Blood Moon over Aceh

Penjelasan Isi Buku

Blood Moon over Aceh the English language translation by Maya Denisa Saputra of Lolong Anjing di Bulan by Arafat Nur (Penerbit Universitas Sanata Dharma 2018 ISBN 978-602-5607-43-1).

The story is set between 1989 and 2002 in Alue Rambe, an isolated agricultural village south of Lhokseumawe City, in Aceh, Indonesia. Born in 1976, into a famer’s family, Nazir’s life becomes a part of Aceh’s dark, rebellious history that recounts the injustice the Soeharto government imposed on the Acehnese.

Arkam, Nazir’s uncle, is a high-ranking officer in the resistance movement. He recruits villagers to join the rebellion and fight the military troops sent by the Jakarta government to put an end to the revolt. Arkam persuades Ayah, Nazir’s father, to accept the position of district chief for the rebellion.

When Arkam attacks the military base in Krueng Tuan on September 26, 1989, and in Buloh Blang Ara on May 28, 1990, an enraged army takes revenge on the rebels’ attack. Arkam is captured and killed after visiting his dying mother.

Nazir, still in middle school at that time, can only witness the predicament the people around him experience. His sister’s rape and Ayah’s murder by soldiers fuels Nazir’s hatred towards the military.

After Ayah death, Nazir becomes the head of the family. He works in the fields while finishing high school. Meanwhile, the fights between the government’s army and the rebels continue, and the Acehnese population is subjected to unimaginable cruelties and injustices.

Trapped in the bad situation, Nazir yearns for tranquility and peace. He decides to join the rebels — not to overtake the government, but rather to put an end to the brutality of the soldiers aimed at the Acehnese.

After living in the grip of war for twenty-five years, the Cessation of Hostilities Agreement (COHA), which was signed on December 9, 2002, brings the people of Aceh much needed relief. During this hopeful time, Nazir marries the girl next door.

Keterangan Buku

  • Harga: $22.75
  • Sampul Tipis: 339 halaman
  • Penerbit: Dalang Publishing
  • Bahasa: Inggris
  • ISBN: 978-0-9836273-4-0
  • Ukuran Buku: 8 x 5.5 x 0.75 inches
  • Berat: 1 lb

Malam Budaya Indonesia

12 Oktober 2018 lalu, Dalang Publishing mendapat undangan kehormatan dari pihak KJRI San Francisco untuk menampilkan karya-karya sastra terjemahan kami. Acara yang bertajuk “An Evening in Indonesia” itu serasa lengkap, karena selain beberapa tari-tarian budaya daerah Indonesia yang tampil memukau, para undangan yang hadir malam itu juga dapat menikmati, mengenal dan memperoleh keterangan mengenai karya-karya sasrtra Indonesia.

Dikesempatan baik itu juga kami turut mengenalkan Soempah Pemoeda, sebuah kesepakatan bersejarah dari pemuda dan pemudi Indonesia yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 1928.
Penampilan karya-karya sastra Indonesia terbitan Dalang cukup banyak mendapat perhatian malam itu.


Sementara itu kami juga akan mempersiapkan penerbitan buku terbaru kami yang berjudul Blood Moon over Aceh, terjemahan bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dari buku asli karya Arafat Nur (Penerbit Universitas Sanata Dharma 2018) yang berjudul Lolong Anjing di Bulan. Penggalan cerita dari karya ini dapat Anda baca di situs kami www.dalangpublishing.com pada bagian “Cerita Anda”. Keterangan lebih lanjut mengenai buku terbaru ini dapat dilihat pada bagian “Buku Kami”.

Dalang akan menghadiri peluncuran buku Lolong Anjing di Bulan pada tanggal 9 November 2018 yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Kami juga akan berkunjung ke Banda Aceh untuk mengadakan Seminar dan Bedah Buku yang bertempat di Universitas Syiah Kuala.

Lolong Anjing di Bulan

Arafat Nur lahir di Medan, 22 Desember 1974. Sejak usia SD pindah ke Aceh dan hidup dalam kecamuk perang saudara hingga dia dewasa. Sejumlah peristiwa di Aceh dituliskannya dalam puisi, cerita pendek, dan novel. Di sela-sela kesibukannya sebagai petani dan pekerja serabutan, dia gemar membaca buku-buku sejarah, filsafat, dan sastra.

Lampuki (Serambi, 2009) merupakan novelnya yang memenangkan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010 dan meraih Khatulistiwa Literary Award 2011. Novelnya, Burung Terbang di Kelam Malam (Bentang Pustaka, 2014) telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul A Bird Flies in the Dark of Night. Novel terbarunya Tanah Surga Merah (Gramedia, 2016) kembali memenangkan Sayembara Novel DKJ 2016. Arafat bisa dihubungi di arafatnur@yahoo.com

Hak cipta ©2018 ada pada Arafat Nur. Terbit atas izin dari penulis. Hak cipta terjemahan ©2018 ada pada Maya Denisa Saputra.

 

 

Bab 1

Kehadiran Orang-Orang Pejuang

Suatu petang di bulan Juli 1989, kedai kopi Leman di Tamoun tiba-tiba sesak oleh kerumunan manusia. Terdengar keriuhan orang-orang yang bersorak-sorai. Keriuhan itu tiba-tiba senyap ketika Arkam membuka suara. Suaranya yang lantang menembus keluar kedai itu.

Satu dua lelaki dan perempuan, dengan pakaian kerja mereka yang kotor, masih terus berdatangan menghampiri kedai. Sementara matahari sudah condong ke barat. Bentuknya seperti sebuah lingkaran cahaya yang tersangkut di jajaran pucuk pohon kemiri. Setengah sinarnya tercurah terang ke pasar Tamoun membentuk bayangan panjang pada setiap benda dan juga pada satu dua orang yang sedang berlalu di jalan menuju kedai Leman.

Arkam menunjukkan secarik kain merah bergambar bulan bintang yang dikatakannya bendera. Bendera semacam itu tidak pernah dikibarkan di Alue Rambe. Aku dengar bahwa Panglima Perang Wilayah Pereulak, Ishak Daud, adalah orang pertama yang mengibarkan bendera itu di salah satu SMA di Aceh Timur.

Semua orang senyap terdiam. Mereka menatap penuh perhatian ke wajah Arkam yang keras.

Sambil melangkah hilir-mudik di depan orang-orang, Arkam terus berbicara dengan penuh semangat hingga wajahnya menegang. Tonjolan urat-urat pada lengannya tampak ketika jari-jarinya menggenggam kuat membentuk kepalan tinju. Saat berbicara, berkali-kali dia menyentuh topi pet merahnya. Dia seperti ingin membukanya, tetapi selalu batal.

“Kita sudah lama hidup ditekan, ditindas, dan dilalimi. Kita tidak bisa terus-terusan begini. Selamanya kita akan menjadi budak. Kita adalah orang-orang bermartabat. Nenek moyang kita pejuang hebat. Kita tidak boleh takut. Kita harus berani melawan semua kelaliman ini. Apakah kalian semua berani melawan pemerintahan keji ini?” teriaknya mengacungkan tinju ke udara.

“Berani,” sambut orang-orang penuh semangat.

Gelegar suara yang membahana itu memekakkan kupingku.

Arkam terus saja berbicara. Dia mengulang inti tujuan perjuangan yang dibangkitkan Hasan Tiro tiga belas tahun lalu di kaki gunung di Pidie. Namun, perlawanan-perlawanan kecil itu berhasil dipatahkan serdadu pemerintah. Banyak pengikut Hasan Tiro yang mati di ujung bedil lawan. Sebagian yang tersisa terendus oleh mata-mata, dan akhirnya diringkus, diculik, dan dibunuh oleh tentara. Sementara Hasan Tiro dan beberapa pengikutnya sudah terlebih dulu menyingkir ke luar negeri untuk mencari suaka politik dan dukungan dunia internasional.

Selama masa itu, pejuang terus menghimpun kekuatan di luar negeri. Sebagian mengikuti pelatihan rahasia di Libya dan menyelundupkan senjata ke Aceh.

Mereka adalah anak-anak muda yang yakin mampu melawan pemerintahan Jakarta di bawah pimpinan Soeharto yang telah menyengsarakan banyak rakyat. Tidak saja rakyat Aceh tetapi rakyat Indonesia lainnya juga hidup dalam penindasan dan ketidakadilan. Bagaimana mungkin di negeri yang hijau dengan hasil alamnya yang melimpah—belum lagi minyak dan gas bumi—rakyatnya hidup dalam kemiskinan? Begitu sebagian isi ceramah Arkam.

“Sekarang tibalah saatnya kita bangkit untuk berjuang mengambil apa yang menjadi milik dan hak kita. Kita bisa hidup makmur dan lebih bermartabat dengan mengurus tanah kita sendiri. Hidup pejuang,” seru Arkam dengan wajah padam menegang.

“Hidup pejuang,” sambut orang-orang mengacungkan tinjunya ke udara. “Hidup Aceh! Allahu akbar!”

Arkam adalah adik Ibu. Usianya sekitar tiga puluhan waktu itu. Selama enam tahun dia menghilang ke Malaysia. Kemudian dia hengkang ke Libya dan tinggal di sana selama setahun untuk mengikuti pelatihan keprajuritan. Kini dia kembali dengan tubuh lebih tinggi dan wajah terkesan keras dengan tulang pipi menonjol. Kumisnya tetap tipis. Sepertinya kini dia punya kegemaran memakai topi pet merah.

Arkam dan tujuh temannya sering berkeliaran ke kampung-kampung untuk mencari dukungan penduduk dan untuk mendapatkan pengikut baru. Di antara mereka berdelapan, hanya tiga orang yang memiliki senjata, termasuk Arkam. Dua orang memegang radio genggam dan yang tiga lainnya bertangan hampa.

Mereka berkeliaran di kampung-kampung dalam wilayah kekuasaannya sebagai Panglima Sagoe, jabatan prajurit pejuang tingkat kecamatan.

Alue Rambe, kampungku ini, adalah kampung terpencil di pegunungan Aceh Utara sebelah selatan kota Lhokseumawe. Kampung kami termasuk dalam kekuasaan Arkam.

Jalan utama kampung berupa jalan tanah berkerikil. Ketika dilalui sepeda motor atau truk angkutan barang, debu-debu pun terbang berhamburan. Namun, di musim hujan bagian-bagian tertentu badan jalan dipenuhi genangan air yang membuatnya becek dan sangat licin.

Aku berada di dalam kerumunan orang-orang di luar kedai Leman, membaur dengan lelaki, perempuan, dan anak-anak. Aku menyandarkan dada pada dinding papan terbuka sehingga aku bisa leluasa memandang ke dalam kedai.

Para lelaki duduk pada setiap bangku. Yang tak mendapatkan bangku bersandar pada tiang; beberapa lainnya berjongkok di lantai tanah. Di satu-satunya meja yang lapang dijajarkan sepucuk senjata laras panjang dan sepucuk pistol. Senjata-senjata itu seperti sengaja dipamerkan untuk membangkitkan semangat orang-orang dalam berjuang melawan pemerintahan Jakarta yang sudah berlaku tidak adil terhadap Aceh.

Arkam memungut sepucuk AK-47 dan mengacungkannya ke orang-orang. Dia memastikan pada orang-orang bahwa benda itu berbahan logam, bukan kayu ataupun plastik. Temannya yang berwajah angkuh mengacungkan AK-47 menegakkan, lalu melipatnya. Seorang lagi, menimang-nimang sepucuk pistol Baretta buatan Italia, menggenggamnya, kemudian memutar-mutarkan pistol itu dengan jari telunjuk yang dimasukkan dalam lingkaran pelatuk. Pistol itu tidak berputar dengan baik dan hampir saja jatuh, yang membuat Arkam membelalakkan mata ke arahnya. Pemuda itu membuang muka, berpura-pura tidak tahu dan tidak peduli pada mulut Arkam yang menyeringai.

Aku tahu semua jenis senjata itu karena Arkam menjelaskannya berulang-ulang seraya mengacung-acungkannya ke hadapan orang-orang yang mengitarinya. Sementara seorang pemuda yang bertubuh agak kekar berdiri tegap di sisi meja berjaga-jaga. Para pemuda, yang masih tetap bertahan dan belum beranjak dari kerumunan, tak lepas-lepas memandangi tiga pucuk senjata itu dengan takjub, seolah-olah itu adalah benda paling ajaib di dunia. Benda semacam itu memang belum pernah ada di kampung ini.

Yasin, seorang pemuda yang sejak tadi diam, memandangi dengan saksama senjata-senjata itu tanpa mempedulikan penjelasan-penjelasan Arkam. Tiba-tiba dia menyentuh AK-47 yang baru saja diletakkan di meja.

Seketika itu juga Arkam menepis tangannya.

Yasin sangat terkejut.

“Ini senjata berbahaya. Kau tidak boleh menyentuhnya,” hardik Arkam. Kejadian itu membuat tiga temannya menegakkan badan dan menajamkan mata.

Salah satu temannya yang lebih tegap mendorong Yasin agak jauh dari meja. Beberapa pemuda berwajah bengal lainnya bergeser ke belakang.

Arkam melanjutkan hardikannya, “Kalau kau sudah bergabung dengan kami dan sudah memadai latihan menembaknya baru kau boleh memegangnya. Kaukira ini senjata mainan?”

Sejumlah orang tertawa. Mereka mengangguk-anggukkan kepala pertanda dukungan pada ketegasan Arkam.

Wajah Yasin merona, agaknya dia malu telah melakukan kecerobohan.

Arkam pun sesumbar tentang kehebatannya menembak dari jarak jauh. Latihan keprajuritan yang diajarkan oleh para pejuang lebih hebat dibandingkan latihan serdadu pemerintah yang hanya dibekali senjata bekas perang dunia kedua dengan peluru yang sering macet dan bidikan yang tidak tepat.

Leman, sang pemilik kedai kopi, diam saja. Senyumnya tampak dibuat-buat. Kegembiraannya juga seperti dipaksakan. Lebih setengah penduduk kampung datang. Sebagian dari mereka menyesaki kedai kopi, sebagiannya lagi berada di jalan. Aku yakin mereka datang bukan untuk minum kopi, tetapi semata ingin melihat lebih dekat senjata-senjata api mematikan yang dibawa Arkam dan temannya. Sebelumnya keberadaan senjata-senjata itu hanyalah merupakan bualan orang-orang yang bermimpi tentang kekayaan Aceh. Di negeri ini, tidak ada orang sipil yang berani menyentuh barang semacam itu, apalagi sampai menyimpannya di rumah. Hukuman bagi pemilik senjata tidak sah adalah hukuman mati, atau setidaknya akan mendekam belasan tahun dalam penjara.

Sebagian orang di kedai kopi, terutama mereka yang masih muda-muda, tampak begitu berapi-api. Mereka menyambut gerakan “pengusiran hama dan penyakit” ini dengan begitu yakin. Mereka akan melawan ketidakadilan pemerintah Jakarta. Aku menangkap kecemasan di wajah beberapa orang tua di sana. Kecemasan akan bahaya yang sedang mengintai kampung-kampung.

Perang memang seakan tidak pernah berakhir di tanah ini. Perang sudah ada semenjak kehadiran Portugis, Belanda, dan Jepang. Dan perang berlanjut dengan pemberontakan partai komunis dan Darul Islam. Dan sekarang, perjuangan Aceh yang melemah mulai bertunas kembali. Tidak akan ada kata akhir untuk peperangan di tanah ini.

Sementara itu, teman-teman Arkam dan para pemuda bersorak. Bersemburan cercaan dan makian terhadap tentara pemerintah seakan musuh-musuh mereka itu sudah berada di depan mata. Kegilaan anak-anak muda itu membuat sebagian lainnya kesal. Diam-diam mereka menyingkir dari sana mengikuti perempuan-perempuan yang sedari tadi kulihat sudah menyingkir duluan.

“Percayalah,” teriakan Arkam membuat orang-orang di dalam kedai senyap.

Tangan kanan Leman yang sedang menyaring kopi menggantung di udara sambil memegang gayung kaleng kopi, sedangkan tangan satunya lagi memegang saringan. Dia, seperti yang lainnya, diam mendengarkan.

“Percayalah,” ulang Arkam yang tampak begitu percaya diri, “Kita akan sanggup mengusir serdadu-serdadu itu dari sini. Senjata-senjata yang kita miliki lebih hebat daripada senjata mereka. Senjata yang mereka miliki cuma M-16 yang usang, bekas dipakai tentara Amerika di perang Vietnam. Sering macet. Hahaha….” Tawa Arkam disambut anak muda lainnya dengan sorak-sorai. Sepertinya mereka tidak ingin beranjak dari sana.

Tangan Leman bergetaran memegang gayung kopi saat ledakan tawa terjadi. Wajahnya pucat. Sepertinya dia ingin selekasnya mengusir tamu-tamu yang bersikap kurang beradab itu. Mereka menggelar pertunjukan senjata di kedainya tanpa izin.

Aku bersama belasan anak lain menunggu di luar kedai dengan menyandarkan perut di dinding dan dengan leluasa memandang ke dalam. Aku menjadi begitu kesal karena Leman tidak kunjung menyalakan televisinya. Setiap petang, tepatnya sehabis Asr, aku dan anak-anak akan menonton sebentar, sebelum Leman menghardik dan mengusir kami pulang  untuk mandi dan pergi mengaji. Menonton televisi saat petang adalah kesenangan tiada tara bagi anak-anak. Mungkin juga kesenangan bagi orang dewasa yang bebas menyaksikannya sampai larut malam.

Televisi 14 inci milik Leman adalah satu-satunya televisi yang ada di kampungku. Kedai ini selalu ramai dikunjungi orang-orang selepas Asr, ketika siaran televisi dimulai.

Petang itu, kami betul-betul kecewa dengan pameran senjata Arkam yang menyebabkan kami tidak bisa menonton televisi. Ada dua puluhan pemuda yang terus mengerumuni meja tempat dipamerkannya tiga pucuk senjata api berserta pelurunya itu. Saat itu Arkam seolah seorang pemimpin perjuangan paling hebat dan paling berkuasa di Aceh.

Tiga pemuda yang bertangan hampa itu adalah pengikut baru Arkam yang katanya kelak juga diberi senjata.

Seorang penduduk bertanya kepada pemuda yang tidak bersenjata itu saat Arkam selesai bicara, “Kenapa kau tidak memiliki senjata?”

Dengan rikuh pemuda ramping itu menjawab, “Sedang dikirim dari luar negeri.”

Untuk meyakinkan penduduk, Arkam yang mendengarkan perkataan itu, mengangguk tanpa senyum. Wajah Arkam tampak lelah, tetapi masih menegang. Dia menyesap kopi yang telah dingin, yang sedari tadi tidak sempat diminumnya. Hanya sekali sesap dan dia segera meminta Leman menyingkirkan dan menggantinya dengan kopi baru yang panas.

Leman cepat-cepat menyeduh kopi dan menghidangkannya. Sementara orang-orang masih memandang Arkam. Hanya sebagian kecil saja yang menyingkir meninggalkan kedai Leman.

“Sekarang pulanglah kalian ke rumah masing-masing!” perintah Arkam kepada orang-orang yang ada di dalam dan luar kedai.

***

Blood Moon over Aceh

Maya Denisa Saputra lahir pada tanggal 30 Juli 1990 di Denpasar, Bali, dan dibesarkan di pulau yang dijuluki Pulau Dewata tersebut. Maya melanjutkan pendidikan, dan meraih gelar Sarjana Akuntansi & Keuangan dari University of Bradford di Singapura, sebuah universitas yang memiliki kampus utama di Inggris. Maya kini bergabung di bagian keuangan perusahaan keluarganya.. Selain itu, Maya juga tetap meluangkan waktu untuk melakukan berbagai kegiatan yang disukainya, seperti menulis, menerjemahkan karya sastra dan fotografi.

Maya dapat dihubungi melalui alamat surel: maya.saputra@gmail.com.

 

 

 

 

 

Chapter 1

The Presence of Fighters

One evening in July of 1989, Leman’s coffee stall at Tamoun quickly filled with cheering villagers. The crowd suddenly fell quiet when my uncle, Arkam, started speaking. Arkam’s loud voice could be heard outside of Leman’s stall.

Drawn by the unusual activity, men and women, dressed in their dirty work clothes, kept coming to the stall. Meanwhile, the sun moved towards the western horizon. Its shape resembled a circle of light stuck between the buds of the candlenut trees. Half of the light poured onto the Tamoun market, casting long shadows on every object and a few people walking to Leman’s stall.

Arkam showed a piece of red cloth with a star-and-moon motif, which he referred to as a flag. That kind of flag had never been flown in Alue Rambe. I had heard that the Commander of the Pereulak Region, Ishak Daud, was the first person who raised that flag in one of the high schools in East Aceh.

Everyone silently paid attention to Arkam’s stern face.

Pacing in front of the crowd, Arkam continued his speech with fervor. His face tensed, and his arm showed bulging veins when he folded his fingers into a fist. He repeatedly touched his red cap — as if he wanted to take it off, but never did.

“We’ve been living under oppression for too long. We are being repressed and tyrannized. We can’t live like this any longer or we’ll be slaves forever. Where’s our dignity? All of us are dignified people. Our grandfathers were great fighters. We shall not fear. We must be brave and fight against this injustice and tyranny. Are you brave enough to fight against this cruel regime?” he shouted and shook his fist in the air.

“We are,” the crowd answered passionately.

The thundering voices were deafening.

Arkam kept talking. He reiterated the original reason for the uprising Hasan Tiro initiated thirteen years ago at the foot of the Pidie mountain. However, the army had destroyed these initial small attempts to rise against the unjust government. A lot of Hasan Tiro’s followers were shot, while the rest were detected by government agents and finally captured, kidnapped, and killed. Meanwhile, Hasan Tiro and a few of his followers fled overseas, seeking political asylum and international support.

During that period, the rebels were amassing power overseas. Some went underground for training in Libya. Others smuggled weapons to Aceh and buried them in the jungles or farmland.

They were the youths who believed they could rebel against the central government in Jakarta under the regime of Soeharto, who had already brought much suffering to his people. His oppression and injustice not only targeted the people of Aceh, it was also inflicted on many segments of our society.

How could it be possible for a nation rich in natural resources — including crude oil and natural gas — to be forced to live in poverty?

“Now it’s time for us to rise and fight. Take what is rightfully ours. We can live prosperously and in dignity by taking charge of our own land. Long live the fighters,” shouted Arkam. His face was tense and red.

“Long live the fighters,” the crowd answered, shaking their fists in the air. “Long live Aceh. Allahu Akbar. God is The Greatest.”

Arkam was Ibu‘s brother. At that time, my mother’s brother was in his thirties. After he stayed in Malaysia for six years, he joined a military training camp in Libya for another year. Now he was back, looking taller, his raised cheekbones accentuating his taut expression. His mustache was still thin. Apparently, he had developed a habit of wearing a red cap.

Arkam and his seven friends often wandered around the villages to solicit the villagers’ support and recruit new followers. Aside from Arkam, only two of these men were armed.  Two operated a handheld radio, and the other three were empty-handed.

They mostly wandered around the villages that were under Arkam’s command as Panglima Sagoe, a rank of an insurgency fighter in a sub-district. Alue Rambe, my village, was located in a remote mountain area of North Aceh, south of Lhokseumawe. Our village fell under Arkam’s jurisdiction.

The main road in the village was a gravel road. Passing motorcycles and delivery trucks created large dust clouds. However, in the rainy season, some parts of the road were flooded and became very slippery.

I was among those who congregated outside Leman’s stall. Mingling among the men, women, and children, I leaned on an open clapboard so I could see what was going on inside.

Men filled every seat on the benches. Those who did not get a seat leaned against the poles; others squatted on the bare ground. Two long-barreled guns and a revolver lay on the only empty table. It seemed those weapons were purposely put on display to fuel the crowd’s rebellion against the central government in Jakarta that mistreated the people of Aceh.

Arkam picked up an AK-47. Waving the gun at the crowd, he assured them that the weapon was made from metal, not wood or plastic. His friend held up another AK-47 and arrogantly loaded and unloaded it. Someone else held an Italian-made pistol and tried twirling the Beretta by placing his index finger inside the trigger loop. The gun did not rotate properly and almost fell. When Arkam glared at him, the man looked away.

I knew what the different kinds of weapons were because Arkam repeatedly explained each of their functions to the people surrounding him.

All that time, a muscular man stood guard beside the table. The young men among the crowd seemed reluctant to leave. They continued to stare at the weapons as if they were the world’s most magical objects. It was true that such objects had never been seen in this village.

Yasin had been looking silently at the guns. Without paying attention to Arkam’s explanations, he suddenly touched the AK-47 that had just been laid on the table.

Arkam immediately slapped Yasin’s hand, shocking him.

“This is a dangerous weapon. You can’t touch it,” Arkam snapped, alerting his three friends.

One of them pushed Yasin away from the table. Some rowdy youths moved towards the back of the stall.

Arkam continued his scolding. “Do you think this is a toy? Only after you join us and are trained to shoot, then you can hold it.”

Some people laughed and supported Arkam’s firm statement by nodding their heads.

Yasin’s face reddened. He seemed to be ashamed of his carelessness.

Arkam also boasted about his skill in long-range shooting. The rebels’ military training was better than that of the government’s army. Those soldiers were outfitted with used World War II weapons, which often had jammed barrels and an inaccurate sight mechanism.

Leman, the coffee stall owner, was mostly silent while faking a smile. More than half of the villagers had gathered around his coffee stall. Some of them crowded the shop; others loitered around it.

I was certain they did not come to drink coffee, but merely to take a closer look at the deadly firearms that Arkam and his friends had brought. Before this afternoon, the existence of weapons was only mentioned as a boast by people who dreamed about reaping the benefits of Aceh’s rich natural resources. In this country, there was no civilian who dared to touch such a thing, let alone have one at home. The punishment for illegal gun possession was the death penalty, or at least decades behind prison bars.

Some people in the coffee stall, especially the youth, were impassioned and seemed convinced that the resistance movement would be able to fight against the injustices of the central government. I saw a glint of worry on the faces of some older people who were present. They must have been worried about the dangers that currently lurked in the villages.

War never seemed to end in this land. There had been war ever since the arrival of the Portuguese, followed by the Dutch, the Japanese, and then the Communist Party and Darul Islam rebellions, and now the once-weakened Aceh resistance movement was on the rise again.

Meanwhile, Arkam’s friends and the young men in the crowd yelled curses about the government military, as if their enemy stood in front of them. Their frenzy irritated others, causing them to leave the scene and follow the women who had already left Leman’s stall to return home.

“Trust me!” Arkam’s roar silenced the stall.

Leman, who was filtering coffee, was caught holding a coffee can by its handle with one hand, while his other hand held the filter.

“Trust me.” Arkam repeated his words with great confidence. “We’ll be able to chase away those soldiers. Our weapons are far more powerful than theirs. They only use worn-out M16s that belonged to the American soldiers in the Vietnam War. The triggers are often jammed and won’t fire the bullets.” Arkam’s laughter was met by cheers of other passionate youth who didn’t seem to want to leave.

Leman turned pale and his hand holding the coffee can shook when the boisterous laughter broke out. He looked as if he wanted to drive out his rowdy visitors, who displayed guns in his stall without his permission.

Other kids and I were anxiously waiting for Leman to turn on his television. Leaning against the open clapboard, we stood outside the stall while looking inside the room. Every evening, after performing the Asr afternoon prayer, the other kids and I would watch television for a while, before Leman chased us away with shouts ordering us to take a shower and go to the Quran’s recitation class. Watching television in the evening was such a pleasure. It was an unmatched enjoyment for us children, and perhaps even for the adults who were free to watch it until late at night.

Leman’s fourteen-inch television was the only television in my village; hence, his stall was always crowded after the Asr prayer time, when the television broadcast began.

That evening, we were really disappointed. Arkam’s gun show had prevented us from watching television. About twenty young men remained seated around the table where the three firearms and their bullets were laid down. It was as if Arkam were the greatest and most powerful rebel leader in Aceh.

Three of Arkam’s new followers were unarmed. He said they’d be given weapons at a later time.

After Arkam finished talking, a villager asked one of the unarmed men, “Why don’t you carry a gun?”

The slim man answered awkwardly, “It’s on its way from abroad.”

In order to convince the villagers, Arkam, who apparently had overheard the conversation, nodded his head. He seemed tired and looked tense. He sipped the cooled coffee that he hadn’t had a chance to drink earlier. After just one sip, he quickly ordered Leman to take it away and replace it with a fresh, hot cup.

Leman quickly poured the coffee and served it.

Only a few people had left Leman’s stall. Most of them still hung around Arkam, who ordered everyone to go home.

***