuan itu sangat bermakna. Jamila membuat Soumi mampu menuntut kembali hidupnya. Soumi masih ingat bahwa Jamila adalah tukang masak yang diandalkan di rumah makan itu. Dia baik pada sesama rekan kerja. Dia kakak yang baik bagi Soumi. Sayangnya, di akhir hidupnya, Jamila harus berjuang keras membujuk negara untuk mendapatkan pengakuan dengan jenis kelamin ketiganya. Perjuangannya itu berpacu dengan penyakitnya. Sayang, penyakitnya berjalan lebih cepat dari pada perjuangannya. Saat Jamila mau mengalah menerima pilihan antara dua jenis kelamin yang disediakan oleh negara, penyakitnya sudah semakin genting.

Jamila yang selama ini mendukung Soumi dan menghibur hatinya. Dia yang menyembuhkan luka-luka hati Soumi. Jamila yang memperkenalkan Soumi pada banyak paguyuban orang-orang berjenis kelamin ketiga. Dari paguyuban itu, Soumi tahu bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan siang dan malam, tetapi ada juga fajar dan senja seperti Jamila dan kawan-kawan. Mereka perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki, atau sebaliknya. Bahkan yang seperti Soumi, yang tidak merasa aman sebagai perempuan tetapi merasa jijik sebagai lelaki pun ada dan mereka saling menguatkan jati diri.

“Bukankah fajar dan senja yang membuat semesta menjadi lebih indah?” kata mendiang Jamila pada Soumi dulu, “Jika hanya ada siang dan malam maka bumi akan membosankan.”

Soumi benar-benar mencamkan perkataan Jamila itu. Dia mulai bangkit melukisi lagi kain mota hidupnya dengan berbekal kalimat itu. Soumi merasa dia berhak pula hidup di dunia sebagai ciptaan Tuhan yang setara dengan yang lain. Dia boleh saja tidak merasa sebagai laki-laki atau perempuan, tapi Soumi adalah manusia, itu yang ditekankan Jamila.

“Aku juga manusia.” tegas Soumi saat itu.

“Dulu, sosok banci adalah wajar di pertunjukan wayang kulit,” cerita Jamila pada Soumi dalam salah satu obrolannya,

“Betulkah?” tanya Soumi.

“Iya dan ketahuilah wayang kulit adalah cerminan dari masyarakat kita.”

“Lelaki dan perempuan sama-sama dibutuhkan dalam hidup ini.” lanjut Jamila, “Batari Durga yang garang, sebelumnya adalah Dewi Uma yang lembut.”

“Ya, Dewi Uma moksa menjadi Batari Durga yang raksasa dalam rangka melawan nafsu Batara Guru.” timpal Soumi lamat-lamat. Dia pernah mendengar kisah itu. Kisah perubahan jati diri Dewi Uma itu yang mendorong Soumi menjadi seperti sekarang ini. Dia menolak sebagian sisi perempuan dirinya yang lemah dan berusaha menambalnya dengan sisi lelakinya yang kekar. Namun Soumi tidak serta-merta menganggap dirinya lelaki. Dia beralih menjadi jenis kelamin ketiga yang membuatnya menjadi lebih nyaman sekarang ini. Dia sekarang lebih siap bila harus membela diri jika dirundung Karyo lagi.

“Hidup kita pun seharusnya begitu, siapapun setara di muka bumi ini dan harus saling menjaga,” pungkas Jamila.

Namun rupanya, cita-cita Jamila tidak terjadi hingga ajal menjemputnya. Kawan-kawannya tetap harus mengasongkan tubuh Jamila, mencari kampung yang masih mau menerima jenazah waria di kuburan milik mereka. Sedikit kampung yang mau menerima pemakaman waria. Mereka menganggapnya sebagai aib. Akhirnya sebuah kampung di perbatasan Kota Yogya dan Bantul mau menerima, itupun dengan biaya bedah bumi yang tidak mudah ditanggung oleh kawan-kawan waria yang terdampak kemelut keuangan pada waktu wabah covid ini.

***

Wabah ini diikuti oleh masalah keuangan yang menekan semua pengeluaran warga. Beberapa bidang usaha bahkan tidak dapat bertahan memperebutkan pelanggan yang semakin sedikit. Seperti rumah makan tempat Soumi dan Jamila bekerja. Sebagian besar mahluk indah jenis kelamin ketiga ini bekerja di bidang jasa. Jasa-jasa itu adalah kebutuhan yang akan disingkirkan warga dari senarai belanjanya bila pendapatan menurun. Perempuan mengurangi belanja perawatan tubuh di salon. Pria hidung belang tidak lagi beruang untuk membiarkan mulut waria memuaskan kelaminnya. Tidak ada uang kecil untuk waria pengamen.

“Ih, maharani amat, mengubur bangkai saja semahal itu ongkosnya?” kata Shinta, waria yang menawarkan jasa di Perlimaan Kalasan.

“Ah, kau jangan sirsak, cin, jangan pelita hati begitu, ini demi Kak Jamila.” sanggah Diana bendahara patembayan saat menghimpun saweran agar Shinta tidak culas dan pelit.

Akira kan sudah lama tidak laku nyebong!” aku Shinta.

“Ah … nggak percaya, kau tiap malam berapose begitu?” Dewi menawar.

“Covid, Boo … akira jual harga obral ini ….” kata Shinta sambil mengangsurkan uangnya yang kumal.

“Cari BLT sana, kan pemerintah sudah bagi-bagi enam ratus kepeng.” sahut Dewi sambil menyambar uang Shinta.

“Nggak dapat BLT, Booo …,” nyinyir Shinta, “Aku nggak ada KTP.”

“Ahhh … kau sembuh dulu dari banci, baru bisa punya KTP,” Dewi mengelak.

“Emang banci itu penyakit, koq pakai sembuh? Kata Dinsos, itu penyakit kemasyarakatan,” pungkas Shinta masih dengan nada nyinyir.

Soumi yang dari tadi menguping pembicaraan para pelayat di rumah Jamila membatin, Huh, penyakit kemasyarakatan ….

Bagi Soumi yang sudah belajar dari Jamila ini adalah akar masalahnya. Selama jenis kelamin ketiga dianggap sebagai penyimpangan yang harus diluruskan oleh negara maka selamanya nasib Jamal-Jamila yang lain akan selalu begitu. Mereka akan terus diburu dan dipaksa untuk menerima jati diri yang hanya memperhitungkan bentuk alat kelamin yang menempel di tubuh. Padahal pengakuanlah yang dibutuhkan Jamila dan kawan-kawan.

“Waktu fajar dan senja memang sempit, karena itu mereka yang terlahir tidak siang dan tidak malam adalah kelompok yang terbatas jumlahnya.” Soumi menderas mengulang perkataan Jamila tentang kaum waria.

“Namun bukan berarti kita bisa ditindas”, berontak batin Soumi, “hidupku pun akan seperti Jamila, akan kuhabiskan untuk melawan!”

Soumi teringat bahwa Jamila pernah bercerita bahwa di Sulawesi ada adat yang pernah mengakui lima jenis kelamin secara setara di masyarakat. Di Bugis selain laki-laki dan perempuan, ada calalai yang bertubuh perempuan tetapi mengambil peran-peran laki-laki dalam kesehariannya. Ada juga calabai yang memerankan peran perempuan namun bertubuh lelaki. Dan jenis kelamin kelima, adalah kelompok para bissu yang tidak laki-laki maupun perempuan. Soumi merasa nyaman dengan kelompok ini. Kelimanya pernah diakui disana secara adat, meski adat sekarang sudah sering digugat.

“Orang-orang hanya belum mengerti,” tiba-tiba suara Jamila menyahut di kepala Soumi. Dengan sangat jelas, Soumi seolah melihat sosok Jamila. Dia melihat Jamila melempar senyum.

“Jamila ….” sapa Soumi lirih.

“Kau hanya perlu terus mewartakannya.” kembali suara Jamila mengiang.

“Akan kulakukan sepenuh hidupku,” janji Soumi mantap.

“Kita semua tercipta setara,” Jamila yakin sebelum bayangannya kembali memudar.

Soumi kembali nelangsa kehilangan Jamila yang seumur hidupnya gagal berdamai dengan khalayak.

Bisik Soumi memandang tubuh kaku Jamila yang sedang menunggu pengangkutan ke liang lahat. Hati Soumi merasakan sedemikian, pelupuk matanya menghangat seketika. Air matanya kemudian merebak. “Jamila, aku tahu, kau ingin mati sebagai perempuan.”

*****

Yogyakarta, Mei 2021

 

 

 

The Third Gender

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, dia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Dia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini dia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Oni dapat dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

 

 

The Third Gender

 

It was already midday, and the stifling, muggy, Yogyakarta air enveloped Soumi’s perspiring body. The humidity made Soumi restless. And as the restlessness dragged on, she became depressed about her lonely life — the life she had chosen on that terrible day. Indeed, anyone’s life could be difficult, for it might not always turn out to be the most rewarding. But Soumi had not deliberately chosen this life. A violent force had driven her to cross the boundary of her identity.

***

“Soumi, get up!” Karyo shouted from outside Soumi’s room. “It is dawn already!”

That morning, Soumi was home alone with Karyo, her mother’s husband. Soumi’s mother was staying with her cousin, whose husband had died the day before. Karyo, who served in the military, was not Soumi’s biological father. Soumi was the only child from her mother’s previous husband, and she was the only child in the family. Soumi’s mother and Karyo didn’t have children.

Soumi was used to getting up before dawn, and she quickly rose. Usually, her mother boiled the water. This morning Soumi would have to do it herself. Happy like a lovebird flying into the morning, she answered Karyo’s call and lifted the door latch.

The door slammed into her, shoved open forcefully by Karyo, who lunged at her, snorting like a bull in heat.

Caught off guard, Soumi was neither ready — nor strong enough — to fight back.

Hundreds of life’s memories tore apart all at once: the innocence of her past, the colorful fantasies of her aspirations, the passionate hopes of love to come, and the anticipation of her unknown future. Everything changed that morning. Her entire life had turned into a torn, crumpled, useless canvas.

***

Afterwards, in her room, Soumi smelled Karyo’s cologne. He had showered and was ready to go to work. Soumi felt nauseated. She heard Karyo leave, whistling as if nothing had happened.

Totally undone, Soumi rushed to the bathroom. She showered for a long time. She scrubbed her body over and over again as if she could never wash away the stain Karyo had left on her. But despite the endless streams of water, she could not rinse away the blotch in her heart.

Back in her room, Soumi pulled out her photo albums and scrapbooks. What good are these for? she thought, and she burned all her childhood pictures, her school diplomas, her identification card, and her birth certificate. Then she packed up what was left of her belongings, along with her heart. Soumi felt forced to leave the house she had lived in as a female, with her weaknesses and defeat.

“I don’t want to live as a female anymore!” Soumi declared to herself. “This world definitely doesn’t belong to women!”

Now Soumi would need a new identity. She considered disguising herself as a man, but she was disgusted by the male sexuality. “I don’t want to be a rapist like Karyo!” Soumi said firmly to herself. “Nor do I want to ever be raped by anyone again!”

For Soumi, the house had lost its protective meaning. She was no longer a part of the house’s story. She left a short message for her mother. “This is no longer home,” Soumi said, and, leaving the front door wide open, she left the house, as well as her sexual identity as a woman.

***

After trying to make a living in Malang and Surabaya, Soumi arrived in Yogyakarta. The charming city welcomed her. Soumi now had a masculine appearance. She wore her hair short and neat, and she used hair gel that made grooves in her freshly combed hair. She practiced self-defense with Thai boxing.

Soumi worked as a waitress in a modern restaurant. Her well-kept, almost delicate appearance made many people like her. She did her job well and was promoted. Soumi felt that life was finally on her side. But it all ended during the eighth month of the COVID pandemic. The restaurant could no longer survive the decreasing number of customers and the increasing cost. Soumi’s life fell apart together with the restaurant.

A year into the pandemic, Soumi stood in a long queue, drenched in perspiration. The ongoing COVID pandemic had depleted the last of her savings. She was now lined up to register for the cash subsidy the government was providing.

“Your name?” asked the unmasked officer from the Mergangsan District.

“Soumi.”

The bored officer looked up. “Really?”

“Yes, sir. My name is Soumi.” The officer scribbled on the registration form.

“Male or a female?” The officer scrutinized Soumi.

“Neither,” Soumi answered firmly.

The officer stopped writing. He leaned back in his chair with a righteous air. He took a deep breath, readying himself to deliver a long speech about the legal aspects of the gender entry on the government application form. A barrage of words burst from his mouth. His lecture started by pointing out the stated gender options on the registry form and went on to discuss the religious views on the matter. Bottom line, he said, Soumi had to choose between being male or female. Period!

Soumi filled out the form with difficulty. She didn’t want to remember the bitter past when she was a weak woman, but she did not refer to herself as a man either. She had affirmed to herself that she was neither man nor woman, and she had begun a fresh painting of herself on a new canvas. She felt comfortable with her new self — someone very different from her previous self, but still not a man, like Karyo, who was cruel and conceited.

“Your ID, please?” The official was losing patience with Soumi.

“I don’t have an ID. I only have the temporary resident registration card from the precinct.”

The officer abruptly ended Soumi’s application to survive. “Without a proper ID, you are not eligible for the subsidy.”

The official answers were always the same, wherever she went. She remembered the answers well from her attempts to obtain legal identity documents. Over and over again, sounding like a broken record, Soumi recited the list of the many international agreements that recognize the third gender, which is neither male nor female.

Soumi could solve the problem by obtaining relocation papers from the authorities in her former neighborhood. But for Soumi, that was impossible because Karyo still lived there and she didn’t want to face him — or her former self. The torn painting of her past should be left to deteriorate; Soumi was painting a new one.

“After you obtain the proper ID, you can come back and get the subsidy,” the official said bluntly and turned away. “Next in line!” he shouted.

***

In March 2021 it was five months that Soumi and her workmates had been laid off from their job at the restaurant. The pandemic had forced them to get creative to survive. The world was spinning so fast, it left its inhabitants behind. People were required to catch up with a world that had moved on without their consent, like a house that had abandoned its residents.

Soumi and her friends had depleted their savings. They tried to survive in various ways. Eating less was their first option. Soumi decided not to see the doctor when she had a fever and cough. Soumi moved to a smaller room. The boardinghouse was located in a secluded corner of a slum, but the rent was cheap. She tried to find any job she could get; her friends were doing the same. They either survived or perished.

One day, the friends all arranged to meet at the city park. The isolation necessitated by the pandemic had alienated them from one another. They needed to meet just to share their worries.

“What are you doing now, Gar?” Wulan asked Tegar. Like Soumi, she used to work as a waitress.

“I am selling betta fish, the Siamese fighting fish,” Tegar answered. He used to be the cashier. “Taking care of these small fish is cheap.”

“I make and deliver spring rolls, on order,” Wulan said.

Soumi was happy that her friends were doing their best to survive. During this pandemic, it was critical to do whatever was necessary to make enough to eat.

“Because money is so tight,” Wulan continued, “the children can’t have a vacation.”

“Yeah, we no longer have extra money for entertainment,” Tegar answered. “Our meager income is spread thin.”

“This month,” Wulan added, “we skipped breakfast, not because we eat a rich person’s diet, but to save money.”

Just as things were different for Wulan and Tegar, they were also different for Yanto. He had been the restaurant’s security guard. His athletic build had made him a good fit for the job, but, unfortunately, his immune system was not as strong as his body. He caught COVID and spent almost three weeks in the hospital. Yanto had to pawn his vehicle to pay the bills.

Their lives were in a no-win situation – if they didn’t work, they could not eat; if they did work, they risked catching COVID.

“How did it feel to have COVID, Yanto?” Tegar asked.

“Have you ever caught a really bad cold? Multiply that feeling by three, and you’ll get an idea of how it felt. First, you lose your sense of smell; then, you can’t breathe because your lungs are filled with phlegm. Unless you get oxygen, you suffocate and die.”

Tegar cringed. “Oh, gawd!”

Soumi walked over to Jamila. The cook at their former workplace sat alone, not engaging with the others.

“Hi, Jamila,” Soumi said. “What are you doing now?”

“I don’t have a job. It is difficult for someone my age to find a new job and start all over again.” Jamila, who had worked at the restaurant for more than ten years, lamented the situation. “We have witnessed how the restaurant where we worked lost its business.”

“But you can cook!” Soumi asserted. “The big businesses may have collapsed, but a small business might still have a chance to grow.”

“It is impossible; I need a lot of money.”

“Hey, don’t lose hope!” Soumi encouraged.

Instead of answering, Jamila went home.

The friends parted only to meet again one week later when they went to Jamila’s rented house to pay their last respects to her. The pandemic functioned as a sieve, separating the strong from the weak. Jamila was suffering from hepatitis C — and had been ever since she had been known as Jamal, an old bachelor.

***

Jamal had tried for many years to obtain a formal ID so that he would be eligible for the government’s health insurance subsidy to treat his hepatitis C. The treatment for his illness was expensive, and he could not afford to pay the medical expenses. The village chief had told him that it was quite possible to obtain a formal ID if Jamal would just check the box for “male” on the application.

“Your birth certificate states you are a male, right?” the village chief asked. “Just fill out the form according to the information on your birth certificate. After that, you can apply for health insurance.”

Jamal hesitated.

“Look,” the village chief sneered, “that thing hanging between your legs is a male sex organ — and you cannot hide your Adam’s apple either.”

But Jamal refused to accept his physical appearance. Since adolescence, he had never identified as a male. Jamal, the teenager, didn’t finish high school. He could not bear the bullying from his classmates and teachers. They called him banci — a fag.

His father often beat him, and his mother was powerless to protect him. His father could not accept Jamal’s effeminate behavior, and he believed that beating Jamal would toughen him up. If I beat him often, he’ll change and become a real man, the father thought.

But Jamal had no intention of ever being identified as a man, and he finally chose to leave home. Jamal was much more comfortable being known as Jamila. He felt better when he could cook wearing a loose long dress. He was lucky enough that he did not have to resort to becoming a prostitute. For decades, Jamila worked as a cook in small eating stalls and then moved as a chef from one restaurant to another. Jamila was an expert in mixing spices to bring out the best flavor of each component of the dish.

But now that Jamila had to depend on a government subsidy for her hepatitis C medication, she gave up. She could have obtained a formal ID as Jamal, a male, but fate had a different plan for her. Caught between gender identities, Jamila’s life quickly deteriorated. Death was the cheapest way out for a sick, unemployed, and desperate transgender.

***

At Jamila’s wake, Soumi reminisced about her friend. She had met Jamila in the restaurant, but their relationship was more meaningful than that of mere co-workers. Jamila enabled Soumi to move on with her life. Jamila had been a respected chef at the restaurant; she had been kind to her workmates and was like a good sister to Soumi, who had watched Jamila’s struggle to convince the government to acknowledge her choice of gender. Soumi also had watched Jamila racing against her disease’s progression, and losing the race. When Jamila finally gave in and chose the gender “male” stated on the government form, her disease had become acute.

But all through her struggle, Jamila had supported Soumi. She helped mend Soumi’s broken heart. She introduced Soumi to the transgender community and support systems. Soumi learned that God not only created night and day, but also dawn and dusk. Soumi and her friends were neither night nor day; they were people trapped inside mislabeled bodies. As individuals with conflicting identities, Soumi and her friends supported each other.

“Aren’t dawn and dusk making the universe more beautiful?” Jamila used to ask Soumi. “This world would be a dull place with only night and day.”

Soumi had taken Jamila’s words to heart when she started the new painting on the canvas of her life.

Jamila had stressed to Soumi that although the current world might not allow her to choose something other than being a man or a woman, she was still a human being who had the right to live as one of God’s creations, just like everyone else.

“I am a human being,” Soumi asserted to herself.

Soumi also remembered Jamila telling her, “There used to be transgender characters in the shadow puppet play.”

Really? Soumi had wondered then.

“The shadow puppet play simply reflects the condition of our society.” Jamila started to explain. “Men and women are both needed in this life,” Jamila said. “The character Batari Durga is indeed fearsome, but before that, she was as gentle as Dewi Uma.”

“Yes,” Soumi said softly, “Dewi Uma attained moksha and became the giantess Batari Durga to fight the lustful Batara Guru.”

Soumi had heard that story. The transformation of Dewi Uma had encouraged Soumi to become who she was now. While she rejected the weak female part of herself and tried to supplement it with the tough male part, Soumi didn’t automatically consider herself to be a man. Instead, she had slipped into the third gender to make herself comfortable with the way she felt now. She was prepared to defend herself should a Karyo attack her again.

“Everyone who lives on this earth is equal and must look after each other,” Jamila had concluded.

But Jamila’s aspiration was not fulfilled until her death. Her friends carried her body from one village to another, trying to find a village cemetery that would accept a transgender for burial. Most villages considered having a transgender buried in their cemetery a stigma. Finally, the friends found a village on the outskirts of Yogyakarta, bordering Bantul, that allowed them to bury Jamila in their cemetery. They were charged an exorbitant fee, which they had collected with great difficulty from their financially-strapped transgender friends.

***

“Ew, that’s a lot of money!” exclaimed Shinta, a transgender who worked as a prostitute near the Kalasan intersection. “Does it cost that much just to bury a dead body?”

The pandemic had put a financial burden on everyone. Most transgenders had to work in the service sector. When people’s incomes decreased, they cut their spending on luxuries first. People cut back on personal grooming. Pleasure seekers didn’t have enough money to pay the transgender prostitutes. There was no small change for transgender buskers.

“Aw, don’t be such a tight ass; this is for our sister Jamila,” Diana retorted, trying to keep Shinta from being stingy while she was collecting money for Jamila’s burial.

“I haven’t been able to hook up with a john for a long time,” Shinta whined.

“Oh, I don’t believe you. How much do you charge for a trick?” Dewi asked.

“It is COVID, dear, I’m having a sale.” Shinta handed over some crumpled bills.

Dewi grabbed Shinta’s money. “Go get some subsidy; the government is handing out six hundred thousand!”

“No subsidy for me, dear,” Shinta sighed. “I don’t even have an ID.”

“Ah, first you must be cured from being a queer, then you can get an ID,” Dewi shrugged.

“Yeah, who says that being a queer is a disease that has to be cured?” Shinta asked, sarcastically. “The social service says that being queer is a social disease.”

Soumi, listening to the conversation at the wake, thought, Social disease, huh …

Soumi had learned from Jamila that this attitude was the root of the problem. As long as the third gender was considered an aberration, the fate of the other Jamal–Jamilas would stay the same. All they actually needed was recognition and acceptance.

Soumi repeated Jamila’s words: “The dawn and dusk do not last long; therefore, they who are not born as day or night are limited in number.”

But that doesn’t mean we can be persecuted. Soumi’s spirits rose. “I will be like Jamila; I will spend the rest of my life striving for justice.”

Soumi remembered Jamila telling her that a tradition in Bugis, Sulawesi, recognizes five equal genders in society. In addition to man and woman, there is calalai, a woman who has the role of a man in society. There is calabai, a man who has the role of a woman. The fifth gender, bissu, is neither male nor female. Although tradition recognizes these five genders, today, many contest it.

Suddenly, Soumi heard Jamila’s voice: “People just do not understand.” It was so clear, she almost could see Jamila smiling at her.

“Jamila …” Soumi said, softly.

“Keep spreading this awareness.” Jamila’s voice continued.

“I will do it for the rest of my life,” Soumi promised.

“We are all created equal,” Jamila declared before her shadow faded away.

Soumi was overcome with her loss of Jamila, who had failed to make peace with society. With her eyes burning and tears running down her cheeks, Soumi looked at Jamila’s corpse, waiting to be buried. Soumi whispered, “Jamila, I know that you wanted to die as a woman and you did.”

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.