Wigati Yektiningtyas-Modouw adalah perempuan Jawa yang tinggal di Jayapura sejak 1986. Dia dosen di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Cenderawasih. Selain menulis berbagai buku ilmiah dan makalah pada jurnal nasional dan internasional, dia juga rajin menulis cerita anak-anak dalam bahasa Indonesia, daerah Papua, dan Inggris. Tujuan penulisannya adalah sebagai upaya melestarikan pusaka budaya tanah Papua dan meningkatkan kemampuan baca, tulis, dan hitung anak Papua. Usahanya ini membuatnya dinobatkan sebagai salah satu Pegiat Literasi Terbaik Papua pada 2021. Menulis cerita pendek adalah dunia baru yang dirambahnya dan dilakukannya dengan penuh semangat sebagai salah satu usahanya mengenalkan alam, masyarakat, dan budaya Papua kepada dunia.
Kini dia berdiam bersama suami, James Modouw di Waena, Jayapura, yang dikelilingi perbukitan dan bersebelahan dengan Danau Sentani dan Laut Pasifik.
Wigati dapat dihubungi melalui wigati_y@yahoo.com.
*****
Matahari Selalu Melihat
Pagi itu aku terbangun karena kicauan puluhan burung merpati dan pipit yang bersahut-sahutan. Aku keluar dan menuju halaman rumahku. Terasa begitu damai. Samar aku mendengar gemercik Kali Koyabhu yang mengalir tidak jauh dari rumahku. Di sebelah barat Gunung Cyclop masih tertidur pulas berselimut kabut. Hutan kayu besi berjajar rapi di kakinya. Di sebelah timur sinar matahari mulai mengintip dari balik bukit di halaman belakang rumahku yang dipenuhi pepohonan mangga, rambutan, dan duku yang mulai berbunga. Benar-benar pagi yang sempurna.
Namun, kesempurnaan saat itu rusak ketika aku mendengar suara ribut dan pintu pagar kayuku yang dibuka dengan paksa. Ernes dan Ayub, adik sepupu suamiku, bertengkar dengan hebat. Aku dengan jelas mendengar Ayub membentak adiknya, “Ko tahu apa? Kau adik!”
Ernes yang tidak mau kalah membentak balik kakaknya, “Sa memang adik, tapi ko salah! Sa harus kasih ingat ko!” Aku menatap keduanya dan membiarkan mereka berbicara. Aku ingin menangkap apa yang mereka persengketakan.
“Ko tra ingatkah Bapak dulu bilang kalau kitong tra boleh jual tanah sembarang.” Ernes mengingatkan kakaknya bahwa mereka tidak diperbolehkan untuk menjual tanah tanpa tujuan pasti.
Ayub sepertinya tetap tidak bisa menerima nasihat adiknya. Aku bisa menangkap dari matanya bahwa kewibawaannya sebagai anak sulung terusik.
“Tanah itu kitong pu masa depan, ko memang tra bisa dengar sa!” Ernes tercekat menahan amarah dan tangisnya. “Ko jual tanah untuk apa?” Ernes melanjutkan.
Mendengar nasihat adiknya yang tidak diharapkannya, Ayub melangkah bergegas ke arah Ernes, mencengkeram lehernya, dan hendak mengayunkan tinjunya.
“Ayub, berhenti!” dengan bertolak pinggang aku berseru, “Pukul dia kalau ko bukan laki-laki!”
“Kakak, sa tra suka sekali Ernes bicara begitu,” Ayub membela diri. “Sa tersinggung,” lanjutnya.
“Dia yang mulai dulu, Kak,” sela Ernes yang tidak suka dengan tuduhan kakaknya.
“Kalian diam!” teriakku. “Pagi-pagi sudah bikin ribut,” lanjutku. Begitu keras teriakanku sehingga burung-burung yang bertengger di pohon-pohon cemara di sudut pagar terbang ke arah bukit di belakang rumah.
Ayub dan Ernes diam. Sebagai istri kepala suku, walaupun aku perempuan Jawa, aku sangat dihormati oleh masyarakat. Ada kepercayaan yang beredar bahwa pemangku adat adalah wakil dewa. Ada dua kata yang keluar dari mulutnya yang membuatnya amat disegani, onomi dan pelo. Berkat dan kutuk. Banyak yang percaya bahwa hak mengucapkan berkat dan kutuk juga melekat pada istrinya.
Tanpa bertanya lebih lanjut, aku sudah tahu apa yang diributkan oleh kedua kakak beradik itu. Sebagai istri kepala suku masyarakat Sentani, aku sudah terbiasa menghadapi pertikaian yang dialami oleh masyarakat. Suku Sentani sendiri merupakan salah satu dari 255 suku di Tanah Papua. Suku ini tersebar di wilayah pantai, gunung, dan lembah. Masyarakat Sentani berdiam di Jayapura, tepatnya di tepi Danau Sentani dan di pulau-pulaunya. Persoalan tanah adat, pertikaian suami-istri, pembayaran mas kawin, mengurus yung robhoni sudah menjadi makananku dan santapan suamiku setiap hari. Yung robhoni adalah suatu pembayaran adat bagi orang yang meninggal atas jasa baiknya. Sebagai kepala suku suamiku harus menyelesaikan persoalan-persoalan itu dengan bijak. Jika tidak, suamiku bisa saja jadi korban sungutan mereka.
***
Aku tidak bisa menyelesaikan masalah Ayub dan Ernes. “Masalah tanah di Sentani harus diselesaikan oleh pemangku adat,” aku menatap mereka satu-satu.
Ayub dan Ernes menunduk.
“Ayub, Ernes, sa pu suami sedang di Darwin, sa tra bisa bantu kalian dengan masalah kalian,” kataku melunak. “Mari kitong pergi ke rumah ondofolo,” lanjutku. Sebagai pemangku adat tertinggi, nasihat dan keputusan ondofolo akan menjadi pertimbangan terakhir yang harus diikuti. “Kalian tunggu di sini, Kakak ambil mobil dulu, ya,” perintahku.
“Baik, Kak. Kami tunggu di sini,” sahut mereka santun dan serempak. Aku puas dan bahagia karena telah memutuskan untuk membawa persoalan itu ke sang ondofolo dan mereka mematuhinya. Bahagiaku telah menghilangkan rasa laparku karena melewatkan sarapanku. Dalam perjalanan, Ayub dan Ernes diam. Aku tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan atau rencanakan.
“Ayub, Ernes, kalian itu kakak-adik yang hebat, pintar cari ikan, berburu. Kalian tra perlulah bertengkar seperti tadi,” kataku di belakang setir mobil memecah keheningan.
“Yo, Kak, terima kasih,” timpal Ernes.
“Kakak tidak bisa membantu kalian, mungkin sang ondofolo bisa bantu kalian,” jawabku lebih bersemangat. Aku melirik cermin mobilku untuk mengamati wajah keduanya. Lebih tenang tampaknya. Mudah-mudahan benar dugaanku.
***
Setelah satu jam perjalanan sampailah kami di rumah sang ondofolo. Aku menghentikan mobilku di bawah pohon beringin. Pagi itu pukul sembilan. Rumah besar sang ondofolo yang dikelilingi pohon pinus sebagai pagarnya tampak ramai. Aku melihat banyak anak-anak muda duduk di para-para di bawah pohon matoa. Sayup-sayup aku mendengar mereka melantunkan ehabla, salah satu lantunan lisan Sentani. Aku disambut senyum lebar istri sang ondofolo yang mempersilahkan kami masuk. Sambil menebar senyum kepada para pelantun, aku berjalan memasuki rumah ondofolo itu. Sayup aku mendengar lantunan mereka.
Yowen neiboi eleyande, Di kampung musyawarah diadakan
Igwanei yo kla holei kenane eleyande, Untuk memelihara hutan milik Kampung Igwa
Yamwen neiboi huweyande, Di kampung musyawarah diadakan
Raeinyei yam kla kayae kenane huweyande, Untuk memelihara hutan milik Kampung Raei
Secara samar aku menangkap bahwa lantunan itu mengisahkan masyarakat Sentani yang amat peduli akan hutan dan lingkungan mereka. Lantunan ehabla, ada nama kampung-kampung, memberiku pelajaran baru, batinku. Kami dipersilahkan istri sang ondofolo untuk menunggu di ruang tamu. “Duduk di sini dulu ya, sa akan panggil Bapak dulu,” katanya ramah. Kami bertiga duduk di kursi kayu yang terbuat dari kayu besi. Sambil menunggu, mataku menyapu ruang tamu yang cukup besar. Ruang tamu dibuat tanpa dinding. Tiang rumah tampak kokoh terbuat dari kayu besi yang tidak dicat. Tampak sangat alami. Pada sudut kiri berdiri tifa. Pegangannya diukir menyerupai ular naga. Dari penampilannya, tifa itu tampak sudah tua, kayunya yang dihias ukiran khas Sentani mulai terkelupas. Penutup tifa pada bagian atas terbuat dari soa-soa dan sudah sedikit robek pada pinggirnya. Seorang seniman pernah menjelaskan kepadaku bahwa soa-soa yang menyerupai biawak ini kulitnya sangat bagus digunakan sebagai penutup tifa. Bunyinya menjadi amat nyaring. Ular naga serupa tampak di lukisan kulit kayu yang dipajang di dinding yang memisahkan ruang tamu dan ruang utama rumah. Di atas punggung ular naga terlihat duduk beberapa orang sementara ular naga itu berenang di Danau Sentani.
“Kak, ular itu kitong pu kepercayaan di sini. Sa pu nenek cerita ular nagalah yang menyeberangkan masyarakat Sentani lama ke Pulau Asei ketika mereka pindah dari Sepik Timur, Papua New Guinea,” Ayub menjelaskan. Sepertinya dia tahu kalau aku penasaran tentang keberadaan ular naga itu.
“Menyeberang Danau Sentani?” tanyaku.
“Ya Kak, begitu sampai di tepi Danau Sentani, nenek moyang kami ingin menyeberang ke Pulau Asei, mereka ingin berdiam di sana,” terang Ernes.
“Apakah kalian tahu mengapa mereka memutuskan untuk tinggal di Pulau Asei, bukan pulau yang lain?” kejarku.
“Tidak, Kak,” jawab Ayub dan Ernes serempak. “Tidak pernah diceritakan juga oleh nenek moyang kami,” tambah Ayub.
Mungkin karena sudah kelelahan berjalan jauh mereka memutuskan untuk tinggal di sebuah pulau paling timur, pulau pertama yang mereka lihat. Mungkin mereka juga mempertimbangkan keamanan, aman dari serangan manusia lain dan binatang buas, aku menyimpulkan sendiri.
Aku menjadi paham mengapa masyarakat Sentani menjuluki Pulau Asei yang merupakan salah satu dari dua puluh dua pulau yang tersebar di Danau Sentani sebagai pulau tua. “Jadi Pulau Asei adalah pulau yang pertama kali dihuni nenek moyang kita?” tanyaku sekadar memeriksa pemahamanku.
“Kakak pintar,” puji Ayub.
Mendengar pujian Ayub aku tersenyum karena sepertinya suasana hatinya telah berubah. Di sudut kiri ruang tamu terdapat busur panah besar dan beberapa anak panah yang disusun rapi di dalam gentong keramik yang berhiaskan, lagi-lagi, ular naga. Anak-anak panah berukuran antara 80 cm–100 cm. Batang anak panah yang terbuat dari sejenis bambu hutan bergaris-tengah kira-kira dua cm ini, diukir sangat rinci dan rapi. Pada ujungnya terdapat kayu yang dibuat lancip yang juga diberi hiasan ukiran. Ketika aku ingin menyentuhnya, aku dengar Ayub berteriak cemas. “Kak, jangan sentuh barang itu!”
Aku kaget dengan teriakan Ayub. “Kenapa, Dik?” Suaraku agak bergetar karena kaget.
“Alat berburu itu milik laki-laki, tidak boleh disentuh perempuan bahkan oleh istri sang pemilik,” jawabnya tegas dengan mata yang penuh kekhawatiran karena aku hampir saja menyentuhnya. “Menurut kepercayaan, jika sampai alat berburu tersentuh perempuan walau tak sengaja sekalipun, nanti pemiliknya dapat sial,” lanjut Ayub.
“Kak, betul sekali, bukannya dapat babi hutan, tapi si pemburu malah bisa celaka dikejar babi hutan,” imbuh Ernes.
Ketika kami sedang membahas alat berburu, sang ondofolo keluar dari dalam rumah. Aku pun bergegas duduk sambil minta maaf telah berkeliling di ruang tamunya tanpa seizinnya. Beliau malah tampak merasa senang saat kami tertarik pada benda-benda yang ada di dalamnya dan membahas adat leluhurnya.
“Ade Ipar,” sapanya memanggilku. Aku dipanggil adik karena suamiku secara adat berkedudukan sebagai adik. “Alat berburu itu milik sa pu Bapak. Beliau adalah pemburu hebat yang tidak pernah pulang dengan tangan hampa. Paling tidak, beliau membawa seekor babi hutan yang besar.”
“Wah, dahsyat,” selaku. “Apakah beliau berburu seorang diri?” tanyaku ingin tahu.
“Biasanya ada yang menemani, satu atau dua orang. Mereka juga yang bantu bawa hasil buruan,” terangnya.
“Yang jelas Bapak selalu ditemani paling tidak dua ekor anjing pemburu yang hebat, yang membantu Bapak mudah mendapatkan hewan buruan,” lanjutnya penuh semangat. Sebagai orang kota, agak sulit aku membayangkan bagaimana berburu di hutan lebat yang masih dihuni hewan-hewan buas. Aku mencoba untuk bisa memahami kepercayaan yang melarang perempuan memegang alat berburu laki-laki supaya pemburu tidak celaka.
“Ade Ipar,” lanjut sang ondofolo membuyarkan pikiranku yang tiba-tiba menerawang lebatnya hutan yang dihuni berbagai hewan buas.
“Ya, Kakak Ondo,” tanggapku santun.
“Sa pu Bapak selalu membagi daging buruannya kepada masyarakat. Sebagai ondofolo, beliau tidak pernah mementingkan diri sendiri. Beliau tidak ingin ada masyarakat yang lapar,” terangnya membanggakan bapaknya.
“Sa pu Bapak bilang, Ondo pu Bapak adalah ondofolo yang hebat,” sela Ayub.
Aku jadi ingat penjelasan suamiku sekian tahun lalu bahwa ondofolo adalah jabatan adat Sentani yang diturunkan kepada anak laki-laki tertua. Demikian juga kepala suku.
“Ehm, adik-adik datang ada keperluan apa?” tanya sang ondofolo.
Aku sampai lupa tujuan utama kedatangan kami.
Ayub dan Ernes juga tampak sudah tidak tegang seperti ketika mereka datang ke rumahku.
“Aduh Kakak Ondo, sa minta maaf. Sa antar Ade Ayub dan Ade Ernes,” jawabku. “Dorang dua tadi pagi datang ke rumah. Mereka bertengkar tentang jual tanah apalah begitu,” terangku. Aku lihat wajah Ayub dan Ernes mulai panas lagi tetapi tidak bisa bertingkah banyak karena ada di depan orang yang disegani sekaligus ditakuti masyarakat.
“Begini, Kakak Ondo,” jawab Ayub dan Ernes bersamaan.
“Aduh, satu satulah bicaranya, sa pusing nanti!” kata sang ondofolo dengan wajah sabar disertai senyum khasnya.
“Ya sudah, Ayub dulu, ko kakak, bicaralah dulu,” sang ondofolo mempersilahkan Ayub bicara.
“Begini, Kakak Ondo, sa mo jual tanah di sebelah sa pu kebun yang dekat Hutan Ratha itu,” terang Ayub.
“Terus sa larang, Kakak Ondo,” sela Ernes. ”Terus dia marah sa, maki-maki lagi, dia bilang sa tra tau apa-apa,” kata Ernes seolah mencari pembelaan sang ondofolo.
“Aduh! kenapa kalian masih saja bertengkar tentang tanahkah? Harusnya kalian tahu, tanah tidak dijual sembarangan. Tanah di kitong pu adat itu milik ulayat, dikelola ondofolo yang dibantu oleh para kepala suku untuk kepentingan orang banyak,” terang sang ondofolo dengan sabar. Beberapa tahun yang lalu kitong lepaskan tanah untuk pembangunan bandara, pertokoan, dan perumahan di Sentani,” lanjutnya.
“Sepertinya sudah marak penjualan tanah di Sentani sejak tahun 1970an ya, Kakak Ondo?” aku menyela bertanya untuk mencari penjelasan lebih lanjut dari beliau.
“Begini, Ade Ipar,” sang ondofolo menghela nafas dan jeda cukup lama dengan mata menatap ke depan seperti sedang mengingat sesuatu. “Kita tidak punya banyak pilihan, ketika Jayapura ditetapkan menjadi ibukota Provinsi Papua pada tahun 1970an, banyak tanah yang harus kita lepaskan. Untuk pembangunan perkantoranlah, pertokoanlah, perumahan pendatanglah, sekolahlah, dll.
“Cara pelepasan pun tidak gampang karena tanah ulayat sifatnya, bukan milik perorangan. Jadi jika dilepaskan harus dipimpin ondofolo, disepakati para kepala suku dan masyarakat. Uangnya juga harus dibagi adil. Jika tidak, su tau to, akan ada pertikaian, permusuhan, dan sampai yang lebih parah lagi akibatnya,” lanjutnya. “Jadi tanah tidak bisa dijual secara perseorangan. Ondofolo pun tidak boleh menjual tanah tanpa alasan jelas.” Sang ondofolo meneruskan penjelasannya dengan penuh semangat.
“Kalau ondofolo atau seseorang menjual tanah sembarangan, apa akibatnya, Kakak Ondo?” Ayub mulai terpengaruh.
“Begini, Ayub,” jawab sang ondofolo kilat. “Tanah buat orang Sentani adalah sumber hidup. Kalau kitong jual, kita mau wariskan apa buat anak cucu kita? Kita justru harus merawatnya, bukan merusaknya dengan menjualnya kepada orang lain yang mungkin tidak menggunakannya dengan baik.”
“Kalau dia tetap keras kepala menjualnya, bagaimana, Kakak Ondo? sela Ernes penasaran.
“Orang Sentani percaya pada ungkapan yang mengatakan Hu Jokho Erele yang berarti dewa selalu melihat. Dulu sebelum agama datang kitong percaya pada dewa-dewi kan? Matahari dalam kepercayaan Sentani juga sering dianggap sebagai mata dewa. Dialah yang selalu mengawasi kita dan akan memberikan onomi untuk yang berbuat baik dan pelo untuk yang berbuat jahat,” sang ondofolo menjelaskan sambil membetulkan letak kacamatanya. “Sa tanya ko dulu,” kata sang ondofolo menatap Ayub. “Kalau ko lakukan sesuatu yang tidak boleh dilakukan itu benarkah?” tanyanya.
“Tra benar, Ondo,” jawab Ayub. Hatinya tampak ciut. Kepalanya tertunduk.
“Masih ingat seorang ondofolo dari Kampung Dobon yang setelah terima uang tanah milyaran rupiah meninggal pada malam harinya? Padahal dia tidak sakit sama sekali. Mengenaskan, bukan?” tanya sang ondofolo mengingatkan tentang akibat penjualan tanah yang kurang beres.
“Ya ingat, Ondo, kitong ingat,” Ayub dan Ernes menjawab serentak.
“Nah, tujuan penjualannya tepat, yaitu untuk pembangunan sebuah sekolah, tapi karena dia melanggar batas tanah yang bukan hak keondofoloannya itulah yang menyebabkan kematiannya,” sang ondofolo melanjutkan keterangannya. “Masih ingat seorang lelaki yang dibunuh di Bukit Isele?” tanyanya lagi. “Dia dibunuh oleh orang yang tidak puas akan pembagian uang hasil penjualan tanah. Kampung Khending dibakar oleh masyarakat Kampung Khabham pun karena masalah tanah. Seorang kepala suku di Kampung Ru sakit hampir selama hidupnya karena dia menjual tanah dan hasilnya dihamburkan untuk menyenangkan diri sendiri,” sang ondofolo menceritakan berbagai peristiwa pahit karena penjualan tanah. “Yang lebih parah adalah beberapa orang menjual tanah, dibayar dengan cara dicicil. Uangnya tidak bisa digunakan untuk membeli apa-apa. Uang tanah yang dibayarkan sedikit demi sedikit justru digunakan untuk membeli minuman keras. Uangnya habis juga dan orang itu kehilangan tanahnya yang biasa digunakannya untuk berkebun. Akhirnya dia tinggal di sepetak tanah. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia menjadi pembantu di rumah orang yang membeli tanahnya,” sang ondofolo mengakhiri kisahnya dengan nada sedih. Matanya menatap ke depan. Setelah sedikit jeda, dia melanjutkan “Hu Jokho Erele, Ayub! Ernes. Ingatlah bahwa matahari selalu melihat. Jadi walaupun luput dari pengetahuan manusia, tidak ada perbuatan seseorang yang luput dari perhatian Sang Kuasa,” terangnya.
Aku melihat Ayub tertunduk, kedua matanya basah, dadanya tampak naik-turun menahan tangisnya.
“Ondo, sa paham sekarang. Sa menyesal. Tadi sa baru berencana menjual tanah saja, sa sudah berkelahi dengan Ernes. Kami kehilangan kasih,” sesalnya. “Maafkan sa, Ondo, maafkan sa Ernes,” lanjutnya dan seketika itu juga Ayub memeluk adiknya. Mereka berpelukan sambil menangis.
Air mata haruku pun mengalir membasahi pipiku.
“Baik, tra apa, Ayub, Ernes, yang penting kalian sudah memahami akibat buruk jika kitong tra merawat tanah. Orang Sentani lama sangat menjaga alam: tanah, gunung, danau, hutan, sungai yang ada di lingkungan kita. Kepada alamlah kita mengandalkan hidup kita,” lanjut sang ondofolo bijak.
Tiba-tiba aku terusik dengan suara lantunan ehabla sehingga aku bertanya kepada sang ondofolo. “Kakak, dorang melantun ehabla, sedang latihan saja atau akan ada acara?” Aku penasaran mengapa mereka sudah melantun di rumah sang ondofolo pada pagi hari.
“Oh ya, Ade Ipar, betul sekali, mereka sudah datang dari pagi. Mereka mau isi acara peringatan Hari Lingkungan di Gunung Merah nanti,” jawab sang ondofolo.
“Oh pantas, tadi sa dengar mereka melantun tentang bagaimana harus merawat tanah, hutan,” aku menyela.
“Betul sekali, Ade Ipar, tanah, hutan, danau itu harus dirawat, dijaga. Kita tra boleh menebang pohon secara liar. Ada aturan dalam menebang pohon. Jangan membuang sampah di danau,” sang ondofolo menutup penjelasannya.
Aku lega, sepertinya masalah yang dihadapi oleh Ayub dan Ernes telah diselesaikan oleh sang ondofolo. Sebelum kami memohon diri, aku tekankan kepada kakak-beradik itu, “Jangan menyia-nyiakan alam anugerah Sang Kuasa.”
*****