Maut Dan Cinta (Bab 7)

Mochtar Lubis
7 Maret 1922 –  2 Juli 2004

Mochtar Lubis adalah salah satu sastrawan Indonesia yang tersohor di dunia sastra Indonesia. Beliau pun seorang wartawan bertaraf dunia yang sangat teguh memperjuangkan kemerdekaan dan meyakini persamaan hak bagi kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan.

Pada tahun 1952 beliau menerbitkan Times of Indonesia, koran berbahasa Inggris pertama di Indonesia. Lubis pernah menjadi penulis berita untuk United Nations selama perang Korea. Beliau juga dikenal sebagai penyunting surat kabar harian Indonesia Raya yang tidak pernah lepas menyuarakan kebenaran yang mengangkat kecurangan dan tindakan buruk yang dilakukan pejabat pemerintah.

Senja di Jakarta, menjadi karya terbaiknya yang dikenal di dunia barat dan diterbitkan di Inggris dengan judul Twilight in Jakarta (Hutchinson & Co. 1963). Karya itu dianggap sebagai novel Indonesia pertama yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris. Lubis mengerjakannya selama dalam tahanan rumah pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Perjuangan keras Lubis sebagai wartawan menghasilkan banyak penghargaan internasional baginya. Beliau adalah penulis Indonesia pertama yang mendapat penghargaan Ramon Magsaysay dari Philipina sebagai wartawan dan sastrawan pada tahun 1958. Pada tahun 2000, International Press Institute menganugerahi beliau dengan memasukkannya ke dalam daftar 50 World Press Freedom Heroes.

*****

 

Bab 7

Sadeli telah dua hari kembali ke Singapura. Umar Yunus telah kembali dari Sumatera, membawa muatan yang berharga. Kiriman senjata dan alat-alat radio telah sampai dengan selamat. Pelayaran tak diganggu oleh musuh. Tiga kapal gula telah masuk pula.
Sadeli merasa amat gembira. Penerbangan pertama David telah diaturnya dengan saksama. Dia telah melakukan hubungan radio rahasia dengan Kolonel Suroso. AURI telah dihubungi. Dia ingin ikut dengan penerbangan pertama. Tetapi Kolonel Suroso memerintahkannya supaya tetap tinggal di posnya dan menunggu perintah selanjutnya.

Kini dia hanya menunggu hingga penerbangan pertama berlangsung. Garis penerbangan yang telah mereka pilih adalah Bangkok – Singapura – Jambi -Lampung – Yogyakarta – menyusur pantai selatan Pulau Jawa. Dia akan mengirim Ali Nurdin ikut dengan penerbangan ini. Bukan saja untuk membawa laporan untuk Kolonel Suroso, tetapi agar dia dapat menuliskan pengalamannya untuk disiarkan.

Ali Nurdin mengusulkan untuk mengundang beberapa wartawan luar negeri ikut dalam penerbangan ini. Akan banyak manfaatnya bagi propaganda di luar negeri. Ia telah mengirim kawat minta persetujuan Yogyakarta. Muatan obat-obatan yang amat diperlukan di dalam negeri telah tersedia pula untuk diangkut dengan pesawat udara David Wayne. Dokter Banerji telah memberi bantuan obat-obatan. Malahan sebagian merupakan sumbangan dari penduduk India di Singapura.

Ali Nurdin telah bekerja amat baik. Perhatian dari bantuan masyarakat di Singapura dan Tanah Melayu pada revolusi Indonesia tambah meningkat. Warna Merah Putih amat populer.

Tinggal sebuah masalah yang belum diselesaikannya. Tindakan apa yang mesti diambil terhadap Umar Yunus. Dia telah memeriksa buku-buku Umar Yunus. Dan ternyata amat tak beres. Pembukuan dan pengeluaran uang kacau-balau. Menurut pemeriksaan yang telah dilakukan, terlihat kekurangan kira-kira setengah juta dollar Singapura.

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: http://obor.or.id/index.php?route=product/product&product_id=797&search=maut+dan+cinta

Love, Death And Revolution (Chapter 7)

Stefanny Irawan adalah seorang cerpenis dan penyunting serta penerjemah lepas. Kumpulan cerpen pertamanya yang berjudul Tidak Ada Kelinci di Bulan! diterbitkan pada tahun 2006. Dia sangat menyukai teater dan memperoleh gelar M.A. dalam bidang Arts Management di State University of New York (SUNY) at Buffalo dengan beasiswa Fulbright. Kini ia menjadi dosen tidak tetap di Universitas Kristen Petra, Surabaya, Indonesia.

Stefanny bisa dihubungi melalui stef.irawan@gmail.com

 

 

Chapter 7

It had been two days since Sadeli returned to Singapore. Umar Yunus returned from Sumatra bringing valuable cargo. The weapons and radio interceptors had reached their destination point safely. Also, three boats carrying sugar had docked in Singapore.

Sadeli was very happy. He had arranged David’s maiden flight with great care. He made secret radio contact with Colonel Suroso and contacted the Indonesian Air Force. He had wanted to join this flight, but Colonel Suroso ordered him to stay put and wait for the next order.

Now Sadeli was simply waiting for the maiden flight to take off. They had chosen Bangkok-Singapore-Jambi-Lampung-Yogyakarta as the route, and the plane would fly along Java’s southern coastline. Sadeli would send Ali Nurdin on the flight not just to carry a message for Colonel Suroso, but also to write an article for publication.

Ali Nurdin suggested inviting a couple of foreign journalists on the flight. It would be beneficial for their revolution in terms of international propaganda. Sadeli sent a telegram to Yogyakarta, asking for approval. A shipment of much-needed medicine was ready to be loaded on David’s airplane. Doctor Banerji had donated some medicine, and other Indians living in Singapore had also made contributions.
Ali Nurdin had done his job very well. Indonesia had the attention and support from people in Singapore and Malaya. The red and white colors of the Indonesian flag were very popular.

The only problem left for Sadeli was how to handle Umar Yunus’ case. Umar Yunus’ bookkeeping turned out to be inaccurate. Based on the audit, there was about half a million Singapore dollars missing. Since he returned from Sumatra, Umar Yunus seemed somewhat distracted and after Sadeli’s audit he became even tenser.

At first, Sadeli told Umar Yunus to return the half million dollars and in exchange he would ask Colonel Suroso not to prosecute him. Sadeli also suggested Umar Yunus resign from the intelligence service.

Umar Yunus had turned pale and said, “What will happen to me?
You’re so cruel.”

“In my opinion, this is the best way for all of us,” Sadeli said calmly and added, “Don’t forget, we’re still in the middle of a revolution. Under revolution law you will receive the death penalty.”

Umar Yunus’ face paled further. “How can I pay back half a million dollars?”

“You still have the florist, the car, and the house that are partly under your name and partly under Rita’s. You can sell all the jewelry you gave her.”

“No, not that,” Umar Yunus’ voice trembled, “Have mercy on Rita. I don’t have the heart to take things away from her. You don’t understand; you’ve never been in love. You’re cruel. You’re nothing but a tool of the revolution!”

Sadeli shrugged and said, “Think about it. Don’t be angry at me or even consider me an enemy. I’m just carrying out an order. Consider this: you’re having fun here using the revolution’s money while there are soldiers back home who have to die because of the lack of medical supplies. Who knows, if that money…”

“Stop!” Umar Yunus interrupted and covered his ears. “You’re mean. Didn’t I perform the task you gave me? Shouldn’t you take that into consideration? Haven’t I been loyal to the revolution since the Proclamation Day on August 17, 1945? I admit I made a mistake. Can’t the revolution forgive me? Are the revolution, Colonel Suroso, and you all heartless robots?”

“Our revolution is a revolution of freedom for all humans. The spirit of our revolution is love for mankind. I didn’t come with the order to kill you, did I? Didn’t I give you a way out?”

“You came and ruined my happiness. Believe me, I’ve never been as happy as I am with Rita. Will you destroy that? Does your duty allow you to destroy the lives of two people?”

Sadeli sighed. He wondered how he could make Umar Yunus understand his utmost responsibility. Since his experience in Bangkok with Sheila, Derek, David, and Pierre, Sadeli did not take human emotions lightly. Perhaps Umar Yunus did love Rita with the profound love between a man and woman that he had never felt. A love so great it appeared to have a Godly quality someone would die for. Sadeli wondered if he had the right to ruin such an exceptional love. He reasoned that if people found such kind of love, they needed to nurture and protect it, but he was unable to pinpoint the difference between this love and its surrogate.

Sadeli decided to be patient in dealing with Umar Yunus. He didn’t want this to become a scandal in Singapore. It would undoubtedly hurt Indonesia’s reputation and the Dutch would definitely use it for their propaganda. He couldn’t afford for that to happen. He warned Umar Yunus, “You’re still a captain in the Intelligence Service of the Indonesian Republic, and you must obey all orders given.”

Sadeli didn’t want to ask for new orders from Colonel Suroso regarding Umar Yunus. The colonel had given him full authority to take any necessary action.

When Umar Yunus asked for a week to think about everything, Sadeli agreed right away. He also needed time to think about his decision. He was not the cruel person Umar Yunus accused him of being, but he had a heavy responsibility, obligation, and trust to bear. He couldn’t let Umar Yunus off the hook for stealing that much money from the revolution. He asked himself if he should take Umar Yunus’ love for Rita and Rita’s life into consideration. His sense of responsibility toward the revolution told him not to.
The revolution for freedom was most important. Everything else had to give way to it. Personal interests, love, and happiness had to yield. It would be impossible to seize freedom without total dedication to the revolution. Umar Yunus had betrayed the revolution by putting his own happiness above the safety of the revolution and didn’t deserve any special consideration. Sadeli sighed. He now realized how difficult it was to find the right path.

He picked up the phone and asked for Inspector Hawkins’ office. He was happy to hear the inspector’s voice on the other end. “It’s Sadeli. I just came from Bangkok,” he said, “How are you? How are things here? What’s new?”

“Ah, welcome back! Your friends are very upset. They’ve been waiting for their flower delivery, but it never showed up. When can we meet for lunch? You know I owe you one.”

“Alright, I’ll call you tomorrow or the day after. I’ve been quite busy lately.”

“Okay, be careful. Someone had a bad experience a few nights ago and wants revenge.”

“Thank you and goodbye.” Sadeli put down the receiver and chuckled. The inspector undoubtedly referred to Tan Ciat Tong. He noted that Hawkins really knew everything that happened on this island. He had no concerns about dealing with Tan Ciat Tong, but was glad he wasn’t alone on this mission.

Ali Nurdin had done a good job and proved himself to be a talented intelligence agent. Sadeli had given him some intelligence training and told him to read books on the science of intelligence maneuvers. Ali’s unit, as small as it might be, operated efficiently. Now they could mobilize the dockworkers to hold a protest rally against the Dutch vessels at any time. With better funding, Sadeli hoped they would be able to boycott the Dutch ships one day.

Five days later, Sadeli received a coded telegram from Colonel Suroso ordering him to buy radio interceptors and weapons to be shipped to Riau. Considering its large population of Chinese people with questionable loyalty, the Republic wanted to reinforce the
intelligence unit and troops in that area. Moreover, the Riau Islands were very close to Singapore and played a significant role.

Colonel Suroso had ordered Sadeli to take the speedboat, check out the area, and report to Yogyakarta as soon as possible. Then he had to return to his post in Singapore and wait for the next order.

David Wayne and Pierre de Koonig would soon fly to Indonesia. Sadeli worked day and night on the preparation of the flight. He had to purchase the radio interceptors and weapons. He needed to buy the items from someone else, through a third party. He could ask a member of his organization to serve as the go-between and be on constant alert throughout the process. He had to always remember three things: safety, safety, safety.

After a few busy days passed, Sadeli realized Umar Yunus hadn’t shown up for days. When Sadeli phoned him he was told that Umar Yunus was not home. He was about to find out more about Umar Yunus’ strange behavior, when a wire from Bangkok arrived. Tomorrow at eleven – David. Sadeli put his concerns about Umar Yunus aside to focus his attention on the more pressing matter at hand.

Sadeli was so excited, he completely forgot about Umar Yunus. He told Ali Nurdin to get three foreign journalists ready for the trip: one from the International News Service, one from Reuters, and the other from the Associated Press. They also had to inform the local newspapers in Sumatra.

The next morning, long before eleven, Sadeli and Ali Nurdin were already at Changi airport, waiting. Soon, the three foreign journalists joined them. They were ready for the maiden flight.

At a little past eleven, the loudspeaker announced the Dakota plane from Lotus Flights Inc. was about to land. Sadeli’s heart pounded as he watched the yellowish-gray plane descend and make a smooth landing. Now the air connection with my country is established, Sadeli thought happily, as if the plane was actually his.

After David Wayne and Pierre de Koonig exited the immigration room, Sadeli couldn’t hold back his excitement and shook their hands vigorously. “You can just fly out after this. I’ll have the cargo loaded right away. And you have four passengers,” he said and introduced them to Ali Nurdin and the three journalists.

An hour later, the Dakota took off. “Godspeed,” Sadeli wished as the plane disappeared into the clouds.

***

Bekisar Merah (Bab 4)

Ahmad Tohari, penulis terkenal yang telah memenangkan banyak penghargaan, lahir pada 13 Juni, 1948, di Tinggarjaya, Banyumas, Jawa Tengah. Seorang anak keluarga petani yang besar, Ahmad membawa alam yang beliau cintai kemana pun beliau pergi saat mudanya. Beliau menyuarakan rasa cintanya ini dalam tulisannya yang kebanyakan menceritakan kehidupan di desa dan kebudayaannya. 
Ayahnya, seorang Muslim yang taat, mewariskan sikap hidupnya kepada Ahmad Tohari yang menganggap dirinya sebagai seorang penganut Islam yang maju dan terpelajar dan mendukung hukum Syariah sementara hidup damai dengan warga negara lain yang berasal dari keturunan dan kebudayaan yang berbeda.

Ahmad Tohari telah menghasilkan sebelas novel, dua kumpulan cerpen, dan beberapa tulisan sastra yang lain. Beliau menerima Hadiah Sastra Asia Tenggara, dan mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat. Beliau juga dikenal dan dikagumi sebagai wartawan dan penulis tetap untuk Suara Merdeka, surat kabar terkenal di Jawa Tengah, dan majalah Tempo.

Ahmad Tohari terkenal sebagai penulis karangan tigaserangkai, Ronggeng Dukuh Paruk. Karya ini telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, German dan Jepang. Cerita novel ini telah difilmkan oleh Shanty Harmain dengan judul Sang Penari. Tohari juga terkenal atas pengetahuannya mengenai seni Jawa. Saat ini beliau tinggal di daerah dekat kota Purwokerto, Kabupaten Banyumas di mana beliau ikut mengelola sebuah pondok pesantren dan menjadi penasihat Dinas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setempat.

*****

 

Bab 4

 

Lasi merasa tatapan tamu itu sekilas menyambar mata dan menyapu sekujur tubuhnya. Tetapi hanya sejenak. Detik berikut tamu itu sudah tersenyum seperti seorang guru tua sedang memuji muridnya yang pandai dan cantik. Senyum itu mencairkan kegugupan Lasi.

”Selamat sore, aku Pak Han,” salam Handarbeni. Senyumnya mengembang lagi.

”Selamat sore, Pak. Mari masuk.”

”Terima kasih. Tetapi nanti dulu. Aku mau bilang, Bu Lanting beruntung. Dia bilang punya anak angkat yang cantik. Kamulah orangnya?”

Lasi terkejut oleh pertanyaan yang sama sekali tidak diduganya. Wajah Lasi merona. Dan ia hanya bisa mengangguk kaku untuk menjawab pertanyaan itu. Dari cara Pak Han memandang Lasi sadar bahwa tamu itu adalah lelaki yang ingin melihat perempuan berkimono seperti yang dikatakan Bu Lanting. Lasi bertambah gagap. Tetapi Handarbeni malah senang. Ia menikmati kegagapan perempuan muda di depannya.  “Aku juga sudah tahu namamu. Lasi?”

Lasi mengangguk lagi. Dan menunduk. Bermain dengan jemari tangan yang kukunya bercat merah saga. Dan dengan sikap Lasi itu Handarbeni malah punya kesempatan lebih leluasa memandang bekisar yang akan dibelinya.

Bahkan Handarbeni tiba-tiba mendapat kesenangan aneh karena merasa menjadi kucing jantan yang sangat berpengalaman dan sedang berhadapan dengan tikus betina yang bodoh dan buta. Handarbeni amat menikmati kepuasan itu karena dia terlalu biasa menghadapi tikus-tikus berpengalaman tetapi malah selalu merangsang-rangsang ingin diterkam.

Atau Handarbeni sering merasa seperti disodori pisang yang sudah terkupas; tak ada sisi yang tersisa sebagai wilayah pemburuan atau tempat rahasia keperempuan masih tersimpan. Pisang-pisang yang kelewat matang yang kadang menyebalkan.

“Kamu sangat pantas dengan pakaian itu. Kudengar ayahmu memang orang Jepang?”

Lasi senyum tertahan. Tetapi lekuk pipinya malah jadi lebih indah. Entahlah, dulu di Karangsoga Lasi terlalu risi, bahkan jengkel, bila disebut rambon Jepang. Namun sekarang sebutan itu terdengar sejuk. Mungkin karena orang Karangsoga mengucapkan sebutan itu sebagai pelecehan sedangkan Bu Lanting, dan kini Pak Han, menyebutnya sebagai pujian?

Entahlah.

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://www.gramedia.com/products/conf-bekisar-merah?queryID=199ae324506b989788638bd9ea79d3f9

 

 

The Red Bekisar (Chapter 4)

Hayat Indriyatno is the managing editor of the Jakarta Globe, an English-language newspaper in Jakarta, having fallen into journalism quite by accident.

An engineer by training, he was born and raised in Tanzania, going to a school near the house where Roald Dahl once lived, and professes a special affection for the works of the world’s greatest children’s author. He went on to earn a degree in mechanical engineering at the University of Natal, Durban, in South Africa.

At age 24 Hayat decided to move to Indonesia, the land of his father’s birth, and was immediately smitten by the novelty of it all. A chance encounter led to a newspaper job, and another presented him with the opportunity to translate into English a book by the award-winning author Okky Madasari. He hasn’t looked back since.

At home, Hayat has a wife and three young children, for whom he has made the wisest investment any parent can make: a box set of Dahl.

*****

 

Chapter 4

Lasi  sensed him looking her over from head to toe but it only lasted a moment. A second later he smiled like an old teacher praising a clever and pretty student. His smile put Lasi at ease.

“Good afternoon. I’m Pak Han,” Handarbeni’s smile broadened.

“Good afternoon, Pak. Please come in.”

“Thank you, but let me first say, Mrs. Lanting is very fortunate. She told me she adopted a very beautiful young woman. Are you the one?”

Lasi was taken aback by the unexpected question. She blushed and nodded stiffly. She could tell from the way Handarbeni looked at her that he was the man who wanted to see her dressed in a kimono.

As Lasi grew more nervous, Handarbeni became more pleased. He enjoyed the nervousness of the young woman in front of him. “I also know your name. Lasi?”

Lasi fiddled with her fingers and their bright red nails. This gave Handarbeni a greater opportunity to look at the bekisar he was about to purchase.

Handarbeni derived a strange pleasure from feeling like a tomcat staring at a dumb, blind mouse. He relished the sensation because he so often had to deal with experienced mice that wanted to be caught. He had often felt like he was being handed a banana that had already been peeled; not a square inch had been left unexplored, and nothing of that womanly secret was left intact. Overripe bananas were terribly vexing.

“That kimono suits you very well. I heard your father was Japanese.”

Lasi smiled cautiously, which made her dimple more attractive. In Karangsoga, it made her uncomfortable, annoyed even, to be called part Japanese, but Handarbeni made his reference sound refreshing. Mrs. Lanting and Handarbeni used as a compliment what the people of Karangsoga used as an insult.

“Please come in, Pak,” Lasi said to ward off any more questions.

“Okay. Where’s the mistress?”

“She stepped out for a moment, and asked me to stand in for her until she returned.”

Handarbeni smiled and nodded understandingly. That old Mrs. Lanting really was slick, and for once Handarbeni was thankful. His expression grew more cheerful.

“In that case, come sit with me. I’m so used to coming here that I feel like your adopted mother’s brother. Relax, you’re a Jakartan now. You can’t be shy and Jakartan as well. You enjoy living in the city, don’t you?”

Lasi smiled and nodded. She assumed her guest expected that answer. Her thoughts drifted to Kanjat. Where would he be on his way home? 

Handarbeni lit a cigarette. “A lot of people from the country come to the city because life back there is hard. You’re more suited to city life.”

“Do you think so? I’m simple and uneducated.”

“Uneducated?”

“I only completed the village school.”

“Even so, you’re more suited to be a city person. Do you know why?”

Lasi shook her head.

Handarbeni’s laughter eased the tension, and Lasi relaxed.

“It’s because you shouldn’t work in fields under the hot sun, or carry a basket on your back. You’re worthy of being a mistress, living in a nice house, and have a car.”

“That’s right,” Mrs. Lanting cut in. She had stood behind the door for some time. “That’s right, no one can deny that Lasi deserves to be a mistress. Pak Han, do you have a suitor for her?”

“When we look for such a man, we’ll certainly find one. As educated people say, the finest things are always spoken for. Isn’t that right?”

“That’s right, Pak Han. The finest goods always sell quickly.”

Handarbeni and Mrs. Lanting laughed.

Lasi felt uncomfortable being praised so excessively as if she were an item for sale. “I’m sorry, Bu, I haven’t prepared any drinks. Pak Han kept me here in the living room.”

“Any man would want to spend time alone with you. Go on, then, fetch the drinks.”

It was quiet for a moment. Handarbeni took a drag of his cigarette and blew out the smoke. He leaned back in his seat, completely at ease. “I like your bekisar. She almost looks Japanese, except she’s taller. I’m convinced that when it comes to acquiring rare goods, you really are very good.”

“When you’re pleased, the compliments fly out of your mouth like moths in the rainy season.”

“That’s right. Thumbs up to you. How did you ever find such a fine bekisar?”

“There’s no need to mention the obvious. I’m not sure it’s a one hundred percent success. Your bekisar, Pak Han, walks like a country girl, all hurried and stiff. She’s very far from elegant. That’s something I’m working on.”

“Yes, I noticed, but you must understand I don’t want her to turn entirely into a city girl. I’d like her to retain a bit of country color.”

“You’re bored of the artificial look so many women in the city have. You want to indulge in her innocence.”

Handarbeni smiled. He stretched his legs and leaned his head back against the seat cushion.

“If only I could bring my bekisar home with me right now.” He laughed without changing his position.

“Don’t be like a little child with a new toy. We have a long way to go, Pak Han. I know Lasi very much wants to separate from her husband, but she isn’t divorced. That’s one problem. Second, we have to convince her to be your bekisar. That’s the most difficult part.”

“I’m aware of that. I’m also aware the human heart can be unpredictable. Clearly the whole business could get messy if the bekisar doesn’t want to go into the cage I’ve prepared in Slipi.”

“That’s why you need to be patient and wise. Patience is the key. I’ll also ask you to…”

Lasi returned with drinks and snacks, and her presence immediately ended the conversation. From the look on her face, Lasi was unaware that she was the subject.

“I ask for you not to be too pushy,” Mrs. Lanting resumed once Lasi had left the room again.

“I’m over sixty.”

“I know you have a lot of experience. What I mean is you should act passive but sweet. I’ll do the rest and herd the bekisar into your cage, and make sure she goes in willingly. To ensure a satisfactory outcome, Pak Han, you have to wait for two or three months. I have my doubts you’ll be able to comply with my request.”

Handarbeni chuckled and smiled.

“Don’t smile just yet. I have something else. From now on I expect you to take care of all the expenses of caring for the bekisar.”

“There’s no need to mention this because she’s already mine. Even before you asked, I was prepared to bear those costs. All that matters is a guarantee that you’ll succeed.”

“You trust me, don’t you?”

“You’ve proven yourself trustworthy so far.”

“Thank you. Just so you know, I already have the bekisar accustomed to everything from brushing her teeth to repairing her broken fingernails. She knows the names of her makeup items, and food and dishes. But I haven’t succeeded in convincing her that she’s no longer a country girl married to a tapper. She has low self-confidence and doesn’t quite believe in the advantages of her looks. Fortunately, the bekisar is smart. She catches on quickly to what I teach her.”

“Very well, Mrs. Lanting. I’ll leave her with you because I trust you. Call her so I can see her once more before I leave.”

“You’re leaving now?”

“I have business with a friend later this afternoon.”

Lasi entered the room in her red kimono. She blushed as Handarbeni flashed her a compliment in the form of a thumbs up and held out his hand.

“I’m glad you’re content living with Mrs. Lanting. What have you seen since you’ve been in Jakarta?”

Lasi bowed her head and twiddled her fingers.

“We haven’t seen all that much,” Mrs. Lanting said.

“Next time we’ll go out together. Would you like to see Ancol Beach or watch a movie at Hotel Indonesia?”

Lasi blushed.

“Pak Han, why don’t you invite us to your house for a visit?” Mrs. Lanting said.

“Oh, you’re right. I’d like it very much. Pick a time when I can expect you.”

“Certainly, we’ll let you know. Which house should we visit? I’m sure you want us to visit you at the new one you’ve just built in Slipi.”

Handarbeni laughed in agreement. His eyes twinkled as he nodded and smiled at Lasi.

*****

Tanah Tabu (Bab 8)

Anindita S Thayf memulai riwayat kerja sebagai penulis cerita pendek anak-anak. Kini, Anindita lebih dikenal sebagai penulis novel sastra. Novelnya yang berjudul Tanah Tabu (Gramedia 2009) mendapat predikat Pemenang I pada Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2008, diekori oleh karangan tiga serangkai Ular Tangga (Gramedia 2018)

Kini penulis tinggal di Blitar, Indonesia.

Anindita dapat dihubungi melalui bambu_merah@yahoo.com

 

 

Bab 8

 

Sebenarnya aku masih belum puas bermain bersama Yosi. Beberapa permainan mengasyikan belum sempat kami mainkan. Penyebabnya, teriakan kesal mace Helda sudah terdengar menyambar-nyambar telinga. Membuat wajah Yosi meringis, seolah jeweran tangan Ibunya itu sudah singgah di tempatnya yang biasa.

“Aku pulang dulu,” desisnya sangat enggan, menjauh dari arena permainan, sebelum kemudian melayangkan senyum pamit kepadaku sambil melambaikan tangan perpisahan untuk hari itu. Aku pun mengangguk pasrah. Berusaha tidak menghalangi langkahnya dengan kata-kata yang bisa membuat hari sahabatku itu semakin sedih. Sembari melepaskan ikatan karet gelang dari batang pohon pinang yang tumbuh lurus dekat pagar, kuantar kepergiannya dengan pandangan kasihan. Tentunya sangat berat bagi Yosi meninggalkan permainan lompat karet kami. Ia tinggal melakukan satu lompatan terakhir menuju kemenangan. Lompatan Merdeka. Tak hanya itu, aku pun tahu perasaan Yosi pastinya sama denganku. Kami masih ingin bermain lebih lama lagi. Setelah seminggu lebih terkurung dalam rumah karena ada perang yang pecah di jalan besar, bisa bermain kembali rasanya bagai sebuah mimpi yang mewujud nyata.

“Ada kabar gembira! Perang sudah berhenti. Berhenti karena korban yang mati sudah sama. Sepuluh orang dari Kelompok Atas, juga sepuluh dari Kelompok Bawah,” begitu pemberitahuan Mama Mote, lebih dikenal dengan nama Mama Pembawa Berita, yang datang kemarin. Ia muncul dengan sepasang mata yang bersinar di wajah yang sarat ekspresi. Senang, lega, sekaligus sengsara karena itu berarti kehadirannya tidak bakal dinantikan lagi.

Ketika itu, aku sedang bermain rumah-rumahan sendiri di kolong meja. Berpura-pura perang juga sedang terjadi di dunia khayalku, dengan pintu dan jendela rumah harus terus-menerus ditutup rapat, agar bahaya dari luar tetap di luar dan tidak masuk ke dalam, begitu pesan Mace. Aku pun sengaja mengurung diri di bawah meja. Terbentengi ujung-ujung kain taplak yang menjuntai kaku dan kotor di keempat sisinya. Aku tetap berdiam di situ hingga Mama Pembawa Berita datang, duduk di kursi kayu tepat di depanku, lalu mulai mengoceh dengan semangat yang menolak reda.

“Sekarang jalan besar sudah sepi. Semua mayat sudah dibawa pergi. Yang ada hanya genangan darah, anak panah, dan potongan kayu. Ada juga petugas yang dipasang buat jaga-jaga. Petugas yang membawa senjata api. Mereka bilang, orang-orang yang mati itu masih muda-muda semua oo….”

***

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gpu.id/book/89380/tanah-tabu

Daughter Of Papua (Chapter 8)

Stefanny Irawan adalah seorang cerpenis dan penyunting serta penerjemah lepas. Kumpulan cerpen pertamanya yang berjudul Tidak Ada Kelinci di Bulan! diterbitkan pada tahun 2006. Dia sangat menyukai teater dan memperoleh gelar M.A. dalam bidang Arts Management di State University of New York (SUNY) at Buffalo dengan beasiswa Fulbright. Kini ia menjadi dosen tidak tetap di Universitas Kristen Petra, Surabaya, Indonesia.

Stefanny bisa dihubungi melalui stef.irawan@gmail.com

 

 

Chapter 8

 

LEKSI

I want to play with Yosi longer. We have exciting games we haven’t played, but Mama Helda’s yelling is too loud to ignore.

Yosi cringes like she feels her mother pulling her ears. “I need to go.” She walks away, then smiles and waves goodbye.

I try not to stop my best friend with words that will only make her sadder. While I untie the rubber band string from the pinang tree by the fence, I give her a sorry look. It’s hard for her to leave our rubber skipping game. She was one jump away from winning the merdeka jump. More than that, I know Yosi shares my feeling. After being locked in the house for more than a week because of the war, being able to play outside again feels like a dream come true.

“Good news. The war is over. Both sides lost the same number of men, ten highlanders and ten lowlanders,” said Mama Mote, the mama messenger, when she came yesterday. She showed up with shiny eyes and mixed feelings: happy, relieved, and miserable at the same time because it meant that her visits wouldn’t be needed anymore.

I played house by myself under the table. Mace said we had to keep our doors and windows closed all the time to make sure the danger stayed outside, so I pretended that a war had also happened in my imaginary world. I hid under the table where the hanging ends of the stiff and dirty tablecloth protected me like walls of a castle. I stayed there until the mama messenger sat on a wooden chair in front of me and began to talk with nonstop excitement.

“The main street is empty and the corpses have been cleared. There are only blood pools, arrows, and wooden sticks on the ground. A few armed guards are in place just in case something happens. Those who died were still young.”
Mama Mote muttered to herself, saying she would go to the hospital to find out about the poor kids. Maybe she could help deliver the bad news to their family. She kept going until Mabel interrupted.

“Meanwhile, Papua lost another twenty brainless people. Brave but stupid men who were easily poisoned to kill their own brothers. They died so young over something so trivial. When will these people realize….”

Mama Mote answered Mabel with silence. From under the table, I saw her hand reaching down. She’d rather scratch the scabies on her calf until there were long white lines than comment on what Mabel said. But a reaction came from another direction in a form of a loud sigh. I turned my head and watched Mace’s feet with their cracked soles that reminded me of dry ground. The sound must have come from her. I knew her well enough that I could imagine how she frowned when worried. I never know why she behaves like that every time Mabel says things I can’t understand. She acted like Mabel had let out a big secret that would put us in danger if someone found out. I did the same when Yosi accidentally spilled our secret to Karel that I had found a treasure in the field. But usually, Mabel didn’t seem to care that much.

In the next minute, Mace stomped to the kitchen. She came back soon afterward and talked politely.

“Please have some pinang, Mama Mote.”

She tried to swallow her anger in front of her guest.

Just like how kids were not allowed to talk about any ghost or spirit they saw so as not to be possessed, the talk switched from war to the price of things. Mace gave her opinion that we should raise the price of pinang since other things were already getting more expensive. Meanwhile, I got bored playing alone and decided to end my imaginary war to go to Yosi’s house.

“Leksi, where are you going? Can’t you see that no one is out on the street?” Mace’s warning stopped me. My smile turned into a frown. I really wanted to play. I tried to sulk for a few seconds, hoping she would let me go outside. It didn’t work.

“You can play tomorrow. I’m sure Yosi isn’t allowed out today. Try to be patient, Leksi. Tomorrow you can play all you want until late.”

That’s what Mace promised me yesterday, but Mama Helda didn’t make the same promise to Yosi. I’m saying this because when we met again, Yosi had to make dinner for her family like she did every day.

“Leksi!” Yosi’s loud yell startled me, and woke me from my daydreaming. I saw her skinny figure near her porch. With one hand waving, Yosi mouthed words. She tried to send me a silent message from far away. Too bad I couldn’t understand what she said. Somehow, I was sure she made a promise to play together tomorrow. I answered her with a big grin. It was the right answer because I saw her start to smile. Her look of fear returned when Mama Helda’s yelling came thundering from inside the house, “Yosi, move it, or do you want me to hit you?”

***

I can’t wait to finish my class today. I think about which exciting games I’ll play with Yosi later. But when I get home and tell her the choice I made before the school bell rang, she tells me her mother won’t let her play. She has to take care of Kaye, her sick youngest brother.

“Kaye has a fever, Leksi. Mama told me to take care of him and not to leave the house, let alone play.”

I should have known. Kaye has shown signs of coming down with a fever since early morning. He was so cranky that I woke earlier than normal. His yelling made the roosters crow before they saw the sun. Dogs barked too. Meanwhile, Mabel washed our clothes by the well and guessed at the reason for Kaye’s painful crying.

“Was he beaten or did he fall? Or maybe accidentally squashed in the door?”

Before I leave for school, I see Yosi sweeping the yard. “Yosi, are we going to play later?”

“You bet, Leksi,” she answers. “You decide what game we’ll play.”

She doesn’t expect her mother to give her the duty of caring for her sick brother. When I ask about Kaye, she cheerfully says, “It’s just a fever, but my mama is taking care of him. She might not go to the field today.”

Kaye is only three but he acts like a giant baby. He cries and sulks too easily. Even Mama Helda can’t stand his crankiness.

Yosi is very patient and caring. She never pinches or scolds Kaye when he acts up. She talks to him, buys him candy when she has money, or lets him interrupt her game.

“We’ll play when Kaye is well. I’m sure his fever will be gone by tomorrow,” Yosi says before Kaye’s crying calls her back into the house.

I thought I would be angry all day because my plan to play with Yosi fell through, but that old woman came at the right moment. It was almost noon and I was very bored playing with dirt by myself.

Our guest was Mabel’s. She arrived from Biak. When they meet, the two old ladies shout greetings and hug with tears running down their cheeks for quite a while. Mabel introduces her as her oldest best friend, but the guest corrects her, saying that she is a relative who has gone without seeing Mabel for a long time. Her name is Mama Kori.

“This is my granddaughter. Leksi,” Mabel said, introducing me.

“Leksi? My, my, what a sweet girl. Really sweet.” She praises me in her warm voice and pinches me lovingly in the cheek. I give her my most perfect smile, a smile that gradually fades when she continues with a question to Mabel, “Is she Johanis’ daughter?”

“Yes. That’s her.”

“Oh, no wonder. She has his eyes. And his nose too.”

As she says this, I touch my eyes and nose. Are they like his? In what way? At this moment, I want to run to the mirror in the bedroom and see and enjoy what is alike in our faces — father’s and mine — the way Mama Kori says, because I have never seen his face. I find it really hard to leave the living room. I want to hear the many new things from our guest. I decide to check in the mirror later and stay on Mace’s lap. Mabel introduces her as Johanis’ wife.

“Lisbeth.” Mace says her name as she politely shakes our guest’s hand.

At noon, our house is more cheerful than usual. Not only does Mama Kori bring many souvenirs, she also has stories that make us laugh, although some of them surprise me.
Mama Kori tells about how naughty my father was as a child, including the time they had to take him to the clinic because a goose had pecked his butt. She makes Mabel blush when she tells the story of the charming young man who came to Mabel’s house every day, bringing her the harvest from his field.

“You know, Leksi, that young man was crazy about your Mabel. Back then she was the most beautiful of all. Nobody could compete with her.”

“Really?”

Mama Kori says like it’s just us: “Believe me, child.” She throws a glance at Mabel, who shouts in return.

“Ah, Kori. Come on, just stop this story.”

“No way, Annabel. Your granddaughter must know a little about her grandmother’s past.” She continues: “Just so you know, Leksi, before those wrinkles appeared, your Mabel glowed in beauty like you. Yes, just like you.”

Hearing that, my chest puffs proudly and I smile. Being praised like that by someone I just met was different from being praised by Mabel or Mace. My smile faded in the next second and it was gone completely when I thought about something.

“Mama Kori, will there be a young man coming here every day, bringing me the harvest from his field?”

Again, laughter fills our cramped house, right when Mace finishes placing lunch on the table. “Let us eat, Mama.”

“Thank you, Lisbeth.”

Pum shows up out of nowhere and Mama Kori recognizes him right away. “My goodness, Pum. Is that really you? Looks like we’ve both grown old.”

This day, lunch is a lot merrier than usual.

 

*****

Kei (Bab 8)

Erni Aladjai lahir di Desa Lipulalongo, desa penghasil cengkeh paling ujung Sulawesi Tengah. Dia adalah puteri sulung sepasang petani cengkeh: Hasarudin Aladjai dan Mardia Abd Karim. Erni menamatkan kuliahnya di jurusan Sastra Perancis, Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelum memutuskan menjadi penulis penuh waktu, dia sempat bekerja sebagai wartawan dan penyunting berita di Makassar.

Sejumlah karyanya baik berupa puisi, esai, cerpen, dan novelet dimuat di media setempat dan nasional. Cerita pendeknya Mariantje dan Pasangan Tua terbit ulang bersama terjemahannya di laman Dalang Publishing pada tahun 2014. Cerpen ini terbit pertama kali di koran Media Indonesia tanggal 21 April, 2013. “Sampo Soie Soe, Si Juru Masak” menjadi pemenang ketiga dalam Jakarta International Literary Festival (JILFest) Tahun 2012, dua noveletnya, Rumah Perahu dan Sebelum Hujan di Seasea menjadi pemenang ke-II dan pemenang ke-III dalam Sayembara Cerber Femina 2011. Di tahun yang sama, novelnya Kei meraih pemenang unggulan dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta.

Bukunya yang sudah terbit : Ning di Bawah Gerhana (Bumen Pustaka Emas, 2013) dan Kei (GagasMedia 2013). Pesan Cinta dari Hujan (Insist Press, 2010).

Erni dapat dihubungi di: erni_aladjai@yahoo.com

 

Bab 8

Langgur, Awal Mei 1999

Angin laut lebih gigil dari bulan-bulan kemarin. Di bibir Pantai Langgur, para lelaki tua dan pemuda berdiri berjejer. Suasana mencekam. Dari jauh, tiga buah sampan dengan nyala lentera meliuk-liuk menuju ke bibir Pantai Langgur.

“Semua siap siaga!” perintah Tinus — lelaki berumur 45 tahun itu adalah pembantu raja di bidang hukum dalam tatanan adat. Para lelaki menahan napas sejenak saat sampan-sampan itu mendekat. Semakin sampan mendekat, suara kecipak dayung mereka semakin terdengar jelas. Tiba-tiba salah satu dari mereka mengangkat lampu lenteranya dan berdiri.

“Oooii yaau ya…!” Sosok yang berteriak itu ternyata seorang perempuan berkerudung.

“Apakah kami bisa masuk, kami membawa makanan dan pakaian untuk keluarga kami yang mengungsi di situ,” ujar salah seorang di dalam perahu. Mereka datang membawakan bantuan makanan untuk saudara-saudara mereka yang mengungsi.

“Ya, saudaraku, kalian bisa masuk dengan aman,” seru Tinus.

Semua lega, ternyata mereka bukanlah para penyerang, bukan pula huin demuan — orang-orang penghasut kerusuhan. Tujuan mereka untuk mengguncang Maluku, tetapi di Kei, baik Islam atau Kristen, sama-sama tetaplah orang Kei.

Para lelaki mengantarkan tiga perempuan itu ke tenda pengungsian. Di sana mereka berpelukan dengan kerabat mereka.

“Kalian jangan sedih, tenang-tenang saja dulu. Kami yakin rusuh ini pasti berhenti. Dan kita bisa bersama lagi. Untuk sementara kami tak bisa lama-lama, kalian mengerti, kan? Ini hanya untuk sementara,” kata perempuan yang bersampan itu sembari menghapus air mata kakak kandungnya.

Kekerabatan orang Kei memang sangat kompleks. Banyak orang Islam menikah dengan orang Kristen. Jadi, jika sang nenek Islam, bisa jadi anak dan cucunya Kristen. Sang suami Kristen, bisa jadi istrinya Islam, atau jika sang kakak Islam, bisa jadi adiknya Kristen atau sepupunya Katolik. Karena itu juga, semua orang Kei bersaudara. Kompleksitas kekerabatan di Kei sama rumitnya dengan irama lagu Bohemian Rhapsody yang dilantunkan grup musik legendaris Queen.

Di hati orang Kei bersemayam snib — wasiat leluhur mereka, yang selalu mengajarkan untuk menjaga, melindungi dan menghormati kaum perempuan. Mereka akan dilindungi lelaki Kei di mana pun, siapa pun dia dan penganut agama apa pun. Pengiriman bantuan makanan yang dibawa tiga orang perempuan yang bersampan itu biasa di Kei, sebab perempuan tahu, mereka tak akan disakiti.

***

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gagasmedia.net/buku/k-e-i/

Kei (Chapter 8)

Nurhayat Indriyatno Muhamad adalah kepala penyunting harian umum berbahasa Inggris, Jakarta Globe yang terbit di Jakarta. Lahir dan dibesarkan di Tanzania. Dia mendapatkan gelar insinyur tekhnik mesin dari University of Natal, Durban, Afrika Selatan. Pada saat umur 24 tahun Hayat memutuskan untuk pindah ke Indonesia, tanah kelahiran ayahnya, dimana keputusannya itu seketika membuatnya tertarik dengan segala sesuatu yang ada di Indonesia.

Secara tak terduga nasib membawanya kepada pekerjaan di harian umum, hingga akhirnya dia mendapat kesempatan menerjemahkan sebuah buku karya penulis pemenang penghargaan Okki Madasari ke dalam bahasa Inggris. Sejak itu Hayat belum kembali melakukan kilas balik perjalanan hidupnya. Hayat penerjemah dari Kei (Gagas Media 2013), novel pemenang penghargaan karya Erni Aladjai yang diterjemahkan dengan judul sama dan diterbitkan oleh Dalang Publishing di tahun 2014.

Hayat dapat dihubungi di: hayat.indriyatno@yahoo.com

 

 

 

 

Chapter 8

Langgur, May 1999

The wind from the sea was colder than in previous months. Old and young men lined up on the beach. In the distance, a group of three rowboats lit by lanterns snaked their way closer to the shore.

“Everyone get ready.” At forty-five, Tinus was the tribal leader’s assistant for legal matters. The men held their breath as the rowboats approached. As they drew closer, the sound of the oars churning the water grew clearer. Someone in one of the boats held a lantern aloft and stood up.

“Hey, brothers, we are here,” shouted a woman wearing a jilbab.

“Can we come ashore? We have food and clothes for our families taking refuge here,” another person in the boat said.

“Yes, my brothers and sisters, you can come ashore,” Tinus called out.

Everyone was relieved. They were not attackers or people trying to instigate violence. The latter were out to destabilize Maluku, but on Kei, whether Muslim or Christian, everyone was still a Kei.

The men escorted three of the women from the rowboat to the refugee camp. Once there, they embraced their relatives. “Don’t be sad, just calm down. The conflict will end soon and we can be together again. We can’t do anything for now, do you understand? This is only temporary.” One of the women wiped the tears from her sister’s eyes.

The personal ties among the Kei people had always been complex. Many Muslims married Christians, so if a woman was a Muslim, her grandchild could very well be a Christian. A Christian husband could have a Muslim wife, and a Muslim’s sibling could be Protestant and their cousin Catholic. That was part of the reason why the Kei were brothers. Their relationships were as complex as the arrangement of the song “Bohemian Rhapsody” by Queen.

In the heart of the Kei lived snib — a sacred legacy of the ancestors to always guard, protect, and respect women. Kei men had to protect women everywhere, no matter who they were or what religion they followed. The bringing of food by the women in the rowboats was common in Kei. They knew they would never be hurt.

***

Long before the conflict came to the Kei islands, the people had built churches and mosques together. Catholics, Protestants, and Muslims alike joined in cheerfully. The Kei had a life philosophy: we are all eggs from the same fish and the same bird. Their traditions and tribal laws dated back to historic times, prevailing through the years and superseding all else, including religious doctrine.

When the conflict started in Ambon in January 1999, the Kei stayed calm and refused to take sides. Then on March 31, just before daybreak, violence erupted in Tual. The Kei people learned about it from television and radio reports after the sun had risen high in the sky. Most of them following the developments were convinced the conflict would never leap to the Kei islands. An imam at a mosque said: “The traditional laws of Kei come first. Only after that do people heed the Qur’an or the Bible. The last law we obey is the law of the State of Indonesia.”

The conflict was crueler than the angel of death. It spread quickly to the small villages and islands in the area, reaching Elaar and Watraan and other places.

As the conflict escalated, the tribal leaders and settlers — the Buginese, Javanese, Makassarese, Buton, and Chinese — gathered to talk about peace.

***

Namira was trying to calm two young boys at the refugee camp who were arguing and trying to snatch each other’s marbles when Sala came along carrying a pair of yellow flip-flops. He knew she had not worn footwear since he first met her, and did not want her stepping on any more glass shards. Since the night at Max’s house, Sala’s love for Namira had grown by the day. He abandoned his plan of leaving the Kei islands. He wanted the conflict to be over quickly so he could take Namira to Watraan. He wanted to marry her there.

Sala imagined that after a tiring day of forging knives, she would bring him a cup of tea and a plate of fried cassava. His daydreams were filled with the small pleasures of married life. He believed his mother’s soul would be at peace if he went back home and revived the metal shop.

Namira was all the encouragement he needed.

At lunch at the camp, Namira busied herself preparing Sala’s food. It became the talk of everyone working in the kitchen. The volunteers called her and Sala the Romeo and uliet of Langgur. It annoyed and pleased Namira.

“He’s a good man, Ra,” said Rohana. She was short and fat, with round cheeks, and always joking and cheerful.

Namira liked Rohana, and so did many of the other refugees. She told funny stories that made the others laugh as though the violence in Kei had never happened.

One day, the volunteers and social workers were upset because the food aid sent by the government had spoiled. The bread was moldy and the instant noodle packets were torn and infested with ants. Seeing the others upset, Rohana started to chatter.

“A young man named Lius went to the same food stall at lunchtime. One day he asked the woman owning the stall, ‘Aunty, what stew do you have?’

“The owner said, ‘Nail stew, Lius.’

“He ordered the nail stew. The next day he came again at lunchtime. He asked, ‘Aunty, what stew do you have?’

“The woman answered, ‘Bamboo stew, Lius.’

“Then Lius said, ‘Aunty, if this keeps up, tomorrow I’ll
shit a fence.’

”Another time, when the volunteers were gloomy because of news that the military had entered the conflict in Maluku, Rohana had another funny story to tell. She said that when people complain, things only get worse because the universe repays them with more grief. “So let go and laugh,” she said.

The story went like this: A child went home after he was scolded by his teacher at school and told his grandfather. The grandfather became angry and went to the school looking for the teacher. But when he arrived, the teacher had gone home. The grandfather became angrier and went to the teacher’s house. He rolled up his sleeves, revealing his tattoos. When he knocked on the teacher’s door, a soldier in full uniform answered. The soldier was the teacher’s husband. The grandfather suddenly turned coward.

The soldier asked, “Can I help you, pak?”

The grandfather answered, “I wanted to ask the teacher if there was community service at the school today.”

Rohana was endearing to Namira, Sala, other volunteers, and the refugees.

***

Sala touched Namira’s leg. She woke and rubbed her eyes.

“Sorry.” He felt bad waking her up before daybreak.

Namira rose and went to the well. She washed her face and tied her hair back while Sala waited for her. They walked to the ketapang tree and stood so close they formed a single silhouette. Moonlight seeped between the leaves and branches, and fell in a straight line across the ground. Sala pulled Namira into an embrace. He felt uneasy, yet wished he could spend all of his time showing her his love.

A moment later, they headed toward the road and the beach. They walked through patches of beach morning glory and gravel before they reached the white, wet sand. Namira brought a fish basket and Sala carried a set of oars. The village chief ’s boat was moored on the beach. It was used for fishing so there would be food for the refugees.

“I don’t have a good feeling about today. Maybe you should stay on land,” Namira said. Besides her premonition, she had a vision of corpses floating on the water and the fish nibbling on them. She shuddered to think people ate the same fish.

Namira looked at Sala, her intuition tied up in knots. She took the fish basket back out of the boat and Sala followed her.

Deep in his heart, he felt the same. Martina had told him that a woman’s intuition is stronger than a fortuneteller’s prediction.

***

“Not going out to sea today, pela?” a volunteer asked.

“No, Namira won’t let me.”

When the sun was directly overhead, the sound that had haunted everyone for the past two months returned. It was heard in Elaar, Watraan, and Ngursoin. The refugees scattered. Once again, there was crying and the noise of gunshots. A mob appeared from nowhere and surrounded Langgur, like “rats that suddenly appear from unknown holes, right at the eruption of war.”

These unknown rats came with machetes, spears, and arrows. This was the most sorrowful conflict of all — against one’s brothers.

A bomb exploded north of Langgur and shook the ground. It felt as though the village would split apart. The refugees ran every direction. Namira could only sit with her wet cheeks and cover her ears. The trauma she experienced in Elaar made her unable to move.

“Those goddamned police and soldiers. Where did these people get their guns if not from them?” One of the volunteers cursed aloud and added, “This is truly crazy.”

Langgur’s main street was divided. To the right were the local men and refugees, and to the left the attackers who barricaded the road. The parties threw rocks at each other and the attackers shot arrows that showered the other side like shooting stars.

The road was strewn with rocks. A food kiosk close to Max’s house caught fire. Three men lay still on the road. No one helped them. Sala broke through the blockade of men wearing red bandanas. Namira was left behind and hid with another volunteer beside a rusty barrel. A man wearing a red bandana pointed his spear at them.

Namira broke out in a cold sweat.

“Are you Muslim?” he asked.

Namira trembled. The volunteer next to her shut her eyes tight, ready to meet her barbaric end with dignity.

“Hey, pela, don’t you hurt those girls or you’ll get hurt yourself.” A voice like a tiger’s roar pierced Namira’s ears. Sala stood in front of the man with the red bandana. “I won’t fight you, pela. I don’t want to give those seeking bloodshed any reasons to cheer.”

Namira looked intently at Sala.

The volunteer babbled, “Oh, Allah, Jesus, Elohim, Hallelujah, Dalai Lama, gods of the sky, bring peace to Kei.”

Sala stepped up to the man with the spear.

“I’m the same as you, I have the same religion. But if we join in the slaughter, we’ll only satisfy those who want to see chaos in Maluku,” Sala said.

It was like a miracle. The man with the red bandana was quiet. He had only been paid to do something that he was reluctant to do. Sala pulled Namira by the arm. She collapsed in his embrace, sobbing. “Please find Esme,” she said between tears.

***

Black smoke blanketed Langgur and the other villages, resembling a flock of crows passing overhead. The stench of death was like the scent of frangipani at night. The refugees who were still alive fled in boats along with the women and children of the village. This time they headed to Evu.

Sala asked Namira to go there too. He had to remain in Langgur with the other men and protect the village. They planned to secure the public facilities so the village did not have the same fate as the one on the other island — it was best not to mention the name out of decency and horror. The well in that village, the people’s only source of fresh water, was filled with severed body parts. The stench was overwhelming.

The unrest had caused many horrors, stories of corpses without arms or legs, or heads or shoulders or chests. One report from an island to the south reached Langgur, about a gunnysack being found behind the mosque filled with the body of a man and swarming with fat maggots.

***

Namira gazed at Sala with tears in her eyes. She jumped out of the boat and hugged him, crying. Sala held her tight and stroked her hair. He shed a teardrop. It held sadness more profound than the most hysterical crying.

“Go, wait in Evu. Don’t worry. I’ll find you. The conflict will soon wear itself out. I love you.”

Sala peeled Namira’s arms from his waist and took her to the boat. Once on the water, sea foam lapped at its hull. A sea eagle soared in the sky above Langgur, returning to its nest. Below the bird were people without hope of being reunited with their families.

Namira stared at the yellow flip-flops on her feet. They looked like the sign of a long journey ahead of her.

Far away, Sala stood on the beach.

 

 

*****

 

Perempuan Kembang Jepun (Bab 4)

Lan Fang lahir di Banjarmasin, Kalimantan, pada tanggal 5 Maret 1970 dan meninggal dunia pada tanggal 25 Desember 2011. Dia adalah putri sulung dari keluarga pedagang  Gautama.
Sebagai lulusan jurusan hukum dari Universitas Surabaya, Lan Fang lebih memilih tujuan hidup sebagai seorang penulis. Novelnya, Lelakon memenangkan Penghargaan Kathulistiwa pada tahun 2008. Karya cerita pendeknya terbit di 20 Cerpen Terbaik Indonesia sebagai bagian dari Anugerah Sastra Pena Kencana (Pena Kencana Literary Awards) pada tahun 2008 dan 2009.

Pada tahun 2009 karyanya yang berjudul Ciuman di bawah Hujanterbit di harian Kompas sebagai cerita bersambung, dan pada tahun 2010 karyanya itu diterbitkan sebagai novel dengan judul yang sama.

Karya-karya Lan Fang yang diterbitkan Gramedia selain itu adalah:  Reinkarnasi (2003), Pai Yin (2004), Kembang Gunung Purei (2005), Laki-Laki yang Salah (2006), Yang Liu (2006), Perempuan Kembang Jepun (2006; cetak ulang 2012), Kota Tanpa Kelamin (2007),  Lelakon (2007).

Lan Fang yang dikenal sebagai penulis yang banyak menghasilkan karya, juga dikenal sebagai seorang dermawan yang sangat peduli terhadap lingkungan. Keyakinan itu tampak di dalam setiap karyanya, melalui peran serta sukarelanya membimbing kelas penulisan di sekolah-sekolah.

Penulis yang banyak menghasilkan karya ini meninggal pada usia 41 tahun akibat penyakit kanker yang dideritanya. Dia meninggal dunia di Singapore pada saat menjalani pengobatan. Kepergiannya yang begitu cepat merupakan kehilangan besar bagi dunia sastra Indonesia dan terutama bagi para pembacanya yang tersentuh melalui karyanya yang jujur dan menyentuh hati. 

***** 

 

Sujono

(Bab 4)

Sejak Hiroshima dan Nagasaki lebur karena bom atom Sekutu, kekalahan Jepang menjadi berita di mana­ mana. Aku mendengar dari radio, berita di koran, ataupun pengumuman yang ditempel di jalan, pemuda­ pemuda Indonesia langsung mengambil tindakan penting. Proklamasi kemerdekaan didengungkan, pemerintahan baru sesegera mungkin dibentuk, tentara-tentara Jepang dilucuti, instansi-instansi penting dikuasai, juga orang-orang Jepang dipulangkan dengan kapal laut. Mereka disuruh mendatakan diri. Sementara ini mereka dikumpulkan di penjara Kalisosok.

Suasana menjadi tidak menentu karena adanya peralihan kekuasaan.

Pagi itu aku sangat gelisah ketika tidak menemukan Matsumi di rumahnya. Halaman rumah tampak sepi. Tidak terlihat siapa pun, termasuk Karmi, pembantu Matsumi.

Perasaan tidak enak langsung menyergap hatiku. Matsumi tidak pernah meninggalkan rumah. Ia merasa canggung berkumpul dengan perempuan-perempuan Cina tetangganya walaupun di sini ia mengaku sebagai orang Cina. Ia tidak pernah ke pasar. Setiap hari Karmi-lah yang berbelanja ke pasar. Matsumi tidak pernah berjalan-jalan tanpa kudampingi. Ia selalu di rumah. Bermain dengan Kaguya, membuat orisuru sambil duduk di pinggir jendela, membiarkan sinar matahari menjilati kulitnya yang gading ⸺ kadang aku cemburu pada sinar matahari yang bisa setiap saat menjilati kulitnya ⸺ selain itu juga bercinta di bawah futon yang hangat denganku.

Aku mengenal Matsumi sebagai kembangnya kelab hiburan di Kembang Jepun. la kerap membeli kain di toko Babah Oen, toko orang Cina tempat aku bekerja. Selanjutnya, Babah Oen sering juga menyuruhku mengirim kain ke kelab tempat Matsumi bekerja. Aku jadi semakin sering melihat dan bertemu dengannya.

“Haiya … Kita lepot sedikit mengantal kain ke kelab tidak apa-apa. Dalam keadaan pelang sepelti ini, dagang sangat susah. Toko sepi. Untuk makan saja olang-olang pada susah, apalagi mau beli kain. Untung ada kesa-kesa (geisha-geisha) yang halus selalu  pakai  baju balu …,” begitu kata Babah Oen kalau menyuruhku mengantarkan kain.

***

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gpu.id/book/80265/perempuan-kembang-jepun

Potion And Paper Cranes (Chapter 4)

Elisabet Titik Murtisari lahir dan besar di Salatiga, Jawa Tengah – kota di mana dia betah tinggal karena masyarakatnya yang majemuk dengan latar belakang berbagai budaya dan karena sejarah penjajahan kolonialnya yang masih terlihat dari bangunan-bangunannya. Dia memperoleh gelar master dalam bidang Studi Penerjemahan dari Australian National University (ANU) dan Ph.D dalam bidang yang sama dari Monash University, Australia. Karena kecintaannya mengajar dan melakukan penelitihan riset, dia kembali ke Salatiga dan bekerja sebagai pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana. Dia menaruh minat antara lain dalam bidang penerjemahan – terutama penerjemahan karya sastra, budaya, sosiolinguistik dan pragmatik.

***

 

 

Sujono

(Chapter 4)

 

Surabaya 1943–1945

I am a bastard.

After the Allies dropped atom bombs on Hiroshima and Nagasaki, news of Japan’s defeat spread across the country by radio, newspapers, and announcements posted in the streets. Indonesian revolutionaries took immediate action. They proclaimed the country’s independence, started forming a new government, took control of important institutions, and disarmed the Japanese soldiers. Japanese citizens were required to register and interned at the Kalisosok Prison while waiting to be returned to their country by ship. What would happen next was uncertain because of the change of power.

That morning I was very anxious when I did not find Matsumi at her house. The yard was quiet. I could find no one, not even Karmi, Matsumi’s maid.

I was worried. Matsumi never left the house without me. Although she tried to be Chinese, she felt awkward among the Chinese women who lived in the neighborhood. That’s why she never went to the market. Karmi shopped for her. I always accompanied Matsumi when she went for a walk. Otherwise, she just stayed home, playing with Kaguya, making orisurus near the window, and letting the sunshine stroke her ivory skin. Sometimes I was jealous of the sun that could enjoy her skin all the time.

I met Matsumi as the star of a club in Kembang Jepun. She often bought cloth from the shop owned by Babah Oen, the Chinese merchant I worked for. Babah Oen sent me to the club to deliver the orders. That gave me the chance to see her more often.

“Aiya, it’s good to be a little bit busier. Business is very difficult with the war. The shop is quiet. Even to eat is hard now, let alone buy clothes. Luckily there are geishas who must always wear new dresses,” Babah Oen said, when he sent me on a delivery. The rise and fall of his Chinese pronunciation changed r’s into l’s.

I did not mind making deliveries to Hanada-san’s club. It was a task I looked forward to because it gave me the opportunity to see its most famous, charming woman.

Her name was Tjoa Kim Hwa and she was referred to as Golden Flower. At first, I thought she was Chinese like most of the women in the club. Only a few of them were Javanese. However, later it turned out that she was Japanese — her real name was Matsumi.

Rumors said she was once the most popular geisha in her country. This did not surprise me. Matsumi was a gorgeous woman and very seductive. She made men’s heart race with her smile. Her sideways glances left them breathless as they tried to control their passion. Their desire to make love to her was certain.

Matsumi had a fair and luminous oval face, with eyes not as narrow as those of many Japanese women. Her mouth was small, genuinely small, not shaped with lip rouge to look little. She had small straight teeth. I often peeked into her kimono’s sleeves and saw the ivory skin of her arms when she took the fabric order from me. She walked with fairly quick small steps and sometimes I saw the long deep curve above her heels under her kimono.

The Javanese said that a woman with such a curve gave extraordinary pleasure in bed, and Matsumi had such a heel. Another Javanese belief was that a woman’s skin should not be too fair because it would be dull, or too dark because it would be unattractive. Matsumi’s skin was ivory. Men like women with full lips that close into an attractively shaped mouth. Matsumi’s lips were perfectly shaped, and enticed men.

People call me a bastard, a bastard who likes “beautiful things.” I think that is normal. God gave man eyes to see beauty, and created the senses to enjoy pleasure. It is normal for a man to desire beauty and pleasure, and Matsumi had both.

I can’t deny I fell in love with her. I was in love with how she looked as well as the inner beauty she exuded. It was not an overstatement to say Matsumi was the perfect woman: she had a pretty face, a gracefully shaped body, and a fragrant scent. She was gentle, intelligent, and had a sense of art. She sang like a lark, cleverly arranged words into poetry, played the shamisen with her slim fingers dancing gracefully over the strings, and was skillful at serving people. She was very good at making men happy, spoiling them, and making them feel like a king in her presence.

I often watched her accompany guests at the club. I also saw her treat a guest to the bathing ritual in the ofuro at the back of the club, until they went to one of the rooms and disappeared behind its sliding door. I heard them talk for a while until their voices softened to whispers that turned into grunts, sighs, and finally an uncontrollable long whine.

The more I saw Matsumi the more I wanted to be with her. When I tried to look at her secretly, she caught me immediately and her melancholic eyes met with mine, arousing me.

Once I accidentally saw her soaking in the ofuro. I had to drop off her fabric order. That afternoon the club was still quiet; no one was at the front and I went straight to the back to make the delivery.

There I saw a naked body in the ofuro. She had a smooth ivory neck, shoulders, and back, so smooth a mosquito might slip when it landed. I held my breath and enjoyed the beautiful sight before me. She stood and left the tub, while I enjoyed another view of her heavenly perfect body: full, round, young breasts with a pink small nipple, small waist, flat stomach, curvy hips, and long legs. I did not allow my eyes to blink. I tried hard to control myself so I would not grab her naked body and pull her into one of the rooms.

Matsumi noticed me and was shocked. She stared at me, then scrambled for her kimono, threw it around her body, and ran soaking wet to her room.

Since then I was determined to sleep with her, like her other rich guests. I asked how much it cost to purchase her service. It turned out to be very expensive; I would have to fast for two years to save up enough. Also, she did not entertain just any guest, only high-ranking military officers and wealthy men.

In my desperation, one day, I stole money from Babah Oen’s shop. They found out and I was fired, but I did not care. I could get a job as a coolie anywhere.

Matsumi was surprised. She did not expect I was the guest waiting in her room, and turned awkward. I knew she was not used to serving a poor man like me. She did not know how to carry herself. She knew what to do with Shosho Kobayashi and other wealthy guests, how to make them happy and lead them to perfect satisfaction. She served those guests with the attributes that came with being the most desired geisha, but now she stood rigid and looked confused. With my desire raging, I took her into my arms. I held her tight before undressing her. After exploring her entire body with all my senses and savoring every inch, I finally went inside her.

At first her smooth, cool body tensed, but she soon started to warm. Her sweet breath blew on my ear, and soft sighs and whimpers passed her lips while her wriggling body eagerly met my movements. Watching her sigh with her eyes closed peaked my desire. Our bodies tensed for a moment before we turned limp in each other’s arms. I ended our game of passion with a long deep kiss.

I was completely satisfied.

***

My desire to have Matsumi entirely mine made me lose sight of everything else. I wanted to make her pregnant. I wanted to have a daughter as lovely as her, a child from her womb. I repeatedly told Matsumi my dream until she finally wanted the same thing. A woman’s destiny is to get pregnant and give birth. I talked her into changing her mind from never wanting a child to desiring one.

I wanted more than a child from Matsumi. I wanted her and her child. By having a child, she would be absolutely mine. Giving birth would change her beautiful body so she would no longer be able to work as a geisha. She would sleep and wake up beside me. How wonderful the days would be if my beloved Matsumi was the first thing I saw when I opened my eyes.

I may have been married and already had a child, but I did not care. My feelings toward Matsumi were incomparable to those I had toward my wife, Sulis.

Finally Matsumi became pregnant.

How happy I was when she told me that she was heavy with child. I kissed every part of her face until she gasped and her cheeks turned red. I was over the moon. Matsumi was mine alone.

Imagine my pride: I, Sujono, only a coolie, was the husband of Matsumi, the most desired woman in Kembang Jepun. Out of the many rich men who were crazy about her, she had chosen me.

I felt very different from the time Sulis told me about her pregnancy. Then I did not feel proud, glad, or happy. Instead, I was angry because she had used me, forcing me to marry her because she claimed to be having my child.

Sulis and I met shortly before we were married. She was a jamu peddler; many coolies along Gula Street often bought her potions.

Sulis was not pretty. Her skin was dark, her eyes big and defiant, and her lips thick. She also had big breasts and coarse black hair. But she was a flirt. She pouted when someone teased her and also liked to giggle. Maybe she did that to attract many customers.

I liked teasing her. I took advantage of her and owed her for jamu—a debt I never paid. I also liked touching her because she gave me the opportunity. She wore a low-cut kebaya, sometimes leaving one button undone so men could see her black bra. She also wore her kain high as if she wanted to show off her legs as she walked. She sat without keeping her knees together and tended to draw her legs apart. Her body language was vulgar and her eyes invited men to tease, touch, kiss, and sleep with her.

I was forced to marry her because she was pregnant.

The child in Matsumi’s womb was mine. I was an experienced man who could tell the difference between soulful lovemaking and the mere union between two sexual organs.

I asked Matsumi to leave Hanada-san’s club because I did not want to share her with other men. She obeyed me and left the club on Kembang Jepun, and gave birth to Kaguya for me.

She bought a house near Kapasan Street, owned by a Chinese and very large compared to my tiny room. It was even too big for Matsumi, Kaguya, and the maid. The windows and doors were always wide open. Sunlight entered the house freely and the air blew in and out through the shutters. The ceilings were high so the inside was cool. The yard was spacious, too.

“I used most of my savings to buy this house. We’ll have many children so we need one that is big enough,” she said.

Matsumi knew how difficult it was to live in a war-torn country. She knew I was poor, and many times unable to buy rice. So she bought things for Sulis, not only rice, but also eggs, vegetables, and fish. She knew I did not have a good education so I could not work in an office. She knew I was not an office worker, only a laborer doing rough work.

She understood I wanted to join the resistance movement. I often imagined myself in a military uniform carrying a rifle over my shoulder. I would stand boldly in a line with other soldiers, defending my motherland and claiming independence. That was what many of us dreamed of right then. With independence, we would be a dignified nation, not an oppressed people who worked as forced laborers under the Dutch and Japanese. We would have the right over our own country.

Slowly, military rank and medals would line up on my shoulders and arms. I would be like Sudirman. Wouldn’t that be something to be proud of rather than thickening my shoulders and arms from carrying Babah Oen’s textile rolls? With the line of medals I would have dignity, not only be a coolie who made Chinese people richer by working for them cheaply. Later, I would tell my children and grandchildren I was one of those who helped found this country.

***

The mood of Surabaya was uneasy.

The Japanese defeat had crippled the city. No one would go out on the street unless they were forced. Only soldiers walked the streets, Allies and Indonesians, and Japanese soldiers who had been arrested or surrendered. The marching steps of the soldiers made the streets dusty. People were afraid of getting searched while others chose to follow the news from the radio.

I did neither.

I spent days walking along the streets of Kembang Jepun, looking for Matsumi and Kaguya. I did not really know where I should go to find them. First, I went to Hanada-san’s club, but it was already closed and sealed. They had taken the owner to jail.

Without fear, I walked back and forth in front of the former Japanese military headquarters. I tried to peek inside, thinking Matsumi might have gone there. I did not see a glimpse of her. The building was cold, dark, gloomy, and seemed haunted. Too many people had died there, and turned into ghosts that roamed the building. People still heard screams and cries coming from inside, and shadows of headless bodies were seen moving back and forth in the dark. It was an evil building.

Matsumi could not have taken Kaguya there. I also asked her neighbors where they might have gone, but all I got were headshakes and doors shut in my face. Karmi, her maid, had gone God knows where. I felt as if I was searching for a needle in a haystack.

Everyone waited for the new government’s next step. What would Soekarno and Hatta do for the new republic? Meanwhile, what would I do with my life?

I was really desperate. I locked Matsumi’s house.

When despair and yearning tortured me, I would go to the house and sit inside. Nothing had changed. Through the large open windows the sun light still came in to warm the rooms. There were paper cranes piled on a table, the pretty little cups Matsumi used for the tea ceremony, a futon on the tatami, and several nicely folded kimonos. The fragrance of her powder had not left the house, although the dust piled up and spiders built their webs. The breeze coming into the house felt humid because the house was empty.

 

*****

 

 

Namaku Mata Hari (Bab 16)

12 Juli 1945 – 12 Desember 2022

Remy Sylado, seorang penulis kenamaan Indonesia telah meninggalkan kita semua pada tanggal 12 Desember 2022 lalu. Selain memiliki bakat musik yang besar, seniman dengan nama lengkap Yapi Panda Abdiel Tambayong ini juga cukup dikenal dalam dunia seni peran.

Dalang Publishing telah menerbitkan terjemahan salah satu karya terbaiknya yang berjudul Namaku Mata Hari (Gramedia, 2010). Terjemahan bahasa Inggris karya Dewi Anggraeni, My Name is Mata Hari telah diterbitkan oleh Dalang Publishing pada tahun 2012.
Kami sangat merasa terhormat dan bangga telah menjadi bagian kecil dari perjalanan karya dan sumbangsihnya yang luar biasa bagi dunia sastra Indonesia.

 

 

Bab 16

Aku merasa dikajeni di sanggar seni pinggir Kali Elo ini. Pemimpinnya sendiri merasa senang karena aku ikut-ikutan memanggilnya Mbah Kung.

Di sini aku diberi sebuah rumah kecil, berdinding papan, pas satu kamar, menghadap ke timur. Di depan rumah ini ada burung perkutut dalam sangkar gaya mataraman terbuat dari penjalin dan bambu, yang arang-arang manggungnya, tapi sekali manggung di latar bunyi gamelan, terdengar magis, tak cukup perbendaharaan kata dari pengalaman batin di usiaku yang begini muda untuk bisa menerangkan asrar kedalamannya.

Rencana yang sudah ada dalam pikiranku, adalah aku masih akan tinggal di sini sampai lusa, dan setelah itu aku belum menentukan ke mana arah langkahku. Satu dan lain hal, karena rasa-rasanya aku masih berminat memelihara marahku pada Ruud.

Selain itu, bicara soal lusa, rombongan kesenian pimpinan Mbah Kung ini pada hari itu akan mengisi acara pertunjukan di bawah Candi Borobudur untuk menyambut Sri Sultan Hamengkubuwono yang akan datang dari Ngayogyakarta Hadiningrat ke sini mengantar seorang tamu agung dari Batavia, J.Th.Cremer, mirip nama Menteri Urusan Koloni.

Mbah Kung memberi kesempatan kepadaku — mudah-mudahan aku sanggup melaksanakannya — menari berdua dengan Astri putrinya. Semua anggota mendukung. Itu membuat aku semakin percaya, bisa menyesuaikan diri sebagai bagian dari masyarakatnya. Di sini aku merasa benar-benar menjadi manusia, bukan bangsa. Kira-kira dengan perasaan ini, hubungannya pas dengan pandanganku sendiri selama ini, tentang keutamaan maknawi atas kata “kemanusiaan” ketimbang “kebangsaan.”

Lihat saja diriku. Siapa sebetulnya aku? Ayahku seorang Fries, dan dengannya, seperti semua orang yang berasal dari provinsi Friesland, tetap merasa bukan bagian dari bangsa Nederland. Kemudian anakku, dari perkawinan dengan orang Skot, harus disebut apa keorangannya? Orang Skot, sebagaimana umumnya mereka yang berasal dari wilayah Skotland, memang berbahasa Inggris, tapi mereka tidak merasa bagian dari bangsa Inggris. Lalu aku siapa pula, kalau ibuku berasal dari tanah tempat aku berdiri saat ini, daerah Borobudur, puser kebudayaan Jawa nan adiluhung. Jadi, tak ragu lagi, aku adalah manusia, dan aku sedang berada di tengah-tengah manusia.

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui: https://gpu.id/book/83865/namaku-mata-hari

My Name is Mata hari (Chapter 16)

Dewi Anggraeni lahir di Jakarta, Indonesia dan sekarang tinggal di Melbourne, Australia. Selain sebagai perwakilan majalah Tempo untuk Australia, beliau juga penulis dalam bahasa Indonesia dan Dia telah menulis delapan karya fiksi berupa novel, novela, dan cerpen serta lima karya non-fiksi dalam bidang sosial dan politik.

Novel terbarunya, Membongkar yang Terkubur, dan dua kumpulan cerpen dwi-bahasa, Yang Gaib dan Yang Kasat Mata/The Seen and the Unseen diterbitkan oleh Penerbit Ombak 2022.

Dewi Anggraeni: djuta2003@yahoo.com.au

 

 

 

Chapter Sixteen

In the arts community on the banks of the Elo River, I was welcome and appreciated. The leader showed how pleased he was that I also called him Mbah Kung, the same as the other villagers addressed him.

I was given a small hut for Norman John and myself. The east-facing cottage had wooden walls and one bedroom. A turtledove sang in a cage hanging on the front veranda. It occasionally sang when the gamelan was playing, creating a magical ambience that I was unable to describe. I thought of staying two more days, and after that I had nothing definite planned. I still hadn’t forgiven Ruud.

In two days Mbah Kung’s troupe was to perform at the foot of the Borobudur Temple as part of the ceremony welcoming Sri Sultan Hamengkubuwono, the Javanese king who would be visiting from his royal palace in Yogyakarta. He and his entourage were bringing a guest of honor from Batavia, Jacob Theodoor Cremer. The name struck me, as it was the same as that of the Dutch Minister for Colonial Affairs.

Mbah Kung agreed to let me perform a dance with his daughter, Astri. All the other members of the community supported his decision. This gave me the confidence I needed. I hoped I would not disappoint him.

I felt appreciated in this community under his leadership. At the same time, I was reinforced in my stance that humanity was above nationality or ethnicity.

In terms of myself, who was I? My father was born in Friesland, a Dutch province, yet never felt part of the Netherlands. And my son, issue of my marriage with a Scot, would I refer to him as a Scot, as if he were from Scotland? I thought about the Scots, English speakers, but not necessarily a part of England.

How did I refer to myself? My mother originated from the Borobudur region, the cradle of Javanese civilization. No doubt I was human, and lived among other humans.

The next day I had to perform for government officials. It would be a first for me. First experiences always excited me and drove me to keep going. I didn’t want to disgrace myself. I wanted to impress those important persons with my dance.

Mbah Kung told me, “Derive the spirit of the twin dance from the relief images on the walls of the Borobudur Temple.” I was intrigued by his enigmatic instruction and wondered which images he referred to.

That morning I rose before dawn. As soon as light came into our little house, I bathed Norman John, and prepared to go to the Borobudur Temple. Astri came to keep me company and help me find the images. Without her I wouldn’t have known where to search in such a big temple.

Astri took me to the main wall in the second gallery, the Gandavyuha, which had 128 panels. There I saw the image of two dancers with nothing covering their breasts on the right hand side, facing the lead dancer in the middle. I saw nothing irregular about the image.

Astri tried to explain it to me. She spoke in refined Javanese and at first I had difficulty understanding her. Luckily, she pointed to the clothing of the characters in the image and said, “Buddha.” She indicated the lead dancer, and said, “Hindu.”

“Oh, I understand,” I said. “This image is a bit strange because in this Buddhist temple there’s a character wearing a brahmana attire. Is that it?”

“Yes, yes,” she said.

At last we found the image referred to by Mbah Kung. We studied it to draw inspiration for our dance. The image depicted the two dancers tilting their heads slightly upward and to the right. Their right arms lifted with elbows the same height as their chins and the forearms slanted lower, while their left arms extended forward and touched the knees elevated to the height parallel with their breasts.

This was a still stance. Now we had to define the movement prior and following this stance. Combining our imagination we developed the whole, continuous dance, merging body and soul to create beautiful art.

I should have been thinking about the king from Yogyakarta, but instead I concentrated on the official from Batavia. I wanted to know what he looked like. In the end, I was determined to impress the entire audience. Yet I was also aware that what was important was not the quality of the performance, but whether the performers were good looking, and whether they would be willing to be seduced and used. This was conventional practice, Mbah Kung said.

Being away from home the officers and officials took advantage of the situation and requested that their subordinates supply them with live bolster pillows to make their beds more comfortable.

Mbah Kung’s information intrigued me greatly and I wanted to meet such a person. He also said, “All high-ranking officials have two ta-s on their minds: wani-ta, women, and har-ta, wealth.”

“What do you mean?” I asked.

Mbah Kung explained, “Women are easily tempted by wealth. Understandably, officials are aware of this and take advantage of it.”

How interesting. I knew that an official’s wealth was usually obtained through corrupt practice. The Dutch East India Company was falling because of rampant corruption and the wealth gained from the corruption was used for high living with women. So much for adults and their world. A child’s world is far better.

The following morning I saw the children of the community play a singing game. I watched and listened. The words sounded simple, but contained advice to take life as it was presented because even in the luckiest situation, one still has to overcome obstacles before reaching a goal. And occasionally, despite of one’s efforts, one would still fail.

Chapter Seventeen

I mused about the important gentlemen coming to Borobudur. What would they look like? Would they have moustaches? Would the tallest gentleman be bald? The thought of a bald man made me yawn with boredom.

Luckily, Jacob Theodoor Cremer had a full head of hair. He was neither young nor old. His overall appearance and demeanor reminded me of the Jewish people in Amsterdam who often assessed a situation by its prospects of bringing a profit or a loss.

Three other European gentlemen positioned themselves around Cremer as they toured the different levels of the Borobudur Temple while Sri Sultan Hamengkubuwono waited at the ground level.

Cremer’s visit was part of the endeavor to promote the temple as an extraordinary monument that every enlightened European should see. Having completed the tour, Cremer joined the Jogjakarta king to watch the performance. The sun had set and light came from the strategically positioned torches around the field

Someone walked to the front and delivered a speech welcoming the guests of honor. It was very flattering, and he obviously thought he was following the correct protocol. Finally the time came for Astri and I to dance.

As I expected, Cremer sent one of his guards to see me after we finished. A Limburg-accented Dutch guard invited me to see Cremer.

I remembered Mbah Kung talking about the two ta-s when Cremer spoke to me. As we talked, Cremer kept sneaking a look at my breasts. “You are very good at Javanese dancing,” he said.

I smiled modestly, aware he was an official of the colonial administration.

“Where are you from?”

I answered, “I live in Ambarawa,” knowing that was not what he expected to hear.

“I mean, where in Holland?”

“I was born in Leeuwarden.”

“Hm, Friesland?”

“Yes.”

“I once bought a hat in Leeuwarden.”

“The manufacturer has long gone bankrupt.”

“How do you know?”

“The business belonged to my father.”

“Heavens. Small world.”

I laughed awkwardly, hoping I didn’t come across like a fool.

Cremer quickly continued. “What is your name?”

I answered, “Mrs. MacLeod.”

He looked serious. “Oh? Your husband is English?”

“Scottish.”

“So where is Mr. MacLeod?”

“At this moment it does not concern me.”

Cremer’s face relaxed. “You have problems with your husband?”

I didn’t answer, knowing he would keep asking and I was right.

“What happened?”

I decided to challenge him. I said, “Even if I told you, there is nothing
you can do to help.”

Cremer held my hands. For a moment I thought he was being fatherly, albeit with doubtful sincerity, because he also moved closer to my breasts. A certain tension in his hands made me nervous.

“Why not? I am ready to help. What happened?”

“Common domestic problem. He’s old. I’m young.”

“I see, I see,” Cremer said in the manner of a marriage counselor. “This is a serious problem. You are still excited about life, while your husband is already aging.”

I expected him to have dirty thoughts. “That’s not the problem, Mr. Cremer.”

“What is it then? Tell me, and I will help.”

“I would like my husband transferred away from Ambarawa.”

“Who is your husband?”

After I told him, he said as if it was an easy matter, “Where do you want him moved? To Batavia?”

“I leave that to you, Mr. Cremer.”

“I will make the arrangements. In the meantime, I would like to contact you directly. Please write down your address and your maiden name. What is your maiden name?”

“Margaretha Geertruida Zelle.”

“Hm. Yes, of course. Zelle was the brand of the hat. If you move to Batavia, you must work for me.”

“Thank you, Mr. Cremer.” I started to leave.

“Wait,” said Cremer.

I stopped and turned around. “Yes, Mr. Cremer?”

Cremer pulled my hand toward him, placed an arm around the small of my back, and kissed my cheeks, the Dutch way, left, right, then left again. With his arm around my waist, he looked at my breasts and asked, “Are you pregnant?”

A little embarrassed, I replied, ‘Yes, going on three months.”

He moved his hand to my shoulder and said, “Take it easy with your dancing.”

“Yes, Mr. Cremer.” Very Dutch-like, I didn’t show any emotion.

I heard Norman John cry in the distance. Mbah Koeng’s wife had carried him the entire evening.

Chapter Eighteen

I made a point of not going home to Ambarawa until I felt ready. After what had happened with Ruud, I was emotionally distant from him. I did not miss him in the least. I intentionally stayed with the community near the Elo River. While enjoying the fertile land and the peace with nature, I quietly hoped I would also be able to commune with my mother’s ancestral spirit. I was convinced that by now Ruud would be panicking in Ambarawa.

When I returned after a week, Officer van Donck’s wife reported that Ruud had been looking for me everywhere. He had even consulted a hermit who lived on the slope of Mount Ungaran, known as René du Bois. Mrs. van Donck told me that René had tried to find my whereabouts in a pack of cards.

René was a Frenchman who had come to Java twenty years ago as a Dutch officer, posted in Salatiga. The story went that René had come with another French man, Arthur Rimbaud, who was known in his country as a poet. I tended to believe the story because on the table in our house I had found several sheets of paper with Arthur Rimbaud’s poetry. One poem in particular interested me. It was handwritten, titled Départ, and talked about the poet’s satisfaction with the life he lived and his readiness to continue.

I had just picked up the next sheet of paper when Ruud appeared. He startled me with his braying voice.

“Margaretha, darling,” he exclaimed, rushing to hug Norman John and me. “Where on earth have you been?”

I didn’t answer. It was a long story I was not ready to tell.

Ruud showered me with kisses starting on the cheeks to the tips of my fingers. “Oh, darling,” he said, “I was so worried about you and Norman.”

Chapter Nineteen

A Malay proverb says, “Light always comes after dark.” Maybe I could rebuild our relationship from the ruins created when Ruud told me about his idea to bed Nyai Kidhal.

However this was not easy. I wasn’t sure if he had retracted the proposition and was prepared to mend our relationship. I still fretted about him never having said, “sorry,” despite his understanding of the word.

However he never said anything. Maybe he wouldn’t. Maybe he couldn’t. In any case, his apology meant nothing if he went on with his crazy idea, nothing but a futile exercise. Oh, why was I so complicated?

Little by little, I learned more about my husband. He was a difficult person to live with. His brain worked like a tangled spool of rough black rope, the kind used to bring up pails of water from the well and blistered my hands. I was left with the unresolved hurt.

I had to admit that during the next five days Ruud treated me with the devotion of a slave toward his sovereign. His behavior after my weeklong absence was more absurd than that of a crazed lover who tried to pluck a star from the heavens for his beloved’s earring.

This bothered me. It was so unusual I expected to see a change any time. Deep down I still waited to hear him say “sorry” for causing me so much hurt. When this never happened, I was very disappointed. Could it be our relationship was the same as it had been in Amsterdam? I felt victorious, but not peaceful.

I assessed a man’s masculinity by his ability to admit to his wife that he was wrong, and apologize.

That night, after putting Norman John to bed, I went to sit on the front verandah. Ruud joined me and put his arm around my shoulders.

Elated, I gazed at the blue sky, but I couldn’t find real peace of mind. Was I too hard to please?

Ruud whispered sweet endearments to me. I was flattered he made the effort. Unfortunately, flattering words only last as long as the scent of a flower. They did not represent the essence of a person’s soul. Had he really abandoned the idea of bedding Nyai Kidhal?

Stroking my belly, Ruud said, “I hope this baby is going to be a girl as pretty as her mother. I’ll be very proud to be her father.” He continued pensively, “Perhaps I’ve not taken fatherhood seriously, but now love has revealed to me the magnitude of being a father to two children.”

I did not respond. I suspected that this idyllic scene was not going to last.

Ruud picked up my hand and kissed my fingers. “What name will we give our child this time?” he asked, still caressing my belly.

“You don’t find many people called Hercules,” I joked, trying to hold on to the constructive atmosphere.

He laughed. “What if it’s a girl?”

“I like Pertiwi.”

“What kind of a name is that?”

“In the West people think of their country as masculine; they call it fatherland. Here in the East, people attribute motherhood to their country, pertiwi.”

“You like that name?”

“Yes, I do.”

“I don’t.”

“Then why did you ask me?”

Ruud may not have been able to see my face in the dark, but if he had any sensibility at all, he should have known I was irritated.

He hastened to kiss my cheek and patted me on the back as if to calm me. And then a miracle happened. He said, “Sorry, darling.”

I turned to him, my mouth gaping. I was speechless.

Ruud didn’t understand my reaction. He waved his hand before my face. “What happened to you?”

I was so happy I grabbed him and kissed him. Crushing him in my embrace, I forgot all my hurt and suspicions. If the sky can produce a full moon, I can find happiness in the future. I’m convinced that love derives from passion. I said, “I’m tired, Ruud.”

He took my hand and we went to bed.

I thought, he loves me.

 

*****

Peringatan Sepuluh Tahun Dalang Publishing

Dari Sabang sampai Merauke

Sebagai rangkaian perayaan 10 tahun sekaligus peluncuran buku kumpulan cerpen dwi bahasa Footprints/Tapak Tilas, Dalang Publishing menyelenggarakan acara yang bertajuk From Sabang to Merauke / Dari Sabang ke Merauke. Acara ini berlangsung dari tanggal 18 Januari sampai 10 Juni 2023. Dalam acara-acara itu Dalang dan beberapa universitas mengadakan kerja sama penyelenggaraan “perbincangan sastra” di enam wilayah kepulauan Indonesia.

Tujuan awal kami adalah mengunjungi beberapa daerah kepulauan tempat terjadinya kisah dan memperkenalkan  cerita terpilih dari buku kumpulan cerpen Footprints / Tapak Tilas melalui acara daring Zoom. Perkembangan yang kemudian muncul adalah terjadinya pembicaraan diantara penulis, penerjemah dan beberapa peserta yang hadir.  Pembahasan juga mengarah kepada pemberian semangat dan dorongan bagi penulis-penulis daerah setempat agar berani mengajukan karya tulis mereka yang belum pernah diterbitkan.

Kami ajak Anda sekalian untuk mengikuti rekaman acara From Sabang to Merauke / Dari Sabang ke Merauke dari 6 wilayah di Indonesia itu melalui tautan berikut: https://sites.google.com/view/bincangsastra-ind/beranda

SUMATRA – KALIMANTAN – MALUKU – SULAWESI – PAPUA – JAWA

 

Kami berterima kasih kepada para peserta atas sumbangsih dan peran sertanya sehingga acara ini berhasil berjalan dengan baik. Khususnya kepada perwakilan universitas-universitas penyelenggara acara, para penulis dan penerjemah Dalang, dan juga penyunting video acara, Martin Nuh Hanan.

Only A Girl – Chapter 9

Akibat Perang Dunia Kedua dan gejolak kemerdekaan Indonesia telah mengubah jalan hidup Lian Gouw. 

Setelah tinggal di negara asing dan berbicara dengan bahasa asing selama hampir empat dasawarsa, Lian memiliki kesempatan untuk mengejar impian lamanya: menjadi seorang penulis. Sayangnya, pada saat yang sama dia tersadar bahwa dia telah kehilangan kemampuan menulis dalam bahasa Belanda. Lian pun memutuskan untuk mempelajari ilmu kepenulisan sastra lalu kembali ke bangku kuliah. 

Setelah menyelesaikan penyuntingan sebanyak empat kali selama tujuh tahun, pada Juni 2009, Only a Girl diterbitkan oleh Publish America. Pada April 2010, hak penerjemahan dan penerbitan Only a Girl untuk bahasa Indonesia dibeli oleh PT Gramedia Pustaka Utama.  

Ketika Lian mendirikan penerbit Dalang di tahun 2012, dia membeli kembali hak penerbitan Only a Girl dari Publish Amerika. Sejak saat itu, Only a Girl diterbitkan oleh penerbit Dalang dan disalurkan oleh Ingram, serta tersedia di amazon.com dan beberapa toko buku mandiri. 

Widjati Hartiningtyas, yang menerjemahkan Only a Girl untuk Penerbit Kanisius di Yogyakarta, layak mendapat penghargaan istimewa atas kerja kerasnya dalam hal mencari kata-kata yang tepat yang menghasilkan Mengadang Pusaran.  

Lian Gouw dapat dihubungi di dalangpublishing@gmail.com  

*** 

 

CHAPTER 9 

 

Nanna covered the tender buds on the rosebushes with empty eggshells to protect them from insects and wished there were a way she could shield her family from harm just as easily. She knew the ancestors and gods would not be able to keep them safe until the war was over. Nanna had always considered war to be a man’s affair, but this war not only involved Carolien, it had also found its way to Jenny.  

The voices of Chip, Ting, and Mundi came from the kitchen area, interspersed with hammering and sawing. Chip had decided that he would use the kitchen cupboard as his hiding place should the Japanese come looking for him, and the dogs would serve as protection. Nanna had not asked for details. She was fully aware of the tension that hung in the air. It made the women nervous and irritable and the men more silent than usual. Nanna spent a lot of time on the front porch bench, looking down the street. When Jenny joined her she silently rubbed the girl’s hand, her heart filled with a mother’s fear for the safety of her children. 

Almost a week went by before a Japanese jeep stopped in front of the house one afternoon. Four Japanese soldiers jumped out and walked up the driveway with their rifles slung loosely across their shoulders. Nanna grabbed Jenny’s arm and drew her close. 

The Japanese halted for a moment in the driveway before the sergeant walked with confident strides up the porch steps. He bowed to Nanna and flashed a big smile to Jenny. He then took a letter out of his shirt pocket and handed Nanna the document. 

She shook her head. “I can’t read.” 

“Who else is home?” The Japanese spoke in heavy accented Malay.  

“My daughters and granddaughters.”  

One of the soldiers offered Jenny a piece of melted chocolate. When she shook her head and scooted closer to Nanna, he shrugged his shoulders.  

“Do you know Ong Chip Hong?” the sergeant asked.  

“Yes, he’s my son.” 

“Where’s he now?” 

“Not home.” 

“When will he be home?” 

“I don’t know.” 

“Who’s the head of the household?” 

“I’m a widow. He’s the oldest son living with me, so he is.” Nanna held the Japanese in a steadfast gaze. “Who’s the letter for?” 

“The head of the household.” The soldier replied, puzzled. 

“Then I guess you have to come back when he is home.”  

The soldier who had offered Jenny the chocolate held his arms out for her. “Come.” His broad smile showed a gold tooth. “At home I have a little girl, just like her.” The soldier patted Jenny on the head, then abruptly turned around and joined the others walking down the driveway. 

Nanna waited for the sound of the jeep to disappear into the empty street before taking Jenny inside the house. She knew it was only a matter of time before the Japanese would be back. Her children’s Dutch involvement drew them, and it would not be possible to hold them off forever. 

Two days later, Nanna and Jenny were dusting the altar tables while Carolien worked on a sewing pattern at the dining room table, when the dogs barged into the room barking furiously. Someone was at the gate.  

Nanna put her dust rag down. “Lock up the dogs,” she said, “and tell Chip and Ting the Japs are here.” Nanna threw a quick glance at her late husband’s portrait on the altar wall.  

The same four Japanese soldiers who had come two days before stood on the porch. The one closest to the door asked, “Is Ong Chip Hong home?” 

“No.” Nanna put an arm around Jenny. 

“We need to search the house,” the soldier said. 

Nanna pulled her shoulders back and looked at each soldier with a steady gaze. “I won’t let you in,” she said firmly. 

Some of the soldiers shifted the guns slung across their shoulders.  

The dogs’ barking became faint. Nanna knew they would be locked up in the kitchen by now. She took a few deep breaths. 

Ting opened the front door and spoke into her back. “Mother, please, let me help these gentlemen.” 

Nanna did not move. She had always given Ting the same preferential treatment reserved for Chip, even though he was only a second son, but now he was asking her to take direction from him. Was this the day that her vision would come true? 

Nanna put a hand on Jenny’s shoulder. She steered the girl past the soldiers. “Jenny, come,” she said, “sit by me.” 

Jenny obeyed quietly. 

The men entered the house as Nanna and Jenny took their seats on the porch. The dogs barked ferociously at the intruders, until a rapid rattling of gunshots rang out, followed by screams from Sue, Emma, and Els, mixed with agitated Japanese voices. Nanna felt her chest expand. She clamped one hand around the edge of her seat and grabbed Jenny’s arm with the other. The dogs were quiet now. Nanna took a deep breath. Something hard and large dislodged itself inside her as she tried to breathe and stay calm. Had the time of mourning come already? 

Els came running through the front door. “Nanna! Nanna! They shot the dogs! The Japs are going to kill us all!”  

Jenny jumped up. “Is Claus dead? Did the Japs kill Claus?” 

“Jenny, stay here!” Nanna pulled Jenny back into her seat. Making room for Els on the bench, Nanna reached for the sobbing girl. 

Voices came closer. The Japanese soldiers came through the front door. Nanna spotted Chip in their midst. She saw Ting, Eddie, Sue, Carolien, and Emma following them and she breathed easier. It seemed the dogs had been the only victims of the gunshots. 

Nanna stiffened when the men walked by. She closed a hand around Els’ shoulder. Pulling Jenny closer, she cast a glance at Chip. He looked away but she caught a glimpse of his battered face and noticed the bright red spots on the handkerchief he held pressed against his mouth. 

Nanna watched Chip climb into the Japanese jeep. He moved slowly, burdened by Dutch secrets. Nanna knew her son would not talk. His blood would be thick and silent. 

*** 

Carolien sat on the floor of Ting’s room with Claus’ head in her lap. Ting, sitting next to her, wrapped one of the dog’s front paws in a towel. Claus whimpered and she stroked the dog between his ears.  

One of his pads is cut wide open.” Ting looked up, his face ashen. “He might have stepped on broken glass.”  

“What are you going to do?” Carolien was irritated. She had never understood Ting’s devotion for his dogs. She wanted to tell him to be happy the Japs had only shot the dogs, it could have been any of them, but she knew better. 

“I’ve got to find the shard and take it out. Here, hold the towel against the wound. Try to stem the blood flow.” Ting rose. “I’ve got to get a few things.”  

Once alone in the room, Carolien straightened. Her back hurt from sitting bent over for so long. A heap of bloody towels reminded her of the afternoon. The Japs storming into the house, waving their guns, screaming, “Ong Chip Hong! Come out!” The dogs barking and jumping against the closed kitchen door, the sudden gunfire, the dogs dropping to the floor, her standing there with shaking knees, afraid the bullets would hit the cupboard, penetrate the wood, and hit Chip. What would the Japs do to Chip? Although she was aloof with her brothers, she looked up at Chip and admired him greatly. 

Ting returned, followed by Eddie and Jenny. 

“Claus!” Jenny cried, dropping next to the dog. He lifted his head, whimpering. 

“Here, if you hold his head in your lap, I can help Youngest Uncle check his leg.” Carolien shifted the dog’s head carefully into Jenny’s lap. 

“Oh, Claus. You’ll be okay.” Jenny scratched the dog’s ears. Stroking his muzzle, she repeated, “You’ll be okay. You’ll see.” Claus sighed and slapped the floor with his tail. 

Jenny watched as Ting washed the dog’s paw in a solution of water and iodine before pulling out the shard with a pair of tweezers. “I want to be a veterinarian when I grow up,” she said. 

Ting laughed and Eddie said, “I think you’ll be a good one.” 

Carolien frowned. Jenny was picking up too much of Nanna’s and Ting’s ways. With all the decent occupations to choose from, why did she want to become a veterinarian? 

Eddie helped Ting and Carolien pick up the room before taking a seat on the edge of Ting’s bed. 

“Where are all the other dogs?” Jenny stroked Claus between his ears. 

“Dead.” Eddie clenched his jaws. 

“Caesar too?”  

“No. He almost killed one of the Japs. You should’ve seen how that dog attacked.” Eddie rose. “Fortunately, the Japs didn’t shoot him, they only clubbed him. Youngest Uncle was able to get him away in the midst of the commotion and put him with Emma in the servant’s bathroom. He might have gotten away with a broken shoulder.” 

“Why did the Japs take Oldest Uncle with them and why did they kill all the dogs?” Jenny asked, keeping her eyes on Claus. 

“Before the war, Oldest Uncle worked for the Dutch government. As a matter of fact, he still does.” Eddie stopped abruptly when Carolien glared at him. 

“And?”  

“The Japs wanted Oldest Uncle to tell them about his office. He hid in the big kitchen cupboard, we thought he would be safe there. No one expected the Japs to gun down the dogs.”  

“Are the Japs going to kill Oldest Uncle?”  

“Let’s hope not,” Carolien said. “The Dutch will be back soon and I’m sure they’ll set Oldest Uncle free.” She tried to sound convincing, but she knew that no one, including herself, believed her.  

*** 

Chip’s capture by the Japanese moved slowly into the background of everyday life. Across the country families bound together to get through the war. With the Dutch government shut down and no salary coming in, Ting and Carolien began trading on the black market. The tobacco store that Chip and Ting had set up as a front for their undercover work now also carried clothing and foodstuffs. Carolien took in sewing. Along with Eddie and Ting, she was active in the Dutch Underground.  

With the Dutch schools shut down Els took responsibility for Jenny’s schooling, tutoring her every day so she wouldn’t fall behind. Els had received her teaching credential just before the war broke out but had not worked in a school yet. The family disapproved of her teaching at a school for natives and there had been no openings yet at any of the Dutch schools. 

By September, the mango blossoms had turned into plump, deep-yellow fruit but the war showed no signs of ending soon. Jenny was in the backyard, helping Nanna and Mundi prop up the laden mango branches, when a car stopped by the front gate and the bell rang. She ran to see who it was, but Nanna called her back and sent Mundi instead.  

Jenny shot Nanna a sideways glance. The dogs lay near her, their ears perked, noses pointed toward the gate. An eerie stillness filled the moments before Mundi returned with a letter in his hand. He fell to his knees and bowed deeply before handing Nanna the brown envelope. 

Nanna straightened herself. “Thank you,” she said. Her voice was steady but her hand trembled as she took the item. “You and Non Jenny finish up while I take this inside.” 

Mundi remained on his knees as Nanna walked away. “It’s all because of the Dutch, Nonnie.” Mundi sighed, rising when Nanna was out of sight. 

“Why do you say that?” Jenny frowned. She wasn’t used to servants talking without being spoken to first. 

 Mundi reached for the bamboo pole Nanna had left leaning against the tree trunk. “It’s time for the Dutch to go back to their country, Young Miss,” Mundi said and walked away. 

Jenny watched Mundi disappear into the garden. Was Mundi against the Dutch? Did he side with the Japs? Maybe Mundi was traitor…. 

After dinner that night Nanna took a letter from the altar table and handed it to Ting. “The Japs delivered this earlier,” she said. 

Ting used his fruit knife to open the envelope. Jenny saw him blinking hard as he glanced at the page. He cleared his throat before reading aloud to the gathered family. “The Japanese Emperor and government regret that prisoner Ong Chip Hong’s uncooperative attitude necessitated the use of more forceful methods than are customary. We further regret to have to inform you that during the course of interrogation, the above mentioned prisoner died on September 27, 1944. The Japanese authorities have disposed of his body.” Ting’s voice faltered. 

Sue burst into tears. Els got up and walked to Nanna. Eddie pulled Jenny on his lap so Els could sit in the chair next to their grandmother. Carolien and Emma cried into their napkins. 

Nanna walked to the altar. She lit a bundle of incense sticks and raised them high in prayer. “The Dutch are asking too much,” she said without turning around. 

Jenny stared at her grandmother’s rigid back and chewed her knuckles. She noticed a new urn on the altar table. When did Nanna place it there? Was Nanna now asking the spirits why Oldest Uncle had to die? What would their answer be? 

 

***** 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Mengadang Pusaran – Bab 9

Widjati Hartiningtyas memiliki ketertarikan yang kuat pada bahasa. Bahasa asing pertama yang dikuasainya adalah bahasa Inggris. Kecintaannya pada buku dan bahasa membuatnya memilih jurusan bahasa di SMU dan jurusan Sastra Inggris di Universitas Negeri Semarang (UNNES).
Sesudah lulus dari UNNES pada tahun 2004 dengan gelar Sarjana Sastra, Tyas bekerja sebagai seorang guru. Selain bekerja sebagai seorang penerjemah lepas, dia mulai menulis cerita untuk anak. Beberapa karyanya yang telah terbit adalah buku kegiatan Siap masuk SD bersama Piko (PT Tiga Serangkai, 2018) dan seri Petualangan Seru Rori (PT Kanisius, 2017).
Widjati Hartiningtyas bisa dihubungi melalui alamat surel widjati@gmail.com

***

Untuk membaca kelanjutan cerita ini silakan membeli bukunya melalui

 

Bab 9  

 

Nanna menutupi kuncup-kuncup lembut bunga mawar dengan cangkang telur kosong untuk melindunginya dari serangga. Dia berharap semudah itulah cara melindungi keluarganya dari bahaya. Dalam hati kecilnya dia tahu bahwa para dewa dan leluhurnya tidak akan bisa melindungi mereka hingga perang berakhir. Nanna selalu berpikir bahwa perang adalah urusan lelaki. Namun, perang ini tidak hanya melibatkan Chip dan Ting. Perang ini juga telah melibatkan Jenny.  

Suara Chip, Ting, dan Mundi di dapur ditingkahi bunyi orang memalu dan memotong kayu. Chip telah memutuskan untuk bersembunyi di lemari dapur jika orang Jepang mencarinya. Anjing-anjing peliharaan mereka akan bertugas untuk melindunginya.  

Nanna tidak meminta penjelasan secara terperinci. Dia bisa merasakan ketegangan yang ada saat ini. Para perempuan menjadi gugup dan mudah jengkel, sementara para laki-laki menjadi lebih pendiam dari biasanya. Nanna banyak menghabiskan waktu duduk-duduk di beranda depan dan mengawasi jalanan. Ketika Jenny mendatanginya dan dengan manja menggelendotinya, Nanna hanya mengelus-elus tangan gadis itu tanpa mengatakan apa-apa. Hatinya dipenuhi kekhawatiran seorang ibu akan keselamatan anak dan cucunya.  

Suatu siang, hampir seminggu kemudian, sebuah jip Jepang berhenti di depan rumah Nanna. Empat serdadu Jepang turun dari mobil lalu menyusuri jalan masuk dengan senapan melintang di bahu. Nanna meraih lengan Jenny dan menariknya mendekat.  

Serdadu Jepang itu berhenti sesaat di jalan masuk sebelum sang sersan menapaki tangga beranda dengan langkah tegap. Dia membungkukkan badan di depan Nanna lalu menyunggingkan senyum lebar kepada Jenny. Sersan itu mengambil selembar surat dari saku kemejanya kemudian memberikannya kepada Nanna.  

Nanna menggelengkan kepala. “Saya tidak bisa membaca.”  

“Siapa lagi yang ada di rumah?” Sersan itu berbicara dengan bahasa Maleis berlogat asing.  

“Anak perempuan dan cucu perempuan saya.”  

*****

Untuk membaca cerita ini secara lengkap silakan membeli bukunya melalui https://toko.kanisiusmedia.co.id/product/mengadang-pusaran/

 

Pameran Indonesia di San Francisco

Bulan Mei tanggal 20, 2023  kemarin Dalang Publishing kembali ikut meramaikan acara 2nd Annual Indonesian Bazaar di gedung La Cocina Municipal Marketplace, San Francisco.

Pihak KJRI San Francisco mengajak serta Dalang Publishing untuk turut ambil bagian memperkenalkan sastra Indonesia melalui karya terjemahan buku-buku terbitan Dalang Publishing.

Acara yang diadakan oleh sebuah kelompok swadaya masyarakat yang bernama Friends Of Indonesia ini berlangsung meriah. Banyak pengunjung yang hadir berasal dari masyarakat Indonesia yang tinggal di sekitar San Francisco Bay Area, dan diantaranya juga terlihat beberapa penduduk setempat.

Dalang Publishing menampilkan kedua belas judul buku terbitan kami, termasuk buku kumpulan cerita pendek dwi-bahasa Footprints/Tapak Tilas. Buku terbitan terbaru kami ini berisi empat puluh sembilan cerita pendek. Kumpulan cerita pendek ini melibatkan 44 penulis dan 18 penerjemah yang kesemua karya mereka telah kami terbitkan sebelumnya di laman kami www.dalangpublishing.com pada bagian halaman Cerita Anda.

Bapak KonJen Prasetyo Hadi dan istri, Ibu Ota serta Bapak Mahmudin Nur Al-Gozaly (Pak Deden) selaku Konsul Penerangan, Sosial dan Budaya menyempatkan diri menyambangi meja Dalang Publishing.  Perayaan ini juga menampilkan berbagai kekayaan budaya bangsa seperti tarian daerah, seni kerajinan, serta memperkenalkan aneka masakan dan jajanan khas Indonesia.

 

Nyale

Maria Matildis Banda menamatkan kuliah di Fakultas Pascasarjana UNUD Denpasar. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD dan penulis berbakat dan berhasil ini, mulai menulis cerpen pada tahun 1981. Mengajar dan meneliti tradisi lisan daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur menjadikan kekuatan baginya untuk menulis novel berlatar daerah. Antara tahun 2015 dan 2021, dia menulis tiga novel yang diterbitkan sendiri di PT.Kanisius. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, berlatar budaya patriaki dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan melahirkan di Flores. Suara Samudra bercerita tentang penangkapan ikan paus di Lamalera, Pulau Lembata. Bulan Patah merupakan novel yang dimaksudkan menghentikan kelahiran luar nikah di Pulau Flores. Doben (Lamalera 2017) mengemukakan hal-hal tentang politik dan kepentingan berlatar daerah Timor.

Sejak tahun 2000, Maria menulis “Parodi Situasi” di Harian Umum Pos Kupang.

Maria Matildis Banda: bmariamatildis@gmail.com

 

Nyale
Cuplikan dari novel Pasola yang akan segera terbit

 

Malam gelap gulita. Ini malam ketujuh menurut perhitungan rato nyale, tetua adat, yang telah memperhitungkan perjalanan bulan gelap pada bulan Maret tahun 1934 itu untuk kedatangan cacing laut, di Pantai Ratenggaro. Sore hari, semua anggota keluarga membersihkan makam leluhur dan keluarga di depan Kampung Ratenggaro dan sekitarnya. Pada malam hari, perempuan dan laki-laki menari dan kawoking di pelataran.

Setelah Waleka mengikuti Limbu Koni dan Biri pulang ke rumah, masih ada banyak orang yang menari sampai jauh malam demi menunggu waktu kedatangan nyale. Pada jam empat pagi, hampir semua orang meninggalkan rumah menuju pantai yang masih gelap.

Waleka berjalan di depan diikuti Inya Peke. Di belakang Inya Peke, ada Limbu Koni yang menggandeng lengan Banu, anak Inya Peke. Mereka diikuti Biri, teman akrab Limbu Koni, kedua orang tua Waleka, serta anggota keluarga lainnya.

“Kenapa nyale datang waktu bulan gelap?” Banu bertanya. “Nyale takut bulan, takut matahari!” Limbu Koni yang menjawab. “Semoga nyale gemuk-gemuk dan ada semua warna,” katanya lagi.

“Nale atau nyale, Inya?” Banu bertanya lagi.

“Nale atau nyale sama saja, sama-sama cacing laut. Yang pasti, cacing laut yang datang hari ini banyak sekali,” sambung Biri.

Angin berembus perlahan membelai wajah-wajah yang diliputi harapan. Mereka berjalan beriringan menuju Pantai Ratenggaro yang jaraknya hanya selemparan batu dari uma parona.

“Engko cocok tinggal di sini. Dekat pantai. Sudah tiga hari di sini engko tidak pernah mengeluh sesak napas,” kata Limbu Koni yang dijawab Biri dengan lantunan memanggil nyale yang sudah didengarnya sejak sore kemarin.

“Laki-laki yang menarik tanganmu itu … Ndalo namanya? Tidak tahu malu!” Biri berbisik.

“Jangan pedulikan. Biarkan saja. Diam,” kata Limbu Koni.

“Kita pesta hari ini!” kata Inya Peke. “Pesta nyale dan pesta pasola. Waleka pasti gagah sekali hari ini.”

“Saya mau jadi to paholong seperti Bapa Waleka,” Banu berceloteh sambil menarik tangan ibunya.

“Bagus sekali. Bapa Waleka adalah to paholong yang duduk di atas pelana. Gagah perkasa seperti siapa?” tanya Limbu Koni.

“Banu!” jawab Banu sambil tertawa.

Dengan gembira mereka berjalan melalui binya bokolo, pintu gerbang utama di antara makam batu, memasuki jalan setapak menuju pantai. Debur ombak terdengar jelas menandakan bahwa pantai berada sangat dekat. Bulan tidak ada. Kerlap-kerlip bintang, harapan, dan kebutuhan adalah petunjuk jalan menuju pantai. Semuanya ingin menemukan nyale di Pantai Ratenggaro.

Waleka melantunkan kawoking,

Nyale ayam wo wo wu

Ibunda nyale bunda nyale bertelur banyak-banyak

Sebanyak-banyaknya seperti telur siput

Sebanyak-banyaknya seperti telur belalang

Potong-potong gumpalan telur yang banyak

Nyale ayam wo wo wu

Ibunda nyale bunda nyale

Banyak seperti telur siput … wo wo wu

Syair dilantunkan bergantian sejak berjalan dari kampung dengan harapan cacing laut datang dalam jumlah banyak seperti telur siput dan telur belalang. Semua orang masuk ke laut yang sudah surut. Dinginnya air laut di keremangan pagi menyengat kulit kaki yang telanjang. Telapak menyentuh pasir dan batu- batu kecil di dasar laut yang terasa licin. Sementara tangan meraba-raba menyentuh cacing yang licin dan geli. “Oh dapat, licin, banyak, geli, wo wo wu … wo wo wuuu,” ramai suara-suara dengan berbagai ucapan sambung-menyambung.

Bau Nyale adalah kebiasaan menangkap cacing nyale. Bau cacing-cacing laut yang ditangkap itu dapat dicium warga yang ada di pantai.

Waleka bergerak kian kemari menjemput nyale dengan penuh semangat. Dia menyentuh dan menggenggam erat cacing-cacing yang didapatnya dari balik batu-batu kecil.

Inya Peke mengikutinya sambil menadah dengan sebuah keranjang. Banu, Limbu Koni, dan Biri juga berada di sekitarnya. Biri selalu meloncat-loncat karena geli, tapi tetap berupaya untuk memasukkan tangannya ke dalam air, merogoh di balik batu untuk menangkap cacing yang bergerak-gerak dan licin.

Limbu Koni berada dekat Waleka. Dia menahan rasa geli saat cacing-cacing itu menyentuh kakinya berkali-kali. Dia menunduk sambil meraba-raba di balik batu. Demikian juga Waleka. Keduanya tertawa saat tangan mereka saling bertemu. Keduanya menangkap cacing-cacing itu di balik batu yang licin. Mereka bangga bukan main saat berhasil menambah jumlah nyale dalam wadah yang dibawa Banu dan Inya Peke.

“Bola nyale!” tiba-tiba Waleka berseru saat kedua tangannya menjemput sarang nyale. Gumpalan cacing itu membentuk bola besar, sedikit lebih besar dari bola kaki. Dia segera keluar dari air menuju tepi pantai diikuti Limbu Koni, Biri, Banu, Bapa, Inya, kakak, serta keluarganya yang lain.

“Tangkap lagi, Bapa,” Banu girang bukan main. Dia memohon agar boleh menangkap lagi karena di tangannya hanya ada beberapa ekor cacing yang kemudian dimasukkan ke dalam wadah kecil yang tergantung di lehernya.

“Cukup,” jawab Waleka, “ini sudah banyak sekali. Bagi-bagi dengan orang lain,” bisiknya di telinga ponakannya.

Kegiatan menangkap cacing laut itu berhenti ketika ujung sinar matahari mulai muncul di cekungan tanjung kecil di bawah tebing Kampung Ratenggaro. Semua orang kembali ke pantai dengan hasil tangkapannya masing-masing. Dengan gembira, mereka pulang ke kampung. Sarang nyale hanya berhasil didapatkan Waleka.

Meskipun Limbu Koni tidak berkata apa pun padanya, Waleka tahu gadis itu bangga dan mengaguminya.

“Itu tanda engko ada untuk Waleka,” Inya Peke menggoda Limbu Koni. “Jodoh. Lancar semuanya.”

“Pesta tidak lama lagi,” sambung Biri.

“Sama dengan engko. Wuri Wona sudah tidak sabar menunggu,” keduanya tertawa.

Sarang nyale diurai di sisi mata api, bagian tengah rumah panggung yang digunakan sebagai dapur. Bola dibagi tiga dan berada dalam genggaman Limbu Koni, Inya Peke, dan Biri. Selanjutnya diurai. Beberapa kali gumpalan terjatuh karena licin dan cacing yang diurai dari gumpalan bergerak dan merayap gelisah kekurangan air.

Banu yang selalu memungut dan meletakkannya kembali ke dalam wadah. Sungguh sangat banyak cacing gemuk dan berwarna-warni cerah dan menggiurkan.

“Merah, hijau, kuning, putih, hitam, wuiih ada semua warna,” kata Banu dengan gembira. Kedua orang tua Waleka, para perempuan dan laki-laki serta segenap anggota keluarga, gembira. “Gemuk-gemuk! Warnanya terang. Tanda apa Inya?” tanya Banu.

“Tanda subur, panen limpah, hidup jadi lebih baik,” jawab Limbu Koni yang disambut dengan syukur oleh Biri dan Inya Peke. Aneka masakan dari bahan nyale mulai diolah. Limbu Koni dan Biri membantu Inya Peke dan keluarga besar Waleka dengan cekatan.

“Nyale palowor,” kata Inya Peke kepada Limbu Koni.

“Ya Inya,” jawab Limbu Koni sambil tertawa. Bersama Inya Peke dan Biri dia memasak nyale palowor. Masakan dengan bahan utama cacing nyale dan santan kental. Baunya harum dan rasanya lezat setelah dilengkapi dengan berbagai bumbu.

“Kita buat bodho juga kah, Inya?” tanya Biri.

“Ya, dendeng nyale itu disimpan di sini,” jawab ibu Waleka sambil menyerahkan sebuah periuk tanah. “Cukup untuk beberapa bulan ke depan! Wah, banyak sekali!” katanya dengan bangga.

Mereka juga membuat sambal dengan bahan dasar lombok hijau dan cacing yang gemuk-gemuk dan terang warnanya.

Limbu Koni dan Biri terlibat secara langsung dalam segenap kegiatan dapur.

Waleka bangga karenanya. Dia terutama bangga pada Limbu Koni.
Keduanya hanya berani curi-curi pandang dan segera menghindar setelah ketahuan satu sama lain. Akan tetapi, Waleka tahu bahwa nanti di lapangan pasola segalanya akan menjadi lebih indah, memesona.

Sarapan pagi dihidangkan sebelum berangkat ke lapangan pasola. Ayah Waleka bicara sebelum makan. Di hadapan sanak saudara yang datang dari jauh, lelaki tua itu menggarisbawahi beberapa hal. Bapa Tua menyampaikan hal itu dalam bahasa setempat.

“Waleka sudah tangkap sarang nyale pada Bau Nyale di pantai. Jaga itu rezeki untuk sepanjang hidup. Sarang nyale yang besar kumpulan nyale berwarna-warni, gemuk, dan bercahaya. Itu khusus, sangat khusus! Tidak semua pencari nyale mendapatnya. Ini tanda untuk rezeki seumur hidup. Hanya engko saja yang dapat sarang nyale. Itu sungguh luar biasa. Engko diberi banyak. Jaga itu. Kalau engko lupa bahwa engko sudah diberi begitu banyak dalam sarang nyale, apa pun akan diambil kembali dari engko.”

“Ya, Bapa,” jawab Waleka dengan yakin.

“Hidup harus setia dan jujur. Bersyukurlah pada apa yang engko punya. Jangan ambil lebih. Apa pun tantangannya, jangan pernah ambil lebih. Apalagi kalo engko ambil yang bukan engko punya,” kata bapanya lagi. Diikuti dengan berbagai pesan untuk anak cucu turun-temurun. Bapa Tua melengkapi pesan yang disampaikan pada acara duduk bersama di rumah panggung mereka.

“Engko akan jadi to paholong terbaik sepanjang hidup,” kata Bapa Tua lagi dan Waleka mendengar nasihat ayahnya dengan saksama.

“Ya Bapa!”

“Setia dan jujur itu kuncinya,” Bapa Tua tegas. “Tidak hanya pada gaya lompat dan kemampuanmu melayang bersama kudamu, Lenggu Lamura, pada titik lembing dilempar,” Bapa Tua berhenti sejenak sebelum bicara lebih lanjut, “tapi juga setia dan jujur pada kuda yang terbang bersama engko. Di lapangan pasola, engko dan Lamura adalah satu,” Bapa Tua menatap Waleka dengan tajam sambil menggarisbawahi, “Lamura dan engko adalah satu. Ingat itu.”

“Ya Bapa!” Waleka menyetujui dengan sepenuh hati.

“Tidak hanya pada kemenangan dan kepuasan mengenai dan menjatuhkan sasaran, tetapi juga pada kerendahan hatimu merangkul dan menolong kembali lawan yang engko kalahkan.” Bapa Tua berbicara kata demi kata dan diperhatikan dengan saksama oleh semua yang hadir, termasuk Limbu Koni.

Calon istri Waleka itu memperhatikan wajah calon mertuanya. Sorot matanya teduh, alis matanya tebal. Tulang pipinya menonjol dan rahangnya tampak kukuh. Wajah Waleka mirip sekali dengan ayahnya.

“Engko harus yakin bahwa setiap tetes keringat dan setiap tetes darah yang jatuh di lapangan itu jatuh dengan jujur dan setia dan tidak akan jadi kering di sana. Tidak hanya untuk panen hasil kebun, tetapi lebih dari itu, demi kehidupan yang sesungguhnya. Setia dan jujur itu kuncinya!”

Limbu Koni terpana oleh kata-kata Bapa Tua. Dia benar-benar seorang kabani pa ate — julukan yang diberikan kepada laki-laki yang pandai dan cerdas.

Pengalaman hidup dan perantauannya membawa ternak sampai ke Flores, Timor, Alor, bahkan sampai di Maluku dan Sulawesi pada masa muda dulu, membuat Bapa Tua itu matang pada hari tua, di hadapan anak-anak, cucu, dan keluarga besarnya. Apalagi di hadapan Waleka, satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga.

“Bapa Tua itu kabani pa ate yang luar biasa,” bisik Biri.

“Ya,” jawab Limbu Koni. “Semoga Waleka bisa menjaga kata-kata Bapa Tua sepanjang hidupnya,” kata Biri. “Semoga.”

“Ya,” jawab Limbu Koni. Dirinya merasa kata-kata itu tidak hanya ditujukan bagi Waleka sebagai to paholong, tetapi juga bagi dirinya yang sudah diterima sebagai bagian dari uma parona keluarga besar Waleka.

Waleka pun merasakan hal sama. Dia tahu, sebagai laki-laki Ratenggaro, dia harus menjadi laki-laki yang setia dan jujur. Tergetar hatinya ketika menyadari Bapa Tua sedang menatapnya lekat-lekat.

“Kalau engko jujur dan setia, engko pasti bisa jaga harga diri keluarga, uma parona, Ratenggaro, kabisu, suku, dan tentu saja harga dirimu sendiri,” Bapa Tua tersenyum setelah selesai bicara. Sorot matanya memberi sinar dan harapan bagi Waleka.

Diam tetapi pasti, Koni juga mencatat setiap kata Bapa Tua ke dalam pikiran dan hatinya. Dia angkat wajahnya sejenak memperhatikan wajah laki-laki tua itu lagi. Koni terkenang Bapa Bili, guru di Weetebula, yang selalu bicara dengan tenang setiap kali memberi nasihat. Saat Koni berpindah tatapannya ke wajah Mama Tua, ibu Waleka melempar senyum yang ikhlas.

*****

Nyale

Yuni Utami Asih adalah seorang pengajar di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Mulawarman sejak tahun 2005 yang juga merupakan tempatnya menuntut ilmu pada tingkat sarjana. Masa kecilnya akrab dengan buku cerita anak yang biasa dipinjamkan bapaknya dari perpustakaan keliling. Pada masa SMA dia jatuh cinta dengan novel terjemahan Erma dalam Bahasa Indonesia dari The Count of Monte Cristo (Dunia Pustaka Jaya, 1992). Dia melanjutkan pendidikan jenjang magister dan doktor di Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Pada tahun 2011 dia berkesempatan untuk melakukan kunjungan ke Universitas Leiden selama 2 bulan untuk pendalaman tugas akhir program doktor dengan biaya dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selain mengajar, dia juga beberapa kali menjadi narasumber dalam pelatihan tentang pembelajaran Bahasa Inggris.

Yuni Utami Asih: kelasyuni@gmail.com

 

Nyale
An excerpt from Pasola, an upcoming novel

 

The night was pitch dark. An elder who had calculated the moon journey declared that the nyale, sea worms, were to appear at the Ratenggaro Beach on the seventh night of March 1934. Earlier that afternoon, every family in the Ratenggaro village on Sumba Island, cleaned the ancestral graves and their surroundings. Through the evening, women and men danced and chanted on the village square while waiting for the arrival of the nyale.

After Waleka followed Limbu Koni and Biri home, many people continued to party. Around four in the morning, most of the villagers headed to the dark beach. Bau Nyale was the traditional annual ritual of catching sea worms.

On their way to the beach, Waleka was followed by his sister, Inya Peke. Limbu Koni held Banu, Inya Peke’s son, by the arm as they walked behind them. They were followed by Limbu Koni’s best friend Biri, Waleka’s parents, and other family members.

“Why do nyale come when the moon is dark?” asked Banu.

“The nyale are afraid of the moon and sun!” Limbu Koni replied. “Hopefully there will be a lot of fat, colorful nyale.”

“Nale or nyale, Inya?” Banu asked.

“Nale and nyale mean the same,” Biri replied. “The word refers to a sea worm. I believe that there will be an abundance of sea worms this time.”

The wind gently caressed their hopeful faces as they walked to the Ratenggaro Beach, close to their uma parona, family home. “You should be living here, near a beach,” said Limbu Koni to Biri. “During the three days you’ve been here visiting, you’ve not complained of being short of breath.”

Biri replied by chanting the mantra call for the nyale, then whispered, “The man who pulled your hand — is his name Ndalo? Such a shameless man!”

“Don’t worry about him,” Limbu Koni replied. “Just leave it alone.”

“We’re going to have a party today!” shouted Inya Peke. “We’ll celebrate the nyale catch and the sacred Sumbanese pasola. Waleka will be dashingly handsome at the annual equestrian spear-fighting competition!

“I want to be a to paholong like Bapa Waleka,” Banu said, pulling his mother’s hand.

“That’s good!” Inya Peke replied. “You can be like your Uncle Waleka, a spear fighter who sits high in his saddle. He’s as handsome as …”

“Banu!” Banu replied laughing.

They walked happily through the binya bakolo, the main gate between gravestones, and entered the footpath to the beach. The sound of rolling waves indicated that they were almost there. Starlight, hope, and need led the eager villagers to the Ratenggaro Beach in search of nyale.

Waleka chanted a kawoking, the mantra to call the nyale.

Nyale ayam wo wo wu

The mother of nyale, Mother Nyale

Spawn abundantly

Lay as many eggs as a snail

As many as a grasshopper

Cut up the many egg clusters

Nyale ayam wo wo wu, chicken nyale wo wo wu

The mother of nyale, Mother Nyale

Lay as many eggs as a snail.

The people took turns chanting the mantra as they walked. They hoped the sea worms had been as prolific as grasshoppers and snails. Everyone waded into the receding sea. The chilly water stung their bare legs. Their feet moved across the slippery pebbles while they groped for sea worms. Voices called out in turns: “I caught some!” “They are slippery!” “Wow! There are a lot!” “It tickles!” “Wo wo wu, wo wo wuuu!”

The smell of the sea worm catch filled the air.

Waleka jumped around. Fingering rocks and bed gravel for the sea worms, he held on tightly to the worms he caught.

Inya Peke and Banu followed him, carrying baskets. Limbu Koni, and Biri were nearby. Biri, experiencing her first Bau Nyale, kept dipping her hands in the water, trying to catch the evasive, slippery worms.

Limbu Koni steeled herself when the worms touched her feet. She looked down while fingering a rock. So did Waleka. Both laughed when their hands touched as they caught the worms around the rocks. They proudly added their catch to the growing number of nyale in the baskets Banu and Inya Peke carried.

“A nyale ball!” Waleka shouted as he yanked up a nyale nest. The clump of worms formed a large squirming ball, slightly larger than a soccer ball. He immediately returned to the beach with everyone on his heels.

“Let’s find some more!” Banu shouted excitedly. He wanted to catch more worms because he only had a few in the small basket hanging from his neck.

“We have enough,” Waleka whispered to his nephew. “This is already a lot. We must share with other people.”

The Bau Nyale came to an end as the sun reached the hollow of the small headland below the cliffs of Ratenggaro. Everyone left the shore with their catch and walked cheerfully to the village. Waleka was the only one who had caught a nyale nest.

Though Limbu Koni had not said anything to him, Waleka knew she was proud of him and admired him.

“That is the sign that you are here for Waleka,” Inya Peke teased Limbu Koni. “You are meant for each other. Everything is going smoothly.”

“We will soon have a celebration!” Biri added.

“Just like you. Your fiancé, Wuri Wona, can’t wait.” Limbu Koni and Biri burst out laughing.

Back in the village, the nyale nest was unraveled beside the wood stove, in the center of the stilt house used as a kitchen. The ball was divided into thirds. Limbu Koni, Inya Peke and Biri each took a third. The slippery masses fell several times. The worms, loosened from the ball, writhed and crawled, searching for sea water. Banu always picked them up and put them back into the basket. There were so many fat, bright, colorful, and tantalizing worms!

“Red, green, yellow, white, black — wow, we have every color!” Banu shouted happily. Waleka’s parents and all the other villagers were happy too. “The worms are fat!” Banu shouted again. “They are bright! What does it mean, Mother?”

“It’s a sign of fertile land, abundant harvests, and a better life,” Inya Peke replied. Biri and Limbu Koni agreed, as they skillfully helped Inya Peke and Waleka’s extended family prepare a variety of nyale dishes.

Together with Inya Peke and Biri, Limbu Koni started to prepare nyale palowor, a stew of nyale and thick coconut milk, complemented with various spices. It smelled fragrant and tasted delicious.

They also made a peppery sauce with green chilies and fat, bright, colorful worms. “Are we going to make bodho, too, Inya?” Biri asked.

“Yes, store the nyale jerky here,” Waleka’s mother answered, handing over an earthen pot.

“Wow, we have plenty!” she exclaimed proudly. “This will be enough for several months!”

Waleka was pleased to see Limbu Koni and Biri help with all the kitchen activities. He was especially taken with Limbu Koni. Waleka and Limbu Koni stole furtive glances at each other and immediately looked away after being caught by the other. But Waleka knew that later, on the pasola field, everything would change. Everything would become more beautiful, more intimate.

Finally, breakfast was served. Before everyone started to eat, Waleka’s father, Bapa Tua, gave a speech in the Sumbanese dialect.

In front of the villagers and relatives who had come from afar, the old man underlined several things to the gathering in their stilt house.

“Waleka, you caught a nyale nest during the Bau Nyale on the beach,” he said. “Take care of that fortune throughout life. To find a big nyale nest with colorful, fat, and luminous worms is special, very special indeed! Not all nyale seekers find one. This is a sign of a lifetime fortune. You’re the only one who caught a nyale nest. That is incredible. You’ve been given a lot. Take good care of the gift. If you ever fail to appreciate how much you’ve been given in the form of a nyale nest, you will lose everything.”

“Yes, Father,” Waleka answered confidently.

“Live a life that’s faithful and honest,” his father continued. “Be grateful for everything you have. Don’t take more than you need. Whatever the challenge might be, never take more — let alone things that don’t belong to you.” Bapa Tua continued his speech with life’s wisdoms that had been passed down for generations.

“You will be the best to paholong throughout your life,” Bapa Tua said, and Waleka listened carefully to his father. “Faithfulness and honesty are the keys,” Bapa Tua emphasized. “Not only in the jumping style and your ability to merge with your horse, Lenggu Lamura, when the javelin is thrown, but you also need to be faithful and honest to the horse you are riding. On the pasola field, you and Lamura are one.” Bapa Tua threw Waleka a sharp look before repeating, “You and Lamura are one. Remember that.”

“Yes, Bapa!” Waleka agreed wholeheartedly.

“Keep faithfulness and honesty not only in the victory and satisfaction of defeating an opponent, but also in your humanity in embracing and helping your defeated opponent.” Bapa Tua spoke each word carefully. Everyone present listened attentively, including Limbu Koni.

Waleka’s bride-to-be studied the face of her future father-in-law: calm eyes beneath thick eyebrows, high cheekbones, and a strong jaw. Waleka looked very much like his father.

“You must believe that every drop of sweat and every drop of blood that falls on the field falls honestly and faithfully and will not dry up there. Not just for the harvest, but more than that, for real life. Loyalty and honesty are the keys!”

Limbu Koni was moved by Bapa Tua’s words. He was a true kabani pa ate, a very clever and wise man. In his youth, Bapa Tua had traveled to Flores, Timor, Alor, even as far as Maluku dan Sulawesi to trade livestock. His children, grandchildren, and extended family believed that Bapa Tua’s experience made him wise in his old age. Especially for Waleka, the only son in the family.

“Bapa Tua is an extraordinary kabani pa ate,” Biri whispered to Limbu Koni. “Hopefully, Waleka can live up to Bapa Tua’s words for as long as he lives. Hopefully.”

“Yes,” Limbu Koni replied. She felt that Bapa Tua’s words were not only directed at Waleka as a to paholong, but also at her for being accepted as a part of Waleka’s extended family.

Waleka felt the same. He realized, as a Ratenggaro man, that he must be a faithful and honest man. His heart fluttered when he saw Bapa Tua looking at him intently.

“If you are faithful and honest, you will be able to take care of family pride, uma parona, Ratenggaro, kabisu, tribe, and yourself for sure.” Bapa Tua smiled. The look in his eyes gave Waleka light and hope.

Silently, Limbu Koni recorded all Bapa Tua’s words in her mind and heart. She lifted her head for a moment to watch the old man’s face again. Then Limbu Koni shifted her gaze to Mama Tua. Waleka’s mother threw her a warm smile.

“Do you understand, Waleka?” Bapa Tua asked.

“Yes, Bapa.” Waleka answered confidently.

*****

 

 

 

 

 

.

Yun Labu dan Sayak-betingkat

Cerpen-cerpen Benny Arnas tersebar luas di kalangan surat kabar antara lain di Kompas, Koran Tempo, dan majalah Horison. Dia meraih sejumlah penghargaan, di antaranya Juara I Lomba Menulis Novel tentang Kanjeng Nabi Muhammad saw. tahun 2021 lewat karyanya Kayu Lapuk Membuat Kapal (Diva Press, 2021) dan Pemenang Unggulan Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2016 lewat karyanya Curriculum Vitae (Gramedia Pustaka Utama, 2017).
Sejak 2009, Benny berkhidmat di Benny Institute, perkumpulan kebudayaan di kampung halamannya, dengan menyelenggarakan kelas menulis, kelas seni peran, kelas bahasa Inggris, kelas aksara ulu, pekan sastra, ajang penghargaan film, perserikatan buku, dll.

Benny Arnas Instagram: bennyarnas

 

 

Yun Labu dan Sayak-betingkat

 

Di bantaran anak Sungai Musi yang rindang, konon di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Musi Rawas Raya, terdapat dua kerajaan. Pagarbesi, kerajaan dengan bala tentara dan abdi yang banyak di bagian selatan dan Batangpuan, yang jauh lebih kecil, di utaranya. Para perempuan, dari dua kerajaan yang suaminya pulang tiga bulan sekali sebab bertugas di Kerajaan Pagarbesi, berkeyakinan bahwa wujud cinta yang berbalas adalah bila sayak-betingkat, wadah makanan dari batok kelapa yang ditumpuk, kembali dalam keadaan kosong. Tidak terkecuali bagi Yun Labu. Putri Kerajaan Batangpuan itu melepas kebangsawanannya setelah dikawini Napalong, pengembara tampan yang berasal dari Kerajaan Pagarbesi.

Pertautan itu tidak mendapat restu Ginde Ulak dan Putri Mayang, orangtuanya yang tidak lain adalah pemuncak Kerajaan Batangpuan. Selain harkat yang tidak sejenjang, cara Napalong mengawini Yun Labu juga membuat mereka merasa diremehkan.

Napalong menculik Yun Labu ⸺ meskipun Yun Labu mengatakan kalau dialah yang minta diculik ⸺ dan membawanya ke kepala puak di kampungnya untuk dikawinkan. Hampir saja, Napalong dibunuh oleh para prajurit Kerajaan Batangpuan, bila Yun Labu tidak mengancam akan terjun ke jurang berbatu di perbatasan Kerajaan Batangpuan.

“Aku tak sudi pengembara itu menjadi bagian dari kerajaan ini,” desis Ginde Ulak dengan gigi bergemeretakan.

“Pun aku.” Putri Mayang tidak mau kalah. “Kabar terakhir yang kudengar, Napalong akan mengajar kuntau di Kerajaan Pagarbesi,” nada suaranya getir.

Ginde Ulak mengangguk-angguk. Bara di matanya belum padam. “Apakah Napalong benar-benar menguasai ilmu bela diri itu hingga dia dijadikan pelatih?”

Putri Mayang tersenyum miring. “Bila Napalong menjadi abdi, Yun Labu akan jarang berjumpa dengannya.”

“Di mana Yun Labu tinggal sekarang?” Ginde Ulak mengerenyitkan dahi. “Kau sudah memerintahkan prajurit membuatkannya pesanggrahan?”

“Napalong sudah membuatkannya pondok,” Putri Mayang mengibaskan ujung selendang yang melingkari pinggangnya.

“Hanya pondok?” Gindek Ulak melotot.

“Lupakah Yun Labu sejak remaja gemar sekali mempermalukan keluarga dengan menjadi Umak Panggung di hajatan rakyat? Dia pasti tidak menggerutu.”

“Ini karena kau terlalu membebaskannya dalam bergaul!”

“Kupikir putri kita benar-benar belajar membuat syair dari Napalong,” jawab Putri Mayang dengan penuh rasa bersalah. “Bukankah bangsawan yang cakap bersyair akan dipandang lebih terhormat dari yang lain?”

“Apa tidak sampai di telingamu kalau pemuda itu justru tak bisa menulis dan membaca huruf Ulu?”

Putri Mayang menatap tajam suaminya. Bagaimana mungkin seseorang disebut pujangga tanpa kecakapan menulis aksara udik. “Tentu saja aku tahu, Kak, tapi orang-orang tua dan peramal justru mengatakan itulah yang membedakan Napalong dengan penyair lain. Belum tersebut sepak terjangnya yang kerap menumpas para pembuat onar!”

“Lalu mengapa kau membiarkan saja Yun Labu bergaul dengan Nenek Bengkuang, bekas juru masak Kerajaan Pagarbesi?” gerutu Ginde Ulak.

“Keinginan Yun Labu untuk berurusan dengan kuali, periuk, tungku, dan rempah, tidak kuasa dicegah siapa pun. Kakak pasti tahu itu. Lagi pula, aku tidak pernah menyangka kalau Yun Labu diam-diam masih mengunjungi Nenek Bengkuang dan memaksa perempuan tua itu mengajarinya memasak,” Putri Mayang membela diri. “Dari dulu Yun Labu memang tidak peduli dengan gelar putri rajanya!” gerutu perempuan paruh baya itu seraya mendengus. “Oh ya, pondok tempat tinggalnya di selatan.”

“Maksudmu kampung yang belum kita namai itu?” sambar Ginde Ulak.

Putri Mayang mengangguk. “Batangpuan dan Pagarbesi ‘kan belum bersepakat siapa yang memiliki hutan di dekat perbatasan itu? Kakak lupakah?”

Ginde Ulak terdiam.

“Oh ya, kabarnya Wak Juai sudah sakit-sakitan.” Putri Mayang tersenyum licik.

“Kenapa kau malah membicarakan abdi Pagarbesi itu?” sahut Ginde Ulak, jengkel. “Lebih baik kausiapkan penyambutan putra kita yang akan tiba dari Tiongkok beberapa hari lagi. Apa kau tidak penasaran melihat Tanjung Samin setelah sepuluh tahun berpisah?”

***

Kehadiran Napalong membuat Yun Labu tidak lagi menjadikan Nenek Bengkuang sebagai satu-satunya pencecap masakannya sebelum disajikan. Walaupun Napalong tidak pandai memasak, tetap penting bagi Yun Labu untuk memastikan kalau apa-apa yang diraciknya akan disukai pemuda yang paling dia cintai itu.

Napalong dan Nenek Bengkuang tidak pernah berselisih paham tentang rasa masakan yang dihidangkan. Bila sambal terlalu pedas Nenek Bengkuang akan mengatakan kalau itu disebabkan beberapa potong nanas yang baru dia makan. Bila sayur bening terasa hambar, Napalong akan mengatakan dia terlalu banyak menambahkan gula batu pada tehnya hari itu.

Setelah sepekan menghabiskan bulan madu di pondok, Napalong meminta kesediaan Nenek Bengkuang untuk tinggal bersama istrinya. “Nenek dan istriku sudah sangat dekat, tinggal berdua akan membuat saling menjaga.” rayu Napalong.

Jarak antara tempat tinggal Yun Labu dan Kerajaan Pagarbesi tidaklah terlalu jauh, apalagi ditempuh dengan berkuda. Namun, Yun Labu dan Napalong paham benar bagaimana peraturan kerajaan bagi abdi baru. Pada tahun pertama pengabdian, mereka hanya disilakan pulang menemui keluarga sekali dalam tiga bulan. Dan adalah tabiat para istri untuk mengirimi suami mereka makan siang melalui kangantat. Petugas pengantaran barang kerajaan itu akan datang pada waktu Duha dengan kereta yang ditarik dua kuda.

“Berjanjilah,” kata Napalong kala temaram senja. Sedepa dari pondok mereka, di bawah kerimbunan pohon enau, dia masih bisa menangkap binar kedua mata istrinya. “Sebagai tanda kesetiaan, Adik hanya akan memasak masakan-masakan yang pernah kumakan saja.”

Yun Labu tertawa kecil sebelum kemudian membalas, “Tapi Kakak belum pernah kumasakkan gulai tempoyak ikan baung, sambal pie, nawan nangu kuah santan, atau gulai ampai dengan cendawan lebek, yang rasanya pasti bikin ketagihan.”

Napalong tersenyum lebar. “Yang sudah pernah kau masak, lebih dari cukup, Dik.”

Melambung nian perasaan Yun Labu.

“Tapi …,” Napalong menatap Yun Labu, “Benarkah kau akan setia, Dik?”

“Lha?” Yun Labu mengangkat alisnya. “Kenapa sekarang malah engkau yang meragukanku, Kak? Tergantung perasaanmu padaku, Kak.” Meskipun berusaha tegar, Yun Labu gagal menyembunyikan kegalauannya. “Aku akan jadi seperti apa yang kaupikirkan,” tangisnya pecah.

Napalong menyeka air mata istrinya. “Biar adil,” dia merangkulnya, erat. “Adik pun harus memberikan syarat kesetiaan kepada Kakak.”

Yun Labu terdiam sebelum merenggangkan pelukan dan menatap wajah Napalong dengan penuh kelembutan. “Bila sayak-betingkat-ku kembali dalam keadaan kosong, artinya kau masih menyambut kerinduanku. Tapi bila ada makanan tersisa, berarti Kakaklah sudah tak setia.”

Napalong mengangguk.

***

Dua bulanan kemudian, Kerajaan Pagarbesi berduka. Wak Juai, kangantat sepuh, yang telah mengabdi kepada Pagarbesi sejak masih remaja, berpulang.

Sore harinya, seorang pemuda yang mengaku bernama Rimau menghadap raja di pelataran singgasananya. Dia menyatakan kesanggupannya untuk menggantikan Wak Juai. Untuk meyakinkan pihak kerajaan, dia memamerkan kemampuannya meringankan tubuh sehingga bisa mendatangi tempat yang jauh dalam waktu singkat dengan menunggangi pelepah kelapa.

Raja, permaisuri, dan segenap petinggi Kerajaan Pagarbesi pun takjub dengan kebulatan tekad pemuda yang bersimpuh di hadapan mereka itu. “Baiklah,” Raja merengangkan sandaran bahunya dari singgasana, “Tutupi wajahmu dengan kain kecuali sepasang matamu ketika menjalankan tugas!” Walaupun tidak diungkapkan, Raja Pagarbesi menyimpan kekhawatiran. Ketampanan wajah Rimau mungkin saja menggoda perempuan-perempuan muda yang dengan setia menyiapkan sayak-betingkat untuk suami mereka.

Rimau menyanggupinya.

***

Meskipun sudah memasuki pekan kedua dari bulan ketiga tugasnya di Kerajaan Pagarbesi, Napalong masih tidak bisa mengajar para prajurit dengan pikiran yang jernih. Sama seperti hari dan pekan sebelumnya, dia tidak sabar menunggu matahari tepat berada di atas kepala, waktu kangantat datang dengan sayak-betingkat kiriman Yun Labu. Ketika pengganti Wak Juai datang, Napalong bertanya tentang keadaan istrinya.

Rimau membungkuk sambil berkata, “Maaf, Kisanak, selain hamba adalah kangantat baru, hamba pun tidak akan mencari tahu tentang para pengirim dan penerima sayak-betingkat.”

Siang itu, Napolong terkejut menemukan makanan yang lain dari yang diharapkan. Sayak-betingkat yang dia terima berisi nasi dan segenggam ikan seluang goreng di sayak paling bawah, gulai tempoyak ikan baung di atasnya, sambal cong di tingkat berikutnya, dan beberapa pucuk kemangi dan terong ungu di sayak paling atas — masakan yang belum pernah Yun Labu sajikan untuknya dalam masa bulan madu mereka. Meskipun begitu, dia memaksakan diri untuk menghabiskan isi sayak-betingkat itu. Dia tidak ingin kehilangan Yun Labu.

***

Hingga hari kesebelas dari bulan ketiga, setelah kepergian Napalong, Yun Labu tidak bisa lagi menyembunyikan kebahagiaannya karena sayak-betingkat yang dia kirimkan selalu kembali dalam keadaan kosong. Dengan penuh debar, perempuan itu pun menuliskan sajak kerinduannya. Wahai Kakak Sayang, sayang seorang …, Yun Labu menyenyumi larik pertama yang dia tulis, lalu menerawang.

Yun Labu tersenyum menulis larik-larik kerinduan seolah-olah dia sendiri tidak mampu menghentikan tangannya menggoreskan dawat. Diam-diam dia telah menghabiskan dua gulungan daun nipah.

Di hari kedua belas, Yun Labu membuka sayak-betingkat dengan tidak sabaran. Benar saja, yang paling dia tunggu pun ada di sana.

          Ai Adik nun di sana.

Yun Labu memejamkan mata seraya menempelkan daun nipah itu ke dadanya. Ah, Kakak, siapakah kiranya prajurit yang kaumintakan bantuan untuk menuliskan kata-kata indah yang kaututurkan? Yun Labu tersenyum sebelum melanjutkan membaca.

           Tentulah kehormatan tak tepermanai bagi hamba

          yang telah disilakan menikmati hidangan ketulusan

Yun Labu menerawang dengan mata berbinar. Membayangkan sang suami menyebut diri sendiri sebagai hamba dan makan siang kirimannya sebagai hidangan ketulusan membuat perasaan Yun Labu melayang di antara awan-gemawan ketersanjungan.

Yun Labu menyimpan surat itu diam-diam. Dia tidak ingin membagi rasa bahagia itu, kepada Nenek Bengkuang sekalipun. Yang membuatnya makin terharu adalah bahwa laki-laki berjiwa ksatria seperti suaminya telah bersusah payah menurunkan kejemawaannya di hadapan seseorang yang dia mintai bantuan untuk menuliskan syair untuknya.

Yun Labu memegang surat itu erat-erat. Menggulungnya lamat-lamat. Menciumnya dengan penuh penghayatan, seakan-akan bau badan suaminya melekat di daun nipah itu. Belum pernah dia sebahagia ini. Yun Labu pun mengingat-ingat. Kurang dari tiga pekan lagi suaminya akan kembali. Dia membalas:

          Aku tahu Kakak masih bersetia di sana.

          Habiskanlah sajianku. Tunaikanlah amanahmu.

          Adik tunggu dengan hati yang luluh.

Hari keempat belas.

           Di manakah kiranya kau berada, Dik?

          Jangan bermain-main. Cinta telah membuat Kakak buta.

          Pada tempat. Juga tanda-tanda.

Yun Labu tahu apa yang harus dia tulis.

           Tak usah tergesa-gesa, Kak.

          Orang-orang sabar senantiasa diganjar keajaiban.

Hari kelima belas.

           Jangan memanjangkan tali kelambu, Dik.

          Akan Kakak jelang dikau. Ke nirwana. Pun lembah kegelapan.

Kebahagiaan Yun Labu alangkah ruahnya:

          Adik tidak ke mana-mana, Kak.

          Masih setia merindu — di hatimu yang tiba-tiba biru.

Sebagaimana biasa, Yun Labu pun menggulung daun nipah itu lalu menyelipkannya di antara lalapan bunga kunyit di sayak teratas.

Hari keenam belas.

Petang itu, selain mengantar sayak-betingkat yang kosong ke pondok Yun Labu, Rimau juga menyampaikan sebuah amanah. “Maaf Puan, besok aku takkan menjemput sayak-betingkat sebab suamimu ingin makan siang di pondok kalian.”

“Maksudmu apa, wahai Kangantat? Bukankah dia harus tinggal dua pekan lagi di Kerajaan Pagarbesi? Aku minta tolong kepadamu untuk mengingatkannya tentang ini kepadanya.”
Rimau bergeming. Sesungguhnya, sejak kali pertama menggantikan Wak Juai aku menantikan pertemuan kalian besok. Dia kembali ke kereta kudanya dan hilang di balik pepohonan.

“Bila memang benar apa yang dikatakan kangantat itu, kau tak perlu khawatir, Yun,” Nenek Bengkuang yang sedari tadi menyapu di belakang pondok menghampiri dan mencoba menenangkan. “Bisa saja kangantat itu tak tega melihat Napalong yang selalu memikirkanmu.”

“Tapi, Nek,” Yun Labu mencoba menyanggah, “Bukankah setelah kami kawin, Kakak sudah berjanji untuk berhenti mengembara? Tidak mudah menjadi abdi kerajaan. Kenapa Kakak justru hendak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dua pekan itu tidak lama bila dia mau bersabar dan benar-benar memikirkan kehidupan kami.”

Nenek Bengkuang mengelus rambut Yun Labu. “Kudengar kangantat itu bukan orang sembarangan. Dia bisa menjangkau suatu tempat dengan perantara daun atau ranting atau pelepah. Siapa tahu dengan kesaktian yang dimilikinya dia akan mengantar Napalong untuk makan siang lalu mengantarnya ke kerajaan sesudahnya. Atau ….”

“Oh, benarkah itu, Nek?” potong Yun Labu. Lalu mengiba, seolah-olah langit mampu mendengar keresahannya, “Semoga dia juga tak lupa mengingatkan suamiku untuk bersabar.”

***

Sejak pagi Yun Labu memasak semua masakan yang pernah dia buat untuk Napalong. Seolah tahu diri, Nenek Bengkuang pun sigap membersihkan rumah dan menebas rumpun ilalang dan semak sikaduduk di sekitar pondok. Jelang matahari menudungi bumi dengan sempurna, Yun Labu telah mengangkat nasi dari periuk dan membubuhkannya ke dalam bakul daun pandan. Di atas meja kayu setinggi dua jengkal, nasi, lauk, sayur, sambal, dan ayam kampung panggang telah tersaji.

“Yun, perkiraan kita benar!” teriak Nenek Bengkuang dari luar. Suaranya bergetar.

“Kangantat itu benar-benar mengantar Kakak?” sahut Yun Labu juga dengan berteriak. Dia masih sibuk menata-nata meja makan.

“Kangantat itu terbang di atas pelepah nira!” mata Nenek Bengkuang membelalak, tangan kanannya menunjuk-nunjuk langit.

“Bersama Kak Napalong, ‘kan?” Yun Labu merapikan rambutnya. Wajahnya semringah.

“Bersama laki-laki tak dikenal,” Nenek Bengkuang buru-buru menuju Yun Labu, menyeret lengannya ke muka pintu.

Di luar, Yun Labu termangu sejenak sebelum berteriak, “Siapa yang kau bawa ini, Kangantat?” Dia menunjuk laki-laki yang menyunggingkan senyum. Ditaksirnya lelaki itu berusia sepuluh tahun lebih tua dari Napalong.

“Bukankah dia suamimu?” Rimau balik bertanya.

“Kau jangan membuat api di sini, Tuan!” Nenek Bengkuang angkat bicara. “Dia cucuku yang setia.”

“Tapi, bukankah dialah laki-laki yang selalu cucumu kirimi sayak-betingkat itu?” Lagi, Rimau balik bertanya.

“Apakah mendiang Wak Juai tidak mewasiatkan senarai penerima sayak-betingkat untuk penerusnya?” Dada Nenek Bengkuang megap-megap.

“Tentu aku menerimanya, Puan.”

“Lalu mengapa kau mengantar sayak-betingkat-ku kepadanya?” Telunjuk Yun Labu mengarah pada laki-laki yang dibawa Rimau. Dia benar-benar geram. Bukan hanya membayangkan semua masakannya dihabiskan oleh orang tidak dikenal, tapi juga kata-kata dalam surat yang selama ini begitu indah kini menjadi begitu menjijikkan.

“Puan,” ujar Rimau, nada suaranya tegang. “Aku mengantarkan ratusan sayak-betingkat tanpa peduli jati diri penerima — termasuk usia, asal, dan kegemaran mereka.”

“Mengapa kau tak mau tahu?” tanya Nenek Bengkuang, cepat.

“Itu cara terbaik untuk menguji ketangkasan dan ketelitianku.

“Dan kau telah gagal!” sambar Yun Labu.

“Walaupun belum lama mengambil alih pekerjaan Wak Juai, aku belum pernah membuat kekeliruan. Sayak-betingkat-ku selalu sampai di tangan yang tepat yang sebagian besarnya adalah laki-laki, termasuk mereka yang baru menikah. Ada juga, mereka yang dicintai sanak kerabatnya dan orang-orang murah hati yang tak ingin diketahui siapa dirinya. Sebagian lainnya adalah para duda .…”

“Dan aku duda,” sebuah suara tiba-tiba memotong.

Rimau, Yun Labu, dan Nenek Bengkuang, serta merta menoleh ke arah laki-laki yang sedari tadi diam.

“Nah kau!” Yun Labu kembali menunjuk-nunjuk duda itu, “Mengapa kau menghabiskan makan siang yang bukan hakmu. Mengapa kau malah merayuku seolah-olah kau adalah suamiku! Kau … kau … kau ….” tangis Yun Labu pecah.

Duda itu terdiam sejenak sebelum membentang dalih. “Apakah salah kalau aku juga beroleh keberuntungan sebagaimana Wak Dullah, Subir, atau Tuan Halipan, yang dikirimi sayak-betingkat oleh orang-orang yang tidak mereka kenal. Bahkan Subir akhirnya menikah dengan janda yang mengiriminya makan siang. Apakah salah bila aku juga mengharap? Apakah salah bila aku menaruh harapan pada seorang dermawan yang mengirimiku sayak-betingkat? Gadis atau janda sungguh aku tak peduli!”

“Aku bukan keduanya,” Yun Labu membelalak. “Aku seorang perempuan bersuami.”

“Benar kau bukan suaminya?” potong Rimau seraya menoleh ke duda itu. Kain yang melilit wajah menyembunyikan keterkejutannya.

Duda itu terkesiap mendapati pertanyaan Rimau. Dia terburu-buru mengangguk.

“Jawab saja!” desak Rimau.

“Adakah abdi lain di Kerajaan Pagarbesi yang mahir bersyair selain seorang juru tulis kerajaan sepertiku?” suara sang duda bergetar.

“Napalong!” sahut Yun Labu cepat. “Suamiku yang tak lain tak bukan adalah pelatih kuntau di Pagarbesi. Kau pasti kenal.”

Juru tulis kerajaan itu meneguk liur. Bagaimanapun, nama itu sangat masyhur di kerajaan.

Yun Labu mendengus tetapi sebelum sempat menumpahkan kemarahannya, kangantat bersuara.

“Maafkan saya, Puan dan Nenek,” Rimau membungkuk. “Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan ini?”

“Kau antar Yun Labu menemui suaminya besok agar masalah mereka beres!” ketus Nenek Bengkuang sebelum mengajak Yun Labu masuk dan menutup pintu pondok dengan serampangan.

***

Setelah berhari-hari berjalan kaki melintasi belasan sungai dan rimba, Napalong tiba di pondok mereka dengan kerinduan yang hampir meletus di dadanya. Sepelemparan batu dari pondoknya, dia melihat Yun Labu dan neneknya sedang bercakap-cakap dengan kangantat dan laki-laki yang tidak dia kenali. Sebagai seorang yang memegang syarat, janji, dan tanda-tanda, Napalong berikhtisar kalau dia telah keliru memilih perempuan untuk dititipi kepercayaan. Di matanya, Yun Labu telah mengabaikan kesepakatan sejak mengiriminya sayak-betingkat berisi masakan-masakan yang tidak pernah dia cicipi. Dia benar-benar kesal, bagaimana Yun Labu begitu tega mempermainkan perasaannya.

***

Sesampai di perguruan Pagarbesi, begitu mengetahui kalau Napalong sudah menghilang sekitar sepekan Yun Labu mati-matian menyembunyikan tangis yang meledak dalam mata dan dada. Peraturan melarang siapa pun meneteskan air mata di lingkungan kerajaan, sebab itu pertanda raja belum mampu menyejahterakan para abdi dan rakyatnya.

Ingin sekali Rimau memeluk Yun Labu. Ingin sekali dia berkata bahwa, kalau sang suami memang mencintainya, dia akan kembali. Namun … Rimau tidak ingin mengacaukan segalanya.

***

Tanjung Samin dengan bangga menunjukkan peti kecil yang bertuliskan Wasiat Wak Juai dalam huruf Ulu yang terukir indah. Dia telah diterima menggantikan Wak Juai di Kerajaan Pagarbesi sebagai kangantat, pekerjaan yang dilamar olehnya atas perintah orangtuanya.

“Tak percuma kau kami kirim ke Tiongkok untuk belajar siasat dan ilmu kesaktian, wahai putraku” ujar Putri Mayang seraya memeriksa tumpukan bilah-bilah gelumpai yang terdapat dalam peti. Di balik singgasananya, Putri Mayang membentang pesan terakhir Wak Juai. Dia terburu-buru menukar-letak dua nama penerima sayak-betingkat sebelum memasukkannya lagi ke dalam peti. “Sudah Ibu periksa nama-nama para pengirim dan penerima. Lakukanlah tugasmu. Kami yakin kau akan menunaikannya dengan baik,” ujarnya seraya memberikan peti itu kepada putra sulungnya.

“Tidak seperti adikmu, kau benar-benar anak yang membanggakan!” seru Ginde Ulak, jemawa. “Kau tidak mengaku bernama Tanjung Samin, bukan?”

“Aku memperkenalkan diri sebagai Rimau,” jawab Tanjung Samin, tegas dan bangga.

“Juga tidak mengaku berdarah Batangpuan.”

Ginde Ulak mengangguk-angguk puas. “Selain pesan ibumu agar kau mengabaikan jati diri penerima sayak-betingkat, kau juga harus memastikan kalau Yun Labu dalam keadaan baik-baik saja, apalagi memenuhi segala kebutuhannya. Tentu bukan untuk mengajaknya pulang. Bagaimanapun adikmu telah membangkang dan membuat malu keluarga dan kerajaan!”

“Sampai kapan dia dihukum, Yah?” suara Tanjung Samin melemah. Matanya sendu serta-merta.

Ginde Ulak membuang muka.

***

Nasib membuat keberhasilan Putri Mayang memisahkan Yun Labu dan Napalong dibayar setimpal. Tanjung Samin merasa telah menjadi orang kelaparan yang disajikan buah simalakama. Dan dia telah memilih untuk menyakiti adik yang sangat dia sayangi. Menyesal telah menyebabkan sang adik larut dalam penderitaan, Tanjung Samin kembali ke Tiongkok tanpa pamit kepada Ginde Ulak dan Putri Mayang.

***

Puluhan tahun kemudian, Tanjung Samin pulang untuk menggantikan Ginde Ulak di singgasana Kerajaan Batangpuan.

Dia memang berhasil membujuk Yun Labu kembali ke kerajaan. Namun, dia tidak kuasa menghentikan sang adik untuk setiap hari menanak nasi dan memasak gulai di dapur istana. Kepada orang-orang yang bertanya tentang perilaku sang adik, tanpa beban Tanjung Samin menjawab, “Memasak bukan hanya membuat kunyahan yang memenuhkan perut, tapi juga memuaskan kerinduan seseorang. Suatu hari, Napalong, sebagaimana orang-orang yang mendengar kisah ini, akan takjub dengan kesetiaan adikku.”

*****

 

Love in a Coconut Shell

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Umar Thamrin : umar2x.umar@gmail.com

 

Love in a Coconut Shell

 

On the bank of a shady tributary of the Musi River, on the island of Sumatra, now known as Musi Rawas Raya, there once were two kingdoms — Pagarbesi and Batangpuan. Pagarbesi, which had a substantial army and was well populated, was located in the southern part ⸺ with Batangpuan, which was a much smaller kingdom, just north of it. The men enlisted in the Pagarbesi kingdom army were granted home leave only once every three months during their first year of service. Their wives sent their lunch in a sayak-betingkat — home-cooked food placed in containers of stacked coconut shells. The women believed their husbands expressed requited love when the shells returned empty.

Yun Labu, the princess of the Batangpuan kingdom, was no exception. She had forfeited her nobility by marrying Napalong, a handsome traveler from the Pagarbesi kingdom.

Yun Labu’s parents, the king and queen of the Batangpuan kingdom, did not approve of the marriage. Their daughter had married a commoner and they had been humiliated by the way the couple had married.

Napalong had kidnapped Yun Labu — although Yun Labu claimed it was she who had asked to be kidnapped — and taken her to the chief of his village to marry them. Soldiers of the Batangpuan kingdom would have killed Napalong if Yun Labu had not threatened to kill herself by jumping into a rocky ravine near the border of Batangpuan.

“I don’t want that wanderer to be a part of this kingdom,” hissed the Batangpuan king, Ginde Ulak.

“Neither do I,” Queen Putri Mayang replied, no less fiercely. “The last I heard, Napalong plans to teach martial arts to the soldier recruits in the Pagarbesi kingdom.”
Ginde Ulak nodded. His eyes glowed with anger. “Has Napalong really mastered martial arts so well that he is qualified to teach it?”

“If Napalong becomes a teacher in martial arts at the Pagarbesi court, Yun Labu will rarely see him.” Putri Mayang flicked the end of the shawl wrapped around her waist.

“Where does Yun Labu live now?” Ginde Ulak asked, frowning. “You ordered soldiers to build a house for her, didn’t you?”

“Napalong built her a hut,” Putri Mayang smirked.

Ginde Ulak’s eyes widened. “Just a hut?” he asked furiously.

“Oh, I’m sure she didn’t complain. You forget that when she was a teenager, Yun Labu would embarrass us by hosting commoners’ parties.”

“This happened because you gave our daughter too much freedom.”

“I honestly thought our daughter was learning how to write poetry from Napalong,” Putri Mayang said remorsefully. “Wouldn’t a noble who is good at writing poetry be held in higher esteem?”

Ginde Ulak snorted. “Bah. That young man can’t even write and read Ulu letters.”

Putri Mayang glared at her husband. How was it possible that someone was called a poet without being able to write the traditional script of the upstream region? She said, “Of course I know that, dear. However, according to the elders and fortune tellers, that’s exactly what sets Napalong apart from other poets — not to mention the way he deals with troublemakers!”

“And why did you allow Yun Labu to befriend Grandma Bengkuang, the former cook of the Pagarbesi kingdom?” grumbled Ginde Ulak.

“My dear, you know that no one can keep Yun Labu away from pots, pans, stoves, and spices. Still, I never dreamed that Yun Labu would secretly visit Grandma Bengkuang and compel the old woman to teach her how to cook! Yun Labu never cared about being a princess! And to answer your question, she lives in the south.”

“In the village we haven’t named yet?”

Putri Mayang nodded. “Well, remember, Batangpuan and Pagarbesi haven’t agreed on who owns the forest near the border.”

Ginde Ulak fell silent.

“I heard that Wak Juai is sick.” Putri Mayang smiled slyly.

“Why are you bringing up gossip about the Pagarbesi messenger?” Ginde Ulak snapped.

“You should instead be preparing to welcome our son. He’s arriving from China in just a few days. Aren’t you eager to see Tanjung Samin after ten long years?”

***

After Napalong and Yun Labu married, Grandma Bengkuang was not the only one who tasted Yun Labu’s cooking before it was served. Napalong was not a good cook, but it was still important to Yun Labu that the young husband she loved liked her cooking.

Grandma Bengkuang and Napalong never disagreed about how Yun Labu’s dishes tasted. If the chili sauce tasted too strong, Grandma Bengkuang blamed the pieces of pineapple she had just eaten. If the spinach soup tasted too bland, Napalong blamed the extra sugar he had added to the tea he just drank.

After spending a week of their honeymoon in their cottage, Napalong asked Grandma Bengkuang if she would be willing to stay with his wife when he left to teach martial arts to the soldier recruits at the Pagarbesi court. “You and my wife have become very close,” Napalong pointed out. “If you two live together, you can take care of each other.”

The couple’s cottage was not too far from the Pagarbesi kingdom, especially on horseback. But Yun Labu and Napalong knew the royal rules for first-year enlisted service members. Home leave was only granted once every three months. It was customary that wives sent their husbands homemade lunches through a kangantat. The royal messenger, who drove a two-horse carriage, arrived by mid-morning every day to pick up the sayak-betingkat lunches the women had packed into coconut shells for their husbands.

One late afternoon, shortly before reporting to the Pagarbesi court, Napalong stood with Yun Labu under a palm tree near their cottage. In the fading twilight, he could still catch the gleam of love in his wife’s eyes. “Promise me,” he said, “that as a token of your loyalty, you will only send me dishes that I know are yours — dishes you have already prepared for me.”

Yun Labu chuckled. “But dear, I haven’t yet cooked you a red-tailed catfish in fermented-durian curry; a chili sauce with shrimp paste; gill mushroom coconut milk soup; or oyster mushrooms in a light curry — dishes that surely will whet your appetite.”

Napalong grinned. “Honey, the dishes you’ve already prepared for me are more than enough.”

Yun Labu flushed with pleasure.

“But …” Napalong held Yun Labu’s eyes, “will you be loyal to me, honey?”

“What?” Yun Labu raised her eyebrows. “You doubt me? My behavior will depend on your feelings toward me.” Yun Labu tried to appear strong but could not hide her anxiety. She burst into tears. “I’ll be whatever you believe me to be!”

Napalong wiped away his wife’s tears and held her tightly. “To be fair,” he said, “you should ask for a token of my loyalty.”

Yun Labu paused then stepped back from Napalong’s embrace. She looked at him tenderly. “If my sayak-betingkat comes back empty, it means you love me and are loyal to me. But if my sayak-betingkat comes back with food left in it, it means that you are no longer loyal.”

***

Two months later, the Pagarbesi kingdom mourned. Wak Juai, the old kangantat who had served Pagarbesi as its messenger since he was a teenager, had passed away.

That afternoon, a young man came to the Pagarbesi court and introduced himself as Rimau. He said that he was willing to replace Wak Juai as the royal court’s messenger. To convince the king, the queen, and the courtiers, he demonstrated his ability to lighten his body so that he could go to distant places in a short time by riding a coconut frond.

Everyone was amazed by the self-confidence of the young man who stood before them.
The king leaned forward. “Very well,” the king said and continued, “cover your face with a full mask when carrying out your duties.” The king was concerned that the young wives who faithfully prepared a sayak-betingkat for their husbands might be seduced by Rimau’s handsome looks.

Rimau bowed.

***

Even though it was now the second week of his third month of duty in the Pagarbesi kingdom, Napalong still had trouble focusing on teaching martial arts to the soldiers. Just like the previous days and weeks, he waited impatiently for the sun to reach that part in the sky when the kangantat came with Yun Labu’s sayak-betingkat.

On Rimau’s first day of delivering sayak-betingkat, Napalong eagerly asked Wak Juai’s successor how his wife was doing.

“Pardon me, sir,” Rimau bowed. “Aside from being a new kangantat, I have no intention of meddling in the private affairs between senders and receivers of the sayak-betingkats.”

That day, Napalong was surprised to find dishes he did not expect in the stack of coconut shells that contained his lunch. The bottom shell contained rice and a handful of fried anchovies; the middle shell held a fermented-durian curry and a tomato chili sauce. The top shell held a few sweet basil leaves and a purple eggplant. Yun Labu had never served him any of those dishes during their honeymoon. Still, he forced himself to eat all of it so he could return an empty sayak-betingkat. He did not want to lose Yun Labu.

***

On the eleventh day of the third month after Napalong had reported to the Pagarbesi court, Yun Labu pulsed with joy. Her sayak-betingkat always returned empty. Unable to contain her happiness, she started writing a love poem to express her longing.

          O my dear, my only love …

Yun Labu smiled at the first line she’d written, then pondered. As if she could not stop her own hand from moving, she finished two scrolls of nipah palm leaves, before she knew it.

On the twelfth day, Yun Labu impatiently opened the returned sayak-betingkat. As she had hoped, what she had been waiting for the most was there.

          My darling, you are far away …

Yun Labu closed her eyes as she pressed the nipah leaf to her chest. Oh, my dear husband, who was the soldier you asked to help write down the beautiful words you spoke? Yun Labu smiled before she continued to read.

          Certainly, the honor is immeasurable for this servant

          who has been asked to enjoy your token of sincerity.

Yun Labu’s eyes sparkled as she mused. Her husband called himself a servant and the lunches she sent were a token of sincerity. The flattery sent her floating in the clouds.

Yun Labu kept the poem a secret. She did not want to share her happiness with anyone ⸺ not even with Grandma Bengkuang. What moved her even more was that a man with a chivalrous spirit like her husband had humbled himself by asking someone to help write the poem for him.

For a while, Yun Labu held the letter tightly. Then she slowly rolled it up and kissed it passionately as if her husband’s scent lingered on the leaf. Never before had she been this happy.

Yun Labu mused, My husband will come back in less than three weeks. She took up her pen and wrote:

          I know you are still faithful

          Enjoy my dishes — fulfill your duty

          Your wife will always await you with a yearning heart.

Fourteenth day. Yun Labu opened the empty coconut shell and read:

          Where are you now, my love?

          Don’t deceive me

          Love has made me blind

          Blind to my surroundings

          Blind to my circumstances.

Yun Labu knew what she had to write.

          No need to be in a hurry

          Patience is always blessed with a miracle.

The fifteenth day.

          Don’t tease me, sweetheart

          I will take you

          To nirvana as well as the valley of unconsciousness.

Yun Labu overcome with desire, wrote,

          I’m not going anywhere, my love

          I’m still faithfully longing

          For your heart that has suddenly turned blue.

As usual, Yun Labu rolled up the palm leaf and tucked it between the turmeric flowers in the top coconut shell of that day’s sayak-betingkat.

On the evening of the sixteenth day, Rimau arrived with the empty sayak-betingkat.

“Pardon me, ma’am,” he said to Yun Labu. “Tomorrow I won’t pick up your sayak-betingkat, because your husband says he wants to have lunch at home.”

“What do you mean, Kangantat?” Yun Labu was alarmed. “Shouldn’t he stay in the Pagarbesi kingdom for another two weeks? Please remind him of this.”

Rimau did not respond. Actually, he thought, since the first time I replaced Wak Juai, I’ve been looking forward to witnessing the two of you reuniting with each other. Rimau returned to his horse-drawn carriage and disappeared between the trees.

“If it’s true what the kangantat said, you don’t need to worry, Yun,” said Grandma Bengkuang, who had been sweeping behind the hut. She joined Yun Labu and tried to calm her. “Perhaps the kangantat can’t bear to see Napalong pining for you.”

“But, Grandma,” Yun Labu argued, “didn’t my husband promise to settle down after we were married? It’s not easy to become a courtier. Why would he waste this opportunity? Two weeks will go by fast if he is patient and takes our future into serious consideration.”

Grandma Bengkuang stroked Yun Labu’s hair. “I heard that the kangantat is not just anyone. He can go anywhere by riding on a leaf, a branch, or a palm frond. Who knows, with his supernatural power, he might fly Napalong here to have lunch with you and then fly him back to the palace undetected. Or —”

“Oh, is that true, Grandma?” Yun Labu interrupted. And as if heaven could hear her anxiety, she exclaimed, “Hopefully, the kangantat also won’t forget to remind my husband to be patient.”

***

Since early morning the next day, Yun Labu had been cooking all the dishes she had ever prepared for Napalong.

Grandma Bengkuang had cleaned the cottage and cut down the weeds and bushes around it. Before midday, Yun Labu scooped the rice from the pot and moved it into a pandan leaf basket. She arranged the rice and side dishes ⸺ vegetables, chili sauce, and grilled home-raised chicken ⸺ on a short wooden table.

“Yun, we were right!” Grandma Bengkuang shouted from outside.

Yun Labu was still arranging dishes on the dining table. “What? Is the kangantat really bringing my husband?”

“The kangantat is flying on a palm frond!” Grandma Bengkuang shouted in a trembling voice. Gasping, she pointed at the sky.

“Napalong, my husband, is with him, right?” Yun Labu smoothed her hair, smiling.

“He is with a stranger!” Grandmother Bengkuang rushed inside, grabbed Yun Labu by her arm, and dragged her through the front door.

Outside, Yun Labu stood stunned for a moment, then shouted, “Kangantat! Who did you bring here?” She pointed at the smiling man the messenger had brought, figuring him to be about ten years older than Napalong.

Rimau hesitated. “This isn’t your husband?”

“Don’t you stoke a fire here, sir!” Grandma Bengkuang barged into the conversation.

“She’s my faithful granddaughter!”

“But isn’t this the man your granddaughter has been sending her sayak-betingkats to?”

Grandma Bengkuang huffed, “Didn’t the late Wak Juai pass down the list of sayak-betingkat recipients to you, his successor?”

“Of course he did!”

Yun Labu pointed again at the man the kangantat had brought. “Then why did you give my sayak-betingkats to him?” she asked, disgusted. Not only had all of her cooking been consumed by this stranger, but the poems that had been so beautiful to her ears were now equally disgusting.

“Ma’am!” Rimau’s voice was strained. “I deliver hundreds of sayak-betingkats without knowing the recipients’ details. I only know their names, not their ages, origins, or preferences.”

Grandma Bengkuang squinted. “Why don’t you want to know?”

“It’s a good way to test my ability to be accurate without that information.”

“And you have failed!” Yun Labu snapped.

“Even though I just recently took over Wak Juai’s job, I have never made a mistake. Each sayak-betingkat I delivered has reached the right recipient. Most of them are men — newlyweds, as well as those who are loved by relatives and generous people who do not want their identities known. Among the recipients are also widowers —”

“And I’m a widower.”

Rimau, Yun Labu, and Grandma Bengkuang all looked at the man who had so far been silent.

“And you!” Yun Labu pointed at the widower. “Why did you eat the lunches that were not yours? Why did you lure me with words, as if you were my husband! You … you … you ….” Yun Labu broke into tears.

The widower stood silent for a moment, then replied softly. “Would it be wrong if I hoped to have the same luck as some of the men who receive a sayak-betingkat from unknown senders? One man even ended up marrying the widow who sent him lunch. Is it wrong for me to dream? Is it wrong for me to believe that someone generous would send me a sayak-betingkat? Be it a girl or a widow, I really don’t care!”

“I’m neither of those!” Yun Labu exclaimed. “I am a married woman!”

Rimau turned to the widower. “You really aren’t her husband?” Rimau’s mask hid his surprise.

The widower gasped and shook his head nervously.

“Please answer!” Rimau pressed.

“Is there another scribe in the Pagarbesi kingdom who writes poetry as well as I can?” The widower’s voice trembled.

“Napalong!” snapped Yun Labu. “My husband is a martial arts master at Pagarbesi. You must know him.”

The royal messenger swallowed hard. Napalong was indeed well-known in the Pagarbesi kingdom.

Yun Labu fumed, but before she could vent her anger, the kangantat spoke. “Pardon me, ma’am and Grandma.” Rimau bowed. “What can I do to make up for this mistake?”

Grandma Bengkuang’s answer was curt. “Tomorrow, you will escort Yun Labu to the royal training camp to meet her husband and clear up this mistake!” She told Yun Labu to go back into the hut, then slammed the door behind them.

***

A stone’s throw from the cottage, Napalong stood, watching his wife and Grandma Bengkuang speaking with the kangantat and a man he did not recognize. After days of walking through many jungles and crossing many rivers, Napalong arrived at their cottage with a longing that almost made his chest burst. Now, watching the scene outside their cottage, Napalong concluded that he had been mistaken to trust the woman he had married. As a man devoted to his duties, promises, and obligations, Napalong realized that Yun Labu had broken her promise when she sent him the sayak-betingkats that contained dishes he had never tasted. He was devastated to discover how Yun Labu could be so insensitive to his feelings.

***

The next day, after arriving at the Pagarbesi training camp, Yun Labu found out that Napalong had left about a week before. Grief filled her eyes and chest, but rules prohibited crying near the palace, because it would show that the king had not led his servants and people to prosperity.

Rimau wanted very much to embrace Yun Labu. He wanted to tell her that if her husband really loved her, he would come back. However, Rimau dared not disrupt the plan his queen mother had devised. He thought back to how it had all come about.

***

Inside the castle of the Batangpuan kingdom, Tanjung Samin, proudly showed his parents, King Ginde Ulak and Queen Putri Mayang, the nipah scrolls on which Wak Juai’s instructions were written in beautifully engraved Ulu scripts. At the behest of his mother and father, Tanjung Samin had applied for and been accepted to replace Wak Juai in the Pagarbesi kingdom as a kangantat.

“It’s not for nothing that we sent you to China to learn politics and magic, my son,” said Putri Mayang, taking a roll of nipah leaves from a bamboo holder.

Behind the throne, as her husband and son talked, Putri Mayang examined the lontar scrolls of Wak Juai’s instructions. After she found Napalong and Yun Labu’s rolled together names, she hastily took another roll of names and switched the leaves before rolling the scrolls up and stuffing them back into the bamboo holder. “I have checked the names of the senders and recipients,” she said to her son, handing him the bamboo holder. “Do your job. We are sure you will do it well.”

“Unlike your sister, you’re an obedient son!” applauded Ginde Ulak with conceit. “You didn’t tell them that your name is Tanjung Samin, did you?”

“No, I introduced myself as Rimau,” answered Tanjung Samin. “Nor did I tell them I have Batangpuan royal blood.”

Ginde Ulak nodded with satisfaction. “In addition to your mother’s request that you hide the identities of the sayak-betingkat recipients, you must also make sure that Yun Labu is well, that all her needs are met. You may not bring her home, of course. Your sister has disobeyed us and brought shame to the family and the Batangpuan kingdom.”

“For how long will she be punished, Father?” Tanjung Samin’s voice weakened as he lowered his eyes.

Ginde Ulak looked away.

***

Fate evened the score of Putri Mayang’s victory in separating Yun Labu from Napalong. After seeing that he had broken his sister’s heart by trickery, Tanjung Samin felt like a starving person being served a simalakama. According to local belief, the fruit, if eaten would kill his mother; and if left uneaten would kill his father. He had chosen to hurt his little sister whom he loved very much. Filled with painful regret that he had made his sister suffer, Tanjung Samin returned to China without saying goodbye to Ginde Ulak and Putri Mayang.

***

Decades later, Tanjung Samin returned to succeed Ginde Ulak on the throne of the Batangpuan kingdom.

He coaxed Yun Labu to return to the kingdom, but he could not prevent her from daily cooking rice and curry in the palace kitchen. To people who asked about his sister’s odd behavior, Tanjung Samin replied lightly, “Cooking not only produces food that satisfies the body, it also fills one’s longing. One day, Napalong, like the people who hear this story, will be astounded and find sustenance in my sister’s loyalty.”

*****

 

 

Terjemahan karya Budi Darma mendapat Penghargaan PEN 2023

People from Bloomington, adalah sebuah judul karya terjemahan dari kumpulan cerita pendek karya asli berbahasa Indonesia yang ditulis oleh Budi Darma, Orang orang Bloomington telah memenangkan penghargaan internasional.  Karya terjemahan ini dikerjakan dengan sangat baik oleh Tiffany Tsao.

People from Bloomington, karya terjemahan Tiffany telah mendapatkan penghargaan di ajang PEN America Literary Award. Acara pemberian penghargaan berlangsung hari Kamis, tanggal 2 Maret 2023 lalu di The Town Hall, New York.

Berikut tanggapan Tiffany Tsao atas karyanya:

“Saya merasa terhormat telah ikut berperan membawa karya Budi Darma kepada pembaca berbahasa Inggris. Saya sangat senang kumpulan cerita pendeknya mendapat pengakuan yang sepantasnya. Ini pertama kali dalam sejarah di mana karya sastra Indonesia, dan karya sastra dari Asia Tenggara menjadi penerima penghargaan. Saya bangga telah ikut turun tangan hingga memungkinkan hal ini terjadi.”

*Cuplikan acara penerimaan penghargaan dapat dilihat di sini PEN America Literary Award

Perempuan Naga

Falantino Eryk Latupapua. Perempuan Naga adalah cerpen pertama yang ditulisnya. Sebelumnya, dia sering menulis puisi di media sosial dan disertakan dalam beberapa buku kumpulan puisi, yakni Pemberontakan dari Timur (CV. Maleo, 2014) dan  Biarkan Katong Bakalai (Kantor Bahasa Maluku, 2013). Dia memperoleh gelar sarjana pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Pattimura pada 2004. Sejak 2005, dia mengabdi pada almamaternya sebagai dosen. Pada 2011, dia memperoleh gelar magister dalam bidang sastra pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat cerpen ini ditulis, dia telah menjadi kandidat doktor dalam bidang ilmu susastra pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Selain menulis karya sastra, dia telah menghasilkan berbagai tulisan pada jurnal ilmiah dan buku.

Falantino Eryk Latupapua: falantinoeryk@gmail.com

 

Perempuan Naga

 

Ikan kuah kuning itu sudah mendidih. Asap putih tipis mengepulkan wangi daun kemangi bersamaan dengan semburat bau halia, serai, dan kunyit yang sudah dia tambahkan tadi. Tangan kanan Eba memeras sebutir jeruk nipis ke dalam mangkok berwarna kecokelatan yang beberapa bagiannya sudah sumbing karena terbentur.

Sudah siang. Sebentar lagi Joro pulang, batin perempuan itu sambil menyeka keringat yang turun pelan-pelan di pelipisnya dengan sepotong kain cita berwarna jingga pucat yang dihamparkannya di bahu kiri. Rambutnya yang keriting disanggul sekenanya. Beberapa helai anak rambut yang mulai beruban menjuntai melewati kerah kebaya merahnya yang sudah lusuh.

Dalam satu gerakan yang cekatan, Eba menyisihkan biji-biji jeruk nipis itu dengan jemarinya yang legam. Dia lalu membuangnya ke dalam garuru, tempat sampah yang dibuat dari ujung pelepah pohon sagu, yang terletak di kaki tungku. Sambil menuangkan perasan jeruk hingga melebur ke dalam kuah yang tengah menggelegak, Eba mengaduknya pelan-pelan. Beberapa saat kemudian, dia menyendok kuah dan potongan tebal daging ikan cakalang ke dalam mangkuk. Dia membungkukkan kepala, lalu menutup matanya selama beberapa detik sambil menghela napas panjang seakan menghayati kenikmatan masakannya sendiri.

Dengan sepotong kayu, Eba mengacak sisa-sisa api di bawah besi tungku agar benar-benar padam. “Joro akan makan dengan lahap,” bisiknya. Ada senyum tipis tersungging di bibirnya yang tebal. Eba berjalan ke meja makan dan meletakkan mangkuk itu. Di sana sudah ada sepiring kecil irisan jantung pisang yang ditumisnya dengan sepetak bawang dan sejumput garam.

Hati Eba serasa mekar. Dia sudah mengenali perasaan ini dengan baik selama dua puluh tahun pernikahan mereka. Dia sangat suka memasak. Ini yang membuatnya berbeda dari banyak perempuan di Kampung Sameth, Pulau Haruku, tempat mereka tinggal. Perempuan-perempuan itu gemar sekali duduk bergunjing ketimbang berjibaku di dapur. Dibandingkan mereka, dirinya tentu jauh lebih baik dalam menjalani hidup yang paling pantas bagi seorang ibu rumah tangga, yakni melayani suami dan anak-anak.

Tiba-tiba, Eba terpaku di pinggir meja. Tubuhnya menegang. Matanya berair. Dia tahu bahwa perasaan sedih ini akan selalu muncul ketika menyadari bahwa masakan yang disiapkannya akhir-akhir ini semakin sedikit takarannya. Bayangan anak-anaknya saling berebutan menyendok makanan ke piring memeras hatinya. Anak-anaknya sudah mati.

Sambil menggeleng pelan, Eba menghapus air matanya. Sudahlah. Jangan menangis lagi. Nanti tulang-tulang mereka bergerak dalam kubur, tidak tenanglah mereka di sana, di dalam hati dia menasihati dirinya. Ada senyum pahit terbit di bibirnya. Eba meraih tudung saji yang tergantung di dinding lalu dihamparkannya di meja. “Cuma papeda yang belum masak. Akan baik bila aku mengaso sebentar. Air akan kujerang nanti. Papeda akan kusiapkan begitu dia tiba. Joro akan merajuk jika papeda-nya sudah agak dingin.” Eba berbicara pelan. Sambil menghela napas berat, dia membalikkan badannya lalu melangkah pelan ke arah belakang.

***

Eba berjalan melewati dapur yang masih dipenuhi asap dari tungku yang tadi digunakan untuk memasak. Dia terbatuk-batuk sejenak sambil melangkah melewati pintu, yang seperti dinding-dinding rumah mereka itu, dibuat dari gaba-gaba, pelepah dahan pohon sagu yang berukuran besar. Atap rumah terbuat dari helai-helai daun sagu yang diikat lalu ditopang oleh kerangka yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Rumah itu terletak di atas tebing karang, terasing di bagian selatan kampung. Tebing karang hitam yang mencuat menjadi benteng pengadang deburan ombak dahsyat pada saat musim timur. Di belakang rumah yang menghadap laut, Eba dan Joro biasanya duduk sambil memandang Pulau Ambon di kejauhan sana. Jika hari sedang cerah, puncak Gunung Salahutu terlihat amat mengagumkan disiram cahaya matahari. Hari ini gunung itu terlihat agak menakutkan dibalut awan kelabu.

Joro memahat ceruk kecil di sela-sela dinding karang yang terjal. Lewat ceruk itulah mereka bisa berjalan menuruni tebing menuju bibir pantai di bawah sana untuk sekadar berak, mencari kerang, atau memancing ikan.

Eba menghempaskan pantatnya ke atas balai-balai yang terbuat dari gaba-gaba di bawah jejeran pohon ketapang. Pohon ketapang yang paling tinggi ditanam oleh Joro dua hari sesudah anak lelaki bungsu mereka mati, dua tahun lalu. Anak itu jatuh lalu terseret ombak saat mengambil kerang laut yang menempel di tebing karang. “Diambil setan laut,” demikian kata para tetua kampung. Mayatnya ditemukan mengapung di lautan oleh nelayan dari desa tetangga, sehari kemudian. Tubuh itu sudah membengkak. Mulutnya menganga. Setelah dua hari menangisi anak itu, Eba dan Joro memutuskan untuk menanam sepohon ketapang untuk mengingat hari penuh kesedihan itu.

Sekarang, Eba memejamkan matanya. Dia merasa kesedihan itu mulai kembali datang dan mencoba menepiskannya dengan menghirup bau laut dalam-dalam. Bau garam yang bercampur dengan semburat bau ikan cakalang setengah kering menguar dari atas jemuran bambu yang membujur di samping rumah. Jemuran bambu itu didirikan oleh anak tertuanya sebelum mati sebulan lalu. Tiada sakit yang anak itu derita. Pada subuh di hari Minggu, dia ditemukan sudah tidak bernyawa oleh Joro yang bersiap pergi memancing ikan. Mata anak itu masih terbuka, tubuhnya menegang dengan bekas cekikan di lehernya. Tangis Eba pecah.

“Dicekik setan,” demikian gumaman tertahan dari beberapa orang kampung sambil menatap Eba dengan pandangan yang sulit dia pahami.

Seminggu sesudah masa berkabung lewat, Joro menanam anakan pohon ketapang yang ketiga persis di sebelah kanan pohon ketapang kedua yang mulai tumbuh besar. Pohon ketapang yang kedua itu ditanam oleh Joro saat anak perempuan mereka mati, setahun lalu. Anak perempuan satu-satunya itu disengat kelabang yang sepertinya jatuh dari atap rumah ke atas tempat tidurnya. Tidak lama kemudian, tubuh anak itu kejang sambil menjerit kesakitan dengan mata membelalak, lalu mati. Kelabang itu menghilang entah ke mana.

Dahan ketapang kering melayang dan jatuh di pangkuan Eba. Menurut Joro, pohon ketapang yang ditanamnya adalah lambang pengharapan akan kehidupan, agar tidak ada lagi kematian. Akan tetapi, setelah kehilangan yang bertubi-tubi itu, Eba merasa suaminya itu hanya mengada-ada. Anak-anaknya mati satu demi satu, berguguran bagaikan daun-daun ketapang itu.

Eba ingat kepada anak perempuannya yang cantik dan rajin, anak lelaki bungsunya yang nakal tetapi menggemaskan, dan anak sulungnya yang penurut dan tampan, sama seperti bapaknya. Eba kembali dihumbalang oleh perasaan benci yang sama dahsyatnya dengan kebencian yang serta-merta menjalari dirinya tatkala mendengar bisik-bisik perempuan kampung yang menyebut-nyebut sesuatu seperti “digigit setan” saat melayat jenazah anak itu.

Eba tidak punya kekuatan untuk melawan perlakuan penduduk kampung terhadap dirinya. Semua penduduk kampung ini adalah kerabat suaminya. Eba merasa akan melukai perasaan Joro apabila dia bertengkar melawan perlakuan mereka yang semena-mena itu. Akhirnya, dia selalu diam dan menelan rasa benci itu untuk dirinya sendiri.

***

Eba seorang yatim piatu. Dia lahir dan tumbuh di Kampung Kairatu, di Pulau Seram. Bapaknya mati empat bulan sebelum dia lahir. Eba lalu dibesarkan oleh Nenek, dukun kampung yang membantu persalinan ibunya. Ibunya meninggal empat hari sesudah melahirkannya. “Dimakan naga,” demikian jawaban beberapa perempuan di Kampung Kairatu yang ditanyai tentang asal-muasal kematian ibunya. Sang Nenek, seperti biasanya, selalu bungkam ketika ditanya.

Nenek membesarkannya dengan penuh sayang. Perempuan tua itu amat suka menari. Nenek biasanya menari di dalam kamarnya yang temaram. Dia menggumamkan semacam nyanyian tanpa kata untuk mengiringi gerakannya.

Beberapa kali Eba melihatnya menari di halaman belakang gubuk mereka pada malam hari, terutama saat bulan sedang penuh. Sesekali, Nenek akan memanggil Eba, lalu memintanya mengikuti gerakan tarian itu.

Eba tidak kunjung memahami maksud Nenek menyuruhnya ikut menari. Akan tetapi, lama-kelamaan dia semakin suka menari. Eba bisa menirukan tarian Nenek dengan sempurna sambil menutup mata. Meskipun begitu, dia tetap tidak bisa menggumamkan nyanyian Nenek yang sering dia dengar.

Joro dan Eba berjumpa pada pesta katreji, tarian khas Maluku yang dipengaruhi budaya Portugis, di Kampung Kairatu. Pertemuan itu terjadi setahun sesudah Eba kehilangan Ica, suami pertamanya.

Ica mati diserang seekor celeng ketika berburu di hutan.

Joro datang ke pesta dansa itu bersama-sama dengan pemuda-pemudi lain atas undangan penyelenggara pesta. Mereka segera saling jatuh cinta pada pandangan pertama. Joro ingin segera menikahi Eba. Akan tetapi, niat Joro itu ditentang keras oleh kerabat mereka, termasuk para tetua Kampung Sameth. Selain Eba adalah seorang janda, pertentangan itu juga disebabkan kedua kampung memiliki hubungan pela gandong, hubungan persaudaraan antarkampung secara adat. Seorang laki-laki dari Kampung Sameth tidak boleh menikahi perempuan dari Kampung Kairatu. “Pamali. Leluhur akan marah. Kita semua akan kena musibah,” kata mereka. Di samping itu, desas-desus bahwa Eba adalah perempuan suanggi, pengamal ilmu hitam, telah santer terdengar di Kampung Sameth.

Seperti biasa, Joro diam saja. Dia adalah laki-laki yang rajin dan sederhana, tidak pernah banyak bicara. Joro lalu mengajak Eba kawin lari ke rumah sahabatnya di Kampung Tala, di sebelah barat Pulau Seram. Sesudah melangsungkan pernikahan, mereka bertekad untuk menetap dan membangun hidup baru di Kampung Tala.

Empat bulan kemudian, datanglah berita dari Kampung Sameth. Ibu Joro hampir mati karena sakit. “Dia dirasuki suanggi,” demikian tukas beberapa kerabat sambil menatap Eba dengan tajam dan penuh kecurigaan saat mereka berdua tiba di sana.

Eba bisa merasakan bahwa mereka mencurigai dirinya telah mengirim guna-guna hingga ibu mertuanya jatuh sakit.

Joro adalah anak tunggal dari salah satu tetua Kampung Sameth. Bapaknya terbunuh saat kerusuhan berdarah antara orang-orang Islam dan Kristen di pulau itu pada 1999, dua puluh tahun lalu. Oleh karenanya, para tetua kampung meminta agar dia tetap tinggal di rumah pusaka untuk menjaga warisan keluarga mereka.

Joro tahu bahwa perempuan yang menjadi istrinya tidak diinginkan oleh keluarga besarnya. Dia tetap bergeming. Laki-laki itu tetap melaut dan pergi ke hutan. Permintaan para tetua agar membuang perempuan itu dan mencari istri yang sepadan tidak dia dengarkan. Joro tidak pernah menyatakan perasaan cintanya dengan cara memeluk Eba atau sekadar mengusap kepala anak-anaknya. Akan tetapi, dia tidak pernah ringan tangan atau tidak setia. Di mata Eba, dia laki-laki sempurna. Dia tidak banyak berubah sejak saat pertama Eba menangkap kilatan penuh sayang di matanya.

Saat anak bungsu mereka mati, desas-desus yang berkembang di kampung mengenai Eba sebagai pembawa petaka bagi keluarga besar mereka makin santer. Hal itu sampai ke telinga Eba, juga ke telinga Joro dan kedua anak mereka yang tersisa. Eba masih belum lupa perlakuan perempuan-perempuan kampung yang memunggunginya saat tiba di sungai untuk membasuh perabotan dapur atau mencuci pakaian. Berbulan-bulan mereka semua menolak berbicara dengannya.

Eba tidak tahan lagi.

Joro pun demikian. Dia segera membawa Eba dan kedua anak mereka menjauh ke pinggiran kampung dan mendirikan rumah sederhana untuk mereka tinggali. Joro tidak lagi sering bertemu dengan orang-orang kampung. Dia selalu pergi ke hutan dan memancing seorang diri. Kebunnya pun dikerjakan seorang diri.

Saat kematian ketiga menghampiri keluarga mereka, orang-orang kampung itu makin berani. Mereka meneriaki Eba dengan sengit, menyebut-nyebutnya sebagai perempuan naga dan suanggi.

Menurut Joro, orang-orang kampung percaya bahwa dalam tubuh Eba bersemayam seekor naga yang akan membunuh anggota keluarganya pelan-pelan dengan berbagai cara. Naga itu berdiam di dalam jiwa perempuan keturunan suanggi.

Beberapa orang lain bersikeras bahwa itu adalah akibat yang harus ditanggung oleh Eba dan Joro karena berani melangsungkan pernikahan meskipun punya hubungan pela gandong. Mereka tidak segan mengusir dan meludahi Eba saat berpapasan.

Eba lebih sering mengurung diri di rumah. Dia tidak pernah muncul di kebaktian gereja, bahkan tidak pernah lagi pergi ke sungai untuk mencuci baju dan perabotannya. Dia merasa marah atas segala tuduhan yang dilontarkan padanya oleh warga kampung. Dia sendiri tidak mengerti mengapa hidupnya dikelilingi kematian. Dia juga tidak memahami pikiran mereka yang menganggap dirinya sebagai pembawa kematian. Dia bukan suanggi. Dia pun tidak percaya pada takhayul tentang naga dan hubungan pela gandong yang bisa membunuh anak-anaknya. Sejak kecil, Nenek selalu membawanya ke gereja dan mengajarinya berdoa. Di setiap ruangan di gubuk Nenek ada gambar Tuhan, kecuali di kamar temaram tempat Nenek menari.

Eba percaya pada Tuhan. Saat kecil, dia kadang-kadang menangis sambil menatap gambar di dinding gubuk, meminta orangtuanya hidup lagi, atau meminta supaya Nenek jangan mati karena dia tidak sanggup membayangkan akan menjalani hidup seorang diri. Meskipun orang tuanya tidak pernah hidup lagi dan Nenek akhirnya mati, Eba tetap suka pada Tuhan yang selalu disebutnya dalam doa.

***

“Mama Eba! Mama Eba! Buka pintu! Buka!” suara ketukan keras di pintu depan yang diringi teriakan seseorang membuat Eba terperangah. Dia tersadar dari lamunannya. Eba segera berdiri dari balai-balai, lalu mengayunkan langkah setengah berlari melewati dapur menuju ruang depan.

“Mama Eba! Buka pintu! Cepat!” suara itu semakin keras. Eba meraih gerendel pintunya, lalu menggeserkan pengaitnya ke arah kiri.

Seraut wajah kecokelatan yang kurus dan penuh keringat menatapnya dengan mata merah membelalak seakan terkejut bercampur takut. Eba mengenali anak gadis itu. Namanya Pite, anak dari adik sepupu suaminya. Sebelum Eba membuka mulutnya untuk berbicara, Pite kembali berteriak dengan kencang. Tubuhnya bergetar makin hebat. “Mama Eba! Mama Eba! Bapa Joro jatuh dari pohon cengkeh. Bapa Joro sudah mati! Bapa Joro sudah mati!” anak itu berbicara dengan tersengal-sengal sambil menahan tangis.

Dunia di hadapan Eba tiba-tiba gulita. Bibirnya tidak sanggup bicara. Dia mundur selangkah sambil berpegangan pada daun pintu. Tangan dan kakinya gemetar. Air matanya menggenang, tetapi tenggorokannya seperti tercekat, tidak mampu mengeluarkan suara.

“Mama Eba … Mama Eba …!” teriak Pite sambil menunjuk ke arah kejauhan di lembah.

Orang-orang tampak menyemut di sana. Sebagian dari mereka mengenakan pakaian berwarna hitam yang biasanya dikenakan oleh para tetua kampung. Mereka menyusuri jalan menanjak yang mengarah rumah Eba. Diiringi tabuhan tifa bertalu-talu yang menyiarkan kematian ke penjuru kampung, mereka mengusung sesosok tubuh dengan langkah yang terburu-buru.

“Joro …!” raungan Eba tenggelam dalam keriuhan warga kampung yang mendekati rumah Eba.

Terdengar ratap para perempuan menyebut-nyebut nama Joro bersahut-sahutan dengan gemuruh suara para lelaki meneriakkan serentetan kalimat yang bernada marah. “Perempuan suanggi! Pembunuh Joro! Perempuan naga! Usir dia! Eba! Keluar kamu!”

Eba dibekap kebekuan. Kakinya yang baru mulai berlari untuk menemui tubuh yang ditandu itu seakan terpaku. “Joroo!” Teriakan yang terasa memarut tenggorokkannya tidak juga melewati bibirnya yang kering, bergetar.

Tiba-tiba Eba terlempar ke masa tiga puluh tahun lalu, saat pertama kali dia menyadari bahwa orang-orang yang dikuasai amarah sanggup berbuat apa saja. Peristiwa serupa telah menimpa Nenek ketika ratusan warga Kampung Kairatu tiba-tiba mendatangi rumahnya sambil meneriakinya dengan sebutan suanggi lalu menghancurkan rumah dan segala isinya.

Eba didera kerinduan yang tak terperikan pada Nenek. Dia berlari meninggalkan Pite, menuju ke kamar tidurnya. Dia membuka lemari kayu tua dan mengeluarkan kotak kayu yang terletak di salah satu sudutnya. Air matanya berguguran membasahi kotak itu. Dia membukanya dengan tergesa-gesa lalu meletakkannya di atas meja. Pada bagian dalamnya terukir gambar kepala naga. Eba melepaskan tusuk kondenya hingga rambutnya tergerai lepas. Dia memejamkan matanya. Tubuhnya mulai bergoyang pelan. Dorongan yang gaib mengantar Eba ke dalam tarian yang dulu membuat orang-orang Kampung Kairatu menuduh Nenek sebagai suanggi.

Bunyi riuh teriakan manusia diselingi ratap tangis itu makin dekat. Eba mempercepat gerakan tariannya. Bayangan Nenek muncul di hadapannya berujar lirih, “Ingatlah, setiap perempuan adalah naga yang mampu menghanguskan seisi dunia dengan dengan api. Bahkan jika harus menangis pun, api itu tidak akan bisa dipadamkan oleh air mata. Jangan biarkan kekuatan dalam dirimu kalah dengan kepahitan!”

Gerakan tarian Eba semakin liar. Kepalanya mendongak ke atas. Satu demi satu gambaran muncul di dalam ingatannya. Anaknya yang mati satu demi satu; tarian yang dilakukannya diam-diam di hadapan kotak kayu Nenek yang terbuka; Joro yang selalu tersenyum di hadapan sepiring ikan kuah kuning; perempuan-perempuan kampung yang menggunjingkan kotak kayu bergambar naga miliknya; serta para tetua kampung yang selalu menatapnya dengan pandangan penuh kebencian.

Dengan lengan kirinya, Eba meraih kotak berisi ukiran naga itu. Dia memeluk kotak pemberian Nenek itu erat-erat. Satu-satunya peninggalan Nenek yang mampu dia selamatkan dari amuk orang-orang Kampung Kairatu yang menuduh perempuan tua itu suanggi. Nenek yang sangat dia sayangi, yang mengajarinya menari, berdoa, dan memasak papeda dan ikan kuah kuning paling enak di dunia.

Suara riuh orang-orang dan gegap tabuhan tifa makin dekat dan begitu mengancam. Beberapa saat kemudian, telinganya menangkap suara batu yang berjatuhan melubangi atap rumah yang terbuat dari daun sagu. Suara puluhan laki-laki dan perempuan bersahutan, “Keluar kamu, Eba! Perempuan suanggi! Joro mati! Enyahlah kamu!”

Eba membuka mata saat merasakan hawa panas di sekelilingnya. Api telah menjalari dinding rumah itu dengan amat cepat. Matanya perih dan nafasnya mulai sesak karena dikepung asap tebal. Di tengah kobaran api sekeliling lemari kayu, Nenek tersenyum penuh sayang sambil membuka kedua lengannya. Eba menari sambil bergerak maju lalu melebur dalam pelukan Nenek. Kotak kayu jatuh ke lantai saat Eba menyandarkan kepalanya di dada Nenek. Panas membara di sekeliling berganti menjadi kehangatan yang melenakan Eba. Dia kembali menutup mata. Senyum yang manis tersungging di bibirnya. Bersamaan dengan itu, suara gemeretak yang keras disusul gemuruh bangunan roboh membubungkan asap hitam pekat dan pijaran bunga-bunga api ke langit yang mulai memerah.

***

Tabuhan tifa berhenti. Keriuhan orang-orang yang berkumpul di sekeliling rumah itu berangsur hening. Hanya terdengar suara ombak menghantam tebing karang. Pada sela-sela gumpalan asap tebal yang masih mengepul dari reruntuhan rumah, terlihat barisan para tetua kampung yang berpakaian hitam. Mereka menatap kobaran api pada reruntuhan rumah dengan pandangan penuh kemarahan.

Di tengah barisan para tetua, berdiri seorang laki-laki bertubuh subur. Dia berpakaian hitam panjang. Kulitnya bersih, wajahnya bulat, dengan rambut yang berminyak. Laki-laki itu berdiri sambil menatap lurus ke depan. Dia menengadahkan telapak tangan kanan ke arah reruntuhan rumah. Tangan kirinya memegang buku tebal berwarna hitam yang sedang terbuka. Dengan suara berat dan lantang, laki-laki itu berkata, “Saudara-Saudaraku dalam iman! Ini adalah suatu peringatan tentang hukuman Tuhan bagi siapa saja yang menyembah berhala. Ingatlah, Tuhan kita adalah Tuhan yang pencemburu. Tuhan akan menghukum manusia yang menduakan-Nya. Seperti ada tertulis di dalam firman ….” Laki-laki itu diam sejenak, lalu menunduk. Dia menatap buku tebal yang ada di tangan kirinya. Dia menghela napas dalam-dalam, lalu mengucapkan dengan lantang kata-kata yang dibacanya dari buku itu, “Enyahlah dari hadapan-Ku, hai kamu orang-orang terkutuk, enyahlah ke dalam api yang kekal yang telah sedia untuk iblis dan malaikat-malaikatnya. Amin!”

Lautan manusia menggumamkan, “Amin.” Gerimis perlahan turun dari langit yang mulai gelap. Satu per satu orang-orang itu berjalan menjauh dari reruntuhan rumah yang hampir habis dilalap api. Beberapa laki-laki kembali menggotong mayat Joro yang terbaring di atas tandu dan ditutup sehelai kain hitam. Mereka semua berjalan dengan langkah pelan dan dalam diam menuruni lembah menuju ke arah kampung.

 

*****

Dragon Woman

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Umar Thamrin: umar2x.umar@gmail.com

 

Dragon Woman

 

Eba squeezed lime juice into a small brown bowl with a chipped rim. Her curly graying hair was put up in a bun. Damp ringlets fell over the collar of her shabby red kebaya. With a corner of the pale orange shawl draped around her shoulders, Eba dabbed at the beaded sweat on her temples and thought, It is already afternoon. Joro will be home soon.

The skipjack tuna soup was simmering. Thin spirals of steam rose with the scent of basil, ginger, lemongrass, and turmeric from the golden broth. Using her fingers, Eba deftly removed the lime seeds from the bowl, tossed them into the garuru, a basket made from woven sago palm fronds, and poured the juice into the bubbling broth. After a few stirs, she spooned the broth and thick chunks of skipjack tuna into a serving bowl. She brought her face closer to the steaming bowl and closed her eyes, inhaling deeply. She enjoyed her cooking.

Eba scattered the remaining embers of the earthen stove until the flames were completely extinguished. “Joro will enjoy it,” she whispered. A thin smile curled Eba’s thick lips as she placed the bowl on the table, next to a small plate of ​​banana blossom slices she had fried with a handful of onions and a pinch of salt.

Eba bloomed with joy. During her twenty years of marriage, she had learned to recognize this feeling of satisfaction after she prepared a meal. She really liked to cook. This was what made her different from many of the other women in Sameth, a village on Indonesia’s Haruku Island, where she and Joro lived. Most women on the island preferred to sit and gossip instead of spend time in the kitchen. Compared to them, Eba was certainly a much better housewife. She lived to serve her husband and children.

Eba froze at the edge of the table. Her eyes grew misty and a familiar sadness washed over her, as she looked at the table. Once, the portions she cooked had been much larger. Children had stood around the table vying to fill their plates. But her children had all died. Now, thinking of them, Eba’s heart felt like a pincushion with numerous pins stuck into it.

Eba shook her head slowly, and wiped her eyes. That’s enough. Don’t cry anymore. Crying will only make their bones tremble in their graves; they will not be able to rest peacefully. A bittersweet smile replaced her tears.

Eba reached for a food cover hanging on the wall and placed it over the dishes on the table. “All that’s left to prepare is the papeda,” she said quietly, referring to the traditional Moluccan sago congee dish. “I’ll take a short break and boil the water later. Then I can prepare the sago congee as soon as Joro arrives. He will sulk if I serve him cold papeda.” She took a deep breath and turned away from the table.

***

Eba walked through the kitchen, where the cooking fire was still smoldering, and stepped outside through a door made of gaba-gaba. Like the rest of the house, the door was made from slats cut out of sago palm midribs while the thatched roof was held up by bamboo beams. Their house stood secluded on a cliff, in the southern part of Sameth, with its main door facing the sea. The black coral cliffs extended into the water, serving as a bulkhead that protected them from the mighty waves during the east monsoon.

Behind the house, where Eba now stood, she and Joro used to sit and look at Ambon Island in the distance. On a clear day, they could see the peak of Mount Salahutu, bathed proudly in the sunlight. Today, the mountain, wrapped in dark clouds, looked a little ominous.

Joro had chiseled out a narrow path between the steep rocky slopes so they could walk from their house down to the beach, where they fished, dug for clams, and responded to the call of nature.

Eba slumped onto a bench built with gaba-gaba. The bench was shaded by three ketapang trees. Joro had planted the tallest of these sea almond trees the day after they buried their youngest son two years ago. The boy had been harvesting barnacles off the cliff when he fell and was swept away by the sea.

“He was taken by the sea devil,” said the village elder when, the next day, fishermen from a neighboring village found the boy’s open-mouthed, bloated body floating in the ocean. After two days of mourning, Eba and Joro decided to plant a ketapang tree in remembrance of their son and that sorrowful day.

Eba closed her eyes. Inhaling the scents of the sea, she tried to dismiss the melancholy, lingering in her mind. She caught a whiff of the skipjack tuna drying on the bamboo racks lined up along the side of the house. Her eldest son had built the racks before he died on a Sunday, just a month ago. Joro had been getting ready to go fishing at dawn when he found his son’s dead body. The boy’s eyes were open, and bruises circled his neck. The boy had never been sick. Eba began to cry, remembering how the villagers had given her strange looks while muttering, “Strangled by the devil.”

After the customary week of mourning, Joro planted the third ketapang sapling, just to the right of the second which he had planted a year ago when their only daughter died. The girl had been stung by a centipede that had fallen from the ceiling onto her bed. The child jolted upright and, wide-eyed, screamed in pain. She died while the centipede disappeared.

A dry ketapang twig dropped onto Eba’s lap. Each time Joro had planted a ketapang tree, he told her it was a symbol of hope for life and a prevention of more death. But after her continual losses, Eba came to believe that her husband was just making up stories to soothe her. Her children had fallen one by one, like the dried ketapang leaves.

Eba remembered her beautiful and diligent daughter; her youngest son, who was naughty but adorable; and her obedient, eldest son who was handsome, just like his father. A hatred flared in her heart — a hatred as terrible as what she had felt during the wake for her daughter, when she overheard the village women whisper, “Bitten by a demon.”

Eba had not wanted to confront the villagers who treated her badly. Everyone in this village was related to her husband, and Eba didn’t want to hurt Joro’s feelings. She therefore kept silent and dealt with the hatred she felt, alone.

***

Eba was an orphan. She was born and raised in Kairatu, a village on Seram Island. Her father had died four months before she was born, and her mother died four days after giving birth to her. Eba’s grandmother, the village midwife who had helped Eba’s mother give birth to her, raised Eba. “Eaten by a dragon,” was the reason several village women attached to her mother’s death. Eba’s grandmother, as usual, kept silent.

Eba’s grandmother raised her with great affection. The old woman loved to dance. She usually danced in her dimly lit room while humming a mantra but several times, Eba saw her dancing at night in their hut’s backyard during the full moon. Occasionally, her grandmother called to Eba to dance with her.

Although Eba did not understand why her grandmother asked her to join in the dance, she gradually began to like dancing. Soon, Eba could imitate her grandmother’s moves with her eyes closed. But she still could not hum her grandmother’s strange song.

Eba’s first husband, Ica, had been killed by a boar while he was hunting in the forest. A year after Eba lost Ica, she met Joro in Kairatu at a katreji, a traditional Moluccan dance influenced by Portuguese culture. Joro had been invited to the dance party along with other young people.

It was love at first sight. Joro wanted to marry Eba immediately, but Joro’s relatives, and the village elders of Sameth, were opposed. Besides the fact that Eba was a widow, Kairatu and Sameth had a pela relationship, a traditional alliance between villages that did not allow a man from Sameth to marry a woman from Kairatu. “Taboo,” the villagers said. “The ancestors will be angry. Bad luck will befall all of us.” Moreover, the widely-spread rumor in Sameth was that Eba was a suanggi, a witch who practiced black magic.

As usual, Joro was silent. He was a diligent, simple, reserved man. He asked Eba to elope with him to his best friend’s house in Tala, a village on the west side of Seram Island. After their marriage, they settled down and built a new life in Tala.

However, four months later, they received news from Sameth. Joro’s mother was dying. When they arrived, several relatives eyed Eba suspiciously. “She’s possessed by a suanggi,” they said, as if Eba had cast a spell to make her mother-in-law ill.

Joro had been the only child of a Sameth elder who was killed during the bloody riot between Muslims and Christians on the island in 1999, twenty years ago. The village elders now wanted Joro to move back to his ancestral house in Sameth, to protect their family’s heritage.

Joro was well aware of his extended family’s rejection of his wife, but he ignored it. He and Eba moved to Sameth. Turning a deaf ear to the elders’ requests to rid himself of Eba and find a suitable wife, Joro simply continued his routine of fishing and working the land. He never expressed his love by hugging Eba or stroking their children’s heads, but he was never abusive or unfaithful. And to Eba, he was the perfect man. He had not changed much from the time Eba had first caught an affectionate glint in his eyes.

When their youngest child died, the rumor spread that Eba was the bearer of bad luck. The rumor reached the ears of Eba and Joro, as well as their two remaining children. Eba would never forget how the village women turned their backs on her when she came to the river to wash clothes and kitchenware. For months, they all refused to speak to her. Finally, Eba could not take it anymore.

Joro felt the same. He took Eba and their two children to the outskirts of the village and built a hut for them to live in. Joro no longer mingled with the Sameth villagers. He went alone to hunt in the forest and fish in the sea. He worked his garden by himself.

When the third death struck Joro’s family, the village people grew contentious. Screaming fiercely at Eba, they called her a dragon woman and a suanggi. The villagers blamed Eba and Joro for breaking the pela relationship. They shooed and spit on Eba whenever they passed her.

Joro explained to Eba that the villagers believed that a dragon lived in her body and that the beast would slowly kill off her family in various ways. The dragon was passed down through generations of women.

Eba secluded herself at home. She no longer attended church and never went to the river to wash her clothes and kitchenware. She raged at all the villagers’ accusations against her. She didn’t understand why her life was surrounded by death. Nor did she understand why everyone thought of her as a jinx. She was not a suanggi. She did not believe the superstitions about dragons and the violations of pela relationships that could kill her children. If only they knew that during her childhood, her grandmother used to take her to church and taught her to pray. A picture of God hung in every room in her grandmother’s hut — except in the dim room where she danced.

Eba believed in God. When she was a child, she would sometimes sit and cry while staring at one of the pictures of God, hanging in her grandmother’s hut, begging God to let her parents live again or begging God not to let her grandmother die because she could not even bear to imagine living her life alone. And even though her parents never lived again and her grandmother eventually died, Eba still loved God, and always called on Him in her prayers.

***

“Mama Eba! Mama Eba! Open the door! Open the door!” The screaming and rattling of the front door jolted Eba out of her daydream. She jumped up from the bench and ran to the front door.

“Mama Eba! Open the door! Hurry up!” the voice screamed louder. Eba flung the slide bolt to the left.

A sweaty brown face stared up at her, with wide, bloodshot eyes filled with shock and fear. Eba recognized the skinny girl. Pite was the daughter of one of her husband’s cousins. Before Eba could utter a single word, Pite started to scream again. Shaking violently, she cried, “Mama Eba! Mama Eba! Uncle Joro fell out of a clove tree. Uncle Joro’s dead! Uncle Joro’s dead!”

The world around Eba turned black. Trembling, she took a step back, still holding onto the door. Her eyes filled, and her throat tightened. She couldn’t make a sound.

“Mama Eba! Mama Eba! Look!” Pite pointed at the throngs of people gathering below them at the base of the cliff. Some wore the black clothes typically worn by village elders. The crowd rushed up the path that led to Eba’s hut, accompanied by the drumming of tifas. The single-headed goblet drums broadcasted Joro’s death throughout the village.

“Joro!” Eba’s howl was drowned out by the clamor of the villagers approaching Eba’s house, carrying Joro’s body.

The women wailed, calling Joro’s name, while the men shouted a series of angry accusations. “Suanggi bitch! Joro’s killer! Dragon bitch! Banish her! Eba! Get out!”

Eba stood paralyzed, stunned with fear. “Jorooo!” The scream caught in her throat before it could pass her dry, trembling lips.

Without warning, Eba was thrown back thirty years in time, when she first realized that people driven by hate were capable of doing anything. She had been with her grandmother when a similar incident had happened. Hundreds of people from Kairatu had swarmed her grandmother’s house, called her a suanggi, and then destroyed the house and everything in it.

Overcome by an unspeakable longing for her grandmother, Eba spun away from Pite and ran to her bedroom. She opened the cupboard and took out a wooden box tucked back in a corner of a shelf. Tears fell on the box as she hurriedly opened it and placed it on the table. A dragon’s head was carved in the bottom of the box.

Eba snatched out the hairpin holding her bun, and her hair fell loose. She closed her eyes, and her body began to slowly sway. A supernatural urge led Eba to perform the dance that had caused the people of Kairatu to accuse her grandmother of being a suanggi.

Outside, screams interspersed with wailing grew louder. Eba’s movements grew faster. Her grandmother’s image appeared to her and whispered, “Remember, every woman is a dragon capable of scorching the whole world with her fire. But even if she is compelled to cry, her tears will not extinguish that fire. Do not allow hardship to weaken you!”

Eba’s dance became wilder. She looked up. One image after another appeared in her mind. Her children who died, one by one; Joro, who always smiled in front of a plate of papeda and yellow fish soup; the dance she performed surreptitiously in front of her grandmother’s open dragon box; the village women who gossiped about the box; the village elders who always stared at her with a hateful gaze.

Eba grabbed her grandmother’s dragon box and hugged it tightly to her chest. The dragon box was the only thing she had saved from the fury of the Kairatu people who accused the old woman of being a suanggi — the grandmother she loved so much, who had taught her to dance, pray, and cook the world’s most delicious papeda and yellow fish soup.

The wailing, along with the threatening clamor of boisterous screams and the drumming of tifas, were so close. Rocks pelted the roof of sago palm leaves, as the voices of dozens of men and women shouted, “Get out, Eba! Suanggi bitch! Joro is dead! Kill her!”

Eba opened her eyes when she felt the heat surround her. The fire had spread through the hut very quickly. Her eyes stung and she choked on the thick smoke. Amid the flames flaring from the wood cupboard, her grandmother emerged and smiled lovingly as she opened her arms.

Eba danced into her grandmother’s arms. The dragon box fell to the floor as Eba rested her head on her grandmother’s chest. The scorching heat turned into a comforting warmth and lulled her. Eba closed her eyes again. A sweet smile tugged at her lips.

A loud crackling sound was followed by the rumbling of the hut’s collapsing frame. Thick black smoke billowed. Sparks of fire merged with the crimson sky.

***

The drumming of the tifas stopped. The crowd surrounding the house gradually quieted. Now, only the waves crashing against the cliffs was heard. Cloaked by the thick plumes of smoke rising from the ruins of Eba and Joro’s hut stood a row of village elders dressed in black. With eyes ablaze with anger, they stared at the lingering flames licking at the charred ruins.

In the middle of the line of elders stood a man dressed in a long black cassock. He was fair-skinned and well-groomed. Looking straight ahead, he turned his right palm towards the burned hut. His left hand held an open, thick, black book. With a deep, loud voice, the man intoned, “My brothers and sisters in the faith! This is a warning! God will punish anyone who worships idols. Remember, our God is a jealous God. God will punish people who doubt Him. As it is written in this book …” The man paused, then lowered his head. He stared at the book in his left hand. He took a deep breath, then read aloud from the book, “Get away from me! God has cursed you! Go into the everlasting fire that was prepared for the devil and his angels! Amen!”

The ​​crowd murmured, “Amen.”

A light rain drizzled from the dark sky. The crowd turned away from the ruins of a hut almost completely devoured by fire. Several men carried the stretcher with Joro’s body, covered with a black sheet. They all walked slowly and silently down the cliff towards the village.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Rubini dan Ibu Ratu

Berti Nurul Khajati lulusan IKIP Muhammadiyah Purworejo. Dia lulus pascasarjana tahun 2021 di UHAMKA Jakarta. Kini, dia tinggal di Bekasi, Jawa Barat, dan mengajar di SD Negeri Setia Asih 06, di Kecamatan Tarumajaya. Dia dan kawan-kawan telah menerbitkan buku cerita anak berjudul Aku Anak Laut (Rose Book, 2019) dan Mencari Harta Karun (Rumah Imaji, 2022). Dia juga menulis karya ilmiah yang telah diterbitkan oleh beberapa jurnal ilmiah. Menulis cerita pendek tanpa kata serapan adalah tantangan baru baginya.

Berti Nurul Khajati: bertikhajati2@gmail.com

 

 

Rubini dan Ibu Ratu

 

“Dini hari, tanggal 6 Maret 1942, Purworejo diserang oleh satuan Isoroku Yamamoto. Pasukan Jepang ini bergerak dari arah Yogyakarta. Purworejo yang masih dikuasai oleh Belanda dengan tentara KNIL-nya sempat melancarkan perlawanan sengit di wilayah tenggara Kota Purworejo. Namun, pasukan Jepang mampu memadamkan perlawanan itu sehingga pada pukul sebelas siang, Kota Purworejo sudah dikuasai.” Tuso mendengarkan siaran radio sambil berjongkok di depan tungku. Sebilah arit berkilat-kilat terselip di dinding berkilau memantulkan sinar api tungku ke wajah Tuso.

Siaran radio masih berlangsung. Gawat! Jepang sudah masuk Purworejo, bisik hatinya. Dia melirik ke arah istrinya. Dada Tuso berdegup kencang mengingat perintah Pak Lurah untuk memimpin perlawanan jika tentara Jepang menyerang.

Rubini tengah mondar-mandir menyiapkan nasi liwet dan daun singkong berkuah santan. Dia menaruh piring dan mangkuk di atas meja kayu sambil bersenandung lirih. Padi di sawah mereka sudah menguning. Beberapa hari lagi mereka panen.

Dor! Dor! Dor! Tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tuso dan Rubini saling pandang.

Dengan sigap, Tuso meraih arit yang terselip di dinding dan menarik tangan Rubini. “Cepat keluar! Bersembunyilah di sawah! Merunduk di antara batang-batang padi!”

“Kang Tuso mau ke mana?” Rubini berteriak gemetar.

“Jangan khawatirkan aku! Cepat sembunyi sebelum mereka datang!”

Rubini menyibak batang-batang padi yang dipenuhi oleh bulir-bulir yang membulat. Padi-padi sudah saatnya dipanen. Namun tiba-tiba Desa Clapar, desa terpencil di atas bukit dekat Purworejo itu, menjadi medan pertempuran antara tentara Jepang dan Belanda.

Rubini tetap bertahan di antara batang-batang padi yang tumbuh subur dengan bulir-bulir gabahnya yang tajam menusuk kulit. Rasa gatal bercampur perih membuat Rubini tidak betah, tetapi untuk keluar dari tempat persembunyiannya pun dia tidak punya keberanian.

Matahari sore sudah waktunya terbenam. Warna merah lembayung menyemburat di ufuk barat, seakan melengkapi ceceran darah dari tubuh-tubuh yang bergelimpangan di sepanjang jalan yang membelah desa. Dengan kepala terunduk, Rubini mengintip dari kerimbunan batang padi. Letusan bedil masih terdengar sesekali, sebelum akhirnya sunyi menguasai malam yang gelap-gulita karena tidak seorang pun menyalakan pelita. Dengan tubuh penuh goresan luka, Rubini mengangkat kakinya yang lama terbenam di lumpur sawah dengan susah-payah. Sebagian lumpur mengering di betisnya.

Dari tempat persembunyiannya, Rubini melihat tentara Jepang menggelandang beberapa pemuda desa dengan tangan terikat ke belakang dan meninggalkan tubuh-tubuh meregang nyawa itu begitu saja. Pembantaian oleh tentara Jepang, dengan cara menembaki para lelaki desa yang tidak memiliki senjata, telah usai. Dengan cepat, mereka berderap mengikuti perintah pemimpinnya ke luar dari Clapar.

Para perempuan mulai berani keluar dari persembunyiannya dan suasana semakin gaduh. Terhuyung Rubini menghampiri tubuh-tubuh yang tergeletak bersimbah darah. Tubuh-tubuh penuh luka masih bergelimpangan. Erangan demi erangan semakin menghilang seiring suara mengorok yang menandakan lepasnya nyawa dari badan. Desah napas yang memburu berganti dengan cekaman kesunyian yang menakutkan. Desa Clapar telah berubah menjadi desa mati. Para lelaki yang semula menghidupkan desa dan mengolah sawah telah dibantai oleh serangan tiba-tiba. Mereka hanya membawa senjata berupa arit yang biasanya digunakan sebagai alat untuk memanen padi.

Perempuan-perempuan Desa Clapar tidak sempat lagi menangisi kematian suami dan anak lelaki mereka. Mereka harus segera menggali kuburan agar tubuh-tubuh tidak bernyawa itu dapat dimakamkan malam itu juga. Suara jangkrik berselingan dengan suara linggis dan pacul yang berbenturan dengan tanah dan bebatuan merindingkan bulu roma Rubini.

Di pinggir jalan setapak yang ditumbuhi rerumputan, tubuh Tuso tergeletak bersimbah darah. Bau anyirnya menusuk hidung Rubini. Dia bersimpuh sambil memegang dadanya yang tiba-tiba sesak. Orang yang dicintainya meninggal dengan cara mengenaskan. Sama seperti perempuan-perempuan lain, Rubini menguburkan Tuso dengan pakaian yang melekat di badan. Tidak ada waktu lagi untuk mencari kain kafan. Tanah yang digali pun tidak terlalu dalam. Keterbatasan tenaga perempuan membuat kuburan-kuburan itu lebih mirip kuburan kucing daripada kuburan manusia.

Usai menguburkan jasad suaminya, Rubini bergegas membungkus pakaian seadanya. Para perempuan memutuskan untuk segera keluar dari Desa Clapar agar terhindar dari serangan tentara esok hari. Mereka meninggalkan Desa Clapar dengan berbekal buntalan sekadarnya, menyebar ke mana saja.

Rubini menuju Bapangsari dengan harapan bertemu sepupunya yang tinggal di desa atas perbukitan Menoreh itu. Gonggongan anjing di kejauhan dan rasa dingin yang menggigit kulit membuat hati Rubini berdesir. Bulan sabit di langit tidak cukup menerangi langkahnya.

Jalan menuju Bapangsari lengang ketika Rubini keluar dari Desa Clapar. Dia berjalan semalaman. Tiba-tiba, hari sudah berganti. Terik matahari yang mulai tajam bersama debu yang ditebarkan angin menyengat kulit Rubini. Perjalanan yang ditempuhnya sudah cukup jauh dari Clapar. Kakinya pegal dan perutnya lapar. Dengan gontai, dia melangkah menuju pohon asam untuk melepaskan lelahnya. Ada selokan kecil berair bening tidak jauh dari pohon. Rubini segera ke sana, menciduk airnya dengan tangan, lalu meneguknya. Segarnya air terasa membasahi kerongkongannya. Rubini kembali ke pohon asam dan bersandar pada batangnya. Angin semilir yang bertiup membuatnya mengantuk.

“He, kamu! Di mana laki-lakimu sembunyi?”

Rubini tersentak membuka matanya. Di depannya berdiri tiga tentara Jepang bersenjatakan bedil. Dia menolehkan kepala ke segala arah, namun tidak seorang pun tampak kecuali ketiga tentara yang berwajah garang. Terhuyung Rubini berusaha bangkit.

“Saya tidak punya laki-laki, Tuan. Saya janda.”

“Janda, he? Kau orang punya laki-laki melawan kami!” Wajah tentara itu terlihat kejam.

Matanya melotot dan urat-urat lehernya tampak seperti kawat-kawat yang menjulur tidak beraturan.

“Tidak, Tuan. Suami saya mati karena sakit.”

“He! Kamu orang bohong, ya? Itu apa kaubawa?” Bayonet yang tergantung di pinggangnya diangkat dan diarahkan pada buntalan yang tergeletak di tanah.

“Ini buntalan baju, Tuan. Saya mengunjungi sepupu.”

“Bohong!” Tentara itu mengangkat bedilnya. Diacungkannya senjata itu tepat di dada Rubini.

Rubini terkejut; keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Dengan tangan gemetar, dia mencari pegangan pada batang pohon tempatnya istirahat.

Seorang tentara yang sudah agak tua berbicara dalam bahasa mereka. Tampaknya teman-temannya dapat menerima omongan tentara tua itu. Mereka melanjutkan perjalanannya dengan langkah cepat.

Dengan lutut yang masih lemas, Rubini meraih buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanan ke Bapangsari.

***

Segera setelah berhasil menguasai Purworejo, Jepang membangun benteng pertahanannya. Benteng besar itu harus dikerjakan siang malam karena akan digunakan sebagai tempat untuk mengintai keberadaan KNIL.

Dari Desa Bapangsari, yang letaknya tinggi di atas perbukitan Menoreh di antara Kota Yogyakarta dan Purworejo, garis pantai dari Jatimalang sampai Congot memang jelas terlihat. Namun di sekitar bukit itu, ternyata masih banyak rumah-rumah penduduk yang mengganggu jalannya pembangunan benteng Jepang. Jepang memerintahkan Pak Lurah untuk merobohkan rumah-rumah itu.

***

Hari beranjak sore ketika Rubini tiba di Bapangsari. Langkahnya sudah terseok-seok. Tumitnya yang pecah-pecah dengan beberapa luka lecet di jari-jarinya membuat Rubini meringis menahan pedih. Dia berhenti di dekat batu besar. Di sekelilingnya ada orang-orang yang bekerja. Mereka menggunakan pacul dan linggis untuk menggali tanah yang keras berbatu. Bentuk galian itu memanjang dari ujung selatan ke utara. Rubini melihat bekas rumah-rumah yang dibongkar. Di ujung jalan Desa Bapangsari yang dulu sering dilalui ketika berkunjung ke rumah Karmin, sepupunya, dia melihat gundukan tanah bekas galian. Rumah sepupunya telah dibongkar dan digali menjadi parit juga.

Wajah Rubini pucat-pasi. Harapan untuk bertemu sepupunya hilang sudah. Hatinya ngeri dengan kenyataan di depan matanya. Sepupunya sudah kehilangan rumah. Rubini memandangi kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dengan perasaan bingung, dia menolehkan kepalanya ke kanan-kiri. Ada di mana Karmin sekarang, batin Rubini.

Tiba-tiba, seorang pekerja yang memanggul pacul melewati Rubini, berhenti dalam perjalanannya. Dia membalikkan badan dan, setelah menatapnya dengan cermat, datang menghampiri Rubini.

Mulut Rubini terbuka dan berteriak, “Karmin!” Hati Rubini membuncah. Matanya bersinar.
Karmin dengan cepat meletakkan jari telunjuk di bibirnya. “Kamu harus segera pergi dari sini!” Matanya yang cekung memancarkan kekhawatiran. Dia memegang bahu Rubini dan mendorongnya.

“Tapi …,” Rubini berusaha bertahan. Dipegangnya lengan Karmin. Dia berkeras untuk tinggal.

Karmin melanjutkan ucapannya dengan berbisik, “Bapangsari sudah dikuasai Jepang.

Kami laki-laki di desa ini harus bekerja menggali parit. Kamu harus pergi dari sini! Kalau ketahuan Jepang, kamu bisa celaka. Cepat pergi!” Karmin berbisik.

“Tolonglah saya, Kang.” Rubini memohon dengan mata berkaca-kaca. “Saya sekarang sebatang kara. Suamiku sudah dibunuh Jepang. Kamulah satu-satunya pelindungku.” Suaranya berbisik parau. Hatinya hancur melihat rumah sepupunya yang sudah dibongkar.

Tiba-tiba, dari balik timbunan tanah bekas galian, muncul seorang laki-laki bertubuh pendek. Dengan topi yang menutupi tengkuk, dia meneriakkan perintah kepada para pekerja dengan logat yang terdengar aneh.

Seketika Karmin merunduk dan mendorong Rubini dengan paksa. “Cepatlah pergi! Jika tertangkap, kamu akan dijadikan jugun ianfu.”

“Jugun ianfu? Apa itu?” Sergah Rubini.

“Melayani tentara Jepang seperti kamu melayani suamimu,” balas Karmin cepat. Hatinya kecut mengingat beberapa perempuan desa yang sudah menjadi jugun ianfu. Dia tidak rela Rubini menjadi bagian dari mereka. Ditatapnya wajah Rubini yang tiba-tiba memerah, lalu memucat.

Rubini pasrah saja ketika Karmin mengajaknya menjauh dari tempat itu.

Karmin menarik Rubini yang sudah kepayahan berjalan. Mereka menyusuri pematang sawah supaya terlihat seperti petani dan menjauh dari Bapangsari ke arah barat. Kira-kira dua jam berjalan, mereka menemukan sebuah dangau di tengah sawah. Setelah yakin keadaan aman, Karmin mengajak Rubini berhenti. Hatinya iba melihat keadaan Rubini. Namun jika membiarkannya tetap di Bapangsari, akan sangat berbahaya.

“Kamu akan kuantarkan ke Karangbolong. Ingat Yu Srini? Dia adalah bibi kita.” Karmin berbicara dengan sungguh-sungguh. Dia membenamkan tangannya ke dalam lumpur sawah. Lalu dengan sekali sentakan, dia menariknya. Seekor belut gemuk tertangkap olehnya. Karmin membuang isi perut dan mencuci belut itu dengan air sawah.

Sinar matahari sudah meredup ketika Rubini menyantap belut bakar.

“Saya menurut nasihatmu saja, Kang. Ngeri hatiku mendengar pekerjaan jugun ianfu.” Wajah Rubini bergidik membayangkan pekerjaan yang tidak pernah terpikirkan olehnya.

Dalam kegelapan yang membungkus dangau, Karmin melindungi sepupunya. Dia berjaga semalaman agar Rubini dapat beristirahat. Dilihatnya Rubini yang tertidur pulas dan mendengkur halus dengan penuh iba.

Ketika bangun keesokan harinya, Rubini merasa lebih kuat. Wajahnya lebih segar meskipun masih ada sisa-sisa kelelahan. Pegal di kakinya jauh berkurang. Mereka berjalan menyusuri kebun-kebun penduduk sehingga dapat memetik kacang panjang dan menggali sedikit ubi untuk mengisi perut. Ketika malam tiba, mereka menumpang di dangau petani di tengah ladang.

Dua hari satu malam mereka berjalan, tibalah di rumah Yu Srini. Di depan rumah kayu berdinding gedek, Karmin mengetuk pintu. “Kulonuwun ⸺ Permisi.”

Monggo ⸺ Silakan masuk.” Perempuan berambut putih yang digelung sederhana membukakan pintu. Wajahnya sejenak menegang,; lalu dia berteriak, “Karmin?” Senyumnya mengembang di bibir tuanya yang keriput.

Karmin menyalami bibinya. Jantungnya berdebar. Hatinya bahagia melihat bibinya sehat. Tebersit rasa khawatir kalau bibinya berkeberatan menampung Rubini di rumahnya.

Yu Srini mengalihkan pandangannya kepada Rubini. “Lho! Ini Rubini, kan? Aku masih ingat. Apa yang terjadi?” Yu Srini tidak dapat menahan hasratnya untuk bertanya.

Rubini tidak menjawab. Dia malah menggenggam tangan Yu Srini erat-erat lalu menubruk tubuh renta itu dan menangis di pundaknya.

Yu Srini mengelus punggung Rubini. “Kita bicara di dalam, ya.” Dia menggandeng tangan Rubini dan menyuruhnya duduk di bangku kayu.

Karmin mengikuti di belakang mereka. Sambil menikmati air putih dan singkong rebus, Karmin bercerita. “Rumahku di Bapangsari telah dihancurkan. Tempatnya digunakan untuk membangun benteng Jepang. Aku mau menitipkan Rubini di sini. Aku tidak mampu melindunginya dari Jepang karena aku pun harus bekerja untuk mereka sebagai romusha ⸺ pekerja paksa yang tidak dibayar.”

Yu Srini terhenyak. “Terus kamu tinggal di mana?”

Karmin menukas, “Aku bisa tinggal di mana saja. Tapi Rubini tidak. Dia butuh perlindungan. Suaminya dibunuh oleh Jepang sehingga tidak mungkin baginya untuk kembali ke Clapar.”

Yu Srini menyimak cerita Karmin dengan wajah sendu. Matanya memerah. Dia mengusap air matanya dengan ujung kebaya.

Sementara, Rubini hanya mampu menunduk terisak-isak.

***

Yu Srini tinggal sendiri di rumah peninggalan suaminya. Perempuan berusia enam puluh tahun itu berjualan makanan di depan rumahnya. “Terkadang orang yang mau pergi ke pantai belum sempat sarapan,” kata Yu Srini sambil menata dagangannya di atas pelupuh. Meja pendek yang terbuat dari bambu itu, berlubang di bagian tengah agak ke belakang agar dia dapat duduk sambil melayani pembeli. Beberapa lelaki datang dan duduk di dingklik di depan pelupuh. Mereka memesan nasi dan lauk-pauk sambil duduk di kursi bambu pendek itu.

Rubini segera menyesuaikan diri dengan kehidupan Yu Srini. Dia membantu memasak nasi dan lauk-pauk di dapur dan membawanya keluar.

Dari tempat Yu Srini berjualan, Rubini dapat melihat pantai berbatu karang di kejauhan. Ketika pembeli sudah sepi, dia sering mengamati kegiatan di pantai itu. Dilihatnya lelaki-lelaki Karangbolong merayapi tangga-tangga bambu yang dipasang di ketinggian batu karang. Tangga-tangga itu dibuat untuk memanen sarang burung walet yang dipercayai sebagai obat beraneka penyakit.

Burung-burung yang membuat sarang dengan air liurnya itu menjadi tumpuan penduduk Karangbolong. Pemanen harus bergelantungan di tangga-tangga bambu. Gemuruh ombak memecah karang disertai cipratan air dan tiupan angin kencang menjadi tantangan berat. Selain itu, bertarung dengan sambaran-sambaran burung walet yang berusaha mempertahankan sarangnya juga sering membuat perhatian mereka terpecah. Jika sudah begitu keadaannya, kemungkinan untuk jatuh menjadi semakin besar. Barang yang dipanen dengan taruhan nyawa itu harganya sangat mahal. Pembelinya, kebanyakan para pedagang keturunan Cina yang berasal dari luar kota, seperti Purworejo dan Yogyakarta. Mereka akan meramu sarang burung walet menjadi obat untuk menyembuhkan dan memulihkan tenaga orang yang sakit parah dan memperbanyak air susu perempuan yang baru melahirkan.

Dengan menjual hasil panennya, laki-laki Karangbolong mencukupi kehidupan keluarganya.

***

Penanggalan di dinding telah menunjukkan bulan Agustus 1945. Wulan Kesanga, bulan kesembilan dalam penanggalan Jawa, sudah tiba. Saatnya untuk panen sarang burung walet.

Para lelaki sudah siap dengan peralatannya. Tali-tali berukuran besar digulung dan disampirkan di atas bahu. Tali-tali itu akan digunakan untuk menggantung keranjang-keranjang bambu tempat menampung hasil panen. Mereka dibantu oleh istri-istri mereka. Perempuan-perempuan itu melangkahkan kaki dan mengangkut keranjang-keranjang itu di atas kepala mereka.

Rubini merasakan detak jantungnya berpacu melihat laki-laki Karangbolong merambati tangga bambu yang digunakan untuk memanen sarang burung walet. Merayap di kecuraman tebing karang tempat burung walet bersarang, mereka tampak seperti semut yang merangkak-rangkak di dinding raksasa. Oh, alangkah kecilnya nyawa mereka, batin Rubini sambil memandang ombak yang datang silih berganti. Gulungan ombak itu mengingatkan Rubini pada Ibu Ratu, panggilan untuk Nyi Roro Kidul, yang dipercaya oleh penduduk Karangbolong sebagai pelindung mereka. Mereka melaksanakan upacara sedekah laut sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada Ibu Ratu setiap musim panen sarang burung walet tiba.

Matahari sore menyisakan warna jingga. Bayang-bayang para pemanjat memanjang di hamparan pasir pantai. Satu per satu mereka menuruni tangga-tangga bambu, lalu berjalan beriringan menuju desa. Panen sarang burung walet hari itu usai sudah. Bersama perempuan-perempuan yang lain, Rubini berlari kecil membawa ceret dan cangkir menyambut para lelaki yang pulang dengan selamat.

***

Yu Srini menyetel radio tua peninggalan suaminya. “Jepang menyerah tanpa syarat kepada Amerika setelah Kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Kesempatan ini digunakan oleh para pemuda untuk mewujudkan cita-cita perjuangannya. Hari ini, 17 Agustus 1945, Sukarno – Hatta telah menyatakan kemerdekaan Indonesia dan bendera merah putih berkibar di Jakarta.” Siaran radio berkumandang ke segala penjuru. Terdengar sorak-sorai orang berkumpul di pantai.

Rubini menyusul. Dia ikut larut dalam kegembiraan orang ramai. Sudah tiga tahun Rubini menumpang di rumah Yu Srini. Selain merayakan kemerdekaan Republik Indonesia, hari ini Rubini juga akan turut melaksanakan sedekah laut yang ketiga kalinya. Dia sibuk membantu bibinya menyiapkan bunga melati, mawar, dan kantil untuk sesaji. Tangannya sudah cekatan menata bunga-bunga itu di atas nampan beralaskan kain putih. Terbayang olehnya tokoh Adipati Surti, utusan Pangeran Kartasura, dalam dongeng Karangbolong. Dia memetik sarang burung walet yang akan digunakan untuk menyembuhkan permaisuri Kesultanan Kartasura yang sedang sakit keras. Tiba-tiba, wajah Tuso terbayang di pelupuk mata Rubini. Aku masih mencintaimu, Kang.

Malam itu bulan purnama. Rubini bersiap dengan pakaiannya yang terbaik, berdandan agar kelihatan pantas saat menghadap Ibu Ratu. Dibawanya seperangkat sesaji yang berisi bunga-bunga. Rubini bersandar pada bongkahan batu karang di tepi pantai. Matanya menatap ke laut lepas. Perjalanan hidupnya penuh liku. Dia kehilangan suami karena kekejaman Jepang. Usahanya mencari perlindungan ke Bapangsari tidak berhasil. Akhirnya bibinya yang sudah renta bersedia menampungnya di Karangbolong. Inilah yang terbaik bagi Rubini. Tekadnya sudah bulat. Angin pantai yang bertiup ke tengah laut mendorong Rubini melangkah semakin jauh ke tengah laut. Tidak ada yang dapat menghalanginya. Rubini, perempuan sederhana dari Desa Clapar, memasrahkan dirinya menjadi pengabdi Ibu Ratu.

Ketika air laut mencapai pahanya, Rubini melepaskan sesaji. Dilihatnya kuntum-kuntum bunga itu mengambang beberapa saat sampai hilang terbawa ombak ke tengah laut. Dia menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya dengan udara berbau garam itu.

 

*****

The Sacrifice

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Umar Thamrin: umar2x.umar@gmail.com

 

The Sacrifice

 

“At dawn, on March 6, 1942, Isoroku Yamamoto’s Japanese troops attacked the Dutch territory in the southeastern region of Purworejo City from the direction of Yogyakarta, Java. The Dutch Royal Netherlands East Indies Army (KNIL) troops staged a fierce resistance, but the Japanese unit quelled the opposition, and by eleven o’clock that morning, they controlled the entire city.”

In Clapar, a remote village on a hillside near Purworejo, Tuso crouched in front of a clay wood stove, listening to the radio. The glint of a sharp sickle, tucked into the woven bamboo wall, reflected the glow of the stove’s fire onto his face.

Glancing at his wife, Rubini, Tuso’s heartbeat raced. Cripes! The Japs have entered Purworejo! He remembered the village chief ordering him to lead the villagers to fight the Japanese if they attacked.

Rubini was busily preparing a soup of cassava leaves and coconut milk. Nasi liwet, a rice dish cooked the traditional way, simmered in a heavy claypot filled with just enough water to turn the hard grains into soft fluffy rice atop a brown crust.

Humming softly, she placed the plates and bowls on the wooden table. The rice in their field had turned yellow. In a few days, they could harvest.

Bang! Bang! Bang! Gunshots pierced the air.

Tuso grabbed the sickle and pulled Rubini by the hand. “Hurry! Hide in the rice field! Duck down between the rice stalks and stay there!”

Rubini screamed, “Where are you going?”

“Don’t worry about me! Hurry! Go hide before they get here!”

Rubini ran to the rice field and parted the stalks, heavy with plump grains. The paddies were ready for harvest. But, alas, Clapar had become a battlefield of the Japanese and Dutch troops. The sharp grains pricked her skin, making her itchy and sore. But Rubini did not dare leave her hiding place, amid the intermittent gunshots.

The late afternoon sun shimmered crimson on the western horizon as if to mirror the bloodied bodies lying along the road that divided the village.

Still bent, Rubini peeked through the thick wall of rice stalks. From her hiding place, she saw Japanese soldiers herding several village youths, their hands tied behind their backs. The wounded were left to die on the street. Following their commander’s order, the invading unit now quickly left the village. The Japanese-led massacre of the unarmed village men was over.

Late afternoon faded into night with a blanket of silence and darkness. No one dared to light a lamp. Covered with scratches and dried mud on her calves, Rubini struggled to pull her feet out of the wet soil of the rice field.

As the women ventured out from their hiding places, the village filled with their wailing. Rubini staggered toward the bloody bodies strewn about the village, listening as moan after moan ended with snorts of released souls and an eerie, stifling silence.

In the span of a few hours, Clapar had become a village of the dead. The men who had founded the village and cultivated the rice fields, armed only with the sickles they used for harvesting rice, had been slaughtered.

The women of Clapar had no time to grieve over their husbands and sons. They had to quickly bury the bodies before morning’s light. The chirps of crickets mingling with the thumping and clanging of crowbars and hoes biting into soil and stones, terrified Rubini.

On the side of a path overgrown with grass, Rubini found Tuso’s body, covered in blood. She knelt, the rancid smell piercing her nose, and held her heaving chest. The man she loved had died a miserable death. As did the other women, Rubini buried Tuso with the clothes he wore. There was no time to look for a shroud. The women were not strong enough to dig deep. The shallow graves were more fitting for a cat than a human being.

After burying her husband, Rubini rushed home to pack some clothes. The women had decided to leave Clapar immediately to escape a possible military attack the next day. They only carried basic supplies, bundled in their sarongs, and they spread out, without any particular destination in mind.

Rubini decided to head for Bapangsari, a village located on the Menoreh hills between Yogyakarta and Purworejo. She hoped to find her cousin who lived there. The light of the crescent moon was too weak to illuminate her path, and she shivered in the frigid air, as dogs howled in the distance.

The road to Bapangsari was deserted when Rubini left Clapar. She walked all night until, suddenly, morning dawned. Soon, the blazing sun and flying dust stung her skin. Her feet ached, and she was hungry. Rubini dragged herself to a nearby tamarind tree to rest. Near the tree, she spied a small ditch with clear running water, and she rushed to it, gulping down a handful. The cool water refreshed her. Rubini returned to the tamarind tree and sat down, leaning against its trunk. The soft breeze lulled Rubini to sleep.

“Hey, you! Where is your man hiding?”

Rubini jerked awake and opened her eyes. Three ferocious-looking Japanese soldiers, armed with rifles, stood looking down at her. She looked around, but saw no one in sight. Rubini staggered as she stood up. “I don’t have a husband, sir. I am a widow.”

“A widow, huh? Your husband dared to fight us?” The soldier’s eyes bulged from his cruel face. The veins in his neck pulsed like tangled live wires.

“No, sir. My husband died because he was sick.”

“Damn liar! What do you have in there?” The soldier pointed his bayonet at the bundle on the ground.

“That is a bundle of clothes, sir. I’m on my way to visit my cousin.”

“Liar!” The soldier raised his rifle and pointed the gun at Rubini’s chest.

Rubini gasped. Trembling, she groped for a hold on the tree she had rested under.

The oldest among the soldiers said something in Japanese. The other soldiers seemed to agree, and they all left quickly.

Rubini, still shaking, grabbed her bundle of clothes and resumed her journey toward Bapangsari.

***

Immediately after occupying Purworejo, the Japanese started the construction of a big, tall fort in Bapangsari. The around-the-clock operation completed the fort in a very short time. The fort was used to monitor the movement of KNIL soldiers. From Bapangsari, the coastline from Jatimalang Beach to Congot Beach was clearly visible because the Japanese had ordered the village head to destroy the houses that hindered the construction and sightline of the Japanese fort.

***

It was late afternoon when Rubini arrived at Bapangsari. Her heels were cracked and her toes were blistered. Wincing, she shuffled to a nearby boulder. Around her, men were digging up the hard, rocky ground with shovels and crowbars. They were hollowing out a moat that ran south to north. Rubini saw the ruins of the demolished houses. At the end of the road, she took to visit her cousin, she saw a mound of excavated soil. Her cousin’s house had also been demolished and turned into a moat.

Rubini paled, horrified by what she saw. Gone was her hope of meeting up with her cousin. Rubini looked at the bustle around her. Where is my cousin Karmin now?

A worker carrying a hoe passed by Rubini. Suddenly, he stopped and turned around. Peering at her closely, he walked up to her.

Rubini gasped. “Karmin!” she shouted. Her heart swelled with joy and her eyes sparkled.

Karmin quickly put his index finger to his lips. His sunken eyes brimmed with worry. “Shh! You must leave immediately!” He grabbed Rubini by the shoulder and pushed her ahead of him.

Rubini resisted. She held on to Karmin’s arm and insisted on staying.

Karmin whispered, “The Japanese are in control of Bapangsari. All the men in this village have to dig ditches. You must get out of here! If the Japanese catch you, they’ll hurt you! Go! Hurry!”

“Help me, Karmin,” Rubini pleaded with teary eyes. She looked at the ruins of her cousin’s house and whispered hoarsely, “I’m alone now. The Japanese killed my husband. You’re the only one I can ask for help.”

From behind the pile of excavated earth, a short man appeared wearing a flap cap that protected his head and neck from the sun. He shouted orders to the workers with a strange accent.

Karmin crouched and pushed Rubini. “Go! Hurry! If you’re caught, they’ll turn you into a jugun ianfu.”

“Jugun ianfu? What’s that?” Rubini asked, alarmed.

“A ‘comfort woman.’ You’ll be forced to ‘serve’ the Japanese soldiers in the same way you ‘served’ your husband.” Karmin winced, remembering the village women who had been turned into jugun ianfu.”

Horrified, Rubini shuddered.

Karmin stared at Rubini’s flushed face. I can’t let you endure the same fate. He pulled her with him, telling her they had to leave.

Exhausted, Rubini numbly obeyed.

In order to appear like farmers, they walked along the rice fields, heading west. After two hours, they came upon an empty hut in the middle of a rice field. After making sure the hut was safe, Karmin told Rubini she could rest there. He felt sorry for his cousin, but if he let her stay in Bapangsari, it would be too dangerous for her.

“I’ll take you to Karangbolong,” Karmin said. “Remember our aunt, Yu Srini?” Karmin solemnly pushed his hands down into the muddy water of the rice field. When he jerked them up, he held a big flapping eel. Karmin gutted the eel and washed it in the paddy’s irrigation ditch.

Twilight had already begun to set in when Rubini took her first bite of the grilled eel. Thinking about having to work as a jugun ianfu and performing the duties of an occupation she could not imagine existed, Rubini shuddered and said, “I’ll just follow your advice.”

In the darkness that enveloped the hut, Karmin kept watch all night so Rubini could sleep soundly and rest. With pity, he listened to her soft snoring.

Rubini woke in the morning feeling refreshed, although her face still showed traces of tiredness. The soreness in her legs felt more bearable.

She and Karmin walked along agricultural plantations so they could find vegetables like long beans and sweet potatoes to eat. After being on the road for two days and one night, they arrived at Yu Srini’s door.

Karmin knocked on the door of a house with woven bamboo walls and called, “Kulonuwun, excuse me.”

Someone answered, “Monggo — Please, come in.” A woman with white hair put up in a simple bun opened the door. She stiffened for a moment, then exclaimed, “Karmin?” A smile stretched across her wrinkled old lips.

Relieved and happy to find his aunt healthy, Karmin bowed. Bringing his hands together, he took his aunt’s fingertips and brought her hands to his forehead in traditional greeting. Meanwhile he worried that she might not be willing to take in Rubini.

Yu Srini turned to Rubini. “Oh! This is Rubini, right? I still remember ….” She paused but then could not help asking, “What happened to you?”

Rubini did not answer. Instead, she held Yu Srini’s hand tightly. Collapsing against the old woman, Rubini burst out crying on her aunt’s shoulder.

Yu Srini stroked Rubini’s back. “Let’s talk inside,” she said, taking Rubini’s hand to seat her on a wooden bench. Karmin followed behind them.

While enjoying some boiled cassava and a mug of water, Karmin told their story. “My house in Bapangsari has been destroyed. The land was used to build a Japanese fort. I want to leave Rubini here. I can’t protect her from the Japanese because I have to work for them as a romusha — unpaid forced labor – for food and shelter.”

Yu Srini gasped. “Then where do you live now?”

“I can live anywhere,” Karmin replied. “But Rubini can’t. She needs someone to protect her. Her husband was killed by the Japanese, and it’s impossible for her to return to Clapar.”

Yu Srini’s eyes turned red. She wiped her tears with the hem of her kebaya, the long-sleeved blouse worn by native women.

Sobbing, Rubini lowered her head.

***

Yu Srini lived alone in the house she had inherited from her deceased husband. The sixty-year-old woman sold food in front of her house. “Sometimes people who go to the beach don’t have time to eat breakfast,” said Yu Srini, arranging her wares on a short, horseshoe-shaped bamboo table that allowed her to easily serve her customers. Several men took a seat on the short bamboo stools in front of the table. They ordered rice and side dishes.

Rubini quickly adjusted to Yu Srini’s lifestyle. In the kitchen, she helped with cooking the rice and side dishes. Later, she carried the food out.

From in front of the house where Yu Srini operated her food stall, Rubini could see a rocky beach in the distance. When there were no customers, she watched the activity on the beach ⸺ Karangbolong men climbing bamboo ladders set high on the rocks to
harvest swiftlet nests, which were believed to have medicinal properties that cured various diseases.

Built with the birds’ saliva, swiftlet nests were the mainstay of the Karangbolong people’s livelihood. The roar of the waves crashing on the rocks, high winds, and bird attacks from swiftlets defending their nests posed formidable challenges. Distracted, a climber could lose his balance and fall.

The nests that were harvested by risking a man’s life were very expensive. The buyers were mostly Chinese traders from cities such as Purworejo and Yogyakarta. The traders used the nests to concoct medicine to heal and revitalize the sick. The broth made from the birds’ nests was also often used to increase breast milk from new mothers. By selling the swiftlet nests, Karangbolong men could support their families.

***

The wall calendar showed August 1945. It was also Wulan Kesanga, the ninth month on the Javanese calendar. It was the time to harvest the swiftlet nests.

The men stood ready, equipped with their tools. Each carried a coil of large rope draped over their shoulders. The ropes were used to hang bamboo baskets in which the harvest was placed. The men were assisted by their wives, who carried the harvesting baskets on their heads.

Watching the Karangbolong men climb the bamboo ladders, Rubini’s heartbeat quickened. As the men crawled up the steep cliff to reach the swiftlet nests, they looked like ants crawling on a giant wall. Oh, how futile their life is, thought Rubini, watching the waves roll in, one after another.

The waves reminded Rubini of Ibu Ratu, the appellation for Nyi Roro Kidul, the spirit that reigned over the sea and protected the people of Karangbolong. At the beginning of every swiftlet nest harvest season, a sea alms ritual was carried out as an expression of gratitude to Nyi Roro Kidul.

The cliffs glowed orange in the late afternoon sun. The shadows of the climbers stretched across the sandy beach. One by one, they climbed down the bamboo steps, then walked together back towards the village. The swiftlet nest harvest of that day was over. Together with the other women, Rubini, carrying a jug of water and cups, hurried to meet the men who had managed to come home safely.

***

Yu Srini turned on her husband’s old radio. “Japan surrendered unconditionally to America after atomic bombs dropped on the cities of Hiroshima and Nagasaki. Our youth has seized this opportunity to realize the purpose of their struggle. Today, on August 17, 1945, Indonesian President Soekarno and Vice President Hatta have proclaimed Indonesia’s independence, and the red and white flag is flying in Jakarta.” The radio broadcasts echoed in all directions. The people gathered on the beach cheered.

Rubini joined the joyful crowd on the beach. It had been three years since she came to live in Yu Srini’s house. After the celebration of Indonesia’s Independence Day, Rubini would perform the sea alms ritual for the third time.

Helping her aunt prepare for the event, Rubini arranged the jasmine, roses, and white champaca flowers on a tray lined with a white cloth. She remembered the Karangbolong fable, where Adipati Surti, envoy to Prince Kartasura, fetched a swiftlet nest to heal the dying empress of the Kartasura sultanate. Suddenly, Tuso’s face flashed before Rubini’s eyes. I still love you.

That night, a full moon lit the sky. Rubini was dressed in her best clothes. She wanted to look proper for Nyi Roro Kidul, the sea goddess. She carried the tray of floral offerings to the beach. Rubini leaned against a boulder on the shore and looked out to sea.

Her life had been full of twists and turns. Japanese cruelty had taken her husband. She had unsuccessfully sought refuge in Bapangsari and now lived with her old aunt in Karangbolong. But this was what was best for her. She had made up her mind.
The coastal wind blowing out to sea enticed Rubini to wade farther out. There was nothing that could stop her.

Rubini, a simple woman from Clapar, gave herself to serve Nyi Roro Kidul. When the seawater reached her thighs, Rubini released her offerings. The flowers floated for a while until the waves carried them away. Taking a deep breath, Rubini filled her lungs with the salty air.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Dalam Kenangan

12 Juli 1945 – 12 Desember 2022

Remy Sylado, seorang penulis kenamaan Indonesia telah meninggalkan kita semua pada tanggal 12 Desember 2022 kemarin. Selain memiliki bakat musik yang besar, seniman dengan nama legkap Yapi Panda Abdiel Tambayong ini juga cukup dikenal dalam dunia seni peran.

Dalang Publishing telah menerbitkan terjemahan salah satu karya terbaiknya yang berjudul Namaku Mata Hari (Gramedia, 2010). Terjemahan bahasa Inggris karya Dewi Anggraeni, My Name is Mata Hari telah diterbitkan oleh Dalang Publishing pada tahun 2012.

Kami sangat merasa terhormat dan bangga telah menjadi bagian kecil dari perjalanan karya dan sumbangsihnya yang luar biasa bagi dunia sastra Indonesia.

Pekik Burung Kedasi di Tepi Kahayan

Han Gagas lahir di Ponorogo, 21 Oktober 1977. Dia alumni jurusan geodesi UGM Yogyakarta. Cerpennya dimuat media massa seperti Horison, Kompas, Tempo, Republika, dan Suara Merdeka. Karyanya yang terbit, diantaranya novel Orang-orang Gila (Buku Mojok, 2018). Novelnya Balada Sepasang Kekasih Gila pemenang lomba Falcon Script Hunt 2020 akan difilmkan Falconpicture dan catatan pengalamannya selama tinggal di Yerusalem berjudul Adzan di Israel akan diterbitkan Penerbit Gading pada akhir tahun 2021.

Karya terbarunya, kumpulan cerpen Sepasang Mata Gagak di Yerusalem diterbitkan Penerbit Interlude pada bulan Juni, 2021.

Saat ini tinggal di Solo, Jawa Tengah, selain menulis juga mengelola media daring Nongkrong.co

Penulis dapat dihubungi melalui surel: han.gagas@gmail.com

 

 

Pekik Burung Kedasi di Tepi Kahayan

 

Setelah berkuliah selama lima tahun di Yogyakarta, Mawinei baru bisa pulang kampung ke desanya yang terletak jauh di pedalaman Kalimantan Tengah. Dia menyimpan kerinduan yang amat sangat pada keluarga dan kawan-kawan masa kecilnya yang mengajaknya berkumpul kembali.

Kerinduan yang begitu kuat membuatnya rela menempuh perjalanan panjang dengan bis kota dari Yogyakarta ke Surabaya, kemudian naik kapal laut sehari semalam ke Pelabuhan Sampit, di Kalimantan Tengah. Dari sini, dia menempuh jalur darat dengan bis kota ke Palangkaraya dan berlanjut ke kampungnya yang terletak di Kabupaten Gunung Mas di tepi Sungai Kahayan. Di kendaraan, dia mendengar para penumpang sedang membicarakan pembukaan Asian Games 2018 di Jakarta yang dibuka Presiden Jokowi dengan meriah saat dia masih di kapal laut semalam.

Semua orang menyambut kedatangan Mawinei sebagai satu-satunya perempuan yang jadi sarjana di kampung ini. Mawinei diharapkan bisa mengangkat mutu kehidupan orang tuanya, juga kaum di desanya sebagai keturunan Dayak Ngaju. Rumah betang, rumah panjang Dayak, dihiasi janur dan ramai didatangi banyak orang, termasuk Danum, Simpei, dan Ekot. Mereka adalah anak tetangga dan teman main Mawinei sejak anak-anak.

Berbagai makanan tersaji. Masakan kesukaan yang diharapkan Mawinei juga ada. Kandas sarai, sambal serai yang dicampur dengan ikan baung bakar, menjadi pelepas kerinduannya akan kelezatan masakan Dayak yang khas. Mawinei mendekati Danum yang berkumpul dengan Simpei dan Ekot. Mereka makan bersama sambil bersendau gurau. Bapak-bapak mengobrol dan tertawa terbahak-bahak sembari minum baram, minuman keras yang terbuat dari peragian air beras dan singkong. Baram dalam botol dituangkan dalam gelas-gelas kecil yang beredar dari satu tangan pria ke tangan pria lain. Semua terlihat bergembira, makan bersama.

Namun, Mawinei merasa ada yang lain, ada sesuatu yang tengah terjadi, yang belum dia ketahui. Dalam kegembiraan orang-orang itu, Mawinei merasakan ada kegelisahan yang samar yang coba disembunyikan. Sejak kecil, Mawinei seperti memiliki kepekaan menduga kecemasan.

Benar pula, sehari setelah Mawinei tiba di kampungnya, ketakutan menyeruak tiba-tiba di pagi buta, saat Mina, Bibi, Sanja berteriak minta tolong. “Tolong! Hanjak, Hanjak berak darah!”

Kabut pagi berangsur menghilang berganti dengan terang tanah. Orang-orang berdatangan. Tampak Mina Sanja kebingungan, wajahnya dibasahi air mata.

Balian, bapa dukun, segera dipanggil. Lelaki tua itu datang dengan raut muka tenang. Dia duduk dan mulai menyandah, menerawang untuk melihat sebab penyakit. Dia melanjutkannya dengan upacara sangiang, pengobatan dengan bantuan roh leluhur. Tubuh kurus balian terlihat bergetar seperti kerasukan roh. Setelah kembali tersadar, dia berbicara dengan pembantu utamanya dalam urusan perdukunan. Lelaki itu segera berlari mengajak para tetangga masuk hutan, mendongkel beberapa tanaman untuk diambil akar dan dedaunannya.

Daun dan akar rumput bulu ditumbuk, lalu dibalurkan di pusar Hanjak. Ada pula yang menyeduh dedaunan itu, dan air saringannya diminumkan ke Hanjak. Akar halalang dan bopot turut pula ditumbuk dan diseduh dengan air panas, kemudian diminumkan. Ketiga jenis tanaman ini diyakini sebagai obat sakit perut dan muntaberak, serta dapat mengatasi pendarahan.

Sehari kemudian, anehnya, keadaan Hanjak memburuk. Mina Sanja bingung bukan kepalang. Walau muntahberaknya berhenti, suhu tubuh Hanjak masih panas sekali. Biasanya, setelah diobati balian, orang sakit jadi sembuh. Namun kali ini keadaan tidak berubah jadi baik. Seperti ada keganjilan yang terjadi.

Udara memang terasa lebih menyengat kulit, dan angin seperti jarang berembus. Alam seperti berubah, tidak seperti biasanya. Langit sepenuhnya biru, tidak ada awan bergerombol sedikit pun. Burung kedasih yang dipercayai penduduk sebagai penanda keburukan dan kematian bercokol di pucuk pohon meranti, berbunyi nyaring, suaranya seperti memekik-mekik.

Paras wajah Hanjak tampak pucat dan bibirnya membiru. Tubuhnya kejang-kejang hebat, matanya terbelalak, dadanya tersengal-sengal seperti orang yang kehabisan napas. Tanpa siapapun duga, Hanjak mengembuskan napas terakhir.

Mina Sanja hanya mampu menangis.

***

Sehari setelah Hanjak dimakamkan, Danum datang berkunjung Mawinei. Mawinei tersenyum sumringah. Mereka kawan karib selama bersekolah di SD Bukit Tunggal, dan telah lama tidak berakrab-akraban lagi. Sebelum pergi kuliah, Mawinei juga bersekolah SMA di Palangkaraya., Karena jaraknya jauh, dia kos di sana, sedangkan Danum tetap tinggal di desa. Orang tuanya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi. Untuk sekian tahun, kedua dara ini pun tidak bisa bertemu karena terpisahkan jarak.

Narai kabar, apa kabar?” kata Danum dengan hati senang, senyumnya merekah lebar. Dia memeluk erat Mawinei yang balas memeluknya dengan hangat.

Kabar bahalap, en ikau kenampi, kabarku baik, dan kamu? Mawinei memegang kedua bahu Danum, lalu melangkah mundur dan menatap temannya dengan saksama.

Danum tersenyum lebar. Sambil memegang lengan Mawinei, dia berkata, “Kabarkuh bahalap.”

Mereka melepas pelukan, dan duduk bersebelahan di kursi serambi.

“Udara terasa panas ya…” kata Mawinei sambil mengipas-ngipaskan jemarinya ke muka.

“Iya.” Danum terlihat sedih. Dia menarik napas panjang lalu berkata, “awalnya aku kira cuaca yang panas ini membawa penyakit pada warga. Namun, setelah apa yang terjadi pada Hanjak, kemarin, aku yakin semua ini karena Sungai Kahayan yang kotor.”

“Kahayan kotor?” tanya Mawinei sambil menatap sepasang mata Danum yang resah.

“Kau belum tahu, sungai yang kita sering main dulu, kini sangat kotor, airnya bikin gatal-gatal. Tambang-tambang itu buang limbah ke sungai.”

“Tambang?” tanya Mawinei tidak mengerti.

Danum mengangguk mantap.

Benar pula, Mawinei melihat sebagian besar anak yang bermain gundu kakinya busik, korengan.

“Kau sarjana ilmu lingkungan kan, kau bisa teliti air sungai nanti,” kata Danum. Mawinei mengangguk sambil tersenyum.

***

Mawinei dan Danum melangkah melewati kebun durian dan rotan milik Bapa Dukun. Setelah melewati pohon cempedak yang buahnya sering mereka nikmati semasa kecil, mereka tiba di setapak penuh rerumputan. Tampak beberapa huma di lereng bukit terlihat kehijauan penuh kebun sayur yang subur.

Langkah mereka tiba di bibir sungai, dan terkejutlah Mawinei ketika melihat sungai. “Wah, airnya coklat!” teriaknya.

“Sudah tak jernih seperti dulu, padahal lima tahun lalu masih jernih. Katanya karena lahan gambut di hulu sana yang bikin coklat,” kata Danum dengan muka yang sedih.

“Bukan, dulu sungai ini jernih, aneh, sekarang seperti berlumpur,” selidik Mawinei sambil menatap pinggiran sungai.

“Kau masih ingat kan, dulu masa kita kecil, juga kadang minum air sungai ini, tanpa pakai direbus, perut juga tak sakit.” Suara Danum bergetar. Dia mengarahkan pandangannya jauh mengikuti alur sungai yang seperti lumpur cair dengan garis-garis berkilauan di permukaannya.

Mawinei mengangguk. Ingatannya merawang ke waktu masa sekolah dasarnya. Bersama Simpei, Ekot, dan anak-anak lain, mereka sering bermain di situ saat sungai mendangkal. Air sangat jernih dan surut meninggalkan pinggiran yang landai, berpasir agak putih ⸺ tidak berlumpur seperti ini. Mereka asyik bermain pengantin-pengantinan. Danum jadi pasangannya Simpei. Ekot jadi penghulu, dipasangi jenggot dari sabut kelapa di dagunya dengan cara dilem dengan pulut. Si penghulu duduk di gundukan pasir yang dibentuk seperti singgasana. Mawinei jadi saksi pernikahan, ditambah seorang anak lain. Beberapa anak menonton sambil cekikikan.

Hujan yang sebelumnya gerimis, tiba-tiba berubah deras dalam waktu cepat. Upacara perkawinan anak-anak itu langsung buyar. Mereka berlarian cepat untuk kembali ke betang, tetapi jalan setapak sungguh licin membuat sebagian bocah terjatuh dengan bokong kesakitan. Mereka yang tidak jatuh, menertawainya. Sesampainya di rumah, semua anak dimarahi orang tuanya masing-masing. Pagi buta saat berangkat sekolah, sebagian memperlihatkan pahanya yang memerah bekas cubitan ibunya.

Mawinei tersenyum-senyum saat mengingat kejadian itu.

Danum menepuk bahu Mawinei, menyadarkannya dari lamunan.

“Seperti ada bau, tercemar ini,” kata Mawinei setelah mendekatkan tangkupan air di tangan ke hidungnya. Air sungai tampak berminyak, ada cairan tertentu yang tidak menyatu dengan air. Angin berembus kencang. Rambut Mawinei yang sepinggang sebagian berterbangan, menutupi parasnya yang tampak prihatin. Tangannya segera merapikan rambutnya kembali. Dia berkata, “Aku ingin lihat tambang yang kau katakan. Mari kita pergi ke sana.”

“Jangan, jauh di hulu,” kata Danum mencegah, sebelum lanjut, “harus naik perahu. Besok saja sambil ajak Ekot dan Simpei.”

***

Besok paginya, sesudah subuh, Mawinei telah bersama Danum. Simpei dan Ekot juga sudah bergabung. Mereka berempat berkumpul di jalan masuk dermaga kecil di pinggir sungai. Lanting-lanting mulai terlihat. Rumah-rumah yang berdiri di atas sungai itu mengandalkan tiang-tiang kayu ulin yang kokoh, serta didirikan di atas gelondongan kayu dan ditambatkan pada pohon atau tonggak-tonggak yang ditanam di daratan tepi sungai. Beberapa perahu tertambat di pokok-pokok kayu atau tiang-tiang beton. Beberapa lentera di perahu dan di lanting-lanting yang belum dimatikan, masih berpendar syahdu.

Mawinei bersama teman-temannya berniat berangkat pagi-pagi agar waktu lebih panjang karena berharap bisa kembali ke rumah sebelum gelap malam. Gelapnya subuh menuju pagi tidak membuat mereka takut, justru merasa segar.

Mereka berjalan mendekati pinggir sungai, menyusuri dermaga kecil dengan papan-papan kayu dari ulin sebagai jembatan yang menghubungkan perahu dan kapal. Gelaran air sungai yang sebelumnya gelap mulai berkilauan oleh sinar matahari pagi. Ufuk timur berwarna kuning terang. Cahaya matahari yang lembut, membuat orang-orang tampak bersemangat di pagi hari itu.

Seorang bapak mendekati Ekot, dan berbicara tentang harga, sambil menunjuk beberapa perahu ketinting yang tertambat di tepi sungai. Ekot menyanggupi. Mereka menyewa perahu khas Kalimantan yang bisa menampung empat sampai sepuluh orang itu untuk menyusuri sungai hingga sejauh mungkin ke hulu.

Air muka Mawinei tampak sangat gembira, sudah lama dia tidak menyusuri sungai dengan perahu ketinting.

Danum juga terlihat senang saat masuk perahu.

“Kau masih ingat nggak, dulu sering renang di situ,” tunjuk Ekot ke sungai belakang lanting-lanting.

“Iya, tentu, di situ kan?” tunjuk Simpei ke lanting paling besar di antara lanting-lanting lain.

“Oh ya, betul.” Wajah Ekot jadi cerah, tampak gembira membicarakan masa anak-anak yang bahagia.

“Tapi kau takut jumpalitan, payah, kau hanya berani terjun, hahaha,” ejek Simpei.

“Ya lompatanlah,” balas Ekot.

“Iya tapi jumpalitan takut, wekwekwek.” Simpei memukul lengan Ekot membuatnya mengaduh sakit.

Namun, sedetik kemudian Ekot tidak lagi meringis kesakitan, tapi nyengir cengengesan.

“Iya, ngaku kalah, tapi siapa yang berani renang menyeberang, ayo siapa?” ledeknya. Dan Simpei pun terpaksa mengangguk sambil menunjuk Ekot. Memang Ekot anak paling berani berenang menyeberang sungai walaupun arusnya deras. Anak-anak lain takut keterbawa arus. Mereka hanya berenang sepanjang tepian.

Mereka, sebagaimana anak-anak Kalimantan lain di tepi Sungai Kahayan, tidak perlu belajar renang pada siapa pun. Kehidupan nenek moyang mereka tidak pernah jauh dari kehidupan sungai. Sejak bayi, mereka sudah dimandikan di sungai. Oleh ibu, tubuh mereka diapung-apungkan di air, sehingga secara alami sejak kecil sudah pandai mengapung. Makin beranjak besar, biasanya sepulang sekolah pada siang jelang sore hari, saat masih terik, mereka akan terjun ke sungai, berenang sepuasnya, dengan gaya apa pun yang mereka bisa lakukan. Ada gaya katak, lumba-lumba, bebas, macam-macamlah, yang penting bisa berenang dan tidak tenggelam. Sesekali mereka juga membawa bola untuk permainan, lempar sana lempar sini, diperebutkan.

Juru mudi perahu duduk paling belakang mengendalikan perahu dengan mesinnya, terkadang menggeser tungkai mesin ke kiri dan ke kanan mengikuti jalur sungai.

Ekot duduk paling depan, disusul Simpei, Mawinei, dan Danum.

Suara mesin menderu, menyibak air, menciptakan arus dan mendorong perahu melaju kencang. Zaman dulu, perahu didayung dengan bilah kayu ulin yang liat dan kuat. Kini alat yang canggih telah memudahkan manusia untuk bisa cepat sampai tujuan.

Sungai membentang lebar kecoklatan. Gelaran airnya beriak-riak. Beberapa perahu melintas berlawanan arah. Di antaranya seorang nelayan dengan jala di perahunya, tampak hendak menjaring ikan di sungai.

Di bantaran kedua sisi sungai, tumbuh pepohonan lebat. Rimbunan bambu, serta pohon buah-buahan macam pisang, nangka, durian, karamunting, dan jambu monyet juga banyak tumbuh.

Tanah Kalimantan yang bergambut merupakan lahan subur untuk pohon-pohon buah semacam itu. Sungai besar ini mengalir sepanjang enam ratus kilometer dari Pegunungan Muller atau Pegunungan Raya yang membelah Palangkaraya, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kabupaten Gunung Mas di Kalimantan Tengah, sampai akhirnya bermuara di Laut Jawa.

Simpei mengeluarkan rokoknya, mengambilnya sebatang. Korek api digeretnya, lalu ujung rokok itu disentuhkannya pada api. Simpei mengisap dalam-dalam rokoknya, lalu memberikan bungkusan rokok beserta koreknya kepada Ekot.

Ekot menolak halus.

Wajah Simpei tampak nikmat setelah mengisap rokok sembari menikmati empasan angin di atas perahu yang melaju.

Pohon loa, yang kokoh dan besar, sesekali terlihat di tepi sungai menjadi tameng agar pinggiran sungai tidak tergerus. Buah-buahnya yang merah disukai monyet, tupai, dan burung.,

Perahu makin menjauhi permukiman. Lanting-lanting sudah tidak kelihatan. Sesekali terdengar bunyi burung-burung dan pekik bekantan dari hutan. Pinggir-pinggir sungai masih ditumbuhi pepohonan dan rimbunan hutan karamunting.

Mereka menyusuri sungai di bawah jembatan dan makin melaju menuju hulu. Wajah pinggir-pinggir sungai mulai berbeda. Daratan pinggir sungai banyak terbuka lebar oleh kegiatan masyarakat. Air terlihat makin coklat dan berbuih.

“Orang-orang sukanya ikut-ikutan, karena harga karet mahal, semua pada nanam karet, hutan pada ditebangi untuk diganti kebun karet. Kini orang-orang pada keblinger menanam sawit, kalau sawit milik rakyat tak seberapa, tapi kalau milik perusahaan sampai ribuan hektar, pohon-pohon hutan habis ditebangi,” keluh Ekot.

“Harga karet sudah lama turun, orang-orang tak mau menyadap getah karet lagi, sekarang lihat, kerjaan masyarakat cari emas,” tunjuk Simpei.

Di daratan terlihat kegiatan masyarakat menambang emas. Tanah-tanah di pinggir sungai telah rusak, tidak ada kehijaun tanaman sama sekali. Tanah berlumpur coklat menciptakan air berbuih yang kotor. Daratan jadi becek, penuh kubangan air coklat. Alat tambang, sebuah kotak yang menyambung panjang dan lurus untuk “menangkap” emas, menjulur hingga ke sungai.

Gubuk-gubuk penambang berserakan di dekat mesin diesel. Dan selang-selang besar menggelontorkan air ke bawah. Tanah-tanah bagian atas sungai tergerus dengan kocoran air yang disemburkan oleh selang-selang raksasa, membuat daratan pinggir sungai longsor dan langsung terjun ke sungai, tak hanya menciptakan kerusakan sungai tapi juga pendangkalan.

Bahkan sebagian alat-alat tambang itu berdiri di atas sungai, berlandaskan kayu-kayu ulin seperti rumah-rumah lanting. Pipa-pipa membentang ke sana-sini, mencurahkan air kotor, menggempur tanah, dan membuang segala lumpur langsung ke sungai.

Sungai tidak hanya berlumpur, tetapi juga bercampur dengan minyak tumpahan solar sisa mesin diesel. Kilau-kilau minyak di permukaan air sungai memendar berwarna kebiruan tersapu cahaya matahari, mengilat-ngilat berbentuk bundaran-bundaran yang kemudian hanyut menjauh. Mesin terus menderu, tanpa henti, menggaruk tanah dasar sungai yang diyakini ada bijih-bijih emas. Kilau-kilau minyak itu bercampur dengan merkuri yang sangat berbahaya bagi lingkungan hidup. Dengan memanfaatkan sifat merkuri yang berupa air raksa sebagai pelarut, nantinya emas akan dengan sendirinya terpisahkan dari bebatuan lainnya.

“Berarti karena tambang-tambang ini yang bikin perut anak-anak sakit, pada gatal-gatal semua, karena merkuri,” kata Mawinei.

Danum mengangguk mantap.

Perahu mereka berjalan pelan. Ekot mengeluarkan kameranya, dan sesekali dengan diam-diam memotret kegiatan tambang emas itu. Beberapa penambang tampak waspada saat perahu mereka agak dekat.

“Kini hal sama terulang, bukan Belanda atau Jepang yang kita lawan, tapi keserakahan manusia merusak alam, dan yang paling menyedihkan mereka sebangsa dengan kita,” kata Ekot sedih.

“Anugerah Tuhan sesungguhnya tak pernah sepadan dengan uang,” tambah Mawinei.

Perahu terus melaju, dan Mawinei tampak makin prihatin melihat begitu banyak tambang bertebaran di pinggir-pinggir sungai. Sekelompok orang menjalankan alat yang berbeda dengan sebelumnya yang mereka lihat, ditambah kapal keruk dan pompa air. Alat itu makin besar daya rusaknya dalam menggerus bibir sungai, menciptakan lumpur dan endapan-endapan kotor yang jauh lebih banyak. Di sepanjang bantaran sungai, terdapat banyak lubang menganga berisi lumpur.

“Besok aku akan menemui Idris, kawanku di LSM. Kita tak bisa biarkan ini terus terjadi,” kata Ekot.

“Kalian belum tahu yang terjadi di hutan sana,” Simpei menunjuk ke ladang gundul di perbukitan samping kanan dari sungai dan lanjut, “itu tambang batubara yang jauh lebih besar membuat hutan gundul. Tak hanya itu, juga kebun sawit milik perusahaan,” tambah Simpei.

“Iya itu juga. Beberapa anak mati tenggelam saat bermain di bekas galian tambang yang dibiarkan terbengkalai,” sahut Ekot dengan wajah meredam amarah.

“Yang jadi danau itu?” tanya Simpei.

Ekot mengangguk.

“Kita tak bisa biarkan semua kejahatan ini terus berlangsung!” teriak Mawinei

***

Beberapa hari kemudian, Idris, Ekot, dan Mawinei menemui pegawai pemerintah daerah yang bertugas mengurusi bagian pertambangan. Danum dan Simpei terpaksa menunggu di luar karena hanya dibatasi tiga orang yang bisa masuk ruangan petugas. Mereka sebelumnya telah mengambil contoh air sungai dan Mawinei menelitinya di makmal di Kota Kuala Kurun. Hasilnya menunjukkan terjadi pencemaran air sungai yang sangat tinggi.

“Sebagian besar tak berizin,” kata pegawai itu.

“Kami tak bisa melarang karena mesin tambang mereka berdiri di atas tanah hak mereka. Punya surat izin tanah juga,” tambahnya.

“Iya Pak, tapi akibatnya terjadi pencemaran lingkungan, dampaknya ke kita semua, kepentingan bersama atas sungai itu terganggu,” kata Idris keras.

“Masalahnya, alasan mereka itu untuk mata pencaharian, untuk cari nafkah. Kalau dihentikan, apa kalian mau ngasih mereka pekerjaan, ngasih mereka makan?” sahut bapak itu tidak mau kalah.

“Ya tetap harus ditertibkan, Pak. Bukan masalah orang cari nafkah, tapi tambang itu pakai merkuri, Pak, itu yang berbahaya,” jawab Ekot tegas.

“Jangan sampai ada yang kehilangan nyawa, Pak,” Mawinei ikut tambah kata, wajahnya tampak geram. “Banyak yang sakit perut, mencret,” katanya dengan gusar.

Mawinei menyerahkan berkas keluhan warga di kampungnya yang sudah ditandatangani banyak orang.

Ekot menyerahkan berbagai foto dan bukti rekaman kegiatan tambang itu.

Idris menyerahkan hasil penelitian air sungai dari makmal.

“Iya kalian tunggu saja, kami akan segera bertindak.” kata petugas yang mulai mengerti kerisauan anak-anak muda itu setelah melihat bukti-bukti yang lengkap.

***

Sebulan setelah pertemuan itu, tambang-tambang tidak berizin dihentikan. Bahan merkuri disita. Namun, banyak tambang lain yang masih berjalan. Suatu perusahaan tambang yang mendapat dukungan kekuasaan yang sangat besar mengajukan para pengacara untuk melawan laporan LSM yang dipimpin Idris. Para pegawai pemerintah daerah itu pun tidak mampu bertindak lebih jauh lagi.

“Setidaknya kita telah berjuang, pencemaran air sungai ini telah berkurang,” kata Mawinei mencoba sedikit menenangkan Idris yang masih tidak terima.

Danum mendesah, matanya menerawang gelisah.

Simpei menghisap rokoknya dalam-dalam.

“Tambang-tambang besar, terutama batubara, sulit dihentikan karena menghasilkan pendapatan yang besar bagi pemerintah,” kata Ekot dengan wajah masam.

“Jadi, perjuangan kita masih panjang, kawan,” kata Mawinei yang disambut anggukan kawan-kawannya.

“Iya dan jangan mudah menyerah!” seru Danum tegas.

 

*****

 

Crying Cuckoos over the Kahayan

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Dia dapat dihubungi melalui surel: umar2x.umar@gmail.com

 

 

 

Crying Cuckoos over the Kahayan

 

Mawinei had just finished her studies in Yogyakarta and, after five years away from home, she yearned to return to her remote village in Central Kalimantan. She felt a deep longing for family and childhood friends who were urging her to come home.

Her intense nostalgia made her decide to take the long, arduous journey home. She took a bus from Yogyakarta to the port city Surabaya, then a ship overnight from Surabaya to Sampit Harbor in Central Kalimantan. After arriving the following day, she took a bus from the harbor to the Palangkaraya bus station, where she transferred to another bus to her village in the Gunung Mas Regency, on the banks of the Kahayan River. On the bus, Mawinei listened to the passengers talking about the spectacular opening of the 2018 Asian Games in Jakarta that had taken place while she was crossing the Java Sea. They said President Jokowi had delivered the welcoming speech.

At her village, everyone welcomed Mawinei’s return. She was the only woman there with a bachelor’s degree. The villagers — descendants of Borneo’s indigenous Dayak Ngaju tribe — hoped that with her education, Mawinei could improve the lives of not only her parents, but also of the entire community. The betang, a traditional Dayak longhouse now used as a village center, was decorated with janur — young, still-yellow coconut leaves — and crowded with people. Danum, Simpei, and Ekot, Mawinei’s childhood playmates, were there too.

Various traditional dishes were served. Grilled mystus fish, dressed with a lemongrass chili sauce, satisfied her longing for the special flavor of Dayak cuisine.

Mawinei excitedly joined Danum who sat with Simpei and Ekot. The four of them had a good time, sharing food and catching up.

The elders chatted and laughed loudly while passing tiny shot glasses of baram, liquor made from fermented rice water and cassava. Everyone ate and drank, while enjoying themselves.

But Mawinei sensed that something was amiss. She had been sensitive to other people’s feelings since she was a child, and now, amid this happy atmosphere, she felt a touch of anxiety lurking beneath the surface.

***

In the early morning after the reunion, fear gripped the village when people were awakened by Sanja’s screams. “Help! Hanjak is passing blood!” People came running to see what was happening. They found Sanja, crying and looking bewildered. Her five-year-old son lay listless on a cot.

A balian, shaman elder, was immediately called upon.

As the morning mist gradually lifted, the old man arrived with his assistant. They entered the room quietly and sat down. Leaning against the wall, the balian stood observing Hanjak to figure out the cause of the child’s bloody diarrhea. Next, he performed the traditional healing ritual, seeking help from the ancestral spirits. During the sangiang, the balian’s thin body trembled, and he appeared to be possessed by the supernatural. After he regained cognizance, the balian quietly spoke to his assistant, who rushed out from the room toward the small forest behind the house. Several men followed him.

They returned with a bag filled with special roots and leaves. Some neighbors ground the billygoat roots and leaves making a poultice to spread on Hanjak’s navel. Others brewed a tea from the spear grass and white jasmine roots for him to drink. The villagers believed that these three plants were natural remedies for treating gastric disorders.

The next morning, Hanjak looked worse. Sanja was baffled. Even though Hanjak had recovered from the diarrhea, he still had a high fever. This was unusual; the balian never failed to heal his patients.

Something else felt strange in the village. The weather had changed. The still air felt prickly. The cloudless sky was a stark blue. A plaintive cuckoo perched in the top of a shorea tree, shrieking. The ear-piercing noise frightened the villagers, who believed the bird to be a bearer of evil and death,.

By nightfall, Hanjak lay shivering, his eyes wide open in his pale face, gasping for breath. Mystified, the balian started to chant. A few moments later, Hanjak was dead. Sanja wailed inconsolably.

***

The day after Hanjak was buried, Danum went to visit Mawinei. Mawinei was happy to have some alone time with her best friend from elementary school days; they had been separated a long time. Mawinei had attended middle and high school in Palangkaraya, living in a boarding house nearby her school. She then had moved to Yogyakarta to attend college while Danum had stayed in the village. Her parents could not afford to provide her with a higher education. That distance had kept the two best friends from seeing each other all those years.

“How are you?” Danum grinned.

Mawinei grabbed Danum’s shoulders, then stepped back and took a good look at her friend. “Good, and you?”

“I’m good too.”

The two young women hugged each other tightly then took a seat on the porch chairs.

“It’s awfully hot, isn’t it?” Mawinei fanned her face with her hands.

“Yes, it’s abnormally hot.” Danum took a deep breath. “At first, I thought the unusually hot weather was causing villagers to get sick. But now, after what happened to Hanjak, I think we’re getting sick because the Kahayan River is so polluted.”

“The Kahayan is polluted?” Startled, Mawinei looked into Danum’s troubled eyes.

“The river we used to play in is now very dirty. The water makes you itch. The miners have been dumping their toxic waste into the river.”

“Miners?” Mawinei couldn’t believe what she was hearing.

Danum nodded.

Mawinei thoughts turned to the children she had seen playing marbles. They all had scabs on their legs.

“You have a bachelor’s degree in environmental sciences, right?” Danum smiled. “You can check the river water yourself.”

***

Their walk to the river, took Mawinei and Danum through a durian and rattan plantation owned by a shaman elder. They passed the cempedak trees, which reminded them of the sweet, creamy, durian-like fruit they had enjoyed as children, and arrived at a footpath overgrown by weedy grasses. The hillside was covered with a lush green of thriving vegetable gardens.

At the river’s edge, Mawinei halted, shocked. “Oh, my God, the water’s brown!”

“Five years ago, it was still clear,” Danum said sadly. “People say that the destruction of the peatland upstream is doing it.”

“I don’t think so,” Mawinei said, examining the riverbank. “The river water used to be crystal clear, and now it’s muddy. This is strange.”

“Do you remember how, when we were little, we sometimes drank the water straight from this river? And yet we didn’t get sick.” Danum looked at the river of her childhood, now a slimy stream of mud with sparkling oil lines on its surface.

Mawinei nodded. She remembered playing there with Simpei, Ekot, and other children at low tide, when the clean, receded water left a sloping riverbank covered with white sand ⸺ not mud.

They had a lot of fun. She remembered the day they pretended to hold a wedding there, in the light rain. Danum was Simpei’s bride. Ekot, as the village priest, was given a beard made of coconut husk and attached to his chin with jackfruit tree sap. He officiated on a sand mound they had shaped like a throne. Mawinei and another child posed as witnesses, while other children watched them, giggling. The drizzle had suddenly turned into a heavy rain. The make-believe wedding was instantly forgotten, as everyone scurried to the betang. But the slippery footpath made some of them fall on their behinds. Those who did not fall laughed at the ones who did and held their butts with a painful grimace. When they arrived at the betang, the children were scolded by their parents, and the next day, on their way to school early in the morning, some showed the red pinch marks their mothers had left on their thighs.

Mawinei smiled remembering the incident. Danum tapped Mawinei’s shoulder, and woke her from the daydream.

Mawinei scooped up a handful of river water and brought it to her nose. “It stinks!” She scowled and sniffed again. “It is polluted.” The river water looked oily from waste liquids that did not mix with the water. The heavy wind blew Mawinei’s waist-length hair across her face. She quickly tied her hair back and said, “I want to see those mines you mentioned. Let’s go there.”

“We can’t go now,” Danum said. “It’s too far upstream. We have to take a boat. Let’s go tomorrow and ask Ekot and Simpei to come with us.”

***

The next morning, at daybreak, the four friends gathered at the entrance of the small pier by the river. They wanted to leave early so they would have plenty of time and still get home before dark. The dawn wind was refreshing.

Lantings lined the water’s edge. The traditional stilt houses were built with sturdy Kalimantan ironwood and floated atop pilings driven deep into the riverbed. Several boats, tied to wooden poles or concrete pillars, rocked in their moorings. Several lanterns still glimmered in the boats and stilt houses, casting a hazy light on the water’s surface.

Mawinei and her friends walked along the pier to the end of the ulin-planked bridge where the boats were moored. The eastern horizon turned a bright yellow. The river water sparkled when the morning light hit its surface. The soft morning light energized the workers.

A man approached Ekot and, pointing to several ketintings docked along the river, began negotiating a price. Ekot rented one of the dugout canoes, outfitted with an engine and outriggers, that could hold up to ten people to go as far as possible upstream.

Mawinei felt happy; it had been a long time since she had sailed on the river in a ketinting. Danum also looked happy when she boarded the boat.

The engine roared. It pushed the boat forward, splitting the water into wakes. In the old days, sturdy ironwood paddles rowed ketintings to their destination. Now, technology quickly transported people from one place to another.

The helmsman sat at the back of the boat, controlling the engine. He moved the rudder to the left and right as needed, adjusting to the river’s current.

Ekot sat at the front; Simpei sat behind him; then came Mawinei and Danum.

“Do you remember when we used to swim there?” Ekot pointed to the water behind the stilt houses.

“Sure, over there, right?” Simpei pointed at the biggest stilt house.

“Yeah, right!” Ekot’s face brightened while talking about their happy childhood days.

“But you were afraid to do a backflip ⸺ chicken!” Simpei teased. “You were only brave enough to jump.”

“At least I jumped!” Ekot retorted.

“Yeah, but still, you were too much of a scaredy-cat to do a flip.” Simpei slapped Ekot’s arm.

Ekot screamed theatrically, then grinned mischievously. “Okay, I admit defeat, but who dared to swim across the river? Come on, tell me, who?”

Simpei could only nod and point at Ekot, who was indeed the most courageous swimmer in the group. The others, too afraid of being swept away by the current, only swam along the riverbank.

Like other Kalimantan children who lived by the Kahayan River, the four friends needed no one to teach them how to swim. Their ancestors never lived far from the river. When they were babies, their mothers had bathed them in the river, laying them on their backs atop the water until they quickly learned to float naturally on their own. In elementary school the children usually went home at noon, the hottest part of the day.They would plunge into the river and swim as long as they wanted, using whatever style came naturally to them. Some swam like a frog, others like a dolphin — or anything else, as long as they remained afloat and kept from drowning. Sometimes they brought a ball to throw back and forth among them. The one who caught the ball would throw it randomly, and everyone one would race to catch it.

As the river widened, its rippling water grew browner. Several boats passed them, traveling in the opposite direction. On one, a fisherman was preparing to cast his net into the river.

Both sides of the riverbank were overgrown with small groves of bamboo, coconut, and fruit trees interspersed by patches of brush and flowering rose myrtles. The fruit trees — bananas, jackfruits, durians, cluster figs and cashews — thrived in the fertile soil of Kalimantan’s peatland.

The great Kahayan River river was six hundred kilometers long, spilling from its birthplace in the Muller Mountains; it divided Palangkaraya, ran through the Pulau Pisau dan Gunung Mas Regencies in Central Kalimantan, until it emptied into the Java Sea.

Simpei lit a cigarette and took a long drag. He offered the pack of cigarettes and lighter to Ekot, who politely refused. Simpei relaxed and enjoyed the cigarette and the breeze.

The cluster fig trees that grew on the riverbanks helped prevent erosion. Their red fruits were favored by monkeys, squirrels, and birds.

The boat moved farther and farther from civilization. The stilt houses were now out of sight. Above the noise of the motor, they caught the occasional birds chirping and monkeys squealing from the forest.

Cruising under a bridge, they continued upstream. Now the scenery changed. Large areas of vegetation had been cleared away for community activities. The river water turned darker and dirtier.

“People are quick to jump on the bandwagon,” Ekot complained. “As soon as the price of rubber skyrocketed, everyone started clearing land in the forest to plant rubber. Now everyone is clearing land to plant palm trees. Privately-owned palm tree orchards aren’t that large, but when big corporations build palm tree farms, they can stretch across thousands of hectares, and the forest trees are done.”

“The price of rubber dropped a long time ago,” Simpei added. “People don’t want to tap rubber anymore. Now people are mining gold. Just look at them!” Simpei pointed at a group panning gold along a destroyed section of the riverbank that was completely void of vegetation.

The sodden land was riddled with stagnant, grimy puddles. Long, narrow sluice boxes, used to separate gravel from gold, extended far into the river. Huts that housed the miners were scattered around the diesel engine. The forceful spray of water, gushing from giant hoses, had eroded the riverbanks. At those places, the river had become shallow.

Some of the mining equipment was installed directly over the river. Just like the lanting houses, they had been built on pilings made of ironwood. A maze of pipes gouged the earth, spewing toxic waste directly into the river.

The river was not only muddy, it was contaminated by diesel fuel spilling from the engine. Rainbows of glistening oil shimmered in the sunlight, swirling on the river’s surface as the current moved them.

Engines roared ceaselessly while tearing up the riverbed in search of gold ore. To separate gold ore from gravel, the miners used mercury. The elemental metal mixed with oil and sparkled dangerously on the water’s surface. The environment was under attack.

“Now it’s obvious,” Mawinei said. “These mines are causing the sickness in our village.”

 

Danum nodded.

Their boat slowed. Ekot took out his camera, and began capturing pictures of the gold-mining activities. Some miners looked at them suspiciously.

“History is repeating itself.” Ekot was clearly distressed. “But now, we’re not fighting the Netherlands or Japan. Instead, we’re fighting against human greed that is destroying our habitat. And the saddest thing is that the culprits are our own people.”

“God’s gifts are priceless.” Mawinei murmured.

The boat continued upstream, and Mawinei became increasingly alarmed at the ubiquitous gold panning along the riverbanks. They passed a group of people using a set of equipment different from what they had seen earlier. The powerful dredgers and giant water pumps caused even more destruction, turning the riverbank into one giant mudhole.

“Tomorrow, I’m going to see my friend Idris,” said Ekot. “He’s involved with a non-governmental organization that advocates for environmental issues. We can’t let this continue to happen,”

“Look!” Simpei shouted. “Look what’s happening, in the hills over there!” He pointed to a barren field on the hill to their right. “That large coal mine caused this deforestation. And they’re not the only vandals! Don’t forget the corporate-owned oil palm plantations.”

Ekot’s face flushed with anger. “Worse than that, some children drowned while playing in an abandoned mine pit.”

“The one that has become a lake?” asked Simpei.

Ekot nodded.

“We can’t let all these crimes continue!” Mawinei shouted.

***

A few days later, Idris, Ekot, and Mawinei met with the local government official assigned to deal with mining issues. Danum and Simpei had to wait outside because only three people were allowed in the official’s room. They had brought a water sample they had taken from the river, which Mawinei had examined in a laboratory in nearby Kuala Kurun, the capital of the Gunung Mas Regency. The test results showed an unacceptably elevated level of pollution.

“Most of them are unlicensed,” the official said of the gold miners. “We can’t restrict their activities because they’re using their equipment on their own property, and they have proof of ownership.”

“Regardless, sir, they are destroying the environment, and the pollution they’re causing is impacting all of us,” Idris said, irritated. “Our lives are centered around this river, which is now making us sick.”

“The problem is that gold mining is their livelihood.” The official became indignant. “If we stop them, will you give them jobs or provide food for their families?”

“You must do something, sir,” Ekot joined in. “It’s not about allowing them to keep their jobs and feed their families; it’s about not allowing them to use dangerous toxins like mercury in their operations.”

“Please don’t wait until we have fatalities, sir.” Mawinei added, obviously upset. “Many villagers are suffering — and dying — from strange illnesses.” She handed the official a piece of paper with signed complaints from people in her village.

Ekot gave him the photos he took that evidenced the destruction caused by the mining activities.

Idris presented the lab results from the river water tests.

As the official carefully read thorough the documentation, he frowned. He was holding sufficient evidence of a potentially deadly situation. He looked up slowly. “Please give us time,” he said. “We will take action. Immediately.”

***

A month after the meeting, the unlicensed mines were prohibited from continuing their operations. All materials that contained mercury was confiscated. Even so, many other mines still operated. A big mining company, with the backing of powerful people, retained lawyers to dispute the reports Idris had presented. This stymied the local government officials.

“At least we tried, and the pollution of this river has been reduced,” said Mawinei, trying to calm Idris who still couldn’t accept their setback.

Danum sighed and looked anxiously into the distance.

Simpei took a long drag on his cigarette.

“Big mining companies, especially coal companies, are nearly unstoppable because they generate huge revenue for the government,” said Ekot.

“So we still have a long way to go, my friend.” Mawinei ’s words were greeted by nods from her friends.

“Yes!” they cheered. “And we won’t give up easily!”

 

 

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Perayaan 10 tahun berdirinya Dalang Publishing

Dalang Publishing telah mengusung kesusastraan Indonesia masuk ke ranah sastra dunia selama sepuluh tahun. Perjuangan penuh liku telah mewarnai perjalanan kami mulai dari awal hingga sampai pada titik ini.

Upaya membawa sastra Indonesia ke panggung dunia, khususnya di Amerika, bukanlah hal yang mudah. Apalagi jika disertai dengan keinginan mengingatkan pelaku dunia sastra ⸺ penulis, penerjemah, dan sesama penerbit ⸺ untuk selalu menjunjung tinggi karya sastra, kebanggaan akan bahasa dan kecintaan terhadap bangsa.

Kami sadar, perjalanan sepuluh tahun belumlah mampu memintal tali yang kuat untuk ditapaki sebagai sebuah jembatan. Namun, paling tidak kami telah membuat pintalan yang mampu menyampaikan getaran cinta dan kebanggaan sebagai bangsa kepada dunia luar melalui rangkaian kata dalam bentuk karya sastra.

Semoga keberadaan Dalang Publishing dan perayaan perjalanan sepuluh tahun ini dapat menjadi arah dan tuntunan bagi pelaku sastra Indonesia untuk berani tampil berkarya dengan bangga dan penuh rasa percaya diri di kemudian hari.

Bulan Oktober bertepatan dengan bulan bahasa dan peringatan Soempah Pemoeda di tanah air adalah waktu yang sangat tepat untuk mengabadikan 10 tahun perjalanan Dalang Publishing. Sebagai perwujudan rasa syukur itu, kami meluncurkan buku Footprints/Tapak Tilas: Kumpulan Cerpen Dalang. Buku dwi bahasa ini berisi 49 karya cerita pendek dari 44 penulis dan 18 penerjemah Indonesia yang hidup dan berkarya di tanah air.

Dukungan pemerintah Indonesia melalui Konsulat Jenderal Republik Indonesia ((KJRI) San Francisco dalam setiap peluncuran karya sastra yang kami terbitkan telah memberi makna dan kepercayaan kepada Dalang Publishing sebagai pembawa sastra tanah air ke dunia barat.

*****

** Untuk menyaksikan acara selamatan penerbitan buku dapat melihat tautan Selamatan Buku Footprints/Tapak Tilas

** Untuk menyaksikan acara peluncuran buku dapat melihat tautan  The Book Launch of Footprints/Tapak Tilas

Cenning Rara

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Dia dapat dihubungi melalui surel: umar2x.umar@gmail.com

 

 

Cenning Rara

 

Caya berdiri dengan tangan terkepal menggenggam kerikil mengadang traktor yang akan merobohkan rumah teman halusnya. Dahan-dahan pohon ara sebesar dua kali lengan orang dewasa itu menjuntai menyentuh tanah. Sopir traktor sudah meneriakinya berkali-kali, tetapi Caya malah membalasnya dengan makian dan lemparan kerikil. Orang-orang yang berkerumun menggeleng-geleng. Gadis remaja kurus dengan tubuh cekung dan rambut terurai sampai ke pinggang itu benar-benar nekat. Bujukan yang disampaikan orang-orang pun tidak digubrisnya. Malah Caya menuduh orang-orang desanya bersekongkol untuk mengusir teman halusnya.

“Pergi,” teriak Caya sambil melempari traktor dengan kerikil.

Ayahnya muncul dari balik kerumunan.

“Papa, tolong usir pergi pengacau itu!” Caya menangis sejadi-jadinya sambil menunjuk sopir traktor. “Dia mau bongkar rumah temanku. Temanku tidak salah.”

Yusuf membujuk putri semata wayangnya itu. Caya kehilangan ibunya saat dia dilahirkan. Teman-temannya tidak ada yang mau bermain dengannya karena dia mengidap ayan. Yusuf meminta sopir traktor itu memberinya waktu membujuk anaknya.

Sopir traktor itu menggeleng. Dia tidak bisa menunggu. Pekerjaannya harus selesai hari ini. Kalau tidak, dia bisa dipecat. Dia punya keluarga yang butuh makan.

Yusuf terpaksa bermohon-mohon.

Karena sudah menjelang sore, akhirnya sopir traktor memberinya waktu sampai besok pagi.

Yusuf kembali menghampiri Caya yang tersenyum puas menyambutnya meskipun wajahnya masih basah dengan air mata. Yusuf duduk di dekat Caya, bersandar pada pohon ara. “Teman halusmu di mana, Nak?”

“Dia di dalam, tidak mau keluar, takut sekali lihat raksasa besi itu.”

Desa yang terletak di hulu Sungai Sampara, dekat Kota Kolaka, di Sulawesi Tenggara ini, dulunya adalah hutan belukar. Penghuninya ular, buaya, dan makhluk halus. Sekarang ular dan buaya sudah jarang terlihat. Makhluk halus pun merasa tidak lagi nyaman tinggal bersama manusia.

“Kenapa teman halusmu masih bertahan di sini, Nak?”

Caya menarik napas panjang, lalu menjelaskan. Teman halusnya iba melihatnya dan memutuskan tinggal untuk menemaninya. “Sekarang bagaimana saya bisa tega membiarkan rumahnya dibongkar?” kata Caya dengan nada haru sambil memandang traktor yang terparkir di tepi jalan. Beberapa pohon di sekitarnya bergelimpangan, tercabut dengan akar-akarnya.

“Jalanan ini ndak aman lagi,” kata Yusuf. Dari cerita kepala pelebaran jalan, dia tahu jalan ini akan ramai dilalui truk-truk raksasa pengangkut hasil tambang nikel. Persawahan sebentar lagi akan menjadi perumahan. “Nak, kamu harus kasi tahu teman halusmu, beginilah yang manusia sebut perkembangan.”

Caya mendongak, menatap daun-daun ara yang berisik tertiup angin.

“Temanmu pasti ndak tahan dengan suara ribut.” Yusuf terdiam sejenak, meluruskan punggungnya yang bersandar pada pohon ara, lalu berkata, “Kamu bicara dengannya, Nak. Kamu perlu melepaskannya. Dia juga pasti tahu apa yang sedang terjadi di desa ini.” Yusuf mengusap-usap kepala Caya, lalu berdiri dan melangkah pergi.

***

Yusuf duduk termenung di toko kelontongnya yang makin hari makin sepi. Dia sudah berusaha membujuk anaknya untuk merelakan pohon itu dirobohkan. Namun, dia kasihan juga melihat anaknya yang kesepian. Terkadang dia tidak habis pikir kenapa Tuhan tega menyiksa anaknya seperti itu. Tuhan sudah mengambil ibu Caya, dan Caya sendiri mengidap ayan. Mungkin ini karma. Sebelum istrinya meninggal, Yusuf memang bekerja sebagai lintah darat. Namun, semua penghasilan pekerjaan haram itu sudah dikembalikan kepada masyarakat.

Uang yang dipakai untuk modal toko kelontong adalah uang hasil penjualan kebun warisan orangtuanya. Tidak ada alasan Tuhan untuk menghukum anaknya. Anak itu tidak makan uang haram. Anak itu tidak berdosa.

Diam-diam Yusuf juga bangga melihat anaknya mengadang traktor itu dengan berani untuk membela teman halusnya. Tidak seperti diriku yang benar-benar lemah, tidak bisa membela anakku sendiri saat anakku membutuhkan. Caya kesepian dan satu-satunya teman bicaranya hanyalah teman halusnya. Yusuf merasa benar-benar tidak berguna sama sekali. Seharusnya dia malu kepada istrinya yang berkorban untuk melahirkan Caya dengan selamat. Yusuf memaki-maki dirinya sendiri.

Seseorang muncul di pintu.

Yusuf terkesiap. Baru kali ini dia melihat seorang calabai, bencong, berpakaian seperti ulama — Dia bersarung dan sorban putih melingkar menutupi songkok hajinya, sementara bagian ujung sorban itu menjuntai sampai ke bahu.

“Saya Bissu Saleh,” kata calabai itu, dan belum sempat Yusuf menjawab, dia pun menyambung, sambil mengerling kepada Caya yang duduk membisu di sudut toko, “Anak Puang bukan anak sembarangan.”

Yusuf menyambut uluran tangan Saleh.

“Banyak yang mengira saya ini calabai,” Saleh membuka pembicaraan. Dia pun bercerita tentang perbedaan antara bissu dan calabai. Bissu adalah calabai suci penasihat rohani kerajaan kuno Bugis-Makassar. Makanya, banyak orang menyangka bissu bukan Muslim. Saat kerajaan Bugis Makassar menerima Islam sebagai agama kerajaan, bissu patuh, dan menjadi Muslim. Hanya saja, bissu tidak menunaikan salat di masjid karena tidak ada saf untuk calabai. Banyak bissu yang sudah berhaji. “Saya tidak pakai ini, kalau saya belum haji,” kata Saleh menunjuk songkok hajinya. Saat menunaikan haji, dia harus memilih menjadi laki-laki, dan kembali menjadi calabai saat kembali ke desanya.

Saleh sama seperti Caya; dia mempunyai teman halus. Teman halusnya itu mengikutinya ke mana saja dia pergi. Bahkan dalam setiap pekerjaannya, teman halusnya ikut membantu.

Yusuf mengangguk-angguk mendengar penjelasan Saleh.

Sebenarnya Saleh datang atas panggilan saudaranya untuk menjadi indo’botting, perias pengantin Bugis, pada perkawinan putri saudaranya. Dia mendengar dari seorang ibu penjual nasi kuning, langganan pekerja jalanan, tentang Caya yang mengadang traktor untuk membela teman halusnya.

“Nak Caya akan kesepian terus sebelum dia punya sesuatu yang bisa bikin dia diterima masyarakat.” Saleh menatap Yusuf tidak lagi seringan tadi.

“Jadi?” sambar Yusuf.

Saleh tersenyum dan menyabarkan Yusuf untuk mendengarkan ceritanya. Semua orang mempunyai sesuatu yang membuat mereka bisa diterima di masyarakat. Pedagang mempunyai dagangan, orang-orang pintar ilmu pengetahuan, petani tanaman. “Kalau Caya apa?”

Yusuf menggeleng. Caya tidak bersekolah. Dia tidak tahan diejek teman-temannya.

Saleh cerita, dia dulu seperti Caya — terkucilkan sampai akhirnya dia bertemu Puang Matoa, pimpinan bissu. Puang Matoa mendidiknya menjadi bissu. Dia bukan lagi calabai bus malam, calabai yang hanya senang hura-hura dan meresahkan masyarakat.

“Saya mau minta izin Puang untuk mengangkat Caya menjadi anak muridku.”

Yusuf menoleh kepada Caya yang bersungguh-sungguh memperhatikan Saleh.

“Ilmu apa yang akan Bissu Saleh ajarkan?” Yusuf mendesak.

“Ilmu cenning rara,” jawab Saleh.

“Ilmu apa itu?” Yusuf diam menunggu penjelasan.

Namun, Saleh hanya menatapnya, lalu sambil berpaling kepada Caya dia bertanya,

“Puang tidak kasihan sama Nak Caya?”

“Saya harus tahu dulu, ilmu macam apa itu?” Suara Yusuf meninggi.

“Ilmu pemikat leluhur Bugis,” jawab Saleh sambil menyilangkan tangannya di depan dada.

“Ilmu musyrik,” sergah Yusuf.

Saleh meraih gelas air minum di depannya yang disajikan Caya, meneguknya, lalu meletakkannya kembali ke atas meja dengan perlahan-lahan.

“Puang tahu gincu?” tanya Saleh dengan tatapan masih tertuju pada gelas. “Dulu, di Eropa, perempuan yang memakai gincu dianggap pemuja setan.”

Yusuf menyeringai, “Pernah ke Eropa?”

“Pernah, kami keliling Eropa, pentas,” kata Saleh dengan dagu terangkat.

Yusuf meringis.

“Memang banyak yang salah sangka, orang-orang pikir bissu itu tinggal di desa terpencil, dan tidak tahu dunia luar.” Saleh pun menceritakan perjalanannya keliling Eropa.

Caya bersemangat mendengar. Sesekali dia menyela, bertanya saat ada hal yang menarik baginya.

Yusuf hanya terdiam mendengarkan, sambil memperhatikan Caya yang tersenyum lebar. Belum pernah anaknya sebahagia saat ini.

“Jadi Puang mengizinkan?” tanya Saleh dengan tatapan menodong.

Yusuf menghela napas, memperbaiki sikap duduknya, lalu berkata, “Anak bukan barang. Saat kita mati, putus hubungan. Doa anak bisa melapangkan dan menerangi kubur orangtuanya.”

“Tapi…” Saleh merapatkan punggungnya pada sandaran kursi.

“Tadi saya yang diam mendengar, sekarang tolong saya didengar juga,” hardik Yusuf dengan badan condong kepada Saleh.

Saleh terdiam.

Yusuf menjelaskan ketakutannya. Dia muslim yang taat. Kemusyrikan masuk dosa besar. Mereka yang musyrik tidak ditanya lagi saat kiamat nanti, langsung dilempar ke kerak neraka. Percaya pada mantra-mantra itu kemusyrikan. “Cukup sudah kita menderita di dunia ini, jangan lagi di akhirat.”

Matahari dengan cahayanya kemuning merasuk dari sela-sela dinding papan. Induk ayam berkotek-kotek memanggil anak-anaknya yang masuk mencari remah-remah makanan. Caya berdiri mengusir keluar anak-anak ayam itu, lalu kembali duduk.

“Boleh saya jelaskan, Puang?” tanya Saleh dengan sabar.

Yusuf mengangguk.

Saleh menjelaskan mantra bukan sesuatu yang tertulis di atas batu. Mantra mengikuti perkembangan kerohanian masyarakat. Dulu mantra-mantra itu berbahasa Bugis-Makassar kuno. Sejak Islam masuk, mantra-mantra memakai ayat-ayat dari Alquran. “Kita tidak lagi berdoa kepada dewata, tapi kepada Allah,” kata Saleh menutup penjelasannya.

“Untuk usir setan, iya, tapi untuk bikin orang suka kita, saya baru dengar,” sela Yusuf.

Saleh terdiam.

Yusuf pun melanjutkan, “Musyrik itu orang yang pake Alquran untuk guna-gunai orang supaya orang suka dia.”

“Percaya saya Puang. Saya ini haji,” kata Saleh dengan nada membujuk.

“Haji bukan jaminan. Lihat saja, banyak yang pergi haji, setelah pulang tambah rakus, makan uang rakyat.” Suara Yusuf kembali meninggi.

Saleh tersenyum. “Saya hanya menawarkan bantuan. Puang yang putuskan terima atau tidak.”

Caya memegang lengan kursi kuat-kuat, tetapi tangannya tidak cukup kuat untuk menahan badannya yang terempas ke depan.

Yusuf melompat menangkapnya, tetapi terlambat.

Caya terkapar dengan badan mengejang dan mulut berbusa.

Yusuf membopong Caya masuk ke kamarnya, lalu kembali ke ruang toko, dan berkata,

“Anak itu kalau terlalu tertekan, ayannya muncul.”

Saleh tidak lagi berkata apa-apa, kecuali minta pamit.

“Sampai kapan Bissu Saleh di sini?” Suara Yusuf tidak setegas sebelumnya.

“Kembali ke Pangkajene lusa.” Saleh berpamitan. Azan magrib mendayu-dayu mengiringi kepergian Saleh yang akhirnya menghilang di balik rimbunan bambu.

Tengah malam, Yusuf bermunajat. “Ya Allah, aku hanya ingin melihat anakku bahagia.” Yusuf mengulang-ulang perkataannya. Tidak seperti biasanya, suara-suara kalong yang berebut buah tidak terdengar. Angin pun berhenti bertiup. Yusuf terkesiap saat Caya menyentuh punggungnya.

“Pa, ayo kita ke masjid,” kata Caya.

Yusuf memandang wajah Caya yang bersinar dengan senyumnya. Azan subuh sayup-sayup terdengar. “Iya Nak, kita ke masjid,” kata Yusuf.

Dalam perjalanan pulang dari masjid, Yusuf berkata kepada Caya dengan nada bersungguh-sungguh, “Musyrik itu dosa besar. Setiap saat kita bisa musyrik. Iblis sangat lihai menipu manusia. Bahkan menjelang kematian kita, iblis masih bisa membuat kita musyrik.” Daun-daun bambu bekersik menggigil tertiup angin subuh di sudut jalan. Yusuf dan Caya berbelok masuk ke jalanan kecil menuju rumah. Yusuf bertanya pelan, “Kamu tahu Nak kapan kita selamat dari kemusyrikan?”

Caya menggeleng.

“Kita mengucapkan syahadat saat mengembuskan napas terakhir kita.”

***

Yusuf mengantarkan Caya ke terminal bus. Sepanjang jalan, tidak sepatah kata pun terucap dari mulutnya. Yusuf mengelus-elus kepala Caya saat anaknya mencium tangannya sebelum naik ke bus yang membawanya ke Pangkajene.

Saleh dengan sabar menunggu Caya melepaskan tangan ayahnya. “Jangan khawatir Puang, Caya sudah jadi anak saya sendiri.”

Yusuf mengangguk dengan isak yang tertahan di tenggorokannya.

“Kamu baik-baik di sana, Nak. Dengar Bissu Saleh.” Yusuf menyodorkan wajahnya lewat kaca jendela yang terbuka.

Caya secepatnya menghapus air matanya, lalu mengangguk-angguk.

Bus bergerak perlahan keluar dari terminal.

Caya menoleh ke belakang memandang ayahnya yang berdiri di tepi jalan sampai akhirnya pandangannnya terhalang oleh bus yang mengekor, lalu merebahkan punggungnya dan memandang truk-truk yang menumpahkan tanah ke atas persawahan yang mengering. Desa ini benar-benar sudah ramai. Rumah dan toko nampak di mana-mana. Segerombolan burung-burung pipit beterbangan saat bus berbelok di dekat semak-semak. Seharusnya bukan aku yang harus pergi belajar cenning rara agar pendatang-pendatang itu bisa menerimaku. Pendatang-pendatang itu yang harus bisa menerima diriku.

Caya menengok ke belakang sebelum bus berbelok dan merayap ke jalan yang memutar di pinggang gunung. Desanya sudah tidak nampak. Caya mengusap air matanya yang meleleh di sudut matanya. Aku harus secepatnya kembali. Kasihan ayahku, hidup sendirian.

Saleh duduk tenang di sampingnya.

Caya masih tidak percaya Saleh mau mengangkatnya menjadi anak murid, padahal dia baru saja mengenalnya. Alasannya hanya karena dia dulu bernasib sama dengan dirinya, terkucilkan, tidak masuk akal. Pasti ada alasan di balik itu, tetapi untuk apa aku menanyakannya. Yang terpenting Wa’ Saleh mau mengajarkanku sesuatu yang membuat aku tidak lagi kesepian.

“Kamu sudah lupa dengan temanmu?” tanya Saleh sambil mengangkat dagu seakan menunjuk di sampingnya. “Temanmu itu enak, naik bus, ndak bayar.”

Caya menoleh. “Iya Wa’, rumahnya juga ndak dibayar,” jawabnya dengan mata berbinar.

Saleh langsung menutup mulutnya dengan tangan, dan wajahnya memerah menahan tawa. “Ndak salah Nak saya mengangkatmu menjadi muridku,” katanya di sela-sela tawanya yang tertahan.

Caya menerima pujian itu dengan anggukan.

Bus meraung-raung saat melewati kelokan terakhir di puncak gunung, lalu meluncur dengan ringan melewati jalan yang menurun.

“Dulu saat saya kecil, saya seperti kamu, pemberontak.” Sepanjang jalan Saleh bercerita tentang masa kecilnya. Orang-orang membencinya hanya karena dia berjalan seperti perempuan. Ayahnya memukul kakinya sampai bengkak supaya dia berhenti berjalan seperti itu. Dia pernah mencoba, tetapi temannya mengejeknya. Kata mereka, cara jalannya seperti anak baru sunatan. Akhirnya dia capek mencoba, ayahnya juga capek memukulnya, teman-temannya capek mengejeknya.

Saat dia dewasa, dia senang membantu ibunya memasak. Ibunya dengan sabar menjelaskan bahwa memasak itu pekerjaan perempuan. “Kamu bantu ayahmu bertani,” kata ibunya. Dia pun membantu ayahnya menanam padi di sawah. Namun baru beberapa ikat selesai, dan matahari belum terlalu terik, ayannya muncul. Akhirnya ayahnya tidak pernah lagi mengajaknya ke sawah.

Untungnya setiap pagi, ibunya sangat sibuk. Mereka tujuh bersaudara, dan masih kecil-kecil. Terpaksa ayahnya mengizinkannya membantu ibunya menyiapkan sarapan. Dia bertugas membuat kopi dan teh. Setelah ibunya mengajarkannya, dia mahir membuat kopi dan teh. Malah lebih nikmat dari kopi dan teh buatan ibunya. Pelan-pelan, dia membantu ibunya membuat segala jenis sarapan, seperti nasi goreng, nasi ketan, dan bubur jagung.

Keahlian masak-memasak Saleh berkembang. Akhirnya dia mahir dalam memasak acara hajatan. Dalam sebuah pesta perkawinan dia bertemu Puang Matoa, pimpinan Bissu. Saat itu Puang Matoa diundang untuk menampilkan tarian ma’giri, tarian sakral bissu yang memperlihatkan kemampuan mereka menari dengan gemulai dan kekebalan tubuh dari senjata tajam. Hanya bissu yang mampu melakukan itu dan syarat menjadi bissu sangat susah. Dia harus suci dan harus punya roh pelindung. Dia harus berpuasa selama tiga hari. Setelah itu dia dikafani seperti sudah mati. Selama dikafani, rohnya akan menjelajahi alam gaib sedangkan calon bissu terselap. Seberapa jauh rohnya menjelajah, tergantung pada kekuatan roh bissu itu. Ketika roh pulang ke tubuh, saat itulah dia sah menjadi bissu. Kalau rohnya tidak pulang, dia akan mati.

“Kenapa Wa’ bisa nekat?” Caya melirik kepada Saleh.

“Ya, memang sudah nasib,” kata Saleh sambil mengusap-usap dada.

***

Pangkajene ternyata sebuah kota kecil dekat Makassar. Kota ini diapit oleh laut dan perbukitan batu. Sungai besar bernama Kali Bersih membelah kota kecil itu. Bukit-bukit batu mulai terkikis habis untuk dijadikan semen dan marmer. Saleh tinggal di sebuah rumah kayu panggung di tepi sungai belakang pasar. Suara bising tidak sedetik pun berhenti. Truk-truk di jalan dan ketinting-ketinting di sungai menderu-deru. Caya tidak bisa tidur sampai terdengar azan subuh. Azan subuh pun membahana dari segala penjuru, saling berlomba menggapai langit.

“Kamu ndak bisa tidur, Nak,” kata Saleh saat Caya keluar ke ruang tamu.

“Iya Wa’.” Caya merapikan rambut yang terurai di wajahnya.

“Beginilah nanti desamu, kamu harus mulai belajar.” Saleh meneguk kopi hangatnya. “Tapi bagus, makin ramai tambang, makin ramai juga masjid.”

Keramaian kota ini membuat Caya ingin segera kembali ke desanya. Untung, pada malam itu, dia sudah memulai pelajarannya.

Saleh memperkenalkannya kepada teman halusnya. Saleh memberi salam saat membuka pintu kamar arajang, pusaka, itu dan bau kemenyan merebak. Kamar itu lebih kecil dari kamar yang ditempati Caya. Di dalamnya, ada sebuah ranjang mungil, ditutupi kelambu. Kamar itu gelap, hanya cahaya dari ruang tamu yang menyelusup masuk. Saleh bersila dan berdoa sejenak, lalu membuka kelambu itu. Saleh menunu dupa di dalam mangkuk tembikar di sudut kanan depan ranjang. Nampak pernak-pernik kuno tertata rapi di atas ranjang. Saleh berbicara akrab kepada teman halusnya, lalu menarik tangan Caya mendekat dan duduk di sampingnya.

Saleh memperkenalkan Caya dan menjelaskan maksud Caya untuk belajar cenning rara.

Caya merasakan dirinya melayang, dan melihat teman halusnya berangkulan dengan seseorang berjubah putih yang bercahaya menyilaukan. Makin dia menatap lelaki berjubah itu, makin menyilaukan. Akhirnya, Caya harus menutup matanya dengan kedua tangannya, tetapi cahaya itu tetap terasa, bahkan makin menyilaukan. Caya pun berteriak sejadi-jadinya. Setelah itu, cahaya tadi menghilang, dan penglihatannya menjadi gelap gulita. Saat kesadaran Caya kembali, dia bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Kamu lihat Nak?” Saleh menggenggam tangan Caya.

Caya pun menceritakan apa yang dilihatnya. “Sebenarnya siapa itu?”

“Seorang sufi. Tidak boleh saya sebut namanya.” Saleh meminta Caya berwudu, memakai sarung, dan kembali masuk ke kamar arajang. Mereka bersila di hadapan arajang lalu Saleh mengajarkan Caya mantra cenning rara.

Saleh mewanti-wanti agar Caya jangan menggunakan cenning rara untuk keburukan. Kalau dia melakukan itu, lelaki berjubah cahaya itu yang akan datang dan menghukumnya.

Caya mengangguk gembira dengan anggapan dia bisa segera kembali ke desanya, bertemu ayahnya, dan bisa tidur lelap.

Ternyata, Saleh masih menahannya. Dia masih harus mengajarkan Caya menggunakan cenning rara untuk merias pengantin. Dalam tiga bulan ke depan, ada tiga acara perkawinan, dan Saleh meminta Caya untuk membantunya menjadi indo’ botting.

Saleh mengajarkannya cara merias pengantin. Terkadang, dia tidak bisa menahan luapan kemarahannya, saat perhatian Caya terpecah. “Itulah gunanya kamu baca cenning rara saat merias, supaya kamu betul-betul perhatikan setiap garis yang kamu bikin. Ini bukan kertas, ini muka orang.”

Anak perempuan yang menjadi korban percobaan riasan Caya terkikik-kikik mendengar Saleh marah.

Caya pun membaca mantra cenning rara.

“Belum sekarang, nanti,” hardik Saleh, “kalau pengantin betulan.”

Anak perempuan itu memegang perutnya, tertawa terbahak-bahak.

Caya jengkel ditertawai dan diriasnya anak itu mirip topeng monyet.

Saleh tertawa terpingkal-pingkal.

***

“Kamu sudah siap, Nak,” kata Saleh saat melihat hasil merias Caya pada minggu kedua.

Awalnya Caya canggung saat merias pengantin untuk pertama kalinya dan di depan orang banyak. Namun, akhirnya dia bisa menunjukkan keterampilannya. Saleh memujinya.

Malam akhir pekan bulan ketiga, Caya duduk di teras dengan Saleh sambil memandangi gerimis. Raungan truk di jalan dan katinting di sungai bersahut-sahutan. Caya tersenyum. Suara bising yang dulu membuatnya tidak bisa tidur, sekarang malah membawanya terlelap.

“Kenapa kamu senyum-senyum?” tanya Saleh.

“Saya mulai senang tinggal di sini, Wa’.”

“Bagaimana perasaanmu, Nak, waktu berhasil merias?”

“Senang sekali,” kata Caya tersenyum lebar dengan mata berbinar-binar.

“Masa panen sudah lewat. Masa menanam sudah tiba. Musim panen, musim kawin; musim bekerja sebagai indo’ botting,” kata Saleh tersenyum simpul.

Gerimis bermain riang dengan cahaya lampu jalan yang temaram. “Akhirnya,” Saleh menghela napas panjang, “janjiku kepada Puang Matoa sudah saya tepati.”

Caya tersadar, rupanya itulah alasan Saleh mengajarinya.

“Kamu harus pulang besok. Papamu pasti sudah rindu sekali.”

“Terima kasih, Wa’,” kata Caya dengan lirih.

“Sama-sama, Nak.” Saleh berdiri dan masuk ke kamarnya.

***

Caya mengubah toko kelontong ayahnya menjadi salon kecantikan. Orang-orang menyukai caranya merias yang apik. Pelanggannya membeludak. Setelah menyelesaikan pekerjaan terakhirnya hari ini, Caya duduk beristirahat.

Yusuf datang menghampirinya. “Papa bangga sekali.” Setelah terdiam sejenak, dia melanjutkan, “Bagaimana dengan teman halusmu?”

“Malah bertambah banyak.” Caya tersenyum lebar.

Yusuf melemparkan pandangannya ke persimpangan jalan raya di mana dulu ada pohon ara. “Terima kasih, Nak,” kata Yusuf lirih.

“Saya yang berterima kasih, Pa.” Caya meraih tangan ayahnya dan menciumnya.

 

*****

Cenning Rara

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, dia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Dia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini dia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Oni dapat dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

 

 

Cenning Rara

 

Caya, defiant with her clenched fist full of pebbles, stood her ground and blocked the tractor about to demolish her imaginary friend’s house. The bodhi tree’s branches, twice the width of a man’s arm, scraped the ground.

The tractor driver had yelled at her many times, but Caya answered with angry words and pelted pebbles. The gathered villagers shook their heads. The skinny young girl with hair down to her waist must be really desperate. Unmoved by anyone’s persuasion, she refused to budge and even accused the villagers of conspiring to evict her imaginary friend.

“Go away!” Caya yelled, throwing pebbles at the tractor.

Her father emerged from the crowd, and Caya pointed at the tractor driver. “Father, please tell that intruder to go!” she cried. “He wants to destroy my friend’s house. My friend hasn’t done anything wrong!”

Yusuf tried to calm his daughter, his only child. Because of her epilepsy, no one wanted to play with her. He knew that Caya was lonely, and her imaginary friend was the only person she had to talk to. Yusuf asked the tractor driver to give him a few minutes to reason with his daughter.

The driver shook his head. No, he could not wait. He had to finish clearing this area today. He could not afford to be fired. He had a family to feed.

Yusuf pleaded for more time.

The two bantered back and forth until finally, because it had become so late, the driver climbed out of the tractor cab and told Yusuf he would return the next morning to complete his job of clearing the land.

Yusuf walked back to Caya, whose smile shined through a face wet with tears. “Where is your friend now, Caya?”

“She is inside her house in the tree. She doesn’t want to come out. She is afraid of that steel monster.”

Yusuf’s and Caya’s village, upstream on the Sumpara River, near Kolaka City in Southwest Sulawesi, was once a forest, only inhabited by snakes, crocodiles, and forest spirits. Now, snakes and crocodiles were rarely seen, and the forest spirits, not comfortable living near humans, had moved to the mountains.

Yusuf sat down at the base of the bodhi tree and drew his daughter to him, “Why does your friend remain here when the others have gone, Caya?”

Caya sighed. “She feels sorry for me and stays to keep me company.” Caya stared at the tractor parked near the roadside, surrounded by uprooted trees. “How could I allow anyone to destroy her house?”

“This road is no longer safe,” Yusuf told his daughter. “These rice fields will soon be transformed into a housing complex. This road will become busy with giant trucks transporting nickel ore.” He paused. “Caya, you must tell your friend what is going on. This is what we humans call progress.”

Caya raised her head, and looked at the heart-shaped leaves of the bodhi tree rustling above her in the wind.

“Your friend would definitely not like the noise.” Yusuf straightened his back and stretched. “You must talk to her, Caya. You have to let her go. I’m sure she already knows what is happening to this village.”

Yusuf stroked Caya’s hair, then rose and left.

***

Yusuf sat lost in thought in his convenience store. Fewer customers were visiting his shop with each passing day. Yusuf had eventually persuaded his daughter not to interfere with the felling of the bodhi tree, but he worried about this lonely daughter of his, sitting quietly beside him. At times he could not accept God punishing his daughter so harshly. Not only had God taken Caya’s mother during childbirth, but He had also cursed his daughter with epilepsy. Maybe it was karma. Yusuf had been a loan shark. But when his wife died giving birth to the imperfect baby daughter he held in his arms, he had returned all the blood money to the community. He had sold the land inherited from his parents and used the money to build his convenience store. So there was no reason for God to punish his innocent daughter. She had played no part in the dirty money.

Secretly, Yusuf felt proud of his daughter for standing up to the tractor to protect her imaginary friend. She had been so brave and strong — unlike himself, who was too weak to defend his own daughter when she needed him. Yusuf felt useless. He would be ashamed to face his wife, who had sacrificed her life to give birth to Caya. Yusuf cursed himself.

The store’s front door opened.

Yusuf’s eyes widened. He saw a calabai wearing the attire of a religious man — a sarong and a white turban wrapped around his hajj skullcap. He had heard about calabai. According to the Bugis gender system, calabai were generally born male but took on the role of a heterosexual female. Their fashions and mannerisms were distinctly feminine but did not match that of “typical” heterosexual women. Yusuf had never seen a calabai dressed like a holy man.

“I am Saleh,” said the calabai, and before Yusuf could reply, the calabai continued, looking at Caya who sat quietly in a corner of the store, “Your child, sir, is a gifted child.”

Yusuf shook the hand Saleh offered while Caya placed a glass of water in front of him.

Saleh opened the conversation. “Many people think I am a calabai, but I am bissu— the so-called ‘fifth gender’ in the Bugis gender system.” Sensing Yusuf’s curiosity, he then explained the difference between a bissu and a calabai. “Originally,” he said, “a bissu was a sacred Bugis-Makassar transvestite who worked as the spiritual adviser at the court of the ancient Bugis-Makassar kingdom. Because they were transvestites, many people thought that bissus could not be Muslims. But when the Bugis-Makassar kingdom accepted Islam as the state religion, the bissus followed and embraced Islam, except that they could not pray in the mosque. Why? Because in a mosque the places for men and women to worship were clearly marked — there were no designated places marked for bissus. Yet many bissus had completed the pilgrimage to Mecca and were therefore hajis. “I could not wear this,” Saleh said, pointing at his skullcap, “if I had not gone on a pilgrimage.” During his pilgrimage, he had to choose to be a man. But when he returned to his village, he went back to being a calabai again.

Saleh, like Caya, had a mystical spirit-friend. This spirit-friend accompanied Saleh everywhere he went; it even helped him with his work.

Yusuf and Caya listened carefully.

Saleh had been invited to their village by a relative who wanted him to be the indo’botting, Bugis bridal makeup artist and counsel, at his daughter’s wedding. After arriving in the village, Saleh had overheard the woman who sold turmeric rice to the road construction workers talk about Caya blocking the tractor to save her imaginary friend’s house.

“Unless Caya can be a meaningful part of society, she will be lonely,” Saleh said.

“And?” Yusuf probed.

Saleh smiled and asked for Yusuf’s patience while listening to his story. “To be accepted by society, a person must have something to offer. Traders, for instance, offered their goods; educated people offered their knowledge; and farmers offered their crops. What does Caya have to offer?”

Yusuf shook his head. Caya couldn’t even go to school because of her schoolmates’ bullying.

“I, too, was ostracized before I met Puang Matoa, the bissu leader,” Saleh told Yusuf. The elder transvestite taught him to become a bissu, and Saleh turned from a streetcorner prostitute and public annoyance who liked to party into a holy transgender. “Yusuf,” Saleh said, “I ask your permission to make Caya my disciple.”

Yusuf glanced at Caya. “What will you teach her, Bissu Saleh?” he asked cautiously

Cenning Rara,” Saleh answered.

“What is that?”

Saleh glanced at Yusuf, then tilted his head toward Caya. “Don’t you feel sorry for her?”

“I need to know what you are going to teach her.” Concern raised Yusef’s voice.

“Cenning Rara, the Bugis love spell.” Saleh folded his arms across his chest.

“That sounds like black magic,” Yusuf said, alarmed.

Saleh reached for the glass of water Caya had served him earlier. After taking a sip, he slowly placed the glass on the table.

“You know what lipstick is,” Saleh said while looking at the glass. “But did you know that a long time ago, European women who wore lipstick were labeled satan worshippers?”

“Oh, and you’ve been to Europe?” Yusef scoffed.

“Actually, yes, I have toured all across Europe.”

Astonished, Yusuf had nothing to say.

“Many people make the wrong assumption that bissus live in secluded villages and are oblivious to the outside world,” Saleh said. “Now, let me tell you about my adventures around Europe.”

During Saleh’s storytelling, Caya sat mesmerized, completely drawn into Saleh’s tales. She interrupted him occasionally, asking for more information whenever she found something he said particularly interesting.

Yusuf listened quietly, watching how engaged his daughter was. He had never seen Caya this happy and alive.

After Saleh finished his European tales, he looked at Yusuf. “So, do you give me your permission?”

Yusuf squirmed in his seat. “A child is not an object to possess,” he said. “When a person dies, they lose all their possessions. But a child’s prayer can bring joy and light to a parent’s grave —”

“But —”

“But, I have listened to you without interrupting, now please listen to me.” Yusuf leaned toward Saleh, who quietly settled back into his chair.

“I am apprehensive,” Yusuf began. “As a devout Muslim, I view idolatry as a great sin.

Those who serve idols will not be judged on Judgment Day; rather, they will be cast immediately into the depths of hell. Believing in spells is an act of idolatry. It is enough to suffer in this world: I don’t want to suffer in the afterlife.”

The bright afternoon sun crept through the slits in the planked wall. A hen clucked loudly, looking for the chicks that had entered the shop, pecking for food crumbs. Caya shooed the chicks out, and returned to her seat.

“Let me explain it to you,” Saleh said, patiently. “Cenning Rara is a spell that is handed down by our Buginese ancestors. It makes the practitioner’s client appear youthful and healthy, with an alluring attraction in her visage. Such a spell may succeed in enticing a member of another sex without producing any harmful side effects for the one the spell is cast upon. Indeed, Cenning Rara and other sorts of love magic are regarded as rather common.”

Saleh told Yusuf that spells, like Cenning Rara, were not something written down like a permanent formula. Rather, spells evolved and changed in accordance with a society’s spiritual development. For example, after the arrival of Islam, spells that were written in the ancient Bugis-Makassar language transitioned into spells that used verses from the Quran. “We no longer pray to a pantheon of gods, but to Allah the Almighty God,” Saleh concluded.

“You can probably use those spells to drive out evil spirits, but this is the first time I’ve heard that they can be used to make someone desire you,” Yusuf said. “Idol worshippers use verses from the Quran to trick people into liking them.”

“Please believe me, sir, that is not the case. I am a haji.”

“Being a haji is no guarantee that you’re telling the truth!” Yusuf became agitated again.

“Just look around you! After returning from the pilgrimage, many hajis are even greedier and more prone to embezzle public funds.”

Saleh smiled. “I can only offer help. It is up to you whether you want to receive my help or not.”

The clattering of Caya’s chair interrupted the conversation. Caya clenched the arms of her chair, as an epileptic seizure contorted her body. Yusuf jumped up to keep her from toppling forward, but he was too late. Caya writhed on the floor, eyelids fluttering.

Yusuf carried her into her room behind the shop. When he returned, he told Saleh, “This is what happens when Caya is placed under too much stress.”

Saleh had nothing more to say. He rose and excused himself to leave.

“How long will you be here in the village?” Yusuf’s voice was kinder.

“I return to Pangkajene the day after tomorrow,” Saleh said, as he walked out the door.

The soft, melodious magrib, twilight call to prayer, accompanied his departure until he disappeared behind a bamboo grove.

At midnight, Yusuf prayed desperately. “Oh, God, please, I only wish for my child’s happiness.” The night was unusually quiet. There were no bats shrieking as they fought over fruit. Yusuf repeated his prayers over and over until even the wind had stopped blowing.

He startled when Caya touched his back as the call to the dawn prayer softly announced a new day. “Father, let’s go to the mosque.” Caya smiled.

On their way home from morning prayers, Yusuf told Caya, “Idolatry is a grave sin. We can be tempted into committing idolatry at any time. The devil is very good at tricking humans. He can even trick us into sinning while we’re on our death bed.”

The morning breeze caressed the bamboo leaves at the street corner. Yusuf and Caya turned and followed the small path to their home. “Do you know how to escape the sin of idolatry, my daughter?”

Caya shook her head.

“We say the shahadah, confession of faith, before taking our last breath.”

***

Yusuf said nothing as he accompanied Caya to the bus station for her journey to Pangkajene. At the station, Yusuf stroked his daughter’s head when she kissed his hand.

Saleh waited patiently as father and daughter said goodbye. “Don’t worry, sir,” he said. “I will take care of Caya as if she were my own child.”

Yusuf couldn’t speak. He simply nodded.

Caya and Saleh boarded the bus. Yusuf ran to the open bus window. “Take care of yourself, Caya! Obey Bissu Saleh!”

Caya wiped her tears and waved.

Slowly, the bus pulled out of the station. Caya looked back at her father, standing on the roadside. When she could no longer see him, she settled into her seat, watching the passing scenery of trucks burying dry rice fields with dirt.

Saleh sat calmly beside her.

Caya saw that her village was indeed bustling with construction. New houses and shops had sprung up everywhere. A flock of birds flared up when the bus took a turn near their bushes. I shouldn’t be the one who has to learn Cenning Rara so people will accept me. They should learn to accept me as I am.

Caya took a last look back before the bus took another turn and she could no longer see her village. As they crawled up the twisting road of the mountainside, Caya dried her eyes. I’ll come back as soon as I can. Poor Father is all alone.

***

Caya was still in disbelief that Saleh wanted her as his student. He barely knew her! His only reason was that she suffered the same fate he did, being ostracized. There must be another reason behind it — but why question it? Saleh is going to teach me a skill that will keep me from being lonely, and that is all that matters.

“Have you already forgotten your friend?” Saleh pointed his chin to the empty seat next to him. “Your friend is lucky. She didn’t have to pay to get on the bus.”

Caya turned to him, eyes sparkling. “Yes, and she didn’t have to pay rent either.”

Saleh quickly covered his mouth. His face reddened as he tried to keep from laughing. “I wasn’t wrong when I invited you to become one of my disciples.” He chuckled.

The bus engine growled as it crawled up the last part of the mountainside before it cruised leisurely down the other side.

“When I was a child, I was like you, a rebel,” Saleh said. “People ridiculed me for walking like a woman. My father beat my legs until they were swollen, trying to change my natural gait.”

Saleh sighed, remembering. “Whenever I tried to walk like a man, my friends said I looked like a boy who had just been circumcised. In the end, I grew tired of trying, my father grew tired of beating me, and my friends grew tired of teasing me.”

Saleh smiled, looking down at Caya. “When I was growing up, I enjoyed helping my mother cook. My mother was a patient woman, but she told me that cooking was a woman’s job. She told me that I should help my father in the fields. So I tried doing that, and I went to help him early in the day. But after working just a few rows, I had an epileptic seizure. My father never asked me to work in the fields again.”

Cayla listened, rapt.

“I was one of seven children. Fortunately, my mother’s busy-ness in the morning turned to my advantage. My father had no choice but let me help my mother make breakfast. My job was to prepare the coffee and tea. Under my mother’s guidance, I soon became an expert in making coffee and tea — even better than my mother! Little by little, I started helping her make all kinds of breakfast dishes, like fried rice, glutinous rice, and grits.

“As my cooking skills improved, I began catering for parties. It was at one of the wedding receptions I had been commissioned to cook for, that I met Puang Matoa, the bissu leader. He had been invited to perform the ma’giri, a sacred bissu dance that showed how a bissu’s graceful body was invulnerable to sharp objects. Only bissus were able to perform the dance and it was extremely difficult to become a bissu.”

The process of becoming a bissu, said Saleh, required him to be sanctified and have a protective spirit. After a three-day fast, he would be wrapped in a burial cloth as if he were dead. His soul would then depart his body and travel to the spirit world. The distance his soul traveled depended on the strength of his spirit. If his soul returned, he would be confirmed as a bissu. If his soul did not return, he would die.

“Why would you risk your life like that?” Caya glanced at Saleh.

“Because it was my destiny.”

***

The Kali Bersih river divided Pangkajene, a small mining town near Makassar on the island of Sulawesi. The quarries nearby had gouged the rocky hills for mining operations. Saleh lived in a wooden stilt house on a noisy street behind the market. Cars and trucks honked endlessly on the busy street, accompanied by the rush of the river.

On her first night in Saleh’s house, Caya lay awake until she heard the dawn call for prayer. Several mosques blared prayer calls from every direction, as if competing with each other to reach heaven.

“You couldn’t sleep?” Saleh asked when Caya walked into the living room.

“No, it was too noisy,” Caya said, fluffing her flat, bed hair.

“Your village will soon become just as busy, and you will have to learn to live with it.” Saleh sipped his hot coffee. “But it is all good; the booming mining industry will also increase attendance at the mosque.”

Caya felt a tug of homesickness. If it were not for the fact that Saleh would start her lessons that night, Caya would have asked to return to her village.

Saleh invited Caya to meet his guiding spirit. When he opened the door to the arajang, sacred chamber, the aroma of frankincense enveloped them. The room was smaller than Caya’s room. It had a small bed, draped with a mosquito net that served as a spirit-altar. The only light in the room came from the living room. Saleh seated himself cross-legged on the floor in front of the bed. After saying a short prayer, he stood, opened the mosquito net, and lit the frankincense in its earthen container at the front of the bed. The bed was decorated with antique trinkets.

As Saleh talked with his guiding spirit, he pulled Caya’s hand to sit next to him. Saleh introduced Caya to his guiding spirit and explained why Caya wanted to learn how to cast the Cenning Rara spell.

As Caya entered the spiritual world, she began to float. She saw her imaginary friend embrace an old man dressed in a white robe, enveloped in a blinding aura. The longer she looked at him, the brighter the light became. Caya put her hands over her eyes, but she couldn’t shut out the light. She screamed. The light disappeared, and Caya plunged into a deep, unconscious darkness.

***

“What happened?” Caya asked when she came to.

Saleh grabbed Caya’s hands. “What did you see?”

“I saw an old man, dressed in a white robe, surrounded by a blinding light.” Caya told Saleh. “Who was that?”

“A sufi, a mystic,” Saleh said. “I’m not allowed to speak his name.” He told Caya to perform ablution, change into a sarong, and return to the arajang chamber.

They sat cross-legged in front of the small bed. “Now I will teach you the Cenning Rara,” Saleh said. “You must never use the spell for evil purposes. If you do, the man you saw will punish you.”

Assuming that she could immediately return to her village, be with her father, and sleep soundly in her own bed that night, Caya nodded happily. But Saleh kept her in Pangkajene. Caya still needed to learn how to use Cenning Rara for bridal makeup.

There were three weddings coming up during the next three months and Saleh told Caya to assist him as he performed his task as an indo’botting. Saleh taught her how to skillfully apply bridal makeup. At times, he lost his temper when Caya became distracted. “That’s why you must recite the Cenning Rara mantra while you work,” he scolded. “That way, you’ll be focused on every line you draw. Remember, you’re not drawing on a piece of paper! You’re working on a human face.”

The girl who was Caya’s practice model giggled when Saleh reprimanded Caya. When Caya dutifully started reciting the Cenning Rara mantra, Saleh snapped, “Not now! Wait until you work on a real bride!” At that, the model burst out laughing.

Upset over being laughed at, Caya made the girl look like a monkey. And then it was Saleh who could not control his laughter.

***

After Caya had worked for two weeks as his apprentice, Saleh told her she was ready to work on her own. Initially, Caya felt awkward when she had to do the makeup in front of so many people. But in the end, she proved herself, and Saleh congratulated her.

Caya had lived with Saleh for almost three months when, one evening, they sat relaxing on the porch, watching a light rain. The sounds of passing trucks and boats filled the evening air. Caya smiled. The noise that used to keep her awake now lulled her to sleep.

“Why are you smiling?” Saleh asked.

“I’m beginning to enjoy my stay here.”

“How did you feel after you finished your first job?”

“I was delighted.” Caya’s eyes sparkled. “It made me very happy.”

“The harvest season is the wedding season — that’s when the indo’botting is busiest,” Saleh said, showing his crooked smile. “But the harvest season is over, and now it is time for planting.”

The drizzle danced through the light of the dim streetlamp. Saleh let out a long sigh then said slowly, “I have finally fulfilled my promise to Puang Matoa.”

Caya then realized, why Saleh had taught her. He had passed on his knowledge.

“You will go home tomorrow,” Saleh said. “Your father must have missed you very much.”

Saleh rose and went into his room.

***

Caya remodeled her father’s store into a beauty salon. People liked her makeup style and she quickly became in very high demand. After serving her last customer for the day, Caya sat down in one of the salon chairs.

Yusuf joined her and said, “I am so proud of you.” After a moment of silence, he asked, “How is your imaginary friend?”

Caya broke into a big smile and said, “Oh, there are many of her now!”

Yusuf gazed across the road where the bodhi tree once stood. “Thank you, my daughter,” he said, gently.

“It is I who should thank you.” Caya took her father’s hand and kissed it.

 

*****

Laki-Laki dari Ratenggaro

Maria Matildis Banda menamatkan kuliah di Fakultas Pascasarjana UNUD Denpasar. Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD dan penulis berbakat dan berhasil ini, mulai menulis cerpen pada tahun 1981. Mengajar dan meneliti tradisi lisan daerah-daerah di Nusa Tenggara Timur menjadikan kekuatan baginya untuk menulis novel berlatar daerah. Antara tahun 2015 dan 2021, dia menulis tiga novel yang diterbitkan sendiri di PT.Kanisius. Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga, berlatar budaya patriaki dalam kaitannya dengan kesehatan perempuan melahirkan di Flores. Suara Samudra bercerita tentang penangkapan ikan paus di Lamalera, Pulau Lembata. Bulan Patah merupakan novel yang dimaksudkan menghentikan kelahiran luar nikah di Pulau Flores. Doben (Lamalera 2017) mengemukakan hal-hal tentang politik dan kepentingan berlatar daerah Timor.

Sejak tahun 2000, Maria menulis “Parodi Situasi” di Harian Umum Pos Kupang.

Maria dapat dihubungi melalui surel: bmariamatildis@gmail.com

 

Laki-Laki dari Ratenggaro

 

“Selamat datang kembali, Julia. Kamu cantik seperti dulu,” Rita melepaskan pelukannya dan memperhatikan dengan saksama wajah Julia. Digenggamnya tangan Julia erat-erat, lalu membawanya ke dalam mobil. “Terima kasih sudah mau datang. Terima kasih Julia,” Rita menghapus air matanya.

Gha Bili tetap menjadi guru. Sama dengan Yusak, guru SMP,” kata-kata Rita mengantarkan mereka ke masa lalu, saat mereka berkawan akrab meski berada di sekolah yang berbeda. Rita dan kakaknya, Bili, datang dari Pulau Sumba bersama Yusak, teman Bili, untuk melanjutkan sekolah di Kupang. Rita yang datang untuk bersekolah Sekolah Pendidikan Keperawatan segera bersahabat dengan Julia dan menjadi simpul yang menghubungkan mereka berempat.

“Harusnya Gha Bili tahu kamu datang untuknya. Ya Tuhan… kamu sungguh-sungguh datang untuk Bilikah?” Rita melirik Julia sekilas.

***

Perjalanan dari Bandara Tambolaka di Weetebula, ke Ratenggaro, melewati padang-padang luas, menambatkan Julia pada kenangannya. Dia bersandar di sudut kursi dan melihat ke luar jendela.

“Terkenangkah?” tanya Rita dengan pelan. “Nanti kita akan lewat lapangan Maliti Bondo Ate.”

Julia hanya mengangguk. Dia terhanyut dalam gelombang kenangan tentang pertama kali dia datang untuk menghadiri pasola, acara adat Sumba Barat yang diselenggarakan setiap tahun antara bulan Februari dan Maret. Sesaat itu, dia nginap di sebuah hotel di Weetebula. Sebelumnya, Bili sudah menjelaskan kepadanya bahwa pasola itu adalah pertandingan ketangkasan berkuda sambil melemparkan lembing tumpul untuk menjatuhkan lawan.

Julia tersenyum saat teringat belajar kayikiling, bersuara seperti ringkikan kuda yang dikumandangkan para perempuan untuk mendukung perjuangan laki-lakinya di lapangan pasola.

Rita tertawa saat Julia berhasil dan berlari ke lapangan.

Dari tempat duduknya di panggung, Julia memperhatikan Rita yang penuh semangat sedang bercakap-cakap dengan Bili.

Bili mengangkat kepalanya sambil mengacungkan tangan tinggi-tinggi dan melambai.

Julia membalas lambaian itu dengan jantung berdebar. Rasa cinta memenuhi hatinya. Dia mengambil tas yang dibawanya, membuka kancing, dan memastikan bahwa lukisan Bili di atas punggung kuda dengan latar belakang pohon konji ada di dalamnya. Dia tersenyum saat terkenang bagaimana Bili meyakinkannya bahwa konji itu mirip sakura.

Saat itu, mereka sedang mengopi pada waktu istirahat kelas. Bili yang gemar memotret itu menyodorkan foto konji berbunga kepadanya. “Tumbuh di kampung,” kata Bili. Melihat ketertarikannya pada foto itu, Bili menyambung, “Di Sumba Barat, pohon konji tidak sebanyak di Sumba Timur. Yang pasti, konji ada di sekitar Ratenggaro, kampung saya. Nanti saya akan antar engko ke sana biar saksikan sendiri indahnya,” kata Bili.

“Sakura Sumba!” kata Julia.

“Konji Sumba. Bukan sakura Sumba.” Bili memperbaiki.

Sekarang, sambil bersandar pada kursi mobil yang sedang melewati lapangan kosong, Julia tersenyum teringat lukisan konji itu. Dia melukis pohon konji yang tinggi dan rindang bunganya memenuhi dahan dan ranting. Bili berpakaian Sumba lengkap. Dia duduk di punggung kuda dinaungi rindang bunga konji. Lukisan itu akan diberikan pada hari disaksikannya sendiri bagaimana Bili berlaga di lapangan Maliti Bondo Ate.

Namun hadiah itu tidak pernah sempat diberikan.

***

Ingatan Julia mengantarkannya kembali pada pasola 1979. Puluhan ekor kuda dengan to paholong, pelaku pasola, tampak berkejaran. Bili berada di tempat terdepan. Tubuhnya tampak lebih tinggi dari to paholong lainnya. Henggul, destar, berwarna merah melingkari kepala. Hanggi, sarung, melingkari pinggang dan menyilang di dadanya yang telanjang. Kudanya berlari kencang dan Bili mengangkat lembing, siap melempar.

“Ririri… ririri… ririri… riririiiii,” begitulah suara yang ditimbulkan ujung lidah bergetar menyentuh bagian bawah langit-langit gigi. Perempuan di sekitar melompat. Rita dan Julia pun melompat girang ketika Bili berhasil menjatuhkan lawan.

Terlihat Bili dan pengiringnya mengitari lapangan sekali dan berhenti di dekat kerumunan laki-laki dari kelompok lawan yang berupaya menolong anggota kelompok mereka yang terjatuh.

Julia dan Rita bergabung dengan kerumunan yang mengelilingi Bili dan korbannya.

“Oh, itu Gha Yusak,” Rita berkata ringan.

“Mereka tidak balas dendam? Setelah dijatuhkan tersungkur begitu, tidak marah?” tanya Julia sambil mengerutkan kening.

“Tidak.” Rita selanjutnya menjelaskan bahwa pasola adalah upacara adat Sumba yang diselenggarakan setiap tahun demi adat, keluarga, dan kemasyarakatan yang menjunjung tinggi sikap jujur, setia, dan kesatria.

Ketika pasola berakhir, Bili bersama beberapa to paholong pergi untuk memastikan Yusak dalam keadaan baik di kampungnya.

Julia bersama Rita dan beberapa perempuan duduk di kaki panggung. Banyak orang yang bertanya langsung siapa Julia. Tidak henti-hentinya Rita menjelaskan dengan ramah bahwa Julia adalah kekasih Bili yang bekerja di Kupang sebagai seorang perawat. Kelak akan tinggal di Ratenggaro bersama Bili.

Salah satu dari mereka bertanya, “Sudah ikut Bili tinggal di Ratenggaro?”

“Segera setelah nikah,” Rita tertawa sambil melanjutkan, “Julia orang Kupang. Dia tidak mau ikut Bili sebelum Bili datang melamar ke keluarganya di Kupang dan menikah.”

Derap kaki kuda mendekat dan memasuki lapangan pasola menarik perhatian mereka. Julia ingat jelas bagaimana dia memperhatikan segerombolan kuda dengan masing-masing dua penunggang berhenti di kaki panggung. Beberapa orang yang dibonceng melompat turun. Dalam waktu sangat singkat dan tanpa kata-kata, para laki-laki itu mengangkat tubuh Rita.

Rita berteriak dan memberontak, tetapi tenaganya tidak seimbang dengan tenaga para laki-laki itu.

Julia kembali bergidik saat diingatnya kembali peristiwa siang itu yang selama ini disimpan dan terkunci dengan baik. Dia kembali merasakan kebingungan, tidak mengerti apa yang terjadi. Dengan mata berkunang-kunang, dia melihat Rita didudukkan dengan paksa di belakang salah satu penunggang. Lalu, satu laki-laki meloncat duduk di belakang Rita yang terus-terusan memberontak dan berteriak-teriak marah. Laki-laki di belakangnya membekapnya erat-erat.

Julia berlari mengejar sambil berteriak-teriak memanggil Rita.

Sementara, orang-orang yang masih tersisa di lapangan menertawakannya.

“Rita dibawa ke mana?” tanya Julia.

“Diculik! Kawin tangkap!”

“Kawin tangkap? Maksudnya?” tanyanya lagi dengan wajah pucat ketakutan.

“Kawin tangkap. Dijadikan istri, karena ada yang sayang, karena keluarga mau, nanti perempuan juga mau,” jawab salah satu perempuan sambil tertawa ringan. “Dibawa ke rumah laki-laki, masuk kamar, dan tidak keluar lagi sebelum jadi istri. Ya, namanya juga sudah diculik dan dimasukkan ke kamar untuk tidur sama-sama. Ya nikah tinggal diurus…”

“Siapa laki-laki itu? Dari kampung mana? Saya akan lapor polisi,” Julia tambah pucat, tambah ketakutan ketika orang-orang meninggalkan lapangan tanpa beban.

Julia pun teringat jelas kegugupannya saat berjalan ke sisi jalan sendirian. Dia berharap penculikan itu hanya main-main antara orang-orang muda di sana. Dia mematung dan tidak mau beranjak saat beberapa orang penonton mengajaknya ke Ratenggaro, menunggu Bili di sana. Angin berembus kencang menimbulkan gemuruh saat merebahkan ilalang di padang-padang terbuka. Julia berjalan kian kemari, duduk dan berdiri, melihat di kejauhan, memasang telinganya untuk menangkap derap kaki kuda yang datang mendekat, mengharapkan Bili segera datang menjemputnya. Beberapa saat kemudian, didengarnya derap kaki kuda yang muncul dari arah Ratenggaro. Kian lama kian dekat. Julia memberanikan diri untuk menghentikan seorang laki-laki tua yang tampak terburu-buru.

Julia menceritakan dengan singkat apa yang terjadi dengan Rita dan memohon bantuan untuk sampai di jalan raya menuju Weetebula.

“Kawin tangkap,” kata laki-laki itu, “dalam satu tahun ini, sudah tiga terjadi. Rita jadi yang keempat.”

“Bapa tahu dia dibawa ke mana? Apakah ada yang melaporkan ke polisi?” tanya Julia.
Laki-laki itu menggeleng dan mengatakan bahwa hari ini juga keluarga penculik akan datang ke rumah keluarga perempuan.

Julia diam. Hatinya lega. Dia pun meninggalkan lapangan. Dia hanya ingin menjauh dari kegegeran kawin tangkap itu. Dia sangat takut mengalami hal yang sama.

Laki-laki itu mengantarnya sampai di tepi jalan raya.

“Hati-hati di jalan,” katanya.

Jantung Julia berdebar menyadari kebaikan laki-laki tua itu. Dia mengucapkan terima kasih beberapa kali, lalu segera naik angkutan umum ke Weetebula.

Julia memejamkan matanya. Dia memaksa dirinya untuk menyelesaikan ingatan pahit itu yang mengubah kehidupannya.

Di Weetebula, Julia mengurung diri di dalam kamar penginapan menunggu kedatangan Bili. Pada malam hari, salah satu anggota keluarga Bili mengantarkan sepucuk surat. Bili memintanya menunggu di penginapan selama dua atau tiga hari. Katanya dia akan menyusul Julia setelah urusan Rita selesai.

Hingga kini, Julia sukar menerima bahwa hal seperti itu bisa terjadi pada Rita, seorang perawat yang bekerja di Puskesmas Pembantu di desanya. Bagaimana mungkin Rita mau dinikahkan. Pertanyaan-pertanyaan dan rasa marah masih menetap di dalam hatinya ⸺ sulit dihapusnya. Julia menekankan tangannya pada dadanya. Dia menelungkupkan wajahnya dalam telapak tangan dan mengangkatnya kembali sambil mendesah. Dihapusnya air mata yang mengalir di pipinya.

Rita meraih tangannya dan meremasnya. “Engko terkenang tujuh tahun lalukah? Sudah,” katanya lembut, “engko sudah di sini sekarang. Gha Bili pasti akan senang sekali.”

Julia membuka jendela lebih lebar. Angin laut mengeringkan airmatanya dengan usapan segar. Julia menekan kepalanya ke sandaran kursi dan menuruskan kenangannya.

Terasa kembali risaunya ketika Bili belum juga datang ketika pada hari ketiga matahari mulai condong ke barat. Julia ingat dirinya keluar dari rumah penginapan dan berdiri di gerbang. Tiba-tiba, sebuah bemo menepi di tempatnya berdiri. Penumpangnya segera turun dan, dalam sekejap, Julia diangkut ke dalam bemo. Sopir segera tancap gas dengan kecepatan tinggi.

“Mana Bili!” Julia berteriak dan berusaha sekuat tenaga mendobrak pintu. Dia memukul dan menendang, terempas ke kiri dan ke kanan. Dia berteriak dan menangis kehilangan akal. Kedua lengannya lebam akibat genggaman tangan laki-laki yang mendekapnya.

Selebihnya dia hanya menangis kelelahan. Kendaraan tetap melaju kencang berbelok-belok, memasuki jalan yang lebih kecil, melewati padang-padang luas, dan berhenti di gerbang sebuah kampung saat senja sudah dijemput malam. Bili kamu di mana? jeritnya dalam hati.

Pintu bemo dibuka perlahan.

“Kamu berani culik saya? Kamu kira bisa kawin tangkap dengan saya? Awas kamu saya lapor ke polisi. Awas kalau sampai Bili pacar saya tahu!” Julia berteriak. Ketika dia menjejakkan kakinya di tanah, saat itu juga dia diangkut oleh empat laki-laki penculik. Dia segera dibawa naik ke rumah panggung dan segera pula dibawa masuk ke dalam salah satu kamar. Suara teriakannya menimbulkan keramaian warga kampung yang penuh sesak. Mereka mengepung dan menjaga Julia dengan ketat.

Julia merasa terancam. Dia menangis dan berusaha tenang. Sepertinya tidak ada ruang sedikit pun untuk kabur. Kamar itu berukuran satu setengah kali dua meter, berdinding bilah bambu yang disusun meninggi dan dirangkai tali. Loteng kamar adalah bagian dari ujung atap dari lipatan alang-alang. Lantai kamar sekaligus digunakan sebagai alas tidur yang dibuat dari susunan bambu bulat berjejer rapat terangkai tali dilengkapi dengan sebuah bantal tipis bersarung yang tampak masih baru. Kamar itu benar-benar untuk satu atau dua orang tidur. Kamar tanpa kain pintu dan tanpa daun pintu. Sekelompok perempuan berjaga-jaga tepat di depannya.

Suara gong dipukul beberapa kali dan keramaian di luar rumah lebih menakutkan Julia. Makanan yang disodorkan padanya tidak disentuhnya sama sekali. Dia duduk meringkuk di sudut kamar mendengarkan suara-suara di luar.

“Jangan takut,” suara seorang perempuan penjaga bicara. “Nanti laki-laki Inya akan datang. Baik-baik saja. Jangan berteriak. Nanti Inya akan ditertawakan orang-orang yang berjaga-jaga. Tabah saja supaya Inya tidak bertambah sakit.”

Sebutan inya, panggilan untuk perempuan yang dihormati dan dicintai menurut kebiasaan setempat, agak menenangkan Julia.

“Makanlah supaya Inya punya tenaga,” perempuan itu membujuk.

Hari makin malam dan suasana rumah itu makin ramai.

Tidak pernah terlintas sekilas pun dalam pikiran Julia bahwa dia akan mengalami nasib mengerikan seperti itu. Julia terisak, berusaha keras memikirkan cara untuk menyelinap dan menghilang dari keangkeran rumah yang akan menjadi saksi dirinya dibekap laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali. Tubuhnya sangat penat dan rasa sakit membalut hatinya.

Tengah malam Julia terkejut.

Tiba-tiba, seorang laki-laki muncul di kegelapan dan mendekapnya dengan memutar badannya supaya Julia tidak dapat melihatnya.

Julia memberontak. Tendangannya yang melayang kian kemari menimbulkan bunyi-bunyi di lantai dan dinding kamar. Suara tawa di luar kamar membuatnya lebih menggigil ketakutan sekaligus menjadikannya berbuat nekat. Dia menggigit dengan sekuat tenaga lengan laki-laki yang memeluknya.

“Tenang Julia, ini saya! Julia. Sayang…” suara laki-laki diikuti pelukan erat. “Jangan kuatir. Ini saya, Bili!”

“Kak Bili,” Julia tersentak dan terjatuh dalam pelukan Bili sambil menangis tersedu-sedu.

Suara-suara di luar kamar diliputi tawa dengan penuh tanda tanya tentang berlangsungnya kawin tangkap yang sedang terjadi antara perempuan yang diculik dan laki-laki yang memperistrinya. Sudah biasa, malam pertama yang menegangkan dan menyakitkan itu menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi kedua belah pihak. Urusan lainnya dapat diatur kemudian.

“Julia…sayang,” kata Bili lagi sambil mendekap Julia erat-erat.

“Kenapa kamu tega buat begini?” tanya Julia sambil menghapus air mata. Napasnya terengah-engah, sesak dengan kemarahan.

Julia berada dalam dekapan Bili tetapi masih dengan kewaspadaan penuh pada napas Bili yang memburu. “Saya mohon jangan lakukan apa pun. Diam saja,” Julia menangis perlahan Bagaimana kekasihnya sendiri bisa melakukan penculikan terhadap dirinya dengan tujuan kawin tangkap? Julia berusaha tenang dan berpikir keras apa yang akan dilakukannya.

Suara orang yang berjaga-jaga mulai berkurang. Cahaya pagi menyelinap melalui kisi-kisi dinding kamar dan jatuh pada wajah Bili. Betapa cintanya dia pada laki-laki itu, tetapi betapa bencinya pada kenyataan yang dipaksakan padanya.

***

Julia menarik napas panjang. Berikutnya bagian yang paling menakutkan dari ingatan itu. Dia mengambil sebotol air dari tasnya dan meneguknya, sebelum kembali ke masa lalu.

Hari itu, Julia menghadapi semua kejutan dengan tenang. Dia telah membuat perencanaan yang akan diwujudkannya satu per satu.

Dia diterima dengan ramah oleh ayah Bili dan segenap anggota keluarga.

“Bapa!” Julia tersentak kaget. Laki-laki yang mengantarnya ke tepi jalan raya ternyata adalah ayah Bili.

Julia menikmati hidangan nasi dan ayam rebus yang disiapkan ibu Bili.

Hatinya gelisah, ingin sekali dia bertanya tentang Rita, tetapi tidak ditanyakannya. Dia memperhatikan sekilas kampung dengan rumah-rumah beratap tinggi menjulang ke langit. Dia merasakan berembusnya angin pantai dan debur ombak yang memecah sepanjang waktu di kaki tebing kampung.

“Tolong antar saya ke Weetebula untuk ambil tas pakaian dan ole-ole lukisan yang saya bawa untukmu,” Julia berkata dengan berusaha santai ketika mereka kembali sendirian.

“Kita naik kuda. Berani?” tanya Bili sambil mengedipkan mata. “Sesuai janji, saya akan membawamu berkeliling sampai di tempat pohon konji berbunga. Saya akan ambil beberapa fotomu di sana. Kita berkuda,” Bili tertawa gembira.

Bulan Maret bukan saatnya konji berbunga, kata Julia di dalam hatinya. Namun dia berkata, “Ya, setelah kembali dari Weetebula. Saya harus ganti baju sebelum difoto. Kita kan akan kembali lagi ke sini? Bukankah penculikan ini artinya saya sudah jadi istri kamu?”

“Ya, beberapa hari ini keluarga akan ke Kupang melamarmu dan kita segera menikah di sana,” jawab Bili dengan bangga.

“Ya,” Julia berupaya melemparkan senyum, sedangkan pikiran dan hatinya mendidih oleh rasa marah.

***

Julia tidak pernah bertemu Bili lagi.

Di Weetebula, Julia masuk ke dalam kamar penginapan dan tanpa membawa apa-apa menyelinap keluar melalui jendela kamar mandi, melompati pagar belakang, dan segera menuju lapangan terbang Tambolaka dengan angkutan umum yang kebetulan lewat dan disewa khusus. Dia kembali ke Kupang dengan penerbangan pertama.

Berbagai upaya dilakukan Bili dan keluarganya untuk menebus kesalahan kawin tangkap itu. Mereka datang dengan sejumlah antaran sarung adat, kuda, sapi, dan kerbau sebagai tanda maaf dengan tulus. Kedua orang tua dan adik-adik Bili, termasuk Rita, ikut turun tangan meminta Julia menerima Bili kembali.

Rita menceritakan bahwa otak penculikan terhadap mereka sebenarnya adalah Yusak yang dijatuhkan Bili di lapangan Pasola dan teman baik mereka ketika sekolah bersama di Kupang. Rita tidak memiliki kekuatan menolak akibat rasa malu karena sudah dibawa ke rumah laki-laki itu.

Akan tetapi, Julia tetap menolak. Dia tetap merasa bahwa kawin tangkap melalui penculikan itu telah menenggelamkannya ke dalam ketakutan. Dia takut hidup di lingkungan itu sebagai seorang istri dari lelaki yang ikut dalam kebiasaan yang ditentangnya.

Julia mengepalkan tangan. Hari itu dia menutup riwayat cintanya dengan Bili. Sekarang dia sudah bertahan tujuh tahun. Dia meneguk air dari botol minumnya.

***

Tujuh tahun berlalu. Kini Julia bersama Rita dalam mobil menuju Ratenggaro.

Rita bercerita tentang Bili. Katanya, Bili tidak pernah membicarakan Julia. Guru SMP itu menghabiskan waktunya setelah pulang sekolah dengan beternak di padang, duduk sendirian atau bersama kudanya di bawah pohon konji, menulis buku, dan berjaya di lapangan pasola setiap musim.

“Apakah engko masih marah?” tanya Rita. Setelah beberapa saat dalam keheningan, dia melanjutkan dengan lembut, “Sudah lama sekali…. Sejak melahirkan anak pertama, rasa marah saya berangsur-angsur hilang. Yusak laki-laki yang baik. Entah mengapa dia memilih menikahi saya dengan cara kawin tangkap. Kami memiliki dua anak perempuan. Gha Yusak dan Gha Bili bertobat dan berjanji menjadi penentang kawin tangkap. Mereka sadar bahwa perlakuan kawin tangkap adalah penghinaan pada perempuan dan gadis-gadis zaman sekarang tidak boleh mengalaminya. Kamu bagaimana? Sudah tujuh tahun, Julia. Inya dan Bapa juga sudah tidak ada. Apakah kamu datang untuk Bili?”

Julia tidak menjawabnya. Setelah bekerja di Puskesmas Kota Kupang selama tiga tahun, Julia melanjutkan kuliah di Fakultas Keperawatan selama empat tahun. Pekerjaan dan kuliahnya lancar dan berhasil baik. Dalam kesendiriannya, dia tahu bahwa dia masih mencintai Bili. Akhirnya dia memutuskan bertemu Rita dan berkunjung ke Ratenggaro untuk memastikan bagaimana keadaan Bili sekarang.

Mereka hampir tiba. Debur ombak dari kejauhan menyambut kedatangannya. Mereka melewati barisan kubur-kubur batu di kiri kanan jalan menuju gerbang. Mobil berhenti di dalam gerbang utama Kampung Ratenggaro yang menelannya ke dalam masa lalu.

Rita turun dari mobil dan Julia menyusul.

“Gha Bili,” Rita berteriak.

Bili keluar dari kambu luna, kolong rumah, yang baru saja dibersihkannya. Laki-laki itu terpaku menatap Julia.

Julia menatapnya tanpa kata-kata. Tubuh Bili tampak lebih tinggi dan kurus. Rambutnya terpangkas rapi. Rahangnya kukuh dan sorot matanya tampak teduh. Mata itulah yang pernah membuat Julia jatuh cinta setengah mati. Julia mengulurkan tangan.

Bili diam menatap wajah Julia lekat-lekat. Diraihnya tangan Julia, lalu ditangkupnya dengan kedua tangannya. “Saya tahu saya menyakitimu, Julia,” kata Bili dengan suara serak. Dia menunduk. Setelah diam sejenak, diangkatnya kembali kepalanya dan berkata pelan,

“Pulanglah. Saya tahu kamu masih sendiri. Terima kasih. Pada waktunya nanti, saya dan keluarga akan ke Kupang melamarmu dengan cara yang seharusnya.” Bili membawa tangan Julia ke dadanya. Beberapa saat kemudian, tangan Julia dilepaskannya.

Bili berbalik dan berjalan menuju kudanya yang sedang merumput dalam rindang pohon beringin di samping rumahnya. Dia melepaskan tambatan dan melompat ke atas punggung kuda, menarik tali kendali, dan membawa kudanya lari melalui gerbang kampung.

Julia memperhatikan punggung laki-laki itu yang menjauh menuruni jalan di antara makam. Derap kaki kuda melesat jauh meninggalkan Ratenggaro.

Julia mengikuti Rita memasuki rumah yang dulu begitu mengerikan baginya. Tergetar hatinya saat Rita mengajaknya ke kamar tidur Bili. Kamar tidur di mana dia diringkukkan tujuh tahun lalu. Julia terpaku pada lukisan di dinding yang menampilkan laki-laki dari Ratenggaro itu tegak di atas kudanya dengan latar belakang pohon konji yang sedang berbunga lebat.

Julia teringat lukisan yang ditinggalkan saat melarikan diri dari penginapan tujuh tahun yang lalu. Saat itu, dia berharap Bili akan mengantarnya ke tempat konji berbunga. Waktu itu bulan Maret dan konji belum berbunga. Julia tersenyum sekilas menyadari saat ini konji sedang berbunga dan menampilkan keindahannya pada musim kemarau.

Sementara itu, Bili menghentikan kudanya di bawah pohon konji yang berbunga lebat ⸺ tempat pertemuan yang dijanjikan pada kekasihnya yang gemar melukis itu.

*****

The Man from Ratenggaro

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, dia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Dia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini dia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Oni dapat dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

 

 

The Man from Ratenggaro

 

“Welcome back, Julia.” Tearfully, Rita released her embrace and grasped Julia’s hands. She looked at her friend closely. “You are as beautiful as ever. I appreciate you coming.”

Rita made conversation on their way to the car. “Gha Bili is still teaching,” she said, using the Sumbanese word “gha” to refer to her older brother. “Just like Yusak, he works at a middle school.”

Rita’s words took the friends back to the past when the four of them were close, even though they had attended different colleges. Rita and Bili were from Sumba Island in eastern Indonesia. They went to Kupang, together with Yusak, Bili’s friend, to continue their education. Rita went to nursing school, where she immediately befriended Julia. Rita became the thread that tied the four together.

“I wish Bili knew that you are here to visit me. Oh, my God! You really came here for Bili, didn’t you?”

***

The drive from the Tambolaka Airport in the Southwest Sumba Regency to the Ratenggaro village, took them through the vast savanna. Julia settled back into the corner of her seat and looked out the car window, watching her memories return.

“We’ll drive by the Maliti Bondo Ate pasola field later,” Rita said softly. “Do you remember?”
Julia nodded and began reliving her first pasola on her first visit to Sumba Island when she stayed in a hotel in Weetebula.

***

Bili had explained to her that pasolas were a series of traditional javelin fights on horseback between villages throughout Sumba Island to herald the beginning of the planting season. The annual celebrations were held between February and March, in a festival-like atmosphere.

Sitting in the bleachers before the match, Julia had learned how to kayikiling — bray like a horse — with the other women, as they cheered for their men competing on the pasola field. Rita had run out onto the field to tell Bili about Julia’s accomplishment. During their lively conversation, Bili had looked up and waved at Julia. She waved back, her heart pounding with love. She reached for the large portfolio bag at her feet, to make sure her painting of Bili on horseback beneath a flowering konji tree was still there.

***

Julia smiled, remembering when Bili had tried to explain to her that konji blossoms were not cherry blossoms.

They were having coffee between classes, talking about Bili’s photography hobby, when Bili showed her photos he had taken of blossoming konji trees. “They grow in my village,” Bili said. Noting Julia’s interest, he continued. “In the western part of Sumba, konji trees are not as common as they are on the eastern side. But for sure, they grow around Ratenggaro, my village. I will take you there so you can see for yourself how beautiful they are.”

“Sumba cherry blossoms!” Julia had exclaimed.

And Bili had corrected her, “Sumba konji ⸺ not cherry — blossoms.”

Now, leaning against the back of her car seat, passing stretches of open fields, Julia thought about the konji painting she had kept in her bag of Bili, wearing traditional Sumbanese attire, sitting high on his horse, shaded by the lofty branches of a mature konji tree in full glory, draped with blossoms.

She had planned to give Bili the painting after his competition at the Maliti Bondo Ate pasola field that day. But the gift had never been given.

Julia decided it was time to open the door to the memory she’d kept locked away for seven years.

***

The pasola of 1979.

On the Maliti Bondo Ate pasola field, horses carrying their to paholong, pasola riders, chased one another. Bili was in the front row. He looked taller than the others. He wore a red henggul, triangular headband, and hanggi, a handwoven heirloom cloth wrapped crosswise around his waist and bare chest. Spurring his horse into a gallop, Bili raised his blunted javelin, aiming to throw.

“Ririri! Ririri! Ririri! Riririiiii!” Trilled the women spectators, their cheers shredding the air. Everyone, including Rita and Julia, jumped up excitedly when Bili unhorsed his opponent.

Bili and his team circled the field once in triumph before halting near the crowd gathered around the opposing team, busy helping their fallen teammate.

Julia and Rita joined the crowd.

“Ah, poor Gha Yusak,” Rita said casually.

“Won’t those two hate each other now?” Julia frowned. “How could Yusak not be angry, after Bili knocked him down like that?”

Rita explained a time-honored component of the pasola was to uphold the tradition of family values regarding honesty, loyalty, and chivalry.

After the pasola had ended, Bili and several of his teammates had gone to Yusak’s village to check on their friend, while Julia, Rita, and the other women gathered at the lowest rung of bleachers.

The women were curious about who Julia was. Rita answered their questions, explaining tirelessly that Julia worked in Kupang as a nurse and was Bili’s girlfriend.

“Is she staying with Bili in Ratenggaro?” asked a villager.

“No — but she will as soon as they are married!” Rita laughed. “Julia doesn’t want to live with Bili until Bili has proposed to her family in Kupang and married her!”

The sound of horses galloping onto the pasola field, drew their attention. Julia remembered clearly how the team of horses — two riders on each horse — reined in right in front of them. Three men quickly dismounted. Without saying a word, they grabbed Rita and pushed her up onto the saddle behind a rider, as another man leaped onto the saddle behind her. Rita’s screamed were cut short as the man behind her gagged her. Her struggles meant nothing in the arms of such strong men.

Terrified, Julia had run after them, screaming while the other women watched her, laughing.

“Where are they taking Rita?” Julia cried.

“She is being kidnapped! Bride kidnapping!”

Bride kidnapping?” Julia blanched.

“For marriage!” a woman answered lightheartedly. “Either someone wants her as a wife, or a family wants her as a daughter-in-law. A kidnapped bride is taken to the man’s house and kept in a room. It is only natural that the man and woman will sleep together, and after that — what else but a wedding ceremony can follow?”

“Who is the man? Where does he live? I’ll report him to the police!” Julia grew more frightened when everyone started leaving the pasola field as if nothing had happened.

She had hoped it was just a practical joke ⸺ a Sumbese prank that young people pulled. She stood petrified, not wanting to leave, even when several spectators offered to take her to Ratenggaro to wait for Bili there. Wearily, she walked to the roadside alone.

A strong wind whistled across the open pasola field, bending the tall grasses surrounding it. Standing on the roadside, Julia peered hopefully into the distance, listening for the pounding hooves of Bili’s horse, coming to pick her up.

When an old man on horseback appeared on the road, coming from the direction of Ratenggaro, Julia mustered up her courage and waved at him to stop. The old man seemed to be in a hurry, but listened patiently as Julia told him briefly what had happened to Rita,

The old man nodded. “We’ve had three bride kidnappings already this year. Your friend Rita makes the fourth.”

“Do you know how I can find out where they took her? Will anyone contact the police?”

The old man shook his head. “No, I imagine that the kidnapper’s family will contact your friend’s family later today.”

Julia fell silent. She just wanted to distance herself from the confusion of this bride-kidnapping business. What if it happened to her?

Julia asked the old man for a lift to the main road to the airport.

“Be careful,” he said when he let her off at the main road.

Julia was touched by the old man’s kindness. She thanked the good man many times, then boarded a bus to Weetebula.

***

In the car, Julia closed her eyes, reliving the confusion, the not knowing what had happened or what was going to happen next. She still couldn’t reconcile the Rita she’d known as an educated nurse working at the village’s health center with the Rita who had been a kidnapped bride. Why did Rita accept that forced marriage? Julia still harbored resentment in her heart. Sighing, she wiped her eyes and lifted her head.

Rita reached for Julia’s hand and gave it a squeeze. “Let it go. You’re here now. Gha Bili will be very happy.”

Julia lowered the car window. The refreshing sea breeze cooled her damp cheeks. She pressed her head back into the car seat and continued to reminisce.

***

In Weetebula, she locked herself in her hotel room and waited for Bili. That evening, a letter arrived from him, asking her to wait at the hotel while he handled the matter of Rita’s kidnapping. He would meet her there in two or three days.

She remembered being anxious when on the third day Bili had not shown up when it began to get dark. She had left the hotel room and was standing at the front of the gate when a bemo, motorized rickshaw, pulled up. Four men jumped out and forced her into the vehicle.

She shouted, “Where is Bili?” while kicking at the bemo’s door and banging her fists against its closed windows. She could not keep her balance and was thrown from side to side, as the vehicle sped through winding, narrow roads and a vast savanna. Terrified, she screamed and cried, losing her mind. Her arms ached from the men restraining her. Finally, exhausted and depleted, she could only whimper as the vehicle raced on. It was dusk when the bemo finally stopped at a village gate. Bili, where are you? The bemo door opened, slowly.

Fury fueled her courage. “How dare you kidnap me?” she shrieked. “You think you can force me into a marriage by kidnapping me? No! I will report you to the police. Just wait until my boyfriend Bili finds out about this!” Julia continued yelling and struggling as her kidnappers hauled her up the ladder of a stilt house and directly into a room.

Her screaming had drawn the attention of the villagers, who crowded into the area and surrounded the house like a barricade to prevent her from escaping.

Inside the stilt house, Julia had tried to calm herself. She assessed the small room that was now her prison. The walls were made of bamboo slats tied together by ropes. The ceiling was thatched grass. The floor was made of bamboo poles, strapped together. On the floor, a thin pillow in a fresh pillowcase indicated where she was expected to sleep.

The room was about five feet by seven feet, just big enough to accommodate two people. It had neither a door nor a door curtain. Instead, a group of women guarded the room’s access.

Outside, a gong sounded. Julia heard the crowd grow louder and rowdier.

Julia huddled in the corner. Leaving the food offered her untouched, she listened to the escalating commotion outside.

“Don’t be afraid, Inya,” one of the women guards soothed. “Your man will come soon. Just relax; everything will be fine. Don’t scream; the people outside will only laugh at you. Don’t fight it; you’ll only make yourself sick.”

When Julia heard the woman address her as “Inya” — the word used by locals to address a woman they respected and loved, she became calmer.

“Eat something,” the woman coached. “It will give you some strength.”

The later it became, the more crowd noise grew around the house.

Julia hurt everywhere. Terrified by the thought that a man she had never met would soon overpower her, she tried to focus on how to escape. It had never crossed her mind she would ever have to go through such a horrific experience.

At midnight, she was startled by the appearance of a man who grabbed her and spun her around so that she stood with her back against his chest. She could not see his face.

Julia struggled to break free, and the scuffling of her kicking feet and flaying arms on the floor and walls drew laughter from outside the little room. That boisterous merriment frightened her so much that she bit down hard on the arm of the man who held her tightly against him.

“Calm down, Julia, it is me! Julia, my love!” the man loosened his grip into an embrace. “Don’t worry. It’s me, Bili!”

“Bili!” Stunned, she fell limp into Bili’s embrace, sobbing.

The voices outside of the room were filled with amusement, as people speculated about the goings-on between the man and the kidnapped woman inside the room. The crowd knew that every couple’s first night together started tense and uncomfortable, but usually ended quite pleasantly for them. Everything else could be arranged later.

“Julia, love,” Bili murmured, holding her tightly.

“How could you have the heart to do this to me?” Julia gasped, angrily. She had felt weary in Bili’s arms, and “Please, don’t do anything. Can you just keep still,” How could her own boyfriend kidnap her and try to force her into marriage? She tried to remain calm and figure out what to do next.

The voices of the waiting crowd thinned. The morning light slipped through the slits of the bamboo wall and fell on Bili’s face.

How much she loved this man, and at the same time hated the way he had forced this experience on her.

***

Julia took another deep breath as the countryside sped past her window. The next part of the experience had scared her the most. She removed a water bottle from her bag and took a sip before sinking back into the past again.

The day after the kidnapping, she had forced herself to appear relaxed. She had formulated a plan that she was going to execute, step by step.

Julia was well received by Bili’s entire family. She had been surprised to discover that the kind old man on horseback who had taken her to the main road, was Bili’s father. Regardless, she enjoyed the rice and boiled chicken that Bili’s mother had prepared. She wanted to ask about Rita, but felt too nervous to do so. Instead, she looked around at the Ratenggaro village, taking in the traditional houses with their high-hat roofs, feeling the restful sea breeze, and hearing the waves break against the foot of the cliff that carried the village.

When she and Bili were alone again, she said, “I need to return to my hotel room in Weetebula to get my travelling bag and the painting I brought for you.”

“Would you dare to go on horseback?” Bili winked, then laughed happily. “As I promised, I will take you to the place where the konji trees bloom. I want to photograph you there. Let’s go on horseback.”

After all those years, Julia still remembered thinking, You told me that konji trees do not bloom in March, while saying calmly, “Yes, after we collect my things from Weetebula, I want to change before you take my picture.” For good measure, she had added, “We will return here afterwards to spend the night, right? Your bride-kidnapping me means that I am already your wife?”

“Yes,” Bili had said proudly. “During the next few days, my family will go to Kupang to ask for your hand. After that, we’ll get married there right away.”

Julia had smiled, but inside, she was consumed with fury.

When they arrived at her hotel in Weetebula, Bili waited on his horse. Julia went into her room, grabbed her bare necessities, climbed out through the bathroom window, and jumped over the backyard fence of the hotel. She waved down a passing cab, sped to the Tambolaka Airport, and took the first flight out to Kupang. That had been the last time Julia had seen Bili.

Bili’s family tried to make amends for their cultural misunderstanding of kidnapping a non-Sumbanese woman. They traveled to Kupang, bringing the traditional handwoven fabric, a horse, cow, and buffalo as tokens of their apology. Bili’s parents and siblings, including Rita, asked Julia to accept Bili again.

Rita told Julia that the mastermind behind the kidnappings had been Bili’s friend Yusak, who Bili had unhorsed during the pasola. “How could I refuse to marry Yusak after I had spent the night with him at his house?” Rita asked. “I was too ashamed to do so.”

But Julia remained steadfast. The trauma of her abduction had placed her in a state of constant fear. How could she be a loving wife to a man she feared? How could she be a loving wife to a man who engaged in activities that she considered immoral?

That day, on her way to the Tambolaka Airport, she closed the final chapter of her love story with Bili.

***

Now, seven years later, here she was in a car with Rita on the road to Ratenggaro. Julia clenched her fist, took another sip from her water bottle, and returned to the present.

“Let me tell you about Bili after you left,” Rita said. “He never spoke about you. After school, he always spent his time tending to livestock on the savanna and sitting alone with his horse under a konji tree, writing a book. He continued to participate in every pasola season — and came out a winner. Are you still angry?”

After her question was met with silence, Rita continued, “It has been a long time. After my first child was born, my anger dissolved into love. Yusak is a good man. I may not understand what made him kidnap me as a part of our wedding arrangements, but now we have two daughters. Yusak and Bili have repented, realizing that bride kidnapping is an insult to women and that no woman should have to go through this trauma. What about you? It has been seven years, Julia. Bili’s and my parents have passed away. Are you here to see Bili?”

Julia still did not answer. She had worked three years at the Kupang City Health Center, then continued her education at the Faculty of Nursing in Kupang for another four years. She did well in her career and education, but she had been lonely. She knew she still felt love for Bili, and had finally decided to visit Rita in Ratenggaro to find out if her lingering feelings for him were real.

They were almost there. The distant sound of crashing waves welcomed them as they drove by a row of stone graves. Rita braked inside the gate of the Ratenggaro village, in front of the stilt house where Julia’s imprisonment had occurred seven years ago.

“Gha Bili!” Rita called, as she and Julia got out of the car.

Bili emerged from the kambu luna, the stable beneath the stilt house, which he had just finished cleaning. He saw Julia and froze.

Julia looked at him silently. Bili looked taller and thinner. His hair was well kept. She searched the dark eyes that had once made her fall helplessly in love and offered Bili her hand.

Bili’s jaw set. Solemnly, he took Julia’s hand and held it with both of his. He bowed his head. “I hurt you, Julia,” he said with a husky voice. After hearing no response, Bili raised his head and said quietly, “Thank you for coming. but go home. I know that you are still single. Soon, my family and I will go to Kupang and propose to you properly.” Bili brought Julia’s hand to his chest and held it there tightly.

Then, Bili let it go. He turned away and walked to his horse tethered in the shade of the banyan tree next to the stilt house. He leapt into the saddle took the reins, and spurred the horse out the village gate. Julia watched Bili gallop away past the cemetery and the gates of Ratenggaro.

She and Rita entered the stilt house of Julia’s nightmares. Julia shuddered when she and Rita entered Bili’s room. It was the room where, seven years ago, she had spent hours in terror.

Julia startled when her eye caught sight of a painting showing a pasola rider sitting high on his horse with a blooming konji tree in the background. She now remembered having left the painting in her hotel room when she fled Sumba Island seven years ago.

Seven years ago, she had wished Bili would take her there. But it was March then, and the konji tree was not blooming. Julia smiled. The konji bloomed in the summer, now.

At that same moment, as if by osmosis, Bili halted his horse under a blooming konji tree — the place he had promised to take a girl who loved to paint and lived in his heart.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Pengumuman Terbit

Pujian yang Mendahului Terbitan:

Footprints/Tapak Tilas, buku kumpulan cerpen dwibahasa terbitan Dalang Publishing ini telah dengan gamblang memperlihatkan keadaan masyarakat dan budaya Indonesia melalui bacaan yang ringan ⸺ meski intisari ceritanya cukup berat dan berbobot ⸺ kepada para pembaca Amerika dan Eropa. Takkalah pentingnya, buku ini selain disajikan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia secara berdampingan, juga menyimpan nilai pengajaran bahasa, yakni mengajarkan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris secara sekaligus. Ihwal lainnya, buku ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan buku dwibahasa yang dianjurkan, bukan hanya karena kaya akan nilai budaya di dalamnya, tetapi juga mumpuni dalam memberikan gaya tersendiri pada tiap-tiap corak bahasa. Penghargaan yang tinggi saya ucapkan atas upaya dan kesungguhan Dalang Publishing untuk mewujudkan pemartabatan bahasa Indonesia yang bersifat kesertaan dan perantaraan kebahasaan-kebudayaan antarwilayah melalui kumpulan cerpen dwibahasa seperti yang tertuang pada buku ini. Semoga buku ini dapat memicu lahirnya karya-karya serupa di panggung dunia.
⸺ E. Aminudin Aziz
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek

 

Dengan terbitan Footprints/Tapak Tilas, Dalang Publishing dan Lian Gouw, pemimpinnya yang tidak kenal lelah, merayakan sepuluh tahun upaya mengumpulkan kisah-kisah bermutu. Judul kumpulan cerpen ini sangat tepat. Beraneka cerpen yang disajikan dengan murah hati ini mengundang pembaca untuk menelusuri berbagai seluk-beluk sastra Indonesia. Seringkali penjelasan yang muncul secara acak membangun kesan yang kurang tepat mengenai orang, sejarah, dan budaya Indonesia.  Yang perlu disebut juga adalah diikutsertakannya cerita-cerita yang berasal dari pedalaman Sulawesi Barat Daya dan Kalimantan Tengah yang letaknya jauh dari gemerlapnya kota-kota besar.
Dengan menyelusuri cerpen-cerpen ini, pembaca akan dihadapkan pada keprihatinan yang sangat dalam terhadap keadaan lingkungan alam, adat istiadat, dan kesejahteraan penduduk asli yang terancam. Karya dwibahasa yang istimewa ini layak digunakan sebagai sumber yang bermanfaat bagi siapa pun yang tertarik pada alam, bahasa, dan budaya Indonesia.
⸺ Sylvia Tiwon, Associate Professor – Department of South and Southeast Asian Studies, University of California at Berkeley

 

Jarang sekali karya terjemahan sastra menarik perhatian pembaca pada tata cara penerjemahannya. Lagipula, sering sekali penerjemahan sastra dipuji karena berhasil merekayasa pembaca untuk percaya bahwa bahan yang dibaca bukan terjemahan, melainkan tulisan dalam bahasa aslinya.
“Kecurangan” seperti itu tidak akan ditemui oleh pembaca Footprints/Tapak Tilas. Karya asli Indonesia ditampilkan berdampingan dengan terjemahannya dalam bahasa Inggris dan hasilnya adalah sebuah karya yang sangat bermutu bagi calon penerjemah sastra Indonesia. Bahkan, sebagai seorang penerjemah yang berpengalaman, saya masih dapat belajar banyak ⸺ tidak hanya dari perbandingan antara karya asli dan terjemahannya, tetapi juga dari perbandingan cara bekerja masing-masing penerjemah maupun gaya menulis masing-masing pengarang yang berbeda.
Calon penulis Indonesia juga akan mendapatkan banyak manfaat dari kumpulan cerpen ini. Karya ini memberikan kesempatan untuk membandingkan suara penulis dari berbagai zaman, wilayah, dan pandangan hidup. Dengan demikian, mereka dapat mengasah kemampuannya dalam tulis-menulis.
⸺ Tiffany Tsao, Penerjemah Sastra dan Penulis

 

Kisah-kisah yang terkumpul dalam rampai ini menawarkan peluang berkenalan dengan beragam cara pandang dan suara dalam kehidupan Indonesia pada masa yang berbeda-beda dalam sejarah. Ada yang mewakili pandangan mendalam terhadap peristiwa sejarah yang terkenal dari mata sosok-sosok di pinggiran masyarakat Indonesia. Ada pula yang menyajikan kehidupan Indonesia yang telah terabaikan oleh ingatan bersama bangsa Indonesia. Cerita-cerita ini yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia mewakili kebudayaan dan masyarakat Indonesia yang kaya dan bineka. Sementara, terjemahannya, yang masing-masing telah melewati pengolahan yang ketat dan saksama, semakin memperkaya perjalanan ke dalam benak rakyat Indonesia. Dengan demikian, kisah-kisah ini, yang sebelumnya telah diterbitkan pada laman Dalang Publishing, dapat berperan sebagai wahana mengembalikan ingatan yang telah terhapuskan ataupun yang dibiarkan hampa oleh pengalaman bangsa Indonesia yang sedemikian rumit dan penuh luka sejak awal masa penjajahan hingga kini. Pembaca Indonesia akan memperoleh wawasan baru tentang dirinya dan berbagai kemungkinan yang dapat tercapai. Pembaca asing pun dapat menyadari betapa kehidupan insan Indonesia beririsan dengan kehidupan mereka sebagai sesama manusia.
⸺ Ari J. Adipurwawidjana, Universitas Padjadjaran, Bandung

 

Sebagai cerminan kehidupan, karya sastra menjadi penting dikarang. Ia tidak jarang memberikan semangat kepada pembaca yang sedang mengalami kepedihan hidup yang melampaui cerita rekaan. Selain itu, cerita-cerita dalam bunga rampai ini menyambut pembaca dengan tangan terbuka untuk masuk, baik sebagai pengkhidmat maupun penghayat lakon-lakon dalam cerita. Pembaca bisa mengalami bagaimana sebuah radio pemberontakan mengirim kepedihan yang lukanya masih menganga hingga puluhan tahun kemudian; bagaimana sebatang pohon dan peristiwa masa lalu menjadi pintu masuk menyelami jiwa manusia yang sakit dan sepi; serta bagaimana pekik burung atau kelengangan pantai menjelma jadi selimut rahasia yang menyembunyikan kegetiran.
Melalui buku ini, pembaca tidak hanya akan membaca, tetapi juga menyaksikan bagaimana cerita rekaan mampu menghidupkan yang tiada di dalam jiwa manusia lewat kisah tentang sejarah, kebudayaan, dan alam.
⸺ Benny Arnas, Penulis dan Pegiat Sastra.

 

*****

Semayamkan Mamak

Lintang Amartya Padmarini adalah perempuan kelahiran 2002 yang dibesarkan di Sleman, Yogyakarta. Sehari-harinya, Lintang adalah mahasiswa Studi Perdamaian dan Konflik di S1 Hubungan Internasional UGM. Dia turut berkecimpung di Girl Up UGM, perkumpulan yang menyuarakan kesetaraan antara lelaki dan perempuan di kampusnya. Perjalanannya menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi mengenalkannya pada banyak peminatan baru, termasuk di antaranya pemberdayaan perempuan, menentang kekerasan, dan mendukung perdamaian. Walau demikian, Lintang tetap menggemari kesusastraan Indonesia, khususnya buku-buku Ahmad Tohari. Judul novelnya Lintang Kemukus Dini Hari mengilhami nama Lintang.

Lintang dapat dihubungi melalui surel: lintangamartya02@gmail.com

 

 

Semayamkan Mamak

 

Tidak bosan-bosannya aku mengenang kisah hidup Mamak yang dia ceritakan sendiri selama hidupnya. Menurut cerita tersebut, aku terlahir sebagai anak haram. Mamakku wanita Jawa baik-baik, dilahirkan oleh keluarga terhormat yang bermukim di Semarang, sebuah kota pelabuhan di Pulau Jawa, jauh dari Pulau Buru ini. Dia mengungkapkan bahwa dirinya dan serombongan gadis seumurannya diboyong paksa ke Pulau Buru untuk dijadikan wanita penghibur oleh tentara Dai Nippon. Mamak berkata merekalah yang menduduki tanah air kita selama Perang Dunia II berlangsung di Indopasifik dari 1942 hingga 1944.

Mamak mengutuk para serdadu keparat yang setelah menghamili gadis-gadis itu, langsung pergi meninggalkan mereka begitu Jepang dikabarkan kalah. Miris hatiku mendengar penggambaran Mamak akan betapa kejamnya perilaku serdadu Jepang tersebut.

Tidak hanya sampai di situ, Mamak turut mengenang bagaimana dia dan sekumpulan gadis-gadis lainnya tidak punya perlindungan di tengah-tengah pulau terpencil yang langka penghuni. Mereka terancam kelaparan, melahirkan tidak selamat, dan terjangkit penyakit malaria. Satu per satu tumbang. Hanya Mamak dan seorang temannya yang selamat. Keduanya akhirnya menikah dengan laki-laki penduduk suku Alfuru, seorang di antaranya adalah bapak tiriku. Berdasarkan kisahnya, Mamak dan bapak tiriku menikah hanya karena dengan itulah, Mamak dapat bertahan hidup, sedangkan Bapak menikahi Mamak karena kecantikannya.

Lahirlah aku di tengah-tengah suku Alfuru, suku pedalaman di Pulau Buru, pulau terpencil yang adalah bagian dari kepulauan Maluku. Akulah satu-satunya kulit kuning di antara kulit kehitaman khas penduduk asli pulau itu. Satu-satunya sipit di antara wajah-wajah bermata bulat di pulau itu. Rasanya seperti diriku ini memang ditakdirkan untuk diasingkan. Tidak ada yang mau berteman denganku, apalagi mengajak berburu. Temanku hanya Mamak, orang pertama yang mengajariku bahasa Indonesia. Setiap kali waktuku tidak kuhabiskan untuk berburu, pastilah aku bercengkerama dengan Mamak menggunakan bahasa Indonesia. Mamak adalah wanita cerdas yang dapat dengan mudahnya mengenalkanku ke bahasa ibunya itu, sehingga jadilah bahasa itu bahasa rahasia kami berdua di Pulau Buru.

Karena Mamak dan bapak tiriku tidak menikah atas dasar cinta, begitupun hubunganku dengan bapak tiriku itu. Dia tidak punya pilihan lain selain menerima keberadaanku karena dengan demikian, Mamak mau mempertahankan pernikahan mereka. Mustahil menghadirkan adik sambung yang dapat memperbaiki hubungan kami karena setelah melahirkanku dengan susah payah, rahim Mamak tidak kuat menaungi jabang bayi lagi. Hubungan kami tetap dingin, hampir-hampir disisipi benci. Setiap kali bapak tiriku mulai mencak-mencak karena gagal menangkap hewan buruan, Mamak selalu berbisik kepadaku dalam bahasa Indonesia, “Lari! Lari sebelum kamu kena pukul.”

***

Di tahun 1969, beberapa bulan setelah Mamak meninggal ketika umurku 25, Pulau Buru kedatangan penghuni baru. Mereka orang-orang dari Jawa, kebanyakan lelaki. Semuanya bisa bicara bahasa Indonesia. Perawakan sebagian besar diantaranya mirip Mamak, bahkan ketika kutemui lebih dekat, cara bicara mereka juga mirip. Kagum betul aku. Walau ternyata mereka lebih kagum — dan juga kaget — ketika melihat lelaki sipit kuning berpakaian bawahan kolor khas Alfuru tapi mirip Asia Timur. Para penghuni baru ini lebih kaget lagi ketika mengetahui aku mampu berbahasa Indonesia, walau jauh dari kata mahir.

Diketahuilah bahwa orang-orang itu adalah tahanan. Aku melihat bagaimana mereka ditertibkan dengan kekerasan, sebagaimana yang dilakukan bapak tiriku kepadaku. Pada waktu itu memang kemampuan bahasaku sangat payah, tapi manusia tetap bisa mencium amarah dan penindasan, dalam keterbatasan berbahasa sekalipun. Terenyuhlah aku melihat mereka, mengingat kami sama-sama korban amarah dan penindasan.

Ada seorang di antara mereka yang sangat membekas. Karman namanya. Lelaki yang gagah, tegap, seumur bapak tiriku. Bedanya dengan bapak tiriku, Karman tidak pernah memarahi, apalagi memukulku. Kami berteman baik sejak dia mendapati kehadiranku yang malu-malu mengintip dari balik pagar penjara. Dia menyapaku dan menggaetku dalam perbincangan mendalam. Kami sama-sama diselimuti rasa ingin tahu yang sama kuatnya. Dia yang menganggap kehadiran laki-laki kulit kuning di Buru ini janggal, dan aku yang baru sekali ini melihat orang Jawa selain Mamak. Aku serbu dia dengan pertanyaan tentang Jawa. Kuceritakan pula tentang Mamak yang katanya lahir di Jawa, tetapi telah berpulang beberapa bulan lalu, dan pada saat-saat terakhirnya mengharap dikuburkan di sana.

Karman tertawa kecil ketika kutanyai. Matanya menerawang, sepertinya dia tidak sabar ingin pulang. “Jawa itu pulau besar, tak seperti Buru ini,” katanya.

Aku manggut-manggut. Seperti apa, sih, pulau yang besar itu? Kupikir pulauku ini sudah cukup besar, ternyata masih ada yang lebih besar lagi. Aku memikirkan Mamak yang minta dikebumikan di Jawa. Pasti menyenangkan jika bisa bersatu dengan tanah yang luar biasa luasnya.

“Bagaimana dengan Semarang? Mamak lahir dan ingin dimakamkan di sana. Apakah kotanya cukup luas?” tanyaku. Karman membalasnya dengan anggukan.

“Kalau kau ingin memenuhi kemauan mamakmu, pergilah ke Jawa naik perahu,” ujar Karman sambil berlari mundur ketika ada seruan meneriaki namanya. Itu seruan sipir penjara, memanggil nama tahanan yang masih keluyuran meski sudah waktunya bagi mereka untuk kembali melakukan kerja paksa. Karman menambahkan di sela-sela napasnya yang terengah, “Semarang itu kota pelabuhan yang ramai.”

Begitu lama aku berpikir, hingga tak sadar Karman lenyap dari mata. Rupanya dia sudah kembali ke dalam bangunan penjara. Belum juga sempat aku melambaikan kepergiannya.
Untung kami bertemu lagi. Aku dan Karman mulai lebih akrab. Seiring dengan semakin banyaknya jumlah pertemuan rahasia kami, begitupun kemampuan berbahasa Indonesiaku semakin membaik. Sebetulnya, mustahil juga pertemuan ini disebut rahasia.

Kami bukan pasangan muda dimabuk cinta yang sembunyi-sembunyi bertemu di semak-semak. Siapapun yang berdiri cukup dekat dengan kami akan dengan mudahnya mendapati bahwa kami duduk saling membelakangi, dibatasi oleh pagar hunian tahanan di Pulau Buru, supaya kalau kami ketahuan, aku tinggal lari.

Baru juga kuketahui di kemudian hari bahwa Karman dan kawan-kawannya ini bukan tahanan biasa, mereka adalah tahanan politik. Di mataku yang saat itu masih awam dengan kemutlakan kuasa negara, sulit untuk membayangkan bagaimana seseorang bisa ditahan hanya karena berpolitik. Karman dipenjara karena ikut andil dalam PKI yang dituduh menyulut pemberontakan yang menghabisi nyawa 7 petinggi militer, walau sebetulnya dia tidak tahu-menahu tentang pemberontakan itu. Maklum, tahu apa seorang juru tulis pemula tentang pembunuhan pembesar militer? Yang Karman lakukan hanya menulis persuratan sesuai perintah, tahu-tahu saja dia ditangkap.

Mungkin karena itulah Karman tidak pandai berburu. Dia bukan pembunuh ulung. Dia tidak ditahan karena menghilangkan nyawa seseorang, tetapi karena menulis. Badannya tegap tapi tidak berguna, dia terlampau kikuk untuk membidik ayam hutan. Jemarinya yang panjang lebih sering dipakai untuk diam-diam berguru menulis pada Pak Pram, salah seorang tahanan yang lebih mahir dalam kepenulisan, dan bukannya untuk melepaskan anak panah. Walau ini bukan masalah besar baginya. Dia tetap bisa menyantap rangsum untuk makanan sehari-hari. Namun, bagiku, tanpa tangkapan unggas atau ikan harian, aku tidak akan bisa makan. Alhasil, pada hari kami berjanji untuk bertemu, tangan kami berdua selalu penuh oleh hasil buruanku. Satu dua kubawa pulang untuk dimakan bersama bapak tiriku yang sudah jompo, sisanya diperdagangkan ke kepala sipir dengan Karman sebagai perantara. Bukan apa-apa, aku hanya menjual hasil buruanku untuk mendapatkan uang. Karman memberitahuku bahwa orang tidak lagi mempertukarkan barang dan jasa dengan hasil buruan, tetapi menggunakan uang. Karenanya, aku gigih mengumpulkan uang tersebut untuk membiayai perjalananku ke Jawa demi memakamkan Mamak, meskipun Karman sempat tergelak melihatnya. Agaknya butuh ribuan hari jika hasil buruanmu hanya sebatas unggas, begitu katanya.

“Lain kali, cobalah berburu celeng. Kurasa harganya lebih mahal,” Karman terkekeh melihatku menyodorkan bangkai ayam hutan lewat celah pagar.

“Kau pikir mudah menangkap celeng seorang diri?” dengusku.

“Memang tidak. Kenapa tak minta bantuan orang lain?”

Aku terhenyak. Sudah seumur hidup dikucilkan, kukira aku sudah kebal. Rupanya aku tetap tertohok ketika tersadarkan bahwa aku memang terasingkan. Untungnya, Karman tidak menunggu jawaban, buru-buru dia memilah hasil buruanku hari ini. Iseng saja aku menyeletuk, “Karman, menurutmu mengapa Mamakku minta dimakamkan di Jawa?”

“Entahlah. Mungkin Buru bukan tempat pulang bagi beliau,” Karman mengedikkan bahu.

“Bahkan meskipun anak semata wayangnya ada di sini?” kepalaku tertunduk, tungkaiku lunglai. Aku memalingkan wajahku, takut-takut mendengar jawaban dari Karman, apapun itu.

Karman mendongak cepat ketika mendengar pertanyaanku. “Yang benar saja? Aku yakin bukan itu maksud beliau.”

Aku mengangguk lesu. Tidak dapat kumungkiri bahwa kerisauan ini sudah lama bercokol di ujung pikiranku, “Aku juga berharap demikian.”

“Jawab jujur. Memangnya kau sendiri merasa nyaman berada di Buru? Jangan menyamakan rasa nyaman dengan kebiasaan, kau juga tahu bahwa keduanya berbeda.

Siapa tahu tempatmu bukan di sini, siapa tahu mamakmu ingin mencarikanmu kenyamanan yang selama ini tak kau dapatkan. Tidak ada salahnya mencoba melancong ke Jawa, kalau memang itu yang kau hendaki.”

Aku merengut mendengar jawaban Karman. Harga diriku mencoba berontak biarpun kalah ketika pikiranku mengiyakan Karman. Alhasil, kami kembali terjebak dalam diam.

“Ngomong-ngomong, kalau nanti aku mati, apakah kau keberatan menguburkanku di Buru ini?”

Aku sudah menduga Karman akan buka suara duluan, hanya tidak menyangka dia akan menanyakan itu. Sejenak teringat tatapan mengawang Karman ketika belum lama aku menghujaninya dengan pertanyaan seputar Jawa. Sepertinya aku salah duga, barangkali tatapan itu bukan tatapan mendamba ingin pulang, justru tatapan pedih karena tak merasa rindu dengan tanah sendiri. Ibu Pertiwi pasti bercanda, bagaimana bisa ada sekian banyak anak manusia yang tercerai berai dari rumahnya?

***

Tahun ini 1972, tiga tahun berselang setelah meninggalnya Mamak. Jumlah manusia di bumi Indonesia ini sudah semakin banyak, tetapi baru sekali ini dalam 28 tahun aku hidup kulihat kerumunan manusia sebanyak ini. Kudapati diriku terkungkung di tengah lautan manusia khas kerumunan di kota pelabuhan, Semarang. Memang benar, semasa hidupnya, Mamak sering bercerita tentang betapa sibuknya Semarang. Walau ternyata, bagi seseorang yang dibesarkan di pedalaman Pulau Buru sepertiku, tempat ini masih jauh lebih bising daripada apa yang aku bayangkan. Tidak habis-habisnya aku tercengang ketika mendapati bahwa tanpa bergerak pun, bahuku tetap bersenggolan dengan bahu manusia-manusia lain yang lalu-lalang di pelabuhan. Sudah seramai ini, padahal matahari masih menyebul malu-malu di ufuk timur.

Kakiku terus melangkah hingga akhirnya menjauh dari tepi pelabuhan. Tujuanku hadir di kota ini hanya satu, yaitu mencari adik Mamak, bernama Sumarni yang lebih akrab dipanggil Marni. Menurut cerita Mamak, beliau tinggal di Kelurahan Tanjung Mas, tidak jauh dari pelabuhan. Atau semisal aku gagal menemukan beliau, paling tidak aku harus mendapati keturunan R. Projowinoto, yang menurut catatan yang diberikan Mamak, kakekku sendiri, mantan polisi pelabuhan di Semarang.

“Permisi,” ujarku seraya menghampiri sekumpulan bapak-bapak yang tengah bersenda gurau di warung kopi Pelabuhan Tanjung Mas. “Bisakah saya ditunjukkan kediaman Bapak R. Projowinoto? Beliau mantan polisi yang pernah ditempatkan di pelabuhan ini.”

Bapak-bapak tersebut mengernyitkan kening. Salah seorang di antara mereka bertanya,

“Anda siapanya? Bapak R. Projowinoto sudah meninggal sejak lama.”

Aku manggut-manggut. Masuk akal bahwa kakekku sudah meninggal karena anak sulungnya saja juga sudah. Akan tetapi, sepertinya sulit dipercaya kalau aku bilang akulah cucunya. Kujawab saja sekenanya, “Hanya kerabat.”

Mereka terlihat lebih bingung lagi. Tentunya bingung mendapati lelaki muda sepertiku, bermata sipit, berkulit kuning, tetapi mengaku berkerabat dengan R. Projowinoto, yang kuduga terlihat seperti lelaki Jawa pada umumnya.

“Kerabat?” tanya seorang dari bapak-bapak tersebut. Pandangannya tidak bersahabat.

Aku menelan ludah lalu menjawab, “Saya cucunya.”

Sontak bapak-bapak itu tak kuasa menahan raut terkejut. Seorang di antara mereka bertanya dengan salah satu alis terangkat, “Betul kamu cucunya? Siapa ibumu? Lahir dari putri yang mana kamu?”

“Mamak saya Sumaryati, Pak.” jawabku dengan sedikit terganggu.

Lebih terkejut lagi raut bapak-bapak itu. Seorang lain menanggapi, “Ya Gusti, Sumaryati yang itu? Yang sudah lama hilang itu?”

Mendengar tanggapan tersebut, sepertinya Mamak dianggap hilang oleh orang-orang di kampungnya.

Sek digowo karo Jepang kuwi? Yang dibawa oleh Jepang itu?” Bapak-bapak itu saling bertanya dalam bahasa daerah yang tidak dapat kupahami.

Salah seorang turut menimpali. “Maryati adalah temanku di Sekolah Rakyat.”

Seorang bapak kemudian melihat ke arahku dan bertanya, “Ada bukti apa yang bisa menunjukkan kalau kamu benar anak Maryati?”

Tanganku merogoh bungkusan sederhana yang aku bawa dari Pulau Buru. Kusodorkan foto Mamak semasa gadis. Foto itu disimpan Mamak baik-baik, sebelum akhirnya diwariskan ke aku. Sambil memperhatikan bapak-bapak itu mencermati foto Mamak, aku diam-diam tersenyum. Foto itu mengingatkanku pada cerita Mamak. Kata beliau, waktu kecil, aku begitu heran melihat Mamak ada di kertas.

“Betul, ini memang Maryati,” ujar seseorang, ditanggapi dengan anggukan oleh lainnya yang ikut mencermati foto Mamak.

“Karena Bapak R. Projowinoto sudah berpulang, bisakah saya diantar ke rumah Ibu Marni?” aku menyela. Beliaulah adik kesayangan Mamak yang namanya kerap muncul dalam igauan dan yang agaknya Mamak rindukan di alam bawah sadarnya. Di saat nyawanya digerogoti malaria sekalipun, hanya Marnilah nama yang Mamak serukan.

Bapak-bapak tersebut mengangguk. Beriring-iringanlah kami menyusuri tepi jalan raya menuju kediaman Marni.

Ke rumah kayu yang kokoh itulah aku diantarkan oleh bapak-bapak warung kopi. Kulihat lalu-lalang manusia yang sibuk menjemur dan mencelup kain di halamannya. Kain panjang bercorak berukuran besar-besar digantung di tali-tali yang melintang disangga tongkat, warna dan coraknya yang beragam mengingatkanku pada cerita Mamak akan indahnya kain yang bernama batik. Para wanita di sini terlihat masih menggunakannya, walau tidak sedikit juga yang tidak.

Aku menunggu di ambang gerbang sementara para bapak memasuki halaman rumah dan menemui seorang perempuan tak jauh dari pintu utama. Mereka berbincang, samar-samar kudengar mereka menyebut nama Mamak dan Marni. Salah satu bapak berseru menyuruhku mendekat, mengenalkanku kepada perempuan berkebaya dan berkain batik yang sedari tadi mereka ajak bicara. “Marni, ini dia. Anak muda yang mengaku putranya Maryati.”

Pandanganku bertumpu ke sepasang mata milik Marni, bibiku. Marni mirip sekali dengan Mamak, walau Mamak lebih kurus dan kumal sedangkan Bibi Marni nampak molek. Awalnya aku tangkap raut curiga ketika dia melihat ke arahku dengan raut tidak percaya, keningnya mengernyit dan mulutnya sedikit terbuka. Lalu kutangkap pula raut haru ketika lamat-lamat dia melihatku. Dihampirinya aku, dilihatinya aku dan semakin kentara raut harunya melihatku.

“Siapa namamu, Nak?” tanya Marni.

“Man Beta, Bibi.”

Marni, yang tampak terhenyak, mengatupkan tangannya di mulut. Sebelum bertanya lebih lanjut, tak lupa dia mengucap terima kasih kepada para bapak yang mengantarkanku.

Matur nuwun, terima kasih,” begitu ucapnya, lantas dibalas oleh bungkuk hormat dari para bapak yang izin pamit.

Sepeninggal para bapak, Marni mengajakku untuk masuk dan duduk berhadapan di meja ruang tamu. Dia memperhatikan garis wajahku lebih seksama sambil bergumam, “Walau sipit begini, begitu mirip kamu dengan Mbakyuku, Maryati.” Senyum tipis merekah di bibirnya, air mukanya penuh haru. “Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Bisakah aku bertemu dengannya?”

Aku menggeleng, “Mamak sudah meninggal sejak lama. Sakit malaria, tak tertolong.”

Marni terkejut, lalu menengadahkan kepala. “Gusti, belum juga aku sempat bertemu lagi dengan Mamakmu. Rupanya dia sudah tenang di atas sana, cepat sekali dia berpulang.”

Sorot mata Marni meredup, bahunya terkulai lemas.

Aku tersenyum getir, menunjukkan belas kasihku.

Suasana hening sejenak, Marni masih berusaha melumat kabar duka. Sementara, aku tidak enak mengusiknya. Tidak terbayang seperti apa rasanya dipisahkan berpuluh tahun hanya untuk mendengar kabar bahwa yang tercinta sudah tiada.

“Jadi, selama ini dimana kau tinggal? Di mana Mbakyuku tinggal?” tanya Marni.

“Di Pulau Buru, Bibi. Pulau kecil di timur sana, jauh dari Jawa.”

“Astaga, jadi para Jepang itu membawa Mbakyu jauh ke sana? Ke pulau terpencil?

Bahkan aku tak tahu ada pulau bernama itu di timur.” Marni menghela napas untuk kesekian kalinya, tatapannya merana seakan penuh penyesalan karena tidak dapat mengelakkan takdir yang tidak mengenakkan.

“Ya, Bibi,” jawabku dengan sendu.

“Jangan bilang, kau anak dari Jepang itu?”

“Benar, Bibi.”

Marni mengusap wajahnya gusar. “Astaga, tak kusangka. Ternyata Mbakyuku sendiri yang jadi korban tentara Jepang. Sungguh kasihan, padahal Bapak bilang Mbakyu akan disekolahkan.” Tatapannya yang tadinya merana kini berkilat-kilat penuh kebencian, agaknya Marni tersakiti karena dikhianati.

“Betul, Bibi.”

“Ada maksud apa kau kemari?” Kata-katanya lugas, tetapi memancarkan kehangatan.

Aku mengeluarkan kantong istimewa dari dalam buntel kadutku. “Aku hendak menguburkan Mamak.”

Gemeletak bunyinya ketika kantong tersebut kuletakkan di atas meja. Rasanya seakan tapak kaki Mamak kembali mengetuk bumi ini.

***

Tidak butuh waktu lama bagi Marni untuk segera menghubungi adik laki-lakinya dan memanggil pemuka agama setempat ke rumahnya. Langsung dipastikan bahwa Mamak akan dimakamkan sekarang ini juga di pemakaman keluarga. Kantong berisi Mamak sudah diambil alih oleh Marni dan adiknya, aku hanya terbengong-bengong hingga Marni menyerukan namaku untuk ikut bergegas. Di tengah huru-hara pemakaman sekalipun, masih kudapati adik Marni mendelik ke arahku sembari bertanya ke kakaknya, “Berarti, sekarang tanah warisan Bapak akan dibagi tiga?” Marni hanya mendesis menyuruh adiknya diam.

Perjalanan dari rumah Marni menuju tempat kuburan terasa begitu panjang. Kakiku berat melangkah, walau pikiranku berulang kali meyakinkan diri bahwa inilah yang Mamak mau.

Aku tidak kuasa menahan nuraniku untuk tidak mengenang Mamak. Berkali-kali ku camkan bahwa kepulangannya tidak sama dengan kehilangannya, bahwa dia tetap bersamaku.

Mamakku, Mamakku yang manis. Yang kini tinggal belulang.

Mamakku yang ku pertanyakan. Mamakku yang entah dimana, tapi orang bilang dia sudah tenang di atas sana. Di atas yang mana?

Mamakku yang kupertanyakan. Katanya harus dimandikan, biarpun hanya tinggal belulang. Padahal di Buru sana, aku yang mengais kuburannya dengan hati-hati, mengelapi sisa-sisanya tiap hari menjelang keberangkatanku ke Jawa. Apakah masih tidak cukup bersih?

Mamakku yang kupertanyakan. Kata pemuka agama harus didoakan dengan salat, padahal aku tak tahu Mamak punya agama. Padahal aku sendiri pun tak punya.

Mamakku, Mamakku.

Yang dikebumikan dengan tata aturan yang bahkan aku tidak mengerti. Dibungkus kain, didoakan dengan rapalan doa yang berbeda dengan yang dibacakan tetua adat di Pulau Buru. Liang lahatnya digali dengan pacul, berlainan dengan kuburnya di Pulau Buru dulu yang hanya boleh digali dengan kayu. Salah satu kebaya kesayangannya tidak boleh ikut dikuburkan, bertolak belakang dengan di Pulau Buru. Tidak mengapa.

Yang dikuburkan diiringi dengan pertengkaran adik-adiknya mengenai warisan kakek, soal apakah aku yang anak orang asing ini patut mendapatkannya atau tidak. Soal adik Marni yang tidak terima ketika kakaknya berniat menyisakan warisan untukku, walaupun aku sendiri tidak menginginkannya. “Untuk apa memberikan warisan kepada seseorang yang tidak mengharapkannya? Tidak ada guna!” begitu seru adik Marni ketika menentang kakaknya. Tidak mengapa.

Yang disemayamkan tanpa aku ikut serta di dalamnya.

Ketika liang lahat sudah digali, tanah merah sudah menganga, wajah-wajah asing mengelilingi liang. Tukang kubur sudah membawa seonggok kain putih berisi Mamak, walau sudah bukan Mamak yang kubungkus dengan kantong anyaman. Saat itulah aku menjerit.

Susah payah aku katakan pada tukang kubur untuk serahkan Mamak padaku. Tak ada yang mengerti raunganku meminta Mamak. Wajah-wajah itu menatapku keheranan. Tidak sedikit pula yang risih melihat lelaki dewasa menangis meraung di pekuburan.

Barulah ketika Marni menyerahkan Mamak kepadaku, aku terdiam.

Wajah-wajah itu seakan diberi jawaban atas keheranannya.

Angin bertiup hening, kicau burung terdengar samar di kejauhan.

Selamat berpulang, Mamak. Setelah penantian panjang, berlabuhlah engkau dalam kedamaian tiada ujung. Putramu ini telah semayamkan engkau.

Mengapa.

*****

Mother’s Footsteps

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Dia dapat dihubungi melalui surel: umar2x.umar@gmail.com

 

 

Mother’s Footsteps

 

I never tired of reminiscing about the stories my mother told me about her life. Although she was born to a respectable family in Semarang, a port city on Java Island, I was an illegitimate child. Mother said that when the Japanese occupied our country during World War II, they forced her and other teenage girls to be their “comfort women” on Buru Island, a remote island within the Maluku Islands of Indonesia.

Mother cursed the soldiers who used the girls as sex slaves, then abandoned them — pregnant girls and young mothers alike — as soon as Japan lost the war. Mother’s stories about the cruelty of the Japanese soldiers always made me sad.

Mother also told me stories about how hard life was for her and the other girls on this almost uninhabited desert island. With no one to protect them, children were born without any medical help and young mothers suffered from malnutrition and malaria. In the end, only Mother and one other girl survived. They eventually married men of Buru’s Alfuru tribe. Mother said that the only reason she married my stepfather was to save our lives.

Thus, I was born into the Alfuru tribe of Buru Island. I was the only one among the black islanders who had light skin; the only one among the round-eyed faces who had slanted eyes. I felt destined to be ostracized. No one wanted to be friends with a boy who looked like me, let alone ask me to go hunting with them. My only friend was Mother, who was very smart. She easily taught me to speak her mother tongue, and whenever I wasn’t hunting for food, I chatted with Mother in Indonesian, which became our secret language on Buru Island.

My mother did not marry my stepfather out of love, and their strained relationship impacted that of mine with my stepfather. He had no choice but to accept me, as doing so was his only assurance that mother would stay in their marriage. A sibling might have eased my relationship with my stepfather, but after giving birth to me, Mother was too weak to bear another child.

Therefore, my interactions with my stepfather remained cold and indifferent, bordering on hate. Whenever my stepfather started yelling at me because his fishing net came up empty or his arrows missed their prey, Mother always whispered to me in Indonesian, “Run! Run before he hits you!”

***

In 1969, a few months after Mother died, a boatload of people landed at Buru Island. They were from Java — mostly men — and I was very surprised to discover that all of them spoke Indonesian. Most of them had the same physical features Mother had; even their way of speaking sounded like Mother’s.

However, I, in turn, surprised them as well. Clearly they were startled to see a light-skinned young man with slanted eyes, dressed in the drawstring pants that Alfuru men wore. When I spoke to them in halted Indonesian, they stared at me in disbelief.

Later, I learned that the boat people were prisoners. I watched them being forced into submission with the same cruelty my stepfather exhibited toward me. Despite my poor Indonesian, I could understand their emotional words of anger and oppression. I felt sorry for them. We were all victims of anger and oppression.

I will always remember Karman, a handsome, strong man about my stepfather’s age. But unlike my stepfather, Karman never said a harsh word to me, let alone hit me. We became best friends after he caught me peeking over the prison fence. He greeted me, and we engaged in a friendly conversation. We were curious about each other. He said the presence of an Asian-looking man on Buru struck him as odd, and I said it was the first time I’d met a Javanese other than my mother. I told him about Mother — that she had been born on Java and had passed away a few months ago. I also told him about her wish to be buried on her home island.

Then I grilled him with questions about Java.

Karman chuckled and looked sadly into the distance, as if he could see the homeland he longed for. “Java is a big island.” He paused. “Nothing like Buru.”

“How big is the island?” I thought Buru Island was big, but apparently Java was a bigger one. I thought about Mother’s last wish to be buried on Java: It would be nice to be buried on such a big island.

“How about Semarang? Is that a big city?” I asked. “It’s where Mother was born, and she still has relatives there. That’s where she wants to be buried.”

Karman nodded. “To fulfill your mother’s wish, you’ll have to go to Java by boat.”
A prison guard hollered out the names of the prisoners who had not reported in for their period of forced labor.

“Semarang is a bustling port city,” Karman said while trotting backward toward the guard. I was so buried in my thoughts about Semarang, I didn’t realize Karman had disappeared into the prison building before I could wave goodbye.

Slowly, Karman and I began getting to know each other better. As the number of our secret meetings grew, so did my Indonesian vocabulary. Our meetings were not secret in the sense of young lovers meeting clandestinely; anyone with eyes could easily see us, sitting back to back, separated by the prison fence. If anyone objected to my sitting there,

I could just run away.

I found out that Karman and the other boat people were not ordinary prisoners; they were political prisoners. At that time, I had no idea about the absolute power of the Indonesian government. Therefore, it did not make sense to me to hear that someone could be arrested just because of his political affiliation.

Karman said he was imprisoned for being a member of the PKI, the Communist Party of Indonesia, that was accused of carrying out a coup against the current Indonesian government and killing seven of Indonesia’s top military officers. Karman was arrested even though he knew nothing about the coup.

“What would a clerk like me know about assassinating military officers?” he asked. “All I had done was my job ⸺ writing letters. I was not arrested for being a skillful killer, but simply for writing.”

That explained why Karman was not a good hunter. His body was sturdy but useless in that regard. His fingers were too clumsy to aim an arrow at wild chickens or birds. Instead, he used his long fingers to learn how to write stories from Pak Pram, a fellow prisoner who was also more proficient at writing than aiming arrows.

But being a competent hunter was not as big of a necessity for Karman as it was for me. Without hunting, he could still eat — he had his prison food rations — but I would starve. Consequently, on the days we promised to meet, I always took one or two birds from my bag home to eat with my elderly stepfather, and sold the rest to the prison guards, with Karman as an intermediary.

Karman had told me that people no longer bartered goods and services. Instead, they used money. Therefore, I was determined to earn enough money to pay for my trip to Java to bury Mother, even though Karman laughed when I told him my plan.

“If all you sold were your hunted birds, it would take thousands of days to earn enough money to travel to Java!” Karman chuckled as I wriggled a dead wild chicken through the gap in the fence. “Now, a wild boar might bring you more money!”

“You think it’s easy to catch a wild boar by yourself?” I grumbled.

“Of course not!” Karman gave me a once-over. “Why don’t you ask a friend to help you?”

Karman’s question startled me. Having been ostracized all my life, I thought I was accustomed to being on my own. But his question made me realize how lonely I was. Fortunately, Karman did not wait for my answer; he was too busy inspecting my catch of the day.

“Karman, do you know why my mother wanted to be buried in Java?”

“I have no idea.” Karman shrugged. “Maybe Buru never became home for her.”

“Even though her only son was born here and lives here?” I looked down, afraid to hear Karman’s answer, whatever it was.

Karman quickly looked up. “I’m sure that’s not the way she looked at it.”

I nodded wearily. “I hope you’re right.” The thought had been brewing in my mind for a long time.

Karman looked at me closely. “Are you comfortable living in Buru all by yourself? Be honest. Don’t confuse comfort with habit; you know they are different. Perhaps you don’t really belong here. Who knows? Your mother may have wanted you to find the comfort you’ve never experienced so far. There’s nothing wrong with traveling to Java, if that’s what you want.”

I scowled at Karman’s answer, but I knew he was right, and I remained silent.

“By the way,” Karman continued, “when I die, will you bury me here in Buru?”

Though I had expected Karman to continue our conversation, I had not expected him to continue it with a question like that. I thought back to Karman’s empty gaze when I bombarded him with questions about Java. Perhaps I had been wrong in thinking that he was homesick then. Perhaps his sadness came from the fact he had no place to be homesick for. Could Mother Nature be so cruel that she would allow so many of her children to be torn from their homes?

***

I had heard that the population in Indonesia had grown, but it was not until 1972, three years after Mother’s death, that I saw as many people as I saw upon arrival in Semarang. I quickly found myself trapped in their midst.

During her life, Mother had often told me how busy Semarang was. And she was right! But, as a man who was born and raised on Buru Island for all of my twenty-eight years of life, I never imagined any place could be as busy as this. Even though dawn was just breaking, people crowded the street. Even standing to the side of the road, I could not avoid being bumped by other people as they hurried by.

I continued walking away from the port. I had to find my mother’s sister, Aunt Marni. Mother had told me that her sister lived in Tanjung Mas, a neighborhood adjacent to the port. According to the note Mother had left me, I needed to find either my Aunt Marni, or a relation of Raden Projowinoto — my grandfather and a former policeman in this port.

A group of gentlemen were sitting around at the Tanjung Mas Harbor Coffee Shop. “Excuse me,” I said, interrupting their lively conversation. “Do any of you know a Raden Projowinoto? He used to be a policeman at this harbor.”

The men frowned. “Who are you?” one of them asked. “Mr. Projowinoto died a long time ago.”

I nodded. I had not expected my grandfather to still be alive. After all, even his eldest daughter — my mother — was dead. But realizing I would have to tell a long, complicated story if I identified myself as his grandson, I simply said, “I’m just a relative.”

Now everyone looked at me, clearly confused. It must have indeed been mystifying to hear a young, Asian-looking man, speaking Indonesian, state that he was related to Raden Projowinoto, who I imagined looked like a typical Javanese man.

“A relative?” asked one of the men, scrutinizing me.

“I am his grandson.”

The men could not contain their surprise. “Really?” one of them asked with raised eyebrows. “Who is your mother?”

“My mother was Sumaryati, sir.” I was starting to feel annoyed with their suspicious questions.

Now the men looked stunned. “Oh, my Lord!” one exclaimed. “That Sumaryati? The one the Japanese took away?”

The man turned to the others, and everyone started talking at once in an animated, regional dialect that I could not understand.

One of the men looked up at me. “Maryati was my friend in elementary school.”

“Can you prove you’re Maryati’s son?” asked another.

I reached into my bag and pulled out the picture of Mother as a young girl. She had always cherished the picture, now after her death, it was mine to cherish.

While watching everyone crowd over Mother’s picture, I quietly smiled, remembering Mother telling me that when I was little and saw the picture for the first time, I was startled to see her face on a piece of paper.

“I’m sure, this is Maryati,” said the man I had given Mother’s picture to. The others nodded.

I quickly spoke up to prevent them from further interrogating me. “Perhaps one of you could show me the way to my Aunt Marni’s house?”

Aunt Marni was Mother’s favorite sibling ⸺ the one she said she missed the most. Marni’s name had been the one Mother called most often during the delirium of her final days, before succumbing to malaria.

The men nodded, and we all walked along the sidewalk to Aunt Marni’s house.
As we entered her neighborhood, we passed people drying and dyeing textiles in their yards. Long, large-patterned cloths hung on the clotheslines. The assorted colors and motifs reminded me of Mother’s stories about the beautiful Javanese batik cloth. Many of the women here still wore it, although just as many of them did not.

I waited at the gate while the men entered the front yard of a sturdy wood house. A woman met them at the door. I could faintly hear them mentioning Mother’s and Aunt Marni’s names. One of the men called out for me to come closer and introduced me to a woman dressed in a kebaya, Indonesian blouse, and batik sarong. “Marni,” he said, as he waved me closer, “this is the young man who claims to be Maryati’s son.”

I looked at Aunt Marni. She resembled Mother, except that Mother had been skinny and disheveled while Aunt Marni looked healthy and cared for.

At first, Aunt Marni looked at me suspiciously. Frowning, she took stock of me for several seconds. Then I saw her eyes change. The longer she looked at me the sadder her eyes grew. She whispered, “What is your name, son?”

“Man Beta, Aunt Marni.”

Aunt Marni’s hand flew to her mouth, and she quickly thanked the men who had brought me.

They bowed and said goodbye.

Aunt Marni invited me in, and we sat together in the living room. She took a closer look at my face and murmured, “Even though you have slanted eyes, you still look like my sister, Maryati.” Her lips curved into a gentle smile, and her eyes filled with tears. “How is she now? Is she fine? Can I see her?”

I shook my head. “Mother died from malaria, three years ago.”

Aunt Marni’s face turned to shock. “Oh, my God! My sister went to heaven before I had the chance to see her. She passed away at such a young age.” Aunt Marni’s eyes dimmed, and her shoulders drooped. She grew silent, trying to process the bad news I’d delivered.

I grimaced; I felt her sorrow. I could only imagine what it must have been like to be separated from one’s sister for decades only to be told that the beloved sister had passed away.

“So where have you been living all this time?” asked Aunt Marni. “Where did my sister live?”

“We lived on Buru Island, Aunt. A small, deserted island in Maluku, far from Java.”

“So the Japanese took my sister all the way there, to a small, deserted island,” Aunt Marni murmured. “I didn’t even know there was such an island in the east.” Aunt Marni’s gaze languished, as if regretting her powerlessness to reverse fate.

“You’re a Japanese soldier’s son?”

“That’s right, Aunt.”

Aunt Marni ran a hand brusquely across her face. “This is so hard to believe. My poor sister was a war victim of the Japanese army. Father had told me that the Japanese would send her to a school.” Her eyes now glittered with the hatred of betrayal. “Why did you come here?” Her question was straightforward yet warm.

I took a woven drawstring sack out of my bag. “Mother wanted to be buried here,” I said. The sack made a tapping sound when I put it on the table. It sounded like Mother’s footsteps.

***

Aunt Marni immediately contacted her younger brother, my uncle, and the neighborhood priest. They decided to bury Mother that same afternoon in the family plot. Aunt Marni and my uncle took my drawstring sack containing Mother’s bones from me. Everything was happening so fast! I sat bewildered until Aunt Marni called my name and hurried me along.
In the midst of the busy funeral arrangements, my uncle, glaring at me, asked Aunt Marni,

“Does our inheritance now have to be divided into thirds?”

Aunt Marni hushed Uncle.

The journey from Aunt Marni’s house to the cemetery felt much longer than the actual distance. My feet moved reluctantly, even though I repeatedly reminded myself that this was Mother’s wish. Over and over I told myself that Mother’s return to her birthplace was not the same as her leaving me and my birthplace. She was still with me, would always be with me.

Mother, my dear, sweet mother. Now only her bones were left.

Mother, my dear, sweet mother. I did not know where she was, but people said she was at peace up there. Where was “up there”?

Mother, my dear, sweet mother. The priest said her bones had to be bathed, even though in Buru, after I had carefully dug up her grave, I had wiped her bones every day before my departure for Java. Even in death, was Mother still not clean enough?

Mother, my dear, sweet mother. The priest said we had to say their funeral prayer for her. I didn’t know if Mother had practiced any faith. I didn’t.

Mother, my dear, sweet mother.

She was buried in a way that even I did not understand. Here, she was wrapped in a cloth, her bones were prayed over with a prayer different from that of the elders on Buru Island. Here, they dug her grave with shovels and hoes; while in Buru, only wooden tools were allowed to dig her grave. In Buru, she was allowed to be buried with her favorite kebaya; here, this was not allowed.

It did not matter.

I watched the gravediggers shovel out Mother’s final resting place while her siblings squabbled over Grandfather’s inheritance ⸺ about whether I, the son of a foreigner, deserved a share. Uncle argued with Aunt Marni, who wanted to share their inheritance with me, even though I had told them I did not want anything. “Why share our inheritance with someone who doesn’t expect it?” Uncle yelled at Aunt Marni “It doesn’t make sense!”

It did not matter.

When Mother’s grave, a gaping hole in the red earth, was ready, strangers surrounded the pit. The gravedigger picked up the bundle of white cloth that now contained Mother’s bones and prepared to lower it into the grave. And even though they were no longer the bones I had wrapped in a woven drawstring sack and carried with me all the way from Buru to Java, I screamed at the gravedigger, “No! Give Mother to me! I am the one who must bury Mother!”

And this mattered.

No one understood why I was screaming. Some looked confused; others were irritated to see a grown man wailing in the cemetery.
It was only when Aunt Marni took the white bag from the gravedigger and handed Mother to me that I fell silent.

Everyone suddenly seemed to understand.

The wind blew quietly, birds chirped in the distance.

Goodbye, Mother. After your long voyage, you have finally arrived in a place of endless peace. Your son has buried you according to your wish.

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

Indonesian Bazaar

Sebuah kelompok swadaya masyarakat yang bernama Friends Of Indonesia menyelenggarakan perayaan Indonesian Bazaar. Perayaan ini dalam rangka memperingati Asian American Pacific Islander Heritage Month di gedung La Cocina Municipal Marketplace, San Francisco pada tanggal 21 Mei, 2022 kemarin.

Perayaan ini menampilkan berbagai kekayaan budaya bangsa seperti tarian daerah, seni kerajinan, serta memperkenalkan aneka masakan dan jajanan khas Indonesia.

Pihak KJRI San Francisco mengajak serta Dalang Publishing untuk turut ambil bagian memperkenalkan sastra Indonesia melalui karya terjemahan buku-buku terbitan Dalang Publishing.

Terima kasih kami ucapkan kepada Ibu Angela Tridjadi, ketua perkumpulan Friends Of Indonesia sebagai pihak penyelenggara dan terutama kepada pihak KJRI San Francisco, Bapak KonJen Prasetyo Hadi dan Ibu Ota serta Bapak Mahmudin Nur Al-Gozaly (Pak Deden) selaku Konsul Penerangan, Sosial dan Budaya yang telah memperkenankan Dalang Publishing menampilkan karya sastra Indonesia di acara itu.

Berita terkait tentang acara ini juga dapat dilihat melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, dan Republika

 

Bedah Buku Tembang Dan Perang

Dalang Publishing diundang dalam acara bedah buku karya asli Tembang Dan Perang karya Junaedi Setiyono yang juga kami terbitkan terjemahan bahasa Inggrisnya dengan judul Panji’s Quest terjemahan Oni Suryaman.

Acara ini diadakan pada hari Sabtu, tanggal 12 Maret 2022 lalu oleh Perempuan Penulis Padma, Perlima yang didukung oleh penerbit buku Tembang Dan Perang, PT.Kanisius dan ngopibareng.id

Untuk menyaksikan acara ini silakan meninjau Bedah Buku Tembang Dan Perang

Kunjungan Konsul Ekonomi KJRI SF

Pucuk dicinta ulam tiba, begitulah kata pepatah.
Pergantian pejabat baru di kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia San Francisco mendatangkan berkat tersendiri bagi Dalang Publishing. Setelah dikunjungi oleh Konjen San Francisco yang baru, Bapak Prasetyo Hadi dan Ibu Ota sang istri, kami juga menerima kunjungan dari Konsul Penerangan, Sosial dan Budaya, Bapak Mahmudin Al-Gozali (Pak Deden), dan hanya berselang waktu satu minggu, di kediaman Ibu Lian yang sekaligus tempat kerja Dalang Publishing kembali kami kedatangan tamu istimewa. Konsul Ekonomi, Ibu Kuntum Khaira Ummah telah berbaik hati memenuhi undangan kami. Beliau menyempatkan waktunya untuk bertatap muka dan berbincang.

Di bawah rindang pohon maple, pertemuan pagi hari kami dengan Ibu Kuntum berlangsung sangat akrab. Sinar matahari yang menyebar di antara dedaunan pohon maple serasa makin menambah kehangatan silaturahmi kami.

Semoga pertemuan-pertemuan Dalang Publishing dengan para pejabat KJRI SF ini mampu menambah keakraban dan rasa saling membutuhkan, sehingga usaha kami dalam mengangkat kesusastraan Indonesia ke panggung dunia bisa mendapat kepercayaan dan dukungan penuh pejabat pemerintah Indonesia yang berada di Amerika serta juga pejabat terkait yang berada di tanah air.

Suatu Subuh di Cihanjuang

Candra Padmasvasti lahir di kota Bandung, 11 Oktober 1974, berasal dari keluarga pendidik dan pecinta karya sastra. Membaca dan menulis buku harian menjadi kegemarannya sejak kecil.

Candra bekerja sebagai penasehat di bidang pemenuhan hak anak dan perempuan di lembaga nasional dan internasional. Dia kerap menulis berbagai tulisan laporan kegiatan bahan pelatihan dan berkas perancangan seputar kebijakan untuk pekerjaannya. Suatu Subuh di Cihanjuang adalah cerita pendek pertamanya, yang melecut keyakinannya bahwa menulis adalah tentang keberanian untuk bermimpi dan jujur pada diri sendiri.

Candra dapat disapa di c.padmasvasti@gmail.com

 

 

Suatu Subuh di Cihanjuang

 

Alunan karinding, alat musik dari bilah bambu khas Jawa Barat, mengeluarkan nada tinggi melengking, berpadu dengan embusan angin malam yang dingin. Karinding selalu dimainkan di acara adat. Suara mendengung hasil perpaduan sentilan jari dan tiupan udara dari mulut si pemain, membuat suasana di pertemuan adat terasa mendebarkan.

Setelah acara selesai. Panitren, sang penjaga adat, berlari dari Bale Saresehan menghampiri jendela dapur Uwa Enok yang masih terbuka. “Sudah diputuskan! Citrik akan dinikahkan dengan Kang Dayat!” ujarnya di antara tarikan napas dan langkah kakinya yang bergegas menjauh. 

Uwa Enok yang sedang duduk di atas dipan di dekat jendela dapurnya langsung menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Wanita tua itu menangis, berusaha mencerna berita yang disampaikan oleh panitren.

Citrik yang sedang duduk menghangatkan tubuhnya di depan hawu, tungku kayu bakar, seketika merasa mual. Pepes jamur, lauk makan malam tadi, terasa mengimpit kerongkongannya. Gadis remaja tigabelas tahun itu menggelugut membayangkan Mang Dayat, lelaki paruh baya yang biasa dia panggil paman, akan menjadi suaminya.

Pernikahan Mang Dayat dengan Bi Nenden memang belum dikaruniai keturunan. Perilaku mereka sangat berlawanan, Mang Dayat suka berbicara, sedangkan Bi Nenden sangat pendiam. Perempuan di kampung kerap menggunjingkan kelakuan Mang Dayat, yang sering punya hubungan khusus dengan perempuan dari luar Cihanjuang. Sebagian dari mereka menuduh Bi Nenden yang tidak dapat memberikan anak, sebagai alasannya.

Mengapa harus aku yang memberinya anak? Citrik merasa jijik. Tangannya menarik tepian kain sarung dari sisi kedua lengannya, membungkus tubuh mungilnya, dan membenamkan kepalanya.

Citrik teringat kejadian beberapa hari lalu. Kala itu dia dan Uwa Enok sedang berjalan sepulang dari sungai.

Tiba-tiba dari barisan pohon, Mang Dayat muncul menghadang mereka. “Aduh wanginya,” goda Mang Dayat sambil mendekatkan kepalanya ke arah tubuh Citrik.

Citrik langsung menjerit dan berlindung di belakang badan Uwa Enok. Gelung Citrik terlepas, rambutnya yang hitam jatuh tergerai melewati pundaknya yang basah. Tubuh gadis itu hanya dibalut kain sarung, selepas mandi di sungai.

Citrik merinding karena masih bisa merasakan napas Mang Dayat di lengannya.

“Mau apa kamu, Dayat?” Uwa Enok membentak.

“Mau menikah dengan ponakanmu,” ujar Mang Dayat tergelak. Bau minyak rambut Mang Dayat tercium begitu kuat, mengalahkan wangi sabun mandi dari tubuh Citrik dan Uwa Enok. Mang Dayat mengusap kumisnya sambil menatap Citrik. Mata lelaki tua itu bergerak menyapu wajah pucat Citrik. Pandangannya menjelajahi leher yang jenjang lalu turun ke pundak nan putih. Bola matanya kian membesar saat tilikannya tiba pada pinggul sintal Citrik yang terbalut kain sarung basah.

“Jangan kurang ajar!”  Uwa Enok berteriak marah.

“Aku akan buatkan rumah terbagus di Cihanjuang untukmu, Citrik,” ucap Mang Dayat merayu Citrik tanpa menghiraukan hardikan Uwa Enok. “Kamu bisa dapat semua yang kau mau dengan uang hasil usaha ternakku.” 

Citrik masih tidak menjawab, kedua tangannya terus memeluk keranjang berisi baju yang baru dicuci sebagai tumpuan tubuhnya yang gemetar.

“Anak ini sudah mendapat rumah dari ku.” Uwa Enok berucap sambil mengangkat dagu, matanya menatap tajam lelaki yang ada di depannya. Lalu bibirnya mengatup, tarikan napasnya yang pendek diembuskan lewat kedua lubang hidungnya. 

“Rumah usang bekas perawan tua tidak pantas untuk gadis cantik seperti Citrik,” ejek Mang Dayat diikuti suara tertawanya yang menjengkelkan.

Wajah Uwa Enok memerah. Tangannya mengepal menahan amarah. “Awas! Aku laporkan kepada sesepuh adat!” Uwa Enok berteriak lantang.

Mang Dayat justru tertawa liar. “Dengan kepandaian ilmu sirep akan aku tembus mimpi sesepuh adat. Dia akan menuruti semua kemauanku.”

Uwa Enok tersentak. Dia diam kehabisan kata-kata.

Melihat perubahan sikap Uwa Enok, Mang Dayat kembali tertawa keras. Kedua tangannya bertengger di pinggang, menampakkan perutnya yang montok berguncang. “Aku berkuasa di Cihanjuang! Perempuan tua macam kamu tidak ada artinya bagiku.” Mang Dayat menunjukkan jari telunjuknya ke arah Citrik. “Dia milik aku!”

Citrik merasa dirinya diperlakukan layaknya barang untuk dimiliki. Tenggorokannya tercekat menahan tangis.

Uwa Enok masih diam mematung.

Mang Dayat berlalu menjauh.

Uwa Enok berbalik badan dan memeluk Citrik.

Keduanya bertangisan di sisi jalan setapak. Sesaat mereka merasa agak tenang, Uwa Enok mengajak Citrik pulang ke rumah.

“Ayo pulang malu jika ada yang melihat kita sedang bertangisan,” Uwa Enok mengusap air mata Citrik, “Kita pasti akan dapat jalan keluarnya.”

Kalimat terakhir Uwa Enok membuat hati Citrik tenang. Dua perempuan itu pun berjalan menuju ke rumah.

***

Keesokan harinya, pendar matahari lamat-lamat menerobos celah dinding dapur yang terbuat dari bambu. Citrik masih masygul menerima keputusan adat. Hanya dengan memasak pikirannya dapat teralihkan. Wangi dapur ini yang berlantai tanah dengan empat batang kayu pohon hanjuang di setiap sudutnya, seakan menjadi rahim ibu yang memberinya rasa tenteram. Uwa Enok pernah bertutur tentang pohon hanjuang. Batangnya terkenal kuat menopang bangunan. Daunnya berwarna merah dan hijau, melambangkan keseimbangan antara manusia dan alam. Menurutnya, pohon hanjuang adalah lambang perempuan Cihanjuang, yang kuat dan mampu menjaga keseimbangan keluarga. Singgasana perempuan Cihanjuang adalah dapur, tempat dia bertahta, mengolah apa yang diberikan alam menjadi makanan untuk keluarganya. “Kelak dapur dan seluruh isinya ini akan menjadi milikmu, Citrik,” Uwa Enok berkaul.

Tangan Citrik menggeser selot kayu, membuka jendela. Angin pagi yang dingin membuat pipinya yang putih bersemu merah. Kedua matanya menatap langit sejenak. Alis mata yang tebal dan bulu mata yang lentik, membuat Citrik terlihat cantik alami.

Dia teringat saat datang bersama Bapak dari Bandung ke Cihanjuang di bulan Agustus 1949. Cihanjuang, desa kecil di pegunungan Sukabumi adalah tanah kelahiran Bapak dimana Uwa Enok, kakak perempuan satu-satunya, menetap. Bapak menangis di pangkuan Uwa Enok, sambil menceritakan perihal rumah yang dibakar dan Ibu yang dibunuh gerombolan Tentara Islam Indonesia.

Saat itu, usia Citrik masih lima tahun. Kejadiannya terjadi begitu cepat. Malam itu dia terbangun sudah berada di gendongan Bapak. Pandangannya kabur tertutup asap, napasnya sesak oleh udara yang terasa panas sampai ke dada. Bapak berusaha keluar dari rumah, berlomba dengan jilatan api yang berasal dari rumah-rumah lainnya. Orang-orang berlarian, suara jeritan dan tangisan terdengar dimana-mana. Bapak dan Citrik menanti Ibu keluar dari rumah untuk mengajaknya berlari menjauhi kampung. Namun sayang, Ibu tidak pernah keluar dari rumah.

Bapak sering bercerita tentang dendamnya pada gerombolan yang membuat Ibu mati. “Kartosoewirjo, pemimpin gerombolan itu tidak puas dengan kemerdekaan Indonesia yang masih dibayang-bayangi Belanda,” kata Bapak berapi-api, “Dia memaksa Jawa Barat menjadi Negara Islam Indonesia.”

Menurut Bapak, gerombolan itu bergerilya di hutan-hutan untuk mempertahankan diri dari kejaran TNI-AD. Mereka membutuhkan persediaan makanan yang banyak. Biasanya, saat tentara Indonesia tahu bahwa gerombolan akan mendatangi kampung untuk mencari bahan makanan, mereka akan meminta warga kampung mengungsi. Gerombolan itu mengharuskan setiap rumah menyediakan beras atau bahan makanan di teras rumah. Jika tidak disediakan maka mereka akan merusak atau membakar rumah tersebut.

“Malam itu gerombolan Tentara Islam Indonesia di Tasikmalaya menyerang markas TNI-AD disana sehingga TNI-AD di wilayah Kabupaten Bandung harus berpindah tugas ke sana. Tidak ada yang tahu bahwa gerombolan itu akan datang ke kampung kita,” ujar Bapak pilu.

Sejak itu, setelah sekian tahun tinggal di Kabupaten Bandung bersama Ibu dan Citrik, Bapak kembali tinggal di Cihanjuang, kampung kelahirannya. Hari-hari Bapak hanya diisi dengan meratapi kematian Ibu. Sampai akhirnya Bapak mulai sering berbicara sendiri dan julukan orang gila melekat pada dirinya.

Tak sampai dua tahun sejak Citrik tinggal di Cihanjuang, pada suatu subuh Uwa Enok menemukan tubuh Bapak sudah kaku. Ajal menjemput Bapak di kala tidur. Kedukaan yang menimpa Citrik, membuatnya tumbuh menjadi gadis pendiam, yang jarang bergaul dengan anak-anak sebayanya.

***

Jemari Citrik yang lentik mengambil tiga batang kayu bakar, memasukkan satu per satu ke lubang hawu. Citrik menempelkan bibirnya yang tipis pada sepotong bambu pendek lalu meniupkan udara ke arah bara sampai menjadi api. Tiba-tiba dia tersadar belum melihat Uwa Enok sejak fajar.

Walaupun Uwa Enok terkenal jarang berbicara, Citrik selalu merasa lebih tenang jika berada di dekatnya. Uwa Enok adalah pengganti orang tuanya.

Citrik mengangkat langseng, alat untuk memasak air dan mengukus makanan, dan meletakkannya di atas hawu.  Langseng tembaga berwarna kuning keemasan itu terlihat seperti topi pesulap terbalik. Citrik berpendapat memasak itu memang mirip melakukan pertunjukan sulap.

Uwa Enok lah yang memperkenalkannya pada serunya memasak. Semua orang di Cihanjuang mengakui kepiawaian Uwa Enok memasak, karena masakannya selalu mendapat pujian dari sesepuh adat. Kata Uwa Enok, kemampuan memasak penting bagi perempuan Cihanjuang, tidak saja karena nikmatnya masakan akan membuat keluarga bahagia, tapi juga sebagai bentuk syukur atas apa yang kita dapatkan dari alam.

Saat masih tinggal bersama orangtuanya, Citrik membayangkan dia akan bersekolah seperti anak-anak lain. Namun bayangan itu pupus, karena di Cihanjuang belum ada sekolah. Anak-anak di Cihanjuang belajar dari alam.  Mereka belajar makna kesabaran dan keuletan melalui bertani.

“Alam adalah guru terbaik bagi manusia,” demikian wejangan Uwa Enok saat mengajarkan tentang ngahuma, menanam padi di ladang dengan cara tumpang sari. Padi ditanam bersama tanaman jagung dan pisang yang sudah ditanam terlebih dulu, sehingga tanah menjadi subur dan panen melimpah. Adat ngahuma ini adalah aturan yang tidak boleh dilanggar, supaya manusia tidak lupa dari mana dia berasal dan menghormati alam yang telah memberinya kehidupan.

Suara ketukan keras diikuti bunyi pintu dapur yang didorong kasar menyadarkan Citrik dari lamunannya. Dia membalikkan badan.

Terlihat Bi Nenden berjalan cepat menghampirinya. Istri dari Mang Dayat itu terlihat marah, tidak seperti biasanya. “Kamu pikir bisa memiliki suamiku karena kamu lebih muda?” Bi Nenden berteriak.

Citrik kaget merengket ketakutan.

“Perempuan tidak tahu malu!” Tangan Bi Nenden mendorong lengan Citrik dengan keras.

“Nenden!” Sebuah suara keras terdengar dari arah luar. Uwa Enok berjalan mendekat.

Saur kudu dibubut!” Uwa Enok mengingatkan falsafah adat untuk berbicara dengan hati-hati. “Ini rumahku. Kamu harus menghormatinya!” Uwa Enok berdiri di depan Citrik dengan sikap melindungi. Bibirnya bergerak merapalkan sesuatu. Tiba-tiba udara dapur terasa lembab. “Aku pun tak sudi Citrik menjadi istri kedua suamimu,” kata Uwa Enok tegas.

Semburat marah di mata Bi Nenden perlahan berubah menjadi tatapan kosong dan dia pun menangis tersedu-sedu. “Hampura, mohon maaf, Bi Nenden merajuk sambil berjongkok. “Kamu tahu bagaimana aku sudah lelah menghadapi suamiku yang buta oleh nafsu.”

“Dari mana suamimu belajar ilmu sirep?” Uwa Enok bertanya dengan nada memaksa. Pandangannya menyelidik menatap mata Bi Nenden yang langsung terlihat gugup.

“Dia belajar kepada seseorang dari selatan Pulau Jawa.” Bi Nenden menjawab lemah. “Ilmu itu menghancurkan suamiku.” Bi Nenden terisak.

Uwa Enok mengambil gelas dari rak bambu, mengisinya dengan air dari kendi, lalu meniup gelas itu sebelum disodorkan kepada Bi Nenden yang langsung meminumnya habis.

Uwa Enok berjongkok sejajar dengan Bi Nenden dan berbisik dengan suara lirih, “Mari kita ke mata air untuk minta petunjuk dari Nyi Mas Hanjuang.” Mata air Nyi Mas Hanjuang adalah tempat sakral yang berada di balik bukit. Uwa Enok sering berdoa di sana.

Kedua perempuan itu perlahan bangun dari jongkok. Uwa Enok menatap mata Bi Nenden lalu mengangguk dan menggerakkan kepalanya ke samping sebagai ajakan untuk berangkat. Mereka berjalan keluar dari dapur.

Jantung Citrik berdegup kencang saat dia memandang punggung kedua perempuan yang terlihat menjauh itu.

***

Hari sudah gelap, tapi Uwa Enok tak kunjung pulang sejak berangkat ke mata air Nyi Mas Hanjuang bersama Bi Nenden. Walaupun Citrik tahu Uwa Enok sudah biasa pergi ke mata air, hati Citrik tetap khawatir. Apakah Uwa Enok sudah makan? tanyanya dalam hati. Dia memandang lauk ulukutek leunca yang dimasaknya tadi pagi masakan kesukaan Uwa Enok yang terbuat dari oncom, campuran peragian tempe dengan leunca, jenis sayuran lalapan yang banyak tumbuh di daerah Jawa Barat. Citrik menunggu Uwa Enok sambil bergolek di pembaringan. Tidak berkuasa untuk tetap terjaga, akhirnya gadis itu pun terlelap.

***

Di tengah malam Citrik masih terlelap di pembaringan. Sinar lampu cempor membuat bayangan lekuk pinggulnya tampak di dinding. Suara tokek yang keras membuat Citrik terjaga dari tidurnya. Gadis itu mencari tubuh Uwa Enok di sebelahnya, tetapi hanya ada dirinya di pembaringan. Uwa Enok kenapa masih belum kunjung datang?  Citrik mengkhawatirkan Uwa Enok yang harus berjalan jauh ke mata air Nyi Mas Hanjuang.

Citrik teringat saat pertama kali berdoa di mata air Nyi Mas Hanjuang tahun lalu. Saat itu Citrik baru saja selesai mendapat haid yang pertama, dan Uwa Enok mengutarakan padanya bahwa sudah waktunya Citrik belajar doa khusus karena sudah menjadi perempuan dewasa. Perjalanan ke mata air Nyi Mas Hanjuang harus melewati hutan larangan. Hutan yang membentang di punggung bukit ini adalah wilayah sakral yang dilindungi oleh adat. Peraturan adat melarang wilayah hutan larangan digunakan untuk bercocok tanam, apalagi memotong pohonnya tanpa ijin dari sesepuh adat. “Tidak boleh pakai alas kaki dan tidak boleh bicara sepatah kata pun.” Uwa Enok menjelaskan adab sebelum melewati hutan larangan.

Malam itu, suara jangkrik yang riuh berirama menemani perjalanan dua orang perempuan, melalui hutan larangan.  Citrik berjalan di belakang Uwa Enok yang memegang obor. Citrik teringat rasa dingin di telapak kakinya saat menapaki tanah yang lembab. Baju hangat dan kain kebaya tebal tidak mampu menahan angin gunung yang menusuk sampai tulang. Saat itu, sebenarnya dia sudah lelah dan kedinginan, tapi mengadu pada Uwa Enok hanya akan membuat perempuan tua itu gusar. Citrik sudah hapal tabiat Uwa Enok. Jika keinginannya tidak terpenuhi pasti akan marah, berbeda dengan sifat dirinya yang selalu mengalah.

Air terjun Nyi Mas Hanjuang adalah sebuah bengkahan kecil di antara tebing. Mereka tiba di sana hampir tengah malam. Cahaya obor menunjukkan bebatuan besar di sekitarnya. Citrik mendengar suara air yang keras, menunjukkan air terjun ini deras dan letaknya cukup tinggi.

Uwa Enok menjura dan duduk di atas batu, diikuti oleh Citrik.

Tetap tanpa suara, Citrik langsung mengambil sesajen dari kain gendongan. Baskom berukuran kecil berisi satu ekor ayam panggang, sebuah kelapa muda dan bunga kenanga segenggam tertata rapi di atas batu.

Uwa Enok membakar dupa. Lalu kedua perempuan itu duduk bersila, mulai berdoa. Hanya terdengar derasnya suara air terjun, Citrik semakin tenggelam dalam semedinya. Wajah dan tubuhnya basah terkena cipratan air yang memandikannya. Rasa dingin di tubuhnya berangsur-angsur menjadi biasa. Wangi dupa memenuhi relung hidung dan mengantarkan pikiran Citrik melayang, mengapung, membubung bersama mantra yang mengalir dari bibirnya.

“Aku terima yang kau berikan” sebuah suara wanita yang lembut tiba-tiba terdengar di antara rapalan mantra. Nadanya jelas dan terdengar bersahaja. Suara itu bukan masuk ke telinga Citrik, lebih tepat terdengar di dalam kepalanya.

“Saya sudah melengkapi seluruh syarat yang Nyi Mas minta,” suara Uwa Enok, masih terdengar di dalam kepala Citrik.

“Ada di tanganmu,” suara lembut itu terdengar lagi.

Uwa Enok mengatupkan kedua telapak tangannya di atas kepala untuk beberapa saat, lalu menariknya ke pangkuan dengan gerakan cepat. Sesaat dibukanya kedua telapak tangan, terlihat besi tipis dan kecil berwarna emas kehitaman sepanjang telapak tangan. Uwa Enok kembali menjura dan mengucapkan rasa terima kasih.

“Keris ini adalah titipan yang harus kau jaga” suara lembut itu kembali terdengar, “Gunakanlah untuk menjaga keselarasan antara manusia dan alam.”

Uwa Enok kembali mengucapkan terima kasih lalu menyentuh lengan Citrik mengajak pamit pulang. Mereka berjalan menjauh dari mata air. Perjalanan pulang tidak seberat saat berangkat, terasa lebih cepat berlalu. Mereka tiba di kampung saat subuh mulai menyentuh punggung Gunung Cimentang.

Citrik melamun sambil rebahan di pembaringan. Lamunannya mengantarkan kantuknya kembali menyerang. Gadis itu pun kembali tertidur pulas.

***

Kabut subuh masih menyelimuti kampung Cihanjuang, ketika Uwa Enok membuka pintu dapur. Perempuan tua itu masuk dengan gerakan perlahan. Buliran keringat terlihat di dahinya, dia nampak kelelahan namun bibirnya tersenyum saat memandang Citrik yang terlelap di atas dipan bambu. Uwa Enok menarik selimut yang tergulung di kaki Citrik, dan menyelimuti tubuh gadis itu. Diusapnya kepala Citrik perlahan, sebelum merebahkan dirinya untuk beristirahat.

***

Saat malam Jumat Kliwon, malam Jumat yang dikenal keramat oleh penghuni Dessa Cihanjuang, Citrik menyiapkan sesajen di dapur seperti biasanya. Empat butir telur rebus, segelas kopi pahit, lima kuncup bunga mawar, segenggam bunga kenanga, satu butir kelapa hijau, dan satu sisir pisang mas. Sesajen disimpan di pojok ruangan bersisian dengan hawu. Uwa Enok yang mulai membakar dupa, merogoh isi kutang dan mengambil kain putih yang membungkus Keris Nyi Mas Hanjuang. Perlahan Uwa Enok menempatkan keris itu di antara sesajen setelah melepaskan kain pembungkusnya.  

Harum dupa mengisi dapur sampai ke langit-langit. Asap dupa dan hawu bersatu. Citrik duduk bersila di sebelah Uwa Enok. Keduanya menjura ke arah sesajen lalu menempatkan kedua telapak tangan di atas tungkai.

Uwa Enok mulai membaca mantra dengan suara lirih.

Hanjuang beureum hejo.  Hanjuang berwarna merah hijau.

Hanjuang nu ngaleupaskeun. Membebaskan simpul yang tercengkeram. 

Ti kiwa tengen luhung mancur. Hanjuang pembawa ilmu. 

Poek mongkleng sateuacan isuk. Di gelap gulita sebelum pagi.

Mantranya berbeda dari yang biasa kita baca setiap malam Jumat ya, Uwa?” tanya Citrik

“Perintah Nyi Mas Hanjuang.” Uwa Enok menjawab tanpa memandang wajah Citrik.

Melihat bahasa tubuh Uwa Enok, Citrik enggan bertanya lebih lanjut. Dia pun memejamkan mata dan mulai mengikuti rapalan mantra Uwa Enok. Beberapa saat kemudian, udara di dapur terasa lebih panas. Citrik melayang, mengapung, membubung bersama mantra yang mengalir dari bibirnya. Malam semakin tua, kabut dingin menyelimuti Cihanjuang, dan wangi kenanga ajek di dapur sepanjang malam.

***

Matahari dari balik Gunung Cimentang mulai beranjak naik. Citrik terlihat cantik menggunakan kebaya putih dan sarung berwarna hijau. Dia menunggu Uwa Enok menyiapkan dirinya untuk hadir di acara adat.

Tirai kamar tersibak dan Uwa Enok melangkah keluar. Wangi kenanga kembali menelusup ceruk hidung. Dia mengenakan kebaya putih yang biasanya, tetapi dia terlihat berbeda. Uwa Enok terlihat sangat anggun. Rambutnya disanggul cepol ke atas. Walaupun kulitnya telah keriput, tetapi terlihat bersinar. Uwa Enok tersenyum dan mengajak Citrik mengikutinya.

Citrik berjalan di belakang Uwa Enok, sesekali mencoba bersisian agar dapat mengintip wajah Uwa Enok. Citrik memeluk baskom berisi kue apem di dadanya, risau terjatuh.

Di Bale Saresehan sudah banyak warga yang datang untuk berdoa. Semua mata memandang Uwa Enok yang melangkah masuk. Dagunya terangkat, cepolnya yang tinggi membuat tulang pipinya menonjol.

Di ujung ruangan, terlihat kain batik dengan corak daun berwarna hijau dan merah, menutupi tubuh manusia beralaskan tikar pandan. Tadi pagi, panitren memukul kentongan dan mengabarkan kematian Mang Dayat kepada warga. Mang Dayat ditemukan meninggal saat tidur. Tubuhnya sudah kaku kala subuh menyentuh bumi.

Bi Nenden terlihat duduk menunduk di dekat jenazah.

Citrik menempatkan baskom yang dia pegang bersama kumpulan sesajen di dekat jenazah, lalu duduk di sebelah Uwa Enok. Wangi pandan di sekitar jenazah terpintal bersama harum kenanga dari tubuh Uwa Enok. Nada karinding melambat. Sebentar lagi acara doa kematian akan dimulai. Citrik melirik ke arah Uwa Enok.

Mata Uwa Enok memandang ke arah Bi Nenden.

Perlahan kepala Bi Nenden terangkat dan keduanya saling menatap.

Uwa Enok pun mengangguk lamban.

Sekelebat, Citrik melihat ada segaris senyum tipis di wajah kedua perempuan itu. Citrik tertegun. Daun-daun pohon hanjuang di sekitar Bale Saresehan berlenggok tertiup angin. Kematian selalu mengundang pilu, tapi kali ini tidak.

 

*****

 

The Sacred Waterfall

Pada tahun 2005 Umar Thamrin menerima beasiswa Fulbright Grant dan Catherine and William L. Magistretti Graduate Fellowship untuk menyelesaikan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat. Sebelum kembali ke tanah air pada penghujung 2017, dia menerima tawaran dari University of Oregon untuk menjadi peneliti dan pengajar selama setahun.

Saat kembali ke tanah air, dia prihatin melihat rakyat yang tetap saja terpinggirkan dan sejarah yang begitu mudah terlupakan. Inilah yang mendorongnya untuk merenung, mengenang, dan menulis. Umar sekarang mengajar linguistik pada Universitas Islam Negeri Alauddin.

Dia dapat dihubungi melalui surel: umar2x.umar@gmail.com

 

The Sacred Waterfall

 

The reverberating tones of a bamboo karinding, mingled with the sighs of the cold night wind. As was custom, the Sudanese mouth harp was played during a meeting of the village elders. With the karinding placed between his lips, the player tapped the end of the instrument with his fingers to create the thin vibrations that added to the tension in the Bale Sarasehan.

At the end of the meeting, a village elder rushed from the civic center to Uwa Enok’s open kitchen window. “It’s confirmed!” cried the panitren to the old maid. “Citrik will marry Dayat!” Panting, he hurried away.

Seated on a bench inside the open kitchen window, Uwa Enok covered her face with both hands and wept, trying to make sense of what the panitren’s announcement meant for her niece.

Thirteen-year-old Citrik huddled near the hawu. The kitchen’s clay stove warmed her. The pepes — roasted mushrooms wrapped in banana leaves — she had eaten at dinner weren’t settling well in her stomach. Now, hearing the panitren’s words, she shivered, picturing the middle-aged man she’d always addressed as uncle becoming her husband.
Dayat and his wife, Bi Nenden, were childless. The couple were complete opposites. Dayat was talkative; Bi Nenden was quiet. The women in the village gossiped about Dayat’s affair with a woman who lived outside of Cihanjuang, a small village near Sukabumi in West Java. Some of them blamed Bi Nenden’s infertility for Dayat’s infidelity.
Why do I have to be the one who gives him children? Disgusted, Citrik nestled her slender body into her sarong and buried her face in her arms. She thought about the incident with Dayat that had happened a few days ago. Remembering the old man’s breath on her arm, Citrik shuddered.

***

That day, she and Uwa Enok had been walking home after doing laundry and bathing in the river. Citrik’s sarong was wrapped tightly around her body; her wet black hair fell loosely over her damp shoulders.

Unexpectedly Dayat had emerged from behind the treeline and blocked their passage. Leaning into Citrik, he teased, “My, my, don’t you smell nice!”

Startled, Citrik ducked behind Uwa Enok.

“What do you want, Dayat?” Uwa Enok had snapped.

“I want to marry your niece.” Mang Dayat chuckled. The cloying smell of his pomade completely smothered Citrik’s and Uwa Enok’s clean fragrance. The old man stroked his mustache and peered into Citrik’s pale face. His greedy gaze slid down her slender neck, landing briefly on her white shoulders, and — eyes widening — settled on the curves of Citrik’s hips swaddled in the wet sarong.

“Don’t be vulgar!” Uwa Enok screamed, furiously.

Mang Dayat ignored Uwa Enok and continued leering at Citrik. “I’ll build the most beautiful house in Cihanjuang for you, Citrik. I can give you everything you want with the money I make in my cattle business.”

Citrik remained silent behind her aunt, pressing her full basket of freshly-washed clothes against her trembling body.

Uwa Enok raised her chin and glared at Dayat. “Citrik will inherit my house,” she hissed through pressed lips.

Dayat laughed. “An old house from an old maid is not suitable for a girl as beautiful as Citrik.”

Fury flushed a dangerous red in Uwa Enok’s face. “Watch your mouth!” she snarled. “I’ll report you to the elders!”

Dayat burst into boisterous laughter. “With my sirep, mantra, I can hypnotize the elders, and, under the spell of my magic, I can make them do anything I say!”

Uwa Enok gasped.

Taking full delight in springing his secret on Uwa Enok, Dayat put his hands on his hips, and snickered, exposing his fat shaking belly, “I’m the law in Cihanjuang! I don’t listen to old maids like you.” Pointing at Citrik, he declared, “She’s mine!”

Citrik’s throat tightened, trying to swallow the terror of being treated as an object that could be owned by another.

Uwa Enok stood rigid until Dayat walked away. Then she turned around and hugged Citrik. In tears, they held one another on the side of the path until they calmed down. Uwa Enok wiped Citrik’s tears. “Let’s go home. People are looking at us,” she said and soothed,

“We’ll find a way out of this problem.”

***

The morning after the village elders’ decision, as the sun crept between the bamboo slats of the kitchen wall, Citrik, still upset, tried to distract herself by preparing breakfast. This kitchen, with the floor’s earthy aroma and the four strong hanjuang tree trunks anchoring each corner, felt as safe as a mother’s womb.

Uwa Enok had told her about the hanjuang tree. Its trunk, widely praised for its strength, was used as building pillars. Its red and green leaves symbolized harmony between mankind and nature. Uwa Enok had also told her that hanjuang trees were like the Cihanjuang women, who had to be strong to maintain unity in their families. Cihanjuang women reigned in the kitchen, where they turned nature’s gifts into sustenance for their families. “This kitchen, and everything in it, will be yours, Citrik.” Uwa Enok had promised her.

Citrik unhooked the wooden latch and pushed the window open. The cold morning breeze brought some color to her pale cheeks. Her thick eyebrows and curled eyelashes added to Citrik’s natural beauty. For a moment, she stared at the sky.

***

Citrick and her father first moved to Cihanjuang from the Bandung Regency in August 1949. Cihanjuang, a small village in the mountains surrounding Sukabumi, West Java, was her father’s home village, where Uwa Enok, his only sister, lived. Her father had wept on Uwa Enok’s lap as he told her about the Islamic Armed Forces of Indonesia setting fire to their village.

Citrik was five years old. It had happened so fast. She remembered waking up in her father’s arms, her vision blurred by the thick smoke. She gasped as the hot air filled her lungs.

Clutching her to his chest, her father raced out of the burning house, with the fire raging around them. Outside was a chaos of panicked people running, screaming, and crying.

Citrik’s mother didn’t make it out of their house.

“That night, a mob from the Islamic Armed Forces in Tasikmalaya attacked the Indonesian Army’s headquarter there,” Citrik’s father told his sister bitterly. “No one expected the mob to attack our village. That mob leader, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, wants West Java to become the Islamic State of Indonesia. According to him, the current government is allowing the Dutch to maintain control and therefore he is planning an insurgence.”

When the Indonesian Army came too close, the Islamic Armed Forces mob retreated to the forest. Because the mob needed a large supply of food to survive while hiding in the forest, they demanded that each village household leave rice and other food items on the porch before they abandoned their villages. They destroyed the houses of those who did not comply.

After having lived for so many years in the Bandung Regency with Citrik and her mother, Citrik’s father’s days back in his home village were filled with grieving his wife’s death.

Soon, he began talking to himself, and neighbors started whispering about “the crazy man.” Then, one morning, Uwa Enok found her brother, after living less than two years in Cihanjuang, lying cold on his bed. He had died in his sleep.

Grief made Citrik grow into a quiet, lonely girl.

***

Citrik’s slender fingers placed three sticks of firewood, one by one, into the hawu hole. She pressed her thin lips against a short piece of bamboo and gently blew air onto the coals until they flamed. Citrik wondered where Uwa Enok was that morning. Even though Uwa Enok rarely spoke, Citrik felt safer when her aunt was around.

Citrik lifted the langseng and placed it on the hawu. The large copper pot was used to boil water, but it was also used as a water pan for steaming. The golden yellow pot looked like an upside-down magician’s hat. Cooking, Citrik thought was just like performing a magic show.

It was Uwa Enok who had introduced Citrik to the adventure of cooking. In Cihanjuang, Uwa Enok was known as a skilled cook. The village elders always praised her culinary talent. Uwa Enok said that cooking was an important skill for Cihanjuang women to possess, not only because well-prepared food brought joy to their family, but also because it was an expression of gratitude for nature’s gifts.

Uwa Enok taught Citrik many things. While living in Bandung, Citrik had assumed she would go to school like the other children. But that notion disappeared when she and her father arrived in Cihanjuang, which had no schools.

“Nature is our best teacher,” Uwa Enok had advised Citrik, while showing her ngahuma, farming rice by intercropping. Rice was planted next to corn and bananas to fertilize the soil, resulting in a more abundant harvest. The ngahuma was an important tradition that reminded humans of their humble origins and to respect nature as the source of life. Thus, children in Cihanjuang learned the meaning of patience and courage through farming.

A loud knock on the kitchen door startled Citrik from her daydream. She whirled around as the door flung open with a loud bang.

Bi Nenden rushed in, her placid face contorted with outrage. “You think you can steal my husband because you’re younger?” shouted Mang Dayat’s wife.

Stunned, Citrik began to tremble.

“Shameless bitch!” Bi Nenden grabbed Citrik’s arm and shoved her hard.

“Nenden!” Shouted a voice from outside. Uwa Enok walked through the door. “Saur kudu dibubut!” she said, standing protectively in front of Citrik. “This is my house. You must be respectful!” Uwa Enok’s lips moved, as if chanting silently, and the air in the kitchen turned damp. “I don’t want Citrik to be your husband’s wife, either,” she said.

The fury in Bi Nenden’s eyes dissolved into a blank stare. She started to cry. “Hampura, forgive me,” Bi Nenden moaned as she slumped into a squat on the earthen floor. “If only you knew how tired I am of dealing with a husband who’s blinded by lust.”

“Where did your husband learn hypnotism?” Uwa Enok asked, looking intently at Bi Nenden.

“He learned it from someone in the southern part of Java,” Bi Nenden answered softly between tears. “That knowledge destroyed my husband.”

Uwa Enok took a glass from the bamboo rack and filled it with water from a clay jug. She blew her support on the glass before handing it to Bi Nenden, who emptied it immediately.

Uwa Enok squatted on the floor next to Bi Nenden. “Let’s go to the waterfall to ask Nyi Mas Hanjuang for advice,” she whispered encouragingly. The Nyi Mas Hanjuang waterfall was a sacred place on the other side of a sacred forest on the mountain ridge. Uwa Enok often went there to pray. The old woman looked into Bi Nenden’s eyes, nodded, and tilted her head toward the door. The two women rose and slowly walked out of the kitchen.

Watching the two women’s backs as they walked away, Citrik’s heartbeat quickened.

***

It was already dark, but Uwa Enok and Bi Nenden had not returned home from their visit to the Nyi Mas Hanjuang waterfall. Even though Citrik knew that Uwa Enok was accustomed to visiting the waterfall, she still worried.

Looking at the ulukutek leunca she had cooked earlier that morning, Citrik wondered if Uwa Enok had eaten yet. The traditional Sundanese salad was her aunt’s favorite dish. It was made from oncom, fermented tempeh, and fruit and leaves of leunca, black nightshade, a flowering plant that grew in West Java.

Citrik decided to lie down while waiting for her aunt’s return. Unable to stay awake, the girl finally fell asleep.

***

Midnight came, and Citrik was still fast asleep on her bed. The light of the oil lamp cast a shadow of her curved hip against the wall. A gecko’s deep, throaty call woke Citrik. The girl looked for Uwa Enok next to her, but she was alone on the bed. Why is Uwa Enok not home yet? Citrik grew more worried. It was quite a long walk to the Nyi Mas Hanjuang waterfall.

Citrik thought about another midnight, one year ago, when she had prayed for her first time at the Nyi Mas Hanjuang waterfall. Citrik had just completed her first menstrual cycle, and now that she had become a woman, Uwa Enok told her it was time to learn the special prayers.

To get to the Nyi Mas Hanjuang waterfall, they had to travel through an enchanted forest on a mountain ridge protected by traditional law. The area could not be used for farming, and no trees could be cut without permission from the village elders. “We must walk barefooted, and we are not allowed to speak,” Uwa Enok had explained to Citrik before they entered.

That night, accompanied by the lively chirping of crickets, Uwa Enok and Citrik walked barefoot through the sacred forest. Citrik walked behind Uwa Enok, who carried a torch.

Citrik still remembered how cold her feet were as she stepped across the damp ground. Her warm clothes and heavy kebaya, long-sleeved blouse, had not been enough to protect her from the cold mountain wind that pierced her to the core. But although she was tired and cold, Citrik knew better than to complain. She knew her aunt’s character well. Unlike herself, who was always compliant, Uwa Enok became angry when she didn’t get her way.

It was almost midnight when they arrived at the Nyi Mas Hanjuang waterfall. The water broke out of a steep cliff. The light from Uwa Enok’s torch illuminated the large steep rocks around it. Citrik could hear the roar of cascading water, which told her that the feeder stream was heavy, and the waterfall was high.

Uwa Enok bowed and sat down on a flat rock. Citrik silently unfastened the sarong sling that held their offerings. She took the small bowl filled with a roasted whole chicken, a young coconut, and a handful of cananga flowers, and arranged everything neatly on the rock.

Uwa Enok lit incense. Then, seated cross-legged, they began to pray. The only sound came from the rushing water. Citrik sank deeper into her meditation as the falling water misted her face and body. The scent of the incense filled Citrik’s nostrils. Her thoughts drifted as her mind followed the cadence of the mantra she recited.

“I accept your offering.” A soft female voice interrupted Citrik’s silent chanting. The voice was clear and its tone unassuming.

“I have done everything you asked for.” Citrik heard Uwa Enok’s voice.

“It’s in your hands,” answered the soft female voice.

Uwa Enok clasped her hands above her head. She held them there for a moment before bringing them down to her lap with one swift movement. When she opened her hands, she held a thin piece of metal the length of her palm. Uwa Enok bowed and expressed her gratitude.

“This kris is entrusted to you,” said the soft female voice. “Use it to maintain harmony between humans and their natural environment.”

Uwa Enok again thanked the spirit. She touched Citrik’s arm, motioning that they were leaving. The journey back home was not as laborious as their trip to the waterfall. They arrived at the village as dawn crawled up the back of Mount Cimentang.

Citrik’s mind wandered as she remembered that first visit. Soon, she fell asleep again.

***

The early morning mist still veiled Cihanjuang when Uwa Enok opened the kitchen door. The old woman entered slowly. Perspiration dampened her forehead. Though exhausted, she smiled looking at her niece, fast asleep on the bamboo cot. Uwa Enok pulled up the blanket that had rolled down to Citrik’s feet and covered the girl. She gently stroked Citrik’s head before lying down beside her.

Thursday nights were sacred nights in the Cihanjuang village, and Citrik prepared the offerings in the kitchen as usual. Four boiled eggs, a cup of black coffee, five rose buds, a handful of cananga flowers, a young green coconut, and a hand of lady-finger bananas.

She placed the offerings in the corner of the room next to the hawu.

Uwa Enok lit the incense. She reached inside her camisole and took out the Nyi Mas Hanjuang kris, wrapped in white cloth. She slowly unwrapped the kris and placed it carefully among the other offerings. The scent of incense spiraled up to the kitchen ceiling, its smoke mingling with that of the kitchen fire.

Citrik sat cross-legged next to Uwa Enok. Placing their palms on their thighs, they bowed toward the offerings.

Uwa Enok began to whisper a chant in Sundanese.

Hanjuang beureum héjo,

Hanjuang is red and green,

Hanjuang nu ngaleupaskeun,

Hanjuang frees those in bondage,

Ti kiwa tengen luhung mancur,

Hanjuang brings knowledge,

Poek mongkleng sateuacan isuk,

During the dark hours before the break of dawn.

“Uwa, is the mantra different from the one we usually chant on Thursday nights?” Citrik asked.

“It is the way Nyi Mas Hanjuang ordered it,” Uwa Enok answered, without looking at Citrik.

Sensing that now was not a good time to question her aunt any further, Citrik closed her eyes and began to follow Uwa Enok’s chanting. A few moments later, the temperature in the kitchen rose — it became very hot. As she recited the mantra, Citrik fell under its spell. The night was growing older and a cold fog shrouded Cihanjuang. Throughout the night, the cananga fragrance lingered in the kitchen.

***

The rising sun peeked out from behind Mount Cimentang. Citrik looked beautiful, dressed in a white kebaya and green sarong. She waited for Uwa Enok to get ready.

The room’s door curtain parted, and the fragrance of cananga filled Citrik’s nostrils again. Uwa Enok wore her usual white kebaya, but she looked different — she looked elegant. Her hair was tied in a bun on top of her head, and her wrinkled skin was radiant. Uwa Enok smiled and asked Citrik to follow her.

Carrying a bowl of apem, steamed cakes made of palm sugar and rice flour, Citrik walked behind Uwa Enok. Worried that she would drop the bowl, Citrik held it tightly against her chest. Every so often, Citrik moved next to Uwa Enok to glance at the older woman’s face.

At the Bale Saresehan, many people had already arrived to pray. All eyes were on Uwa Enok as she entered the hall with her chin raised. Her high bun accentuated her cheekbones.

At the end of the hall, a batik cloth patterned with green and red leaves covered a body lying on a pandan mat. Earlier that morning, a village elder had beaten the bamboo drum and announced Mang Dayat’s death to the villagers. Mang Dayat had died in his sleep. His body was already stiff when the first light of dawn broke through the horizon.

Bi Nenden sat next to the body, staring at the floor.

Citrik placed the bowl of cakes with the other offerings near the shrouded body, then sat down next to Uwa Enok. The pandan’s fragrance mixed with the cananga scent from Uwa Enok’s skin. The karinding music tapered off. Soon, the funeral prayer would begin. Citrik glanced at Uwa Enok.

Uwa Enok was looking at Bi Nenden.

Bi Nenden raised her head slowly, and the two women looked at each other.

Uwa Enok nodded briefly.

Stunned, Citrik saw the two women exchange faint smiles.

The foliage of the hanjuang trees around the Bale Saresehan swayed in the wind.

Death usually invites grief and mourning — but not this time.

 

*****

 

 

 

 

 

.

Kunjungan Pensosbud KJRI SF

Di pagi hari Selasa, 8 Maret 2022 lalu kami mendapat kunjungan kehormatan dari Konsul Penerangan, Sosial dan Budaya (Pensosbud) KJRI San Francisco, Bapak Mahmudin Nur Al-Gozali. Kehadiran Konsul Pensosbud yang akrab dipanggil Pak Deden ini sehubungan dengan undangan tatap muka yang kami layangkan.

Di kediaman Ibu Lian Gouw yang menjadi tempat tinggal sekaligus kantor Dalang Publishing, Pak Deden, Ibu Lian dan Pak Gemah berbincang akrab mengenai banyak hal yang dapat dikerjakan bersama untuk mencapai tujuan memperkenalkan sastra Indonesia di Amerika.

Dalam pertemuan hangat itu Dalang Publishing menjelaskan tentang keberadaan kami sebagai satu-satunya penerbit karya sastra Indonesia di Amerika yang khusus  menerbitkan buku-buku mengenai sejarah, budaya, dan kemasyarakatan di Indonesia.

Dalang Publishing juga selalu mengedapankan karya sastra anak bangsa dengan melibatkan pelaku sastra dalam setiap penerbitan buku seperti penulis, penerjemah, sampai dengan pencipta sampul yang semuanya berasal dari tanah air, dengan harapan akan semakin menonjolkan ciri ke-Indonesiaan sehingga mampu memupuk rasa bangga dan cinta terhadap karya sastra kita sendiri yang akhirnya akan mengarah pada pelestarian bahasa kita, bahasa Indonesia.

Dalang Publishing dengan sepenuh perhatian akan membantu, membimbing dan mengarahkan penulis, penerjemah dan para pelaku sastra Indonesia agar karyanya dapat layak diterima oleh pembaca Amerika.

Semoga dengan adanya pertemuan ini kami dapat menyatukan kesepahaman untuk menjadikan Dalang Publishing sebagai sebuah wadah dan sarana yang akan menjembatani pemerintah dalam memperkenalkan budaya, sejarah dan masyarakat Indonesia melalui sastra terbitannya.

****

Jejak

Wina Bojonegoro, penerima Anugerah Sabda Budaya Sastra 2018 dari Universitas Brawijaya, Penghargaan Beritajaim.com 2021. Menulis cerpen sejak 1988 ditayangkan di berbagai media nasional.

Karyanya juga terbit di puluhan buku antologi. Pada bulan Maret 2021, dia mendirikan Perempuan Penulis Padma untuk menampung para penulis lulusan sekolah menulis Padmedia, dan penulis perempuan lainnya. Lembaga itu telah berbadan hukum dan saat ini memiliki 83 anggota. Wina tinggal di Omah Padma – di Pasuruan. Dia dapat dihubungi melalui surel : wina.bojonegoro@gmail.com dan tentang dia dapat disimak di www.winabojonegoro.com

 

Jejak

 

Lelaki yang rambutnya memutih itu duduk di teras samping rumahnya, menatap pohon mangga lalijiwo yang tengah menunggu musim panen tiba. Seharusnya Wibowo bahagia, seperti musim-musim sebelumnya. Tetapi kali ini, ada sesuatu yang meruyak pikirannya.

“Aku telah gagal,” gumamnya seraya menghela napas panjang seolah dia hendak membuang segenap benih kekacauan.

“Kita tidak gagal.” Suara istrinya menelikung dari arah samping, melalui kembara hening yang menggenggam sore itu. “Dia berhasil menyelesaikan pendidikan strata dua di Jerman dengan beasiswa. Sekarang telah bekerja sebagai peneliti pada lembaga besar dengan gaji yang bagus. Kita tidak sia-sia mendidiknya.”

Wibowo menoleh ke samping. Di kursi yang sejajar dengan dirinya duduk Respati Rahayu, yang telah dinikahi lebih dari tiga puluh lima tahun. Selama ini perempuan itulah yang mendukungnya untuk menentukan apapun. Pilihan hidup, membangun rumah, bahkan memilih calon menantu di antara sekian lelaki yang disodorkan anak semata wayang mereka.

“Kurasa kita selama ini sepakat, bahwa keberhasilan orang tua dalam mendidik anak bukan sekedar ditandai pada pendidikan tinggi.” Wibowo ingin berpidato panjang lebar, tetapi melihat isterinya menyuguhkan teh serai kesukaannya, dia menelan ludah, lalu membuang nafas lagi. Direguknya teh serai wangi yang selalu menjadi teman mereka berbincang di sore hari. Irisan jahe dalam campuran serai menerbitkan pedas hangat di tenggorokannya. Kosarasa yang selalu dikenang saat mereka berjauhan, teh serai dengan irisan jahe buatan Respati Rahayu.

“Sementara orang lain tidak tahu harus bagaimana menangani pendidikan anaknya, kita berhasil menanamkan nilai, bahwa sekolah dengan beasiswa itu sebuah kehormatan.” Sang istri memulai lagi. “Kita tak perlu menyuap agar anak kita mendapatkan pendidikan baik. Mulai SD sampai S2 dia selalu masuk sekolah terbaik. Palupi tumbuh menjadi anak mandiri, tanpa merepotkan kita. Ini pencapaian kita sebagai orang tua.”

“Keberhasilan orang tua, yang paling penting adalah menanamkan nilai-nilai kebangsaan,” ujar Wibowo sembari menggenggamkan tangan. “Pendidikan memang sangat penting; tetapi menanamkan nilai kebangsaan, itulah dasar dari semua sikap dan perilaku.”

Respati Rahayu menoleh kepada suaminya dengan mata memicing. “Jadi anak kita tidak punya wawasan kebangsaan?” Suaranya meninggi. “Kurang apa? Dia hapal pancasila. Punya bendera di lemari yang siap dikibarkan kapan saja, hapal lagu Indonesia Raya.” Mata Respati yang biasanya lembut, kali ini terlihat nyalang. “Malah kita punya seperangkat gamelan yang masih dimainkan. Kita menggunakan bahasa Jawa dan bahasa negara dalam perbincangan sehari-hari. Anak kita juga….”

“Bagaimana bisa kamu bilang anakmu itu berkebangsaan?” Wibowo menyela. “Mencari nama buat calon anaknya saja impor. Apa tidak ada nama Indonesia atau Jawa yang indah dan gagah?” wajah Wibowo yang sudah tegang sejak semula, menjadi kian kencang. Lelaki Jawa yang bersikeras membangun joglo di bagian depan rumah induk itu terlihat sangat masgul.

Nama Wibowo Besari yang disandangnya adalah pesan leluhur yang berarti: lelaki berwibawa, digdaya tanpa menyakiti, besar tetapi tidak jumawa, mengayomi tanpa merendahkan. Nama itu serupa titah sang romo yang pernah menjabat sebagai camat di kawasan Tejowangi ini.

Wong Jowo ojo nganti ilang Jawane. Jadi orang Jawa jangan sampai hilang jati dirinya.” Ucapan ayah Wibowo Besari itu, dijadikan pegangan dalam menjalani hidup. Sebab demikianlah takdir telah disematkan atas dirinya sebagai wong Jowo, maka dibuatlah rumah joglo, pendopo seni, sebagai ciri kejawaan dan membeli seperangkat gamelan slendro dan pelog. Lalu, dia mengajak para tetangga memainkannya. Sesekali jika rejeki membaik, keluarga ini mengundang tetangga untuk kenduri di rumah joglo itu. Nasi tumpeng dengan ayam ingkung, ayam panggang dalam keseluruhannya, menjadi hidangan wajib yang disuguhkan.

***

Terngiang di kotak ingatan Respati perselisihan lama antara dirinya dan sang suami. “Palupi Retnaningrum Hapsari itu kepanjangan. Cukup dua nama seperti kita. Wibowo Besari. Respati Rahayu.” Keluh Respati sembari mengelus perutnya yang membuncit.

“Diajeng tahu artinya tiga nama itu?” Tanya Wibowo muda dengan senyum menggoda.

“Ya tahulah. ‘Palupi’ artinya teladan. ‘Hapsari’ artinya permata yang bersinar. Sek sek… ‘Retnaningrum’ artinya apa ya Mas?”

“Retnaningrum artinya kepribadian yang luwes dan welas asih. Jadi harapanku anak ini kelak menjadi pribadi yang welas asih, berhati mulia, menjadi teladan bagi orang-orang di sekelilingnya.” Sepasang mata Wibowo muda berkilau.

“Itu kalau anak kita perempuan. Lha, kalau lelaki?” Respati melirik tajam ke arah suaminya.

“Dia akan kuberi nama Jagad Reksaning Bawono. Tetapi kata bu bidan, anak kita perempuan.” Wibowo tersenyum lebar, tanda kemenangan.

Saat itulah Respati paham bahwa nama dalam tatanan kemasyarakatan Jawa memiliki aturan tak tertulis. Satu nama menandakan keluarga itu dari golongan petani atau pekerja tingkat bawah. Dua nama biasa digunakan dalam keluarga pegawai pemerintahan, guru atau pedagang. Tiga nama lazim digunakan keluarga ningrat atau pejabat tinggi. Namun, saat ini penggolongan itu tidak lagi menjadi pakem. Meski begitu, Wibowo memiliki pendirian: menggunakan nama Jawa pada anak cucunya adalah wajib, agar darah yang mengalir di tubuh mereka terpantulkan dari nama yang disematkan.

***

Kabar saat Palupi mengandung anak pertama, tentu menjadi sebuah cahaya bagi pasangan yang terlambat memiliki cucu. Hasil pemeriksaan USG mengabarkan anak dalam kandungan Palupi adalah perempuan. Wibowo mulai menderas nama berminggu-minggu, hingga suatu hari dia tampak tersenyum simpul di rumah joglo.

“Aku telah menemukan nama yang tepat buat cucu kita,” katanya pada Respati yang menyusul duduk di kursi rotan jengki. “Maharani Mahisa Suramardini.” Dengan pengucapan patah-patah dan suara didengung-dengungkan, Wibowo mengucapkan nama itu disertai wajah puas.

Respati mendelik.

“Kenapa? Hebat kan?” tanya sang suami.

Respati menggeleng. “Orang Jawa kalau keberatan nama bisa sakit-sakitan.”

“Tunggu dulu.” Wibowo melanjutkan dengan mata berbinar-binar, “Maharani Mahisa Suramardini adalah gelar Ratu Sima, raja Kalingga yang masyhur. Dia bukan saja ratu yang adil dan bisa menerima perbedaan agama, namun juga cantik jelita. Budi pekertinya luhur, sehingga dicintai kaum jelata, disegani golongan kelas atas.”

“Tapi kita ini bukan golongan atasan, Pak. Apalagi trah raja atau ratu. Kita cuma pensiunan pegawai negeri. Kebetulan saja mertuaku pensiunan camat. Masa iya memberi nama cucu seberat itu?” tangkis Respati dengan pikiran ruwet. Setelah diam sejenak, dia berkata, “Mengeja namanya saja susah. Bagiku nama Ningsih, Endang, Wati, itu jauh lebih mudah dan indah.”

Wibowo tersenyum lebar, “Sudah kurenungkan berminggu-minggu. Kucarikan padanan dan perbandingan, lihat itu di buku catatanku. Ada berapa ratus nama dengan artinya?” Wibowo meraih buku catatan bersampul biru di atas meja kecil, mengacungkannya pada Respati sambil berkata, “Ini perjuangan tak mudah untuk menemukan nama yang tepat buat cucu pertama kita. Sebagai kakek, aku ingin turut andil dalam melestarikan nama, tanda kecintaan kita pada leluhur.”

Respati hanya bisa mengangkat pundak. Darahnya pun Jawa tulen, seluruh urutan garis leluhurnya adalah Jawa. Namun dalam melakoninya sehari-hari, suaminya jauh lebih Jawa dari dirinya.

Wibowo memegang teguh falsafah Memayu Hayuning Bawana yang memiliki makna menjunjung tinggi kemanfaatan diri bagi dunia dan isinya. Barang siapa berbuat kebaikan, dia akan selamat dunia akhirat. Salah satu wujudnya adalah, menolak pagar beton atau besi. Dia menggantinya dengan pagar pohon beluntas, yang ditanam rapat mengelilingi batas halaman sebagai kesadaran hidup bertetangga yang saling menghidupi. Beluntas itu menjadi sayuran yang boleh diambil siapa saja sebagai bahan urap-urap atau pecel.

Merasa telah menemukan wangsit nan jitu, Wibowo menelpon Palupi dengan gegap gempita. “Maharani Mahisa Suramardini. Ini nama yang luar biasa, Ndhuk. Jejak kita sebagai wong Jowo akan terekam dalam nama anakmu. Kelak ketika dia dewasa, orang-orang luar sana akan mengenal anakmu sebagai orang Jawa. Jangan lupa, jika ada yang bertanya, kakeknya yang memberi nama!” calon kakek itu tertawa riang.

“Romo…,” suara Palupi mengandung keengganan, dari nadanya dia terdengar ingin melawan.

“Bagaimana? Bagus kan nama pilihan Romo?” Nada bangga Wibowo masih tergambar.

“Tapi Romo, maaf, kami telah menemukan nama buat bayi kami.”

Jawaban Palupi itu seketika mencegah Wibowo untuk berkata selanjutnya. Raut wajahnya mendadak kaku dan pasi. Dia menatap istrinya, yang juga tengah menatapnya.

Kekecewaan mewarnai mata sang calon kakek.

“Lalu siapa nama yang akan kau berikan pada anakmu?” Respati tampak mencoba mencairkan ketegangan yang mendadak hadir di antara dua pihak.

“Alexa Caroline Andromeda,” jawab Palupi kembali riang, seakan dia telah menemukan gugusan bintang di langit yang mudah diraih dengan kedua lengannya.

“Artinya?” tanya sang ibu lagi.

“Alexa itu bahasa Yunani, artinya perempuan pembela manusia. Caroline artinya tangguh dan mengagumkan. Andromeda adalah nama gugusan bintang di alam semesta yang sangat luas, jauh lebih besar dari Bimasakti.”

“Kenapa harus pakai bahasa Yunani? Tidak adakah nama asli Indonesia atau Jawa yang cukup memadai sebagai pengganti anak perempuan hebat?” Sesungguhnya ini kalimat Wibowo. Respati mencoba mengutipnya.

“Anu Bu, sudah terlanjur.” Suara Palupi terdengar gamang.

“Terlanjur bagaimana? Wong anak belum lahir kok.” Sekarang Respati yang mulai merasa masgul. Dia tak ingin anaknya salah menyikapi bayinya, sesuatu yang sangat dilarang dalam budaya Jawa.

“Sudah memesan pakaian bayi, keranjang tidur, dan lukisan dinding kamar tidur dengan nama itu.” Nada suaranya menurun, seakan menyesal telah menyampaikan.

“Kamu kok lancang tho, Nduk?” Wibowo menyela. “Kamu jangan nggege mongso – mendahului kehendak Tuhan. Jangan membeli perlengkapan bayi sebelum upacara tingkeban yang diadakan saat kandungan berusia tujuh bulan agar kamu dan bayimu sehat dan persalinannya lancar. Keheningan hadir setelah kalimat itu terlontar.

“Palupi, kamu tahu kenapa huruf ha na ca ra ka itu nyaris lenyap?” tiba-tiba sang ayah mendesak.

Palupi terdiam.

Respati membasuh wajah dengan kedua tangan, menyadari kegentingan akan panjang.

“Sepertinya anak-anak muda sudah tidak ngajeni leluhurnya.” Wibowo berhenti sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara meninggi, “Kenapa nama saja harus impor? Nama seharusnya digunakan untuk menjaga nilai kedirian, agar anak-anak muda tak lupa akar leluhurnya.” Wibowo menunggu tanggapan Palupi. Ketika tidak juga muncul, dia menyerang, “Mestinya kalian malu sama orang Jepang. Mereka maju. Mengikuti jaman, tetapi perilakunya tetap Jepang. Budaya mereka abadi. Hurup kanji dipakai sampai sekarang.” Wibowo berhenti terengah-engah sebelum menyambung dengan tegas, “Nama mereka pun tetap Jepang.”

Palupi tetap membeku.

Dengan berusaha menerobos keheningan, Wibowo mengakhiri dengan berteriak, “Kamu apa? Jawa? Indonesia? Bule bangsa apa?”

***

Sejak hari itu, Wibowo enggan berbicara dengan Palupi, anak perempuan yang dulu sangat dipujanya. Dia lupa, Palupi pernah menjadi bahan pembicaraan di pertemuan apapun, dengan siapapun.

Respati, sebagaimana seorang ibu, selalu berusaha menjadi jembatan dalam hubungan antara ayah dan anak yang membeku sejak persoalan nama itu mencuat.

“Ndhuk, apakah kamu tak ingin menyapa romomu lebih dulu?” Sang calon nenek menelpon tanpa sepengetahuan suaminya.

Palupi mendesah.

Embusan napasnya terdengar oleh Respati yang meneruskan dengan desakan, “Apa sulitnya menerima usulan nama romo?” Pertanyaannya hanya disambut dengan jeda panjang.

Kemudian Palupi berkata, “Bu, Palupi memang orang Jawa. Itu darah yang mengalir di tubuh saya tak dapat disangkal. Namun, sebagai seseorang, saya berhak memberi nama anak saya sesuai dengan selera. Seperti Romo dulu juga memberi nama Palupi sesuai dengan keinginan Romo dan Ibu.”

“Boleh. Tetapi yang tidak disukai romo adalah nama impor itu. Gunakan nama Jawa atau Indonesia yang mampu menjadi jati diri leluhurmu.” Dada Respati penuh, tetapi ditahannya kuat-kuat. Sebagai ibu, dia tidak pernah mengalami perselisihan seruncing ini dengan anaknya. “Seandainya kamu tahu, bagaimana romo berjuang menderas nama buat cucu pertamanya, kamu akan bangga ditakdirkan lahir dari benihnya.”

“Saya mengerti. Tetapi saya harus menghormati suami saya. Dia punya hak memberi nama pada darah dagingnya.”

Bendungan yang menahan beban akhirnya meluber. Pelan-pelan air mata bergulir di pipi Respati yang telah kehilangan kemulusannya. Matanya kelabu. Benar, dia tak salah mendidik Palupi. Tetapi sungguh, dia tak menyangka akan sekokoh ini sikapnya. “Apakah kamu sudah bicara dengan suamimu soal nama itu?” suara parau meluncur dari tenggorokan Respati.

“Belum. Seperti Ibu menghormati sikap Romo, saya pun menghormati suami. Bukankah itu yang Ibu ajarkan? Saya menunggu waktu yang tepat untuk membahas soal nama Jawa dengan Bang Syarif. Pada saat itu baru saya akan usulkan.”

Hening menjaga jarak di antara ibu-anak.

“Ibu berharap suamimu mengerti.” Respati merendahkan suaranya. “Nama yang kita sematkan untuk anak kita adalah upaya melestarikan jati diri. Kelak mereka pasti akan menelusuri jejak budaya dan leluhurnya, setidaknya dimulai dari bertanya arti namanya,”

Respati merasa menemukan kalimat yang tepat. “Ciri khas daerah dalam nama itu akan selalu dibawa oleh si anak ke mana pun dia pergi, dan menjadi ciri khas di negeri manapun, dia akan dikenali sebagai anak Indonesia, khususnya Jawa.”

Palupi tahu, ketika ibunya telah berbicara dalam nada rendah, itu adalah perasaan penting yang keluar dari hati. Dia tidak menyela ketika ibunya melanjutkan, “Tetapi meski terlahir sebagai wong Jawa, kami tak ingin menjadi kolot. Masih ingat? Ketika kamu menyodorkan calon suami, pertanyaan romo waktu itu bukan kenapa bukan orang Jawa? Apakah sudah punya rumah? Dari keluarga apa? Tidak kan? Pertanyaan Romo hanya satu: apakah dia menjunjung tinggi kehormatanmu sebagai perempuan?

Terdengar isak kecil dari seberang.

Respati menahan diri agar tak larut dalam suasana. Dia menyadari, dalam dunia yang serba cepat dan tanpa batas saat ini, menjaga jejak kebangsaan melalui nama amatlah muskil. Nama berbau dunia luar seringkali lebih terlihat kekinian. Menjaga nama-nama Jawa tetap digunakan bagaikan menegakkan benang basah.

***

Makan malam yang seharusnya sederhana dan riang sebagaimana tiga tahun berjalan, tidak lagi malam ini. Palupi terlihat menahan gelombang di dadanya. Sementara Syarif Hidayatullah, sang suami, mengunyah makanan lambat-lambat seperti tak ada rasa dalam masakan itu. Suara televisi menyiarkan berita banjir di sana sini, membuat Palupi semakin tegang. Dia mematikan TV.

Lelaki campuran Bugis – Palembang yang meminang Palupi dengan seperangkat alat sholat dan perhiasan emas itu menyudahi makan malam dalam diam. Dia meneguk air putih lalu berdiri, tak ingin melanjutkan perbincangan yang sudah dimulai oleh Palupi sejak mereka duduk di ruang makan itu.

“Tunggu, Bang. Kita belum selesai,” sergah Palupi.

Syarif kembali duduk dengan enggan, jemarinya memain-mainkan gelas yang telah kosong.

“Kumohon Abang bisa menerima ini. Soal nama anak kita, dan soal upacara tingkeban yang diminta Ibu.” Suara lembut Palupi terdengar seperti rayuan.

Syarif menatap isterinya dalam-dalam. Isi kepalanya mengatakan tak ingin membahas soal nama anak, baginya itu harga mati. Orang tua berhak memberi nama anak masing-masing tanpa campur tangan siapapun.

“Memang tidak menyenangkan hidup sebagai anak tunggal.” Suara Palupi berubah menjadi tegas. “Ada kewajiban secara tidak tertulis untuk meneruskan adat, dan leluhur. Aku sudah berusaha menolak mereka soal nama dan tingkeban, tapi hasilnya aku bertengkar dengan Romo dan Ibu – sesuatu yang tidak pernah terjadi seumur hidupku.” Palupi tertunduk, air mata bergulir di sepasang pipinya.

Syarif menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil sikunya bertelekan pada meja. Ada selembar rasa bersalah melintas di hatinya. Tetapi sisi lain menolak. “Bukankah setiap anak perempuan yang diserahkan kepada mempelai pria saat akad nikah, menjadi hak sepenuhnya sang suami?” suara Syarif pelan dan datar, tetapi Palupi menyahut dengan cepat.

“Suami memberi mahar pada isteri bukan berarti membeli.” Kalimat itu terdengar garang di telinga Syarif, perempuan ini seperti bukan Palupi yang biasanya. “Murah sekali jika seorang lelaki membeli perempuan dengan seperangkat alat sholat, lalu dia berhak sepenuhnya atas perempuan itu.” Palupi menatap tajam mata suaminya yang hitam kelam.

“Berapa biaya yang dikeluarkan lelaki untuk mendapatkan seorang perempuan dalam keadaan terbaik mereka? Lalu bandingkan dengan berapa biaya orang tua merawat anak perempuan itu sejak dia dalam kandungan, hingga usia pantas menikah. Berapa nilai modal yang ditanam?”

Kata-kata yang sudah tersimpan di mulut Syarif raib.

“Aku menyerahkan diriku padamu, suamiku, karena aku mencintaimu.” Berbaris-baris kalimat telah siap dilontarkan oleh Palupi, tetapi dia menjaga martabat suaminya.

Syarif terlihat makin membeku.

“Setelah seluruh cinta mereka tumpah ruah demi anaknya semata wayang, agar aku menjadi perempuan berpendidikan dan berbudi pekerti baik, sehat jasmani dan rohani, aku menyerahkan diri sepenuhnya untukmu secara suka rela. Sekarang, sulitkah bagimu menerima nama hadiah dari orang tuaku karena semata kau ayah bayi ini?”

Syarif melihat sepasang mata istrinya berkilat. Selama tiga tahun pernikahannya, Palupi tidak pernah bicara berapi-api seperti malam ini.

“Baiklah.” Akhirnya Syarif merendah. “Nama bayi pertama boleh memakai hadiah dari romo. Tetapi soal tingkeban, itu tidak ada dalam ajaran agama kita.”

Palupi berdiri gesit, tubuhnya terlihat tegap meskipun dalam keadaan hamil menjelang tujuh bulan. “Adat dan agama dua hal yang tak bisa menyatu, Bang. Mereka berjalan beriringan seperti rel kereta untuk mencapai satu tujuan, kerukunan.” Palupi meninggalkan Syarif sendirian di ruang makan dan berjalan cepat-cepat menuju kamar untuk menelpon ibunya.

***

Kyai Brajadenta, gamelan milik keluarga Wibowo, siang itu mengalun lembut di rumah joglo Wibowo. Gamelan yang ditabuh oleh sebelas lelaki dan beberapa perempuan tetangga itu menampakkan sisi terbaik dari sebuah pasugatan, jamuan untuk tamu-tamu yang dihormati. Suasana ramah dan penuh canda memenuhi joglo dan rumah induk yang rimbun oleh pepohonan. Orang-orang yang belum tentu setahun sekali berjumpa, hari ini berkumpul dalam suasana semarak.

Semalam telah dilakukan pengajian untuk mendoakan sang ibu dan janin dengan sajian makanan langka, tujuh buah tumpeng ditambah jajanan pasar, ketan kolak, pisang raja. Sekarang saatnya rangkaian upacara lengkap yang dimulai dengan siraman.

Sebuah sudut telah disiapkan dengan hiasan aneka kembang dan jambangan berisi air dari tujuh sumber dan bunga tujuh rupa: mawar, melati, kenanga, gading, sedap malam, kemuning, pacar banyu. Palupi dengan riasan sederhana dan kemben jumputan merah hati, menggunakan hiasan melati ronce menutupi pundak dan dadanya. Dia duduk di sebuah kursi kayu, siap memulai upacara siraman oleh para tetua termasuk keluarga besan yang jauh-jauh datang dari Makassar.

Syarif tak henti menebar senyum. Keluarga besar di Makassar ternyata menyambut baik upacara adat tingkeban ini. Para perempuan justru sangat senang dan sukarela mengenakan kebaya dan jarit, sedangkan para lelaki menggunakan blangkon dan beskap. Segala keriuhan itu menjadi sebuah tontonan menarik di mata adik bungsu Syarif, yang mengabadikan semuanya untuk santapan youtube.

*****

Traces

Alvin Steviro dibesarkan di sebuah keluarga Kristen beraliran Injili, masa remajanya diisi dengan ketertarikan terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan filsafat barat. Pada tahun 2011, dia mengambil program S1 dengan jurusan Sastra Inggris. Setelah itu, dia mengambil program S2 Studi Kultural dan lulus di tahun 2019.

Walaupun tertarik dengan persoalan kemasyarakatan, politik, dan kebudayaan, takdir telah membawanya ke sisi-sisi yang lebih mudah berguna dalam hidup. Sekarang dia sedang bekerja sebagai penulis halaman daring serta penerjemah lepas.

 

 

Traces

 

The man with greying hair sat on the side porch of his house, looking at a lalijiwa mango tree, laden with fruit ready to harvest. Wibowo should’ve felt as happy as he had the seasons before, but this year, something disturbed him terribly. “I have failed,” he murmured and sighed deeply, wishing to rid himself of the unrest.

“No, we haven’t.” His wife’s voice rose from alongside him, breaking through the stifling silence of the afternoon. “She finished her master’s study in Germany with a scholarship. Now she’s working as a researcher at a big institution, earning good pay. We didn’t raise her in vain.”

Wibowo looked at Respati Rahayu, his wife of more than thirty-five years. During all those years, this woman had supported his decisions on everything: from life choices to decisions regarding the construction of their new home and even selecting a son-in-law from the many candidates their only child introduced to them. “I thought we agreed that the parents’ success in educating their child is not measured by how educated the child turns out to be.”

Wibowo was about to embark on a long lecture, but when his wife offered him his favorite lemongrass tea, he merely swallowed and sighed once more. He then took a sip of the fragrant tea, their ever-faithful companion during their afternoon talks. Sliced ginger in the tea warmed his throat. It was the vocabulary of taste that lingered in his mind whenever they were apart ⸺ the lemongrass tea with ginger, brewed by Respati Rahayu. His wife resumed their conversation. “While a lot of people don’t know how to handle their children’s education, we taught our daughter that getting a degree with a scholarship award is an honor. We did not have to bribe anyone to secure a good education for our child. She always went to the best schools, from elementary to graduate studies. In addition, Palupi grew into an independent adult who doesn’t trouble us. This is our achievement as her parents.”

“The most important achievement as her parents is to impart the value of nationalism,” Wibowo said, clenching his fists. “Education is very important, yes, but nationalism is the foundation of a person’s character.”

Respati Rahayu squinted at her husband. “You don’t think our daughter is nationalistic enough?” Her voice rose. “She can recite the Pancasila — Indonesia’s official philosophical theory — by heart. In one of her closets she stores an Indonesian flag she can raise anytime. She can sing all three stanzas of the Indonesia Raya, our national anthem. What more do you expect of her?” Respati’s gentle eyes now flashed. “We even have gamelan instruments that we still play! We speak Javanese and Indonesian in our daily conversations. Our daughter also —”

“How can you say that your daughter is nationalistic enough?” Wibowo interrupted. “She even chose an imported name for her child as if there are no Indonesian or Javanese names that carry a sense of beauty or pride!” Wibowo’s taut face tightened even more. Sorrow clouded the eyes of the Javanese man who had insisted on building a joglo — a large gazebo with a traditionally trapezoid-shaped roof — in front of the main house.

His name, Wibowo Besari, carried an important message from his ancestors: he was to be a gentleman, an unbeatable man who does no harm, a man noble yet humble, a protector who doesn’t belittle others. Wibowo’s name resonated his father’s wishes.

“A person of Javanese descent should never let go of his Javanese-ness,” his father had told him. “He should never lose his identity.” His father, who once served as the head of the Tejowangi district, considered a name to be a directive of one’s lifestyle. Fate had made Wibowo a Javanese man, and, as befitted a Javanese man, he showed his Javanese-ness: He built a joglo and bought slendro and pelog gamelan instruments to play. Occasionally, when he came by some extra money, he invited his neighbors to the joglo for a kenduri, a celebration of gratitude, where he served the Javanese staple dishes for such an occasion: nasi tumpeng — coned rice cooked in coconut milk, turmeric, and other spices — and ayam ingkung, a whole spiced, roasted chicken.

***

“Palupi Retnaningrum Hapsari is too long,” Respati remembered arguing with her husband while being pregnant of their daughter. “A two-word name, like we have: Wibowo Besari, Respati Rahayu, is enough,” she had grumbled, rubbing her growing belly.

“Do you know what the three words mean, dear?” Young Wibowo had teased, smiling.

“Of course, I do! ‘Palupi’ means role model. ‘Hapsari’ means shining gem. And ‘Retnaningrum’ — wait, what does ‘Retnaningrum’ mean?”

“Retnaningrum means a flexible and compassionate personality. I hope that one day this child will be a generous, noble person admired by the people around her.” Young Wibowo’s eyes sparkled.

“That’s if our child is a girl.” Respati peered at her husband. “What if it’s a boy?”

“Then I’ll name him Jagad Reksaning Bawono!” Wibowo grinned victoriously. “But the midwife said that our child will be a girl.”

It was then that Respati realized that there were unwritten rules for naming in the Javanese community. Having only a one-word name marked a person as coming from a low, working-class or farming family. Civil servants, teachers, and traders commonly had two-word names. Three-word names signified a lineage of royal blood or high-ranking officials.

While such name-ranking was no longer relevant in modern Indonesian times, Wibowo was firm. His children and grandchildren must be given three-word Javanese names that reflected the rank of blood that flowed through their veins.

***

The news that their daughter, Palupi, was expecting her first child brought some light to the lives of the old couple who had waited a long time for a grandchild. When the sonogram revealed that Palupi’s child was a girl, Wibowo started thinking of possible names. For weeks he pondered, until one day, Respati found him sitting in his joglo, smiling.

“I have found the perfect name for our granddaughter,” he said to his wife when she pulled up a wicker chair and joined him. “Maharani Mahisa Suramardini.” Wibowo looked content as he carefully pronounced each word.

Respati’s eyes widened.

“What’s the matter?” Wibowo asked smugly. “Isn’t it perfect?”

Respati shook her head. “According to Javanese belief, a child with such a pretentious name may be prone to illness.”

“Now, just wait a minute.” Wibowo’s eyes glowed. “Maharani Mahisa Suramardini is the title of Queen Shima, the seventh-century ruler of the great Kalingga kingdom. She was not only fair and capable of reconciling religious differences, but she was also beautiful. She was noble, so she was loved by the commoners and respected by royalty.”

“But we’re not nobility, dear, let alone royalty,” Respati countered, confused. “Yes, your father was a district head before he retired, so we’re just a family of a retired civil servant. Would it be proper to give our grandchild such a regal name?” After a moment of silence, she continued, “Just spelling the names is already difficult. For me, names like Ningsih, Endang, and Wati are easier to pronounce and more beautiful.”

Wibowo smiled radiantly. “I’ve thought about this for weeks! I searched for names and compared them. Look in my notebook. You’ll see how many hundreds of names and their meanings I went through.” Wibowo reached for a blue notebook on the small table and handed it to Respati. “Finding the best name for our first grandchild wasn’t easy. As her grandfather, I’d like to partake in conserving our traditional names, as a token of love for our ancestors.”

Respati could only shrug. Like all of her ancestors, she, too, was full-blooded Javanese. But, when it came to adhering to Javanese culture and tradition, her husband had far more Javanese-ness than she did.

Wibowo clung to the philosophy of Memayu Hayuning Bawana — doing the best you can for the world and everything that lives within it. Those who did good in this life would be rewarded in the hereafter. In practicing this belief, Wibowo refused to build a concrete wall or iron fence around his home. Instead, he planted a camphorweed hedge which would also be beneficial for the neighborhood as anyone was allowed to take cuttings of the camphorweed for their vegetable salad.

Certain that he had found the perfect name, Wibowo excitedly called Palupi. “Maharani Mahisa Suramardini!” he crowed into the phone. ” It’s perfect! Our Javanese bloodline will be recorded in your daughter’s name. As she grows up, people will recognize your daughter as a Javanese. Don’t forget to tell everyone who asks that her grandfather gave her the name!” The soon-to-be grandfather laughed cheerfully.

“Dad,” Palupi’s voice was filled with reluctance.

“So what do you think?” Wibowo could not hide his pride. “Didn’t I pick a great name?”

“Yes, Dad, but we’ve already picked a name for our baby.”

Wibowo stiffened, speechless. His face fell. He looked helplessly at his wife, who stood looking at him.

“So,” Respati said into the speaker phone, wanting to relax the sudden tension between the two, “what will you name her?”

“Alexa Caroline Andromeda,” Palupi replied happily, as if she had plucked a star from a celestial constellation.

“What does it mean?” Respati inquired.

“Alexa comes from a Greek word that means a woman who fights for mankind. Caroline means tough and amazing. Andromeda is the name of a galaxy greater than the Milky Way!”

“Why do you want to borrow Greek words?” Respati spoke Wibowo’s words for him. “Aren’t there any Indonesian or Javanese names that describe an amazing girl?”

“Oh, well, Mom, it’s a done deal.” Palupi sounded anxious.

Now Respati was the one who started to feel concerned. In Javanese culture, a baby’s name wasn’t a “done deal” until the baby was born. Respati didn’t want her daughter’s actions to tempt fate. The Javanese culture strongly opposed making any preparations for the baby’s birth before the fetus was seven months old. She probed, “How can that be? The child hasn’t been born yet.”

“Mom, we’ve already ordered monogrammed clothing and a crib. The mural in the baby’s room also has that name on it.” Palupi lowered her voice as if she were sorry for having told them.

“How dare you!” Wibowo interrupted “You can’t act ahead of God’s will! You can’t buy things for the baby before the seventh month of your pregnancy, when we hold the tingkeban ritual for you and your baby’s wellbeing and an easy delivery!”
Silence followed Wibowo’s outburst.

“Palupi.” Wibowo suddenly probed, “Do you know why the ha na ca ra ka letters, the Javanese script, have nearly vanished?”

Still, Palupi remained silent.

Respati wiped her face with both hands. She realized this argument would last for some time.

“It seems that this younger generation no longer respects their ancestors.” Wibowo’s voice rose again. “Why do you have to use foreign words for something as essential as a name? A name should be used to preserve one’s sense of self, so that the young won’t forget where they came from!”

Wibowo stopped, waiting for Palupi’s response. But as Palupi gave none, he grew more furious. “You should be ashamed! Look at the Japanese. They are a developed nation. They’ve adapted to the times, but their behavior is still Japanese. Their culture is eternally Japanese. Their kanji script is still used to this day.” Wibowo caught his breath then continued firmly, “Their names are still Japanese!”

Palupi still would not respond.

Desperate to break through her silence, Wibowo shouted, “What are you? A Javanese? An Indonesian? Or are you a foreigner? From which country?”

***

Ever since that day, Wibowo refused to talk to Palupi, the daughter he had always been so proud of, the daughter who had been the topic of every conversation he had regardless of with whom and the occasion.

Just like any mother would, Respati tried to repair the rift between father and daughter. The soon-to-be grandmother called her daughter without telling Wibowo. “Dear, shouldn’t you reach out to your father first?”

Palupi only sighed.

Respati heard her sigh and pressed on. “What’s so difficult about accepting your father’s suggested name for the baby?”

The question was met by a long pause before Palupi eventually replied. “Mom, I am Javanese. There’s no denying that the blood that flows through my veins is Javanese. But as an individual, I have the right to name my child the way I see fit ⸺ just like you and Dad named me ‘Palupi’ according to your wishes as my parents.”

“There’s nothing wrong with that,” Respati conceded. “What your father doesn’t like are the foreign names. Can’t you use some Javanese or Indonesian names that pay tribute to your ancestors and heritage?” Respati had never experienced such a sharp disagreement with her daughter. It bothered her very much but she rallied, “If only you knew how your father labored over his first granddaughter’s name, you would be proud to be his daughter.”

“I understand, Mom. But I have to respect my husband’s preferences, too. Syarif also has a say in naming his own child.”

Respati’s strength crumbled. Slowly, tears rolled down her wrinkled cheeks. She knew she had not steered Palupi wrong, but she had never expected her daughter to hold on this strongly to her opinion. “So have you discussed the name problem with your husband?” Respati’s asked hoarsly.

“No, I haven’t. I’m still waiting for the right time to discuss Javanese names with Syarif. When we do I’ll let him know what I think. I respect my husband just like you respect Dad. Isn’t that what you taught me?”

Silence strained the distance between mother and daughter.

“I hope your husband will understand.” Respati lowered her voice. “The name we give to our children is an attempt to preserve our Javanese identity. One day, the children will trace their cultural and ancestral origins, first and foremost by asking what their names mean.”

Respati felt she had found the right words. “The uniqueness of a place will be stamped in the name a child will carry wherever it goes. Whichever country your daughter travels to, she’ll be known as an Indonesian, more specifically, a Javanese.”

Palupi knew that when her mother lowered her voice, she was sharing her innermost feelings. Palupi didn’t interrupt, and Respati continued. “Although we’re born Javanese, we also try to be less old-fashioned. Do you remember when you first introduced Syarif to us? Your father didn’t ask you why he wasn’t Javanese; he didn’t ask whether Syarif owned a nice house; he didn’t ask which family he came from. He didn’t. He only asked you if this suitor upheld your honor as a woman.”

Respati heard her daughter’s choked sob through the phone. She steeled herself, not allowing the emotionally-charged atmosphere to get the better of her. She realized that in a borderless world where everything moved at lightning speed, conserving traces of nationality was an arduous, quixotic task. Foreign names sounded more modern. Preserving Javanese names was like trying to keep a wet thread standing upright.

***

Dinner had always been simple and joyful over the course of three years of marriage, but not tonight. Palupi was noticeably restless while her husband chewed his food indifferently. The TV broadcast of widespread flooding added to Palupi’s anxiety, and she turned it off.

Syarif Hidayatullah, the Bugis-Palembang man who had courted Palupi with gold jewelry and a Islamic prayer rug, beads, robe and Quran, finished his dinner in silence. Reluctant to continue the conversation Palupi had started when they first sat down to dinner, he finished his glass of water and rose.

“Wait, dear.” Palupi touched his arm. “We’re not done.”

Reluctantly, Syarif sat back down and started spinning the empty water glass.

“Please accept the Javanese name for our child,” Palupi pleaded softly, “and the tingkeban ritual that my mother is asking for.”

Syarif held his wife’s eyes. He was done with this discussion. The naming issue was non-negotiable. It’s the parents’ right to name their children without anyone’s interference.

“It’s not simple being the only child.” Palupi continued in a firmer tone. “There are unwritten responsibilities and expectations about passing on cultural and ancestral heritages. I tried to refuse their suggestions for the baby’s name and their request to hold the tingkeban ritual, and all I accomplished was getting into a fight with my parents ⸺ something that has never happened.” Palupi bowed her head, tears running down her cheeks.

Syarif planted his elbows on the table and dropped his chin into his hands, covering his mouth. Guilt crept into his heart, but his mind was made up. “When a daughter is handed over to a man in a wedding ceremony, doesn’t she become her husband’s possession?” Syarif asked matter-of-factly.

Fury rose in Palupi. “No! Just because a husband presents his wife with a dowry, it does not mean that he purchased her!”

Her words struck Syarif as harsh. This wasn’t the Palupi he knew. He glared at her.

“If a man could purchase full ownership of a woman in the prime of her life with just some gold jewelry, a set of Islamic praying beads, robe, mat, and Quran, then how does that expenditure compare to how much her parents spent on raising her, from conception till she walks down the aisle? How big was their investment?”

Syarif swallowed the words he had been ready to speak.

Palupi was ready to deliver several carefully prepared sentences, but she was mindful of her husband’s dignity. She said, “I surrendered myself to you, my husband, because I love you.”

Syarif remained silent, dumbfounded.

“After my parents gave all their love to their only child and raised me to be an educated and well-mannered woman in good physical and spiritual health, I voluntarily handed myself over to you. Now, why is it so hard to accept the cultural gift from my parents in the form of a Javanese name for our baby just because you’re the father of this child?”

Syarif saw the anger in his wife’s eyes. During their three years of marriage, Palupi had never once spoken with such force as she had tonight.

“All right,” Syarif slowly conceded. “Our first child can be named according to your father’s gift. But our religion doesn’t acknowledge the meaning of a tingkeban ceremony.”

Despite her large belly, Palupi rose quickly and straightened herself. “Tradition and religion are two things that cannot merge. They walk side-by-side, like railroad tracks headed for one destination ⸺ in this case, harmony!” Palupi left Syarif sitting at the dining room table and hurried to the bedroom to call her mother.

***

Gamelan music floated softly through Wibowo’s joglo. Played by men and women from the neighborhood, it was the best part of welcoming the honored guests. A warm and relaxed atmosphere filled the joglo and the main house, surrounded by mature trees. People who might not see each other even once a year, came together that day for the celebratory occasion.

The previous evening, prayers were said for Palupi and her unborn baby. Seven trays of coned rice surrounded by miscellaneous rare side dishes, native Javanese snacks, a sticky rice compote, and a special variety of banana were served. Today, it was time for the complete tingkeban ceremony, which started with the siraman a component of the ritual.

In a corner, decorated with flowers, stood a special container filled with water from seven different sources and seven different types of flowers: rose, jasmine, cananga, magnolia, tuberose, orange jasmine, and impatience. Palupi wore simple make-up and a red, tie-dyed kemben, bustier. A shawl of laced jasmine covered her shoulders and chest. Seated on a wood chair, Palupi was ready for the siraman. All present elders, including those on her husband’s side who had come all the way from Makassar, stood ready to pour a ladle of the flowered water over her.

As for Syarif, he could not stop smiling. His family had gladly accepted the tingkeban ceremony. The women were excited to wear the kebaya, Javanese long-sleeved blouse, and sarong. The men eagerly donned the traditional blangkon, Javanese cap, and beskap, jacket. All these formalities delighted Syarif’s youngest brother, who recorded everything for a YouTube presentation.

 

*****

 

Kunjungan KonJen RI San Francisco

Rabu, 26 Januari 2022

Dalang Publishing mendapat kehormatan besar dari Konsulat Jendral Republik Indonesia San Francisco (KJRI SF) dengan kunjungan Bapak Prasetyo Hadi dan istri, Ibu Sekti Kirana Jati. Belum genap satu bulan sejak kedatangannya di San Francisco, beliau menyempatkan diri untuk bertatap muka dengan kami.

Kunjungan ini sungguh memiliki arti besar karena menjadi tanda pengakuan dan dukungan pemerintah Indonesia terhadap usaha kami dalam mengangkat karya sastra Indonesia ke panggung dunia internasional, khususnya di Amerika.

Lawatan perkenalan berlangsung di kediaman Ibu Lian Gouw. Di bawah rindangnya pohon maple yang dikelilingi pohon anggrek dan hamparan cahaya matahari yang hangat, Bapak KonJen Prasetyo Hadi dan istri mendengarkan dengan saksama penjelasan yang kami sampaikan tentang usaha Dalang Publishing. Tanya jawab diselingi canda segera mengisi pertemuan siang itu dengan keakraban.

Terima kasih kami ucapkan atas bantuan Ibu Riena Dwi Astuty, Konsul Informasi & Sosial Budaya, sehingga memungkinkan pertemuan ini terjadi. Juga untuk Ibu Riena Sarojo, Sekretaris KonJen, untuk mengantar Bapak dan Ibu KonJen berkunjung ke tempat kami.

***

Berita Duka Cita

Rinto Andriono

22 Agustus 1974 – 29 November 2021

Kami berduka mendalam atas berpulangnya salah satu penulis berbakat yang telah menyemarakkan ruang Cerita Anda di halaman laman kami. Karya Rinto selalu mengetengahkan masalah kemanusiaan dan linkungan. Karya terbaru almarhum, Yang Beralih, baru saja kami terbitkan sebagai Cerita Terkini untuk bulan Desember ini.

Karya almarhum Pohon Pongo yang terbit awal tahun di laman kami adalah sebuah karya yang menunjukkan kepedulian almarhum terhadap pelestarian lingkungan dan satwa di sekitarnya.

Almarhum meninggalkan seorang istri, Dati Fatimah, seorang putra dan seorang putri.

Selamat jalan sahabat.

Istirahatlah dalam damai.

Yang Beralih

Rinto Andriono adalah penyintas serangan penyumbatan pembuluh otak yang menyebabkan kelumpuhan tubuh kanan pada usia 46 tahun. Menulis adalah salah satu kegiatan penyembuhan yang disarankan oleh dokter syaraf untuk mengembalikan kemampuan membangun penalaran. Rinto mulai menulis enam bulan setelah serangan pada tengah 2018.

Sebelum sakit, Rinto adalah perencana pemulihan pasca bencana, yang banyak bekerja di beragam tempat bencana di Indonesia dan Asia. Setelah sakit lebih banyak melakukan kajian, pelatihan daring dan penulisan pembelajaran di bidang yang sama. Untuk mengisi waktu senggangnya, dia suka membaca tentang penyelamatan alam dan filsafat, dan jalan kaki.

Rinto menulis sebagai sarana pemaknaan hidupnya yang sekarang sangat terbatas. Menulis membebaskan pikiran dan batinnya, yang saat sebelum sakit dulu mungkin terbelenggu, meski tubuhnya sangat bebas.

Dengan pendampingan menulis dari Ahmad Yulden Erwin, Rinto membuat belasan cerita pendek yang dibukukan sendiri dalam buku elektronik berjudul Kencan Hikikomori. 

Rinto Andriono telah berpulang pada tanggal 29 November 2021, jam 08.30 pagi (WIB) di Rumah Sakit Dr. Sardjito, Yogyakarta karena serangan jantung. Kami sangat kehilangan seorang penulis berbakat.

Selamat jalan sahabat. Istirahatlah dalam damai.

 

 

Yang Beralih

 

Matahari sudah tinggi, udara Yogya sudah berjam-jam membungkus badan Soumi dengan gerah. Lengket, panas dan lembab menyatu mengumpulkan resah. Soumi resah, hatinya sangat resah. Resah yang berkepanjangan membuatnya gundah. Gundah pada kehidupan sepinya. Kehidupan yang dipilihnya sendiri semenjak itu. Hidup yang telah memenangkan hati memang bisa jadi sulit, karena ternyata hidupnya tidak selalu bisa dimenangkannya. Tetapi bukan semata-mata dia yang membentuk hidupnya – ada dengus bengis yang turut mendorongnya menyeberangi jati dirinya.

***

“Soumi, bangunlah, sudah subuh!” teriak Karyo dari luar kamar.

Saat itu ibu Soumi sedang menginap di rumah sepupunya yang belum sehari menjanda. Soumi ditinggal serumah hanya berdua dengan Karyo, suami Ibunya yang tentara. Karyo bukan bapak kandungnya. Soumi adalah buah pernikahan ibunya dengan suami sebelumnya. Ibunya dan Karyo tidak beranak. Hanya Soumi semata wayang anak mereka.

Ingatan Soumi cepat mengisi sepenuh kesadarannya, dia sudah terbiasa bangun sebelum subuh. Galibnya ibunya menjerang air di perapian. Pagi ini, dia yang akan melakukan itu tanpa ibunya. Soumi riang dan ringan. Bagai kedasih yang berbahagia dia bangkit dari pembaringan. Soumi segera menyahuti Karyo sambil melangkah membuka gerendel kamarnya.

Tiba-tiba dengan sangat berdaya, pintunya terdorong terbuka. “Heh ….” Seolah kerbau dungu Karyo mendengus dan menyergapnya.

“Ahh ….” Soumi tidak cukup sigap dan berdaya untuk melawan.

Ratusan lukisan hidupnya koyak seketika. Lukisan-lukisan yang polos tentang masa lalunya, yang warna-warni tentang cita-citanya, yang bergelora tentang cintanya dan yang masih samar-samar tentang masa depannya. Semua berubah bagi Soumi pagi itu. Seketika, dia menjadi kain mota yang koyak, luruh dan tidak berguna!

***

Dari dalam kamarnya, Soumi membaui wewangian badan Karyo yang sudah mandi dan hendak pergi bekerja. Seketika Soumi mual. Lantas dia mendengar Karyo pergi sambil bersiul-siul, seolah tidak terjadi apa-apa.

Soumi bergegas pergi ke kamar mandi dengan hati luluh lantak. Dia mandi lama sekali. Seolah noda yang dipaparkan Karyo sangat sulit hilang, dia menggosok tubuhnya lagi dan lagi. Air bilasan mengalir tanpa henti, tapi perasaan ternoda dalam hatinya tetap tidak mau pergi.

Kembali di kamarnya, dia menekuri foto-foto dirinya, kemudian berucap, “Apa gunanya foto-foto ini?” Dia membakar semua foto-foto masa kecilnya, raport sekolah, ijazah tiga kali kelulusan di SD, SMP dan SMA, kartu penduduk serta akta kelahirannya. Dia mengemasi barangnya sekaligus mengemasi batinnya. Soumi merasa harus meninggalkan rumah lamanya dengan segala kelemahan dan kekalahan sebagai perempuan yang pernah dikenalnya.

“Aku tidak mau hidup sebagai perempuan!” ikrar Soumi yang masih dalam tubuh perempuannya, “Dunia ini memang bukan untuk perempuan!”

Sekarang Soumi memang menjadi butuh jati diri yang baru. Namun Soumi belum memikirkan, kemungkinan menjadi lelaki. Dia masih jijik dengan jenis kelamin Karyo.

“Aku tidak ingin berubah menjadi pemerkosa seperti Karyo! Aku juga tidak akan lagi menjadi korban permekosaan siapa pun!” kata Soumi mantap meninggalkan rumahnya.

Bagi Soumi, rumah sudah kehilangan teduhnya, bahkan, dia pergi tanpa merasa perlu menghiraukan pintunya yang masih dibiarkan menganga. Dia hanya meninggalkan pesan pendek untuk berpamitan pada ibunya. Riwayat rumah itu sudah padam bagi Soumi.

“Ini sudah bukan rumah!” Soumi pergi dari rumahnya, sekaligus meninggalkan jati dirinya.

***

Setelah mencobai hidup di Malang dan Surabaya, akhirnya Soumi terdampar di Yogya. Kota berhati nyaman yang telah membuka diri untuknya. Soumi sekarang bertubuh lebih kekar. Dia melatih dirinya dengan bela diri tinju dari Thailand. Rambutnya pun terpotong pendek dan rapi. Dia menggunakan jel rambut yang pekat. Jejak sisir nampak jelas di rambutnya.

Sebelum wabah covid, Soumi bekerja menjadi pramusaji di sebuah rumah makan modern. Pembawaannya yang rapi bahkan cenderung halus membuatnya banyak disukai orang-orang. Pekerjaannya pun membaik, dia tidak hanya menjadi pramusaji namun telah dipercaya menjadi penyelia. Soumi merasa hidup kini telah berpihak padanya. Namun semua kandas setelah wabah covid berjalan hingga bulan kedelapan. Rumah makannya tidak lagi sanggup melawan gempuran kehilangan pelanggan disertai kenaikan harga-harga bahan baku. Benteng penghidupan. Soumi pun ikut runtuh bersamaan dengan itu.

Siang itu, dia berpeluh mengantri. Wabah covid yang berumur setahun telah memakan kehidupannya hingga tersisa remah-remah terakhir. Soumi mengantri untuk mendaftar menjadi penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah.

“Nama?” tanya petugas Kepanewonan Mergangsan pendek.

“Soumi.”

Petugas yang bosan mendongak, mendesak, “Yang benar?”

“Benar, Pak, saya Soumi.” Soumi menegaskan diiringi goresan enggan sang petugas di borang pendaftaran.

“Kau laki-laki atau perempuan?” tanya sang petugas menyelidik.

“Bukan keduanya.” jawab Soumi dengan penuh keyakinan.

Petugas itu berhenti menulis. Dia bersandar di kursinya seolah paling benar. Dia menarik nafas dalam-dalam seperti mempersiapkan sebuah ceramah panjang tentang ragam jenis kelamin yang diijinkan untuk surat-surat kependudukan di negara kesatuan ini. Serangkaian kata berhamburan dari mulut ceroboh tak bermasker. Mulai dari pilihan di borang hingga perintah agama. Intinya, Soumi harus memilih, laki-laki atau perempuan. Titik!

Bagi Soumi, perintah mengisi borang ini sangat berat. Dia enggan membuka kenangan pahit masa lalunya – saat dia masih perempuan dan lemah. Meski sekarang sudah tidak menganggap dirinya perempuan, dia tidak lantas menyebut dirinya laki-laki. Dia sudah mantap dengan dirinya yang bukan keduanya. Kemantapan itu seiring dengan kekosongan jati dirinya yang mulai terlukis dengan gambaran diri yang baru. Soumi merasa nyaman dengan dirinya sekarang yang jauh dari dirinya dahulu, tetapi dia tetap bukan Karyo yang laki-laki dan bengis serta jumawa.

“Coba lihat KTP?” pinta petugas yang mulai putus asa dengan keterangan Soumi.

“Saya tidak punya KTP, hanya kartu penduduk musiman dari Kelurahan,” jawab Soumi.

“Tidak punya KTP tidak boleh mendapat BLT.” kata petugas pendek memungkasi upaya Soumi untuk menyambung hidupnya.

Soumi sebenarnya enggan beradu mulut, tetapi dia sangat membutuhkan BLT untuk kelangsungan hidupnya. Dan jawaban dari petugas di manapun selalu seragam. Jawaban yang sudah dihafal Soumi dari pengalamannya mengurus surat-surat kependudukan. Seolah memutar pita rekaman rusak, Soumi pun mengulang membacakan berbagai rujukan Kesepakatan Internasional tentang pengakuan terhadap jenis kelamin ketiga. Masalah ini sebetulnya bisa teratasi bila Soumi pulang ke kampung halamannya dan mengurus surat pindah. Tapi itu mustahil bagi Soumi karena Karyo masih hidup dan dia sudah tidak menginginkan jati dirinya yang lampau. Lukisan yang telah koyak biarlah usang. Soumi sedang melukis yang baru.

“Urus KTP dulu, baru bisa ambil BLT,” kata petugas ketus memungkasi adu mulut dengan berteriak, “Antrian berikutnya!”

***

Di bulan Maret 2021, Soumi dan kawan-kawannya telah memasuki bulan kelima kehilangan pekerjaan di rumah makan. Wabah ini mengharuskan mereka memutar otak lebih kencang. Inilah saatnya dimana dunia manusia berubah sedemikian cepat sehingga meninggalkan manusia-manusia yang hidup di dalamnya. Para manusia tunggang-langgang mengikuti dunianya yang telah bergeser tidak sekehendaknya. Ini ibarat rumah yang justru pergi meninggalkan penghuninya.

Soumi dan kawan-kawan pun berangsur kehilangan isi tabungannya dengan pasti. Mereka berusaha menyambung hidupnya dengan berbagai cara. Mengurangi catuan makanan harian adalah pilihan pertamanya. Soumi pun berkeras untuk tidak berobat meski batuk atau demam datang mendera. Soumi telah berpindah ke kamar sewaan yang lebih sempit, kumuh, terpencil, tetapi murah. Sambil mencari pekerjaan apa pun yang mungkin diraihnya.

Kawan-kawannya pun berlaku sama. Pilihannya, terus berusaha sebisanya atau punah. Suatu ketika mereka bersepakat bertemu. Kepencilan masa wabah membuat mereka saling terasing. Mereka butuh bertemu di taman kota untuk sekedar mengadukan keluh dan mendengarkan resah.

“Kau sekarang jadi apa, Gar?” tanya Wulan, dulu sesama pramusaji dengan Soumi.

“Aku jualan ikan cupang,” jawab Tegar, mantan kasir rumah makan yang tegar. “Ikan kecil biaya pemeliharaannya irit.”

“Aku bikin lumpia, tapi harus pesan dulu baru nanti kubuat dan kukirim ke pemesan.” terang Wulan.

Soumi senang kawan-kawannya terus berusaha semampunya. Di masa wabah ini yang penting obah mamah – terus bergerak meski hasilnya sedikit, hanya cukup untuk makan.

“Sekarang pendapatan keluarga kami menjadi lebih sedikit,” papar Wulan, “anak-anak sudah tidak pernah bisa plesir lagi.”

“Ya … tidak ada lagi cukup uang untuk kebutuhan sampingan,” lanjut Tegar, “semua mendapat rejeki tipis-tipis tapi rata, ini waktunya berbagi.”

“Sudah sebulan ini, kami selalu melewatkan sarapan, bukan karena ingin langsing seperti orang-orang gedongan, tapi biar irit,” timpal Wulan.

Lain Wulan dan Tegar, lain pula Yanto. Dia adalah mantan satpam rumah makan. Tubuhnya kekar dan sehat. Memenuhi syarat sebagai penjaga keamanan yang baik. Namun nasibnya tidak sebagus badannya. Yanto ketularan covid dan menghabiskan dua setengah minggu di rumah sakit untuk sembuh dari penyakit ini. Dia sampai harus menggadaikan kendaraannya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Hidup mereka seperti buah simalakama; bila tidak bekerja maka tidak bisa makan tetapi bila terus berusaha maka bahayanya adalah kemungkinan tertular covid.

“Rasanya bagaimana, Yanto?” tanya Tegar.

“Kau pernah merasakan influensa yang sangat berat?” tanya Yanto kembali.

“Iya,” jawab Tegar.

“Nah, rasa itu kau kalikan tiga, begitu rasanya.” terang Yanto. “Pertama kau akan kehilangan penciumanmu, lalu zat asam tidak bisa disera tubuh karena paru-paru berlendir. Bila tak dibantu pasokan zat asam, kau akan lemas dan menemui ajal.”

“Hiiii.” nyali Tegar mengkeret.

Soumi mendapati Jamila, mantan tukang masak di tempat kerjanya dulu, menyendiri dan kurang bersemangat.

“Hai, Jamila.” sapa Soumi.

“Kita ini menyaksikan rumah makan tempat kita bekerja tidak mampu lagi mencari makan.” kata Jamila, tukang masak yang sudah belasan tahun bekerja di situ, seolah menyesali keadaan.

“Sekarang kau kerja apa, Jamila?” tanya Soumi.

“Aku belum dapat, seumurku sudah susah mencari kerja dan memulai dari awal lagi.”

“Tapi kau bisa memasak!” yakin Soumi, “Usaha yang besar memang bertumbangan, tapi usaha yang kecil masih ada peluang tumbuh kembang.”

“Tidak mungkin aku bisa hidup, aku butuh biaya besar.”

“Heh, kau tidak boleh patah.”

Jamila tidak menyahuti Soumi, Dia mengeloyor pulang.

Mereka berpisah, hingga seminggu kemudian, mereka bertemu lagi.

Mereka berkunjung ke rumah sewaan Jamila sebagai pelayat yang hendak menghormati Jamal untuk terakhir kalinya. Wabah covid ini memang seperti saringan yang telah memisahkan manusia yang kuat dari yang lemah dengan garis pembatas yang tegas.

Dari teman-temannya, Soumi tahu bahwa Jamila menderita hepatitis C semenjak dari Jamila masih bujangan tua yang dikenal sebagai Jamal.

***

Sepanjang hidupnya Jamal telah lelah memperjuangkan KTP untuk mendapat Bantuan dari Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS). Penyakitnya membutuhkan perawatan berlanjutan yang tidak murah. Dia membutuhkan pengobat yang mahal. Semua ongkos perawatan kesehatan itu tidak mampu dibayarnya. Saran kepala desa di kampungnya, Jamal bisa saja mendapatkan KTP asal tidak terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa dia berkelamin lelaki.

“Surat Kelahiranmu laki-laki kan, Mal?” kata Kepala Desa, “Isian jenis kelamin di KTP-mu ikut Surat Kelahiranmu saja, biar nanti bisa dapat BPJS.”

“Iya.” kata Jamal berat.

“Nyatanya yang busuk menggantung itu juga kelamin laki-laki,” sindir Kepala Desa, “jakunmu itu lho, tidak bisa menipu, hahaha ….”

Namun hingga setua ini Jamal alias Jamila enggan mengakui kenyataan tubuhnya. Semenjak akil balik dia tidak pernah merasakan dirinya sebagai laki-laki. Jamal remaja tidak pernah menyelesaikan sekolah menengahnya. Dia tidak betah terus menerus dirisak oleh kawan-kawan juga gurunya. Mereka memanggilnya banci.

Ayahnya pun gemar memukulinya dan ibunya tidak berdaya. Ayahnya tidak bisa menerima Jamal yang berperilaku gemulai seperti perempuan. Dia mendidik Jamal kecil dengan penuh kekerasan karena keyakinannya agar Jamal bisa menjadi lelaki tulen. Dia berpikir, bila sering dipukuli maka Jamal akan berubah menjadi seperti lelaki.

Jamal remaja yang tidak pernah ingin menjadi laki-laki, memilih kabur dari rumah. Dia lebih senang dengan jati diri Jamila-nya. Dia merasa lebih nyaman memasak dan memakai daster yang sejuk. Jamila cukup beruntung, dia tidak pernah terpaksa melacur. Kebisaannya memasak menjaga hidupnya dengan tetap bekerja puluhan tahun dari warung hingga rumah makan. Jamila piawai mencampur bumbu dan mengolahnya sehingga tiap-tiap rempah mengeluarkan rasa terbaiknya.

Namun kini, demi agar ongkos pengobatannya bisa ditanggung negara, akhirnya Jamal luluh. Dia menyerah. Dia nyaris mendapatkan KTP laki-laki untuk mengurus BPJS. Namun takdir berkata lain. Hidupnya telah lebih dahulu luluh sebagai korban pemaksaan jati diri. Kematian adalah cara termurah untuk menghemat biaya pengobatan seorang waria sakit, penganggur, dan putus asa.

***

Sambil menunggui jasad Jamila di rumahnya, Soumi mengenang sahabatnya. Dia berkenalan dengan Jamila di rumah makan itu, sebagai rekan kerja. Namun pertemuan itu sangat bermakna. Jamila membuat Soumi mampu menuntut kembali hidupnya. Soumi masih ingat bahwa Jamila adalah tukang masak yang diandalkan di rumah makan itu. Dia baik pada sesama rekan kerja. Dia kakak yang baik bagi Soumi. Sayangnya, di akhir hidupnya, Jamila harus berjuang keras membujuk negara untuk mendapatkan pengakuan dengan jenis kelamin ketiganya. Perjuangannya itu berpacu dengan penyakitnya. Sayang, penyakitnya berjalan lebih cepat dari pada perjuangannya. Saat Jamila mau mengalah menerima pilihan antara dua jenis kelamin yang disediakan oleh negara, penyakitnya sudah semakin genting.

Jamila yang selama ini mendukung Soumi dan menghibur hatinya. Dia yang menyembuhkan luka-luka hati Soumi. Jamila yang memperkenalkan Soumi pada banyak paguyuban orang-orang berjenis kelamin ketiga. Dari paguyuban itu, Soumi tahu bahwa Tuhan tidak hanya menciptakan siang dan malam, tetapi ada juga fajar dan senja seperti Jamila dan kawan-kawan. Mereka perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki, atau sebaliknya. Bahkan yang seperti Soumi, yang tidak merasa aman sebagai perempuan tetapi merasa jijik sebagai lelaki pun ada dan mereka saling menguatkan jati diri.

“Bukankah fajar dan senja yang membuat semesta menjadi lebih indah?” kata mendiang Jamila pada Soumi dulu, “Jika hanya ada siang dan malam maka bumi akan membosankan.”

Soumi benar-benar mencamkan perkataan Jamila itu. Dia mulai bangkit melukisi lagi kain mota hidupnya dengan berbekal kalimat itu. Soumi merasa dia berhak pula hidup di dunia sebagai ciptaan Tuhan yang setara dengan yang lain. Dia boleh saja tidak merasa sebagai laki-laki atau perempuan, tapi Soumi adalah manusia, itu yang ditekankan Jamila.

“Aku juga manusia.” tegas Soumi saat itu.

“Dulu, sosok banci adalah wajar di pertunjukan wayang kulit,” cerita Jamila pada Soumi dalam salah satu obrolannya,

“Betulkah?” tanya Soumi.

“Iya dan ketahuilah wayang kulit adalah cerminan dari masyarakat kita.”

“Lelaki dan perempuan sama-sama dibutuhkan dalam hidup ini.” lanjut Jamila, “Batari Durga yang garang, sebelumnya adalah Dewi Uma yang lembut.”

“Ya, Dewi Uma moksa menjadi Batari Durga yang raksasa dalam rangka melawan nafsu Batara Guru.” timpal Soumi lamat-lamat. Dia pernah mendengar kisah itu. Kisah perubahan jati diri Dewi Uma itu yang mendorong Soumi menjadi seperti sekarang ini. Dia menolak sebagian sisi perempuan dirinya yang lemah dan berusaha menambalnya dengan sisi lelakinya yang kekar. Namun Soumi tidak serta-merta menganggap dirinya lelaki. Dia beralih menjadi jenis kelamin ketiga yang membuatnya menjadi lebih nyaman sekarang ini. Dia sekarang lebih siap bila harus membela diri jika dirundung Karyo lagi.

“Hidup kita pun seharusnya begitu, siapapun setara di muka bumi ini dan harus saling menjaga,” pungkas Jamila.

Namun rupanya, cita-cita Jamila tidak terjadi hingga ajal menjemputnya. Kawan-kawannya tetap harus mengasongkan tubuh Jamila, mencari kampung yang masih mau menerima jenazah waria di kuburan milik mereka. Sedikit kampung yang mau menerima pemakaman waria. Mereka menganggapnya sebagai aib. Akhirnya sebuah kampung di perbatasan Kota Yogya dan Bantul mau menerima, itupun dengan biaya bedah bumi yang tidak mudah ditanggung oleh kawan-kawan waria yang terdampak kemelut keuangan pada waktu wabah covid ini.

***

Wabah ini diikuti oleh masalah keuangan yang menekan semua pengeluaran warga. Beberapa bidang usaha bahkan tidak dapat bertahan memperebutkan pelanggan yang semakin sedikit. Seperti rumah makan tempat Soumi dan Jamila bekerja. Sebagian besar mahluk indah jenis kelamin ketiga ini bekerja di bidang jasa. Jasa-jasa itu adalah kebutuhan yang akan disingkirkan warga dari senarai belanjanya bila pendapatan menurun. Perempuan mengurangi belanja perawatan tubuh di salon. Pria hidung belang tidak lagi beruang untuk membiarkan mulut waria memuaskan kelaminnya. Tidak ada uang kecil untuk waria pengamen.

“Ih, maharani amat, mengubur bangkai saja semahal itu ongkosnya?” kata Shinta, waria yang menawarkan jasa di Perlimaan Kalasan.

“Ah, kau jangan sirsak, cin, jangan pelita hati begitu, ini demi Kak Jamila.” sanggah Diana bendahara patembayan saat menghimpun saweran agar Shinta tidak culas dan pelit.

Akira kan sudah lama tidak laku nyebong!” aku Shinta.

“Ah … nggak percaya, kau tiap malam berapose begitu?” Dewi menawar.

“Covid, Boo … akira jual harga obral ini ….” kata Shinta sambil mengangsurkan uangnya yang kumal.

“Cari BLT sana, kan pemerintah sudah bagi-bagi enam ratus kepeng.” sahut Dewi sambil menyambar uang Shinta.

“Nggak dapat BLT, Booo …,” nyinyir Shinta, “Aku nggak ada KTP.”

“Ahhh … kau sembuh dulu dari banci, baru bisa punya KTP,” Dewi mengelak.

“Emang banci itu penyakit, koq pakai sembuh? Kata Dinsos, itu penyakit kemasyarakatan,” pungkas Shinta masih dengan nada nyinyir.

Soumi yang dari tadi menguping pembicaraan para pelayat di rumah Jamila membatin, Huh, penyakit kemasyarakatan ….

Bagi Soumi yang sudah belajar dari Jamila ini adalah akar masalahnya. Selama jenis kelamin ketiga dianggap sebagai penyimpangan yang harus diluruskan oleh negara maka selamanya nasib Jamal-Jamila yang lain akan selalu begitu. Mereka akan terus diburu dan dipaksa untuk menerima jati diri yang hanya memperhitungkan bentuk alat kelamin yang menempel di tubuh. Padahal pengakuanlah yang dibutuhkan Jamila dan kawan-kawan.

“Waktu fajar dan senja memang sempit, karena itu mereka yang terlahir tidak siang dan tidak malam adalah kelompok yang terbatas jumlahnya.” Soumi menderas mengulang perkataan Jamila tentang kaum waria.

“Namun bukan berarti kita bisa ditindas”, berontak batin Soumi, “hidupku pun akan seperti Jamila, akan kuhabiskan untuk melawan!”

Soumi teringat bahwa Jamila pernah bercerita bahwa di Sulawesi ada adat yang pernah mengakui lima jenis kelamin secara setara di masyarakat. Di Bugis selain laki-laki dan perempuan, ada calalai yang bertubuh perempuan tetapi mengambil peran-peran laki-laki dalam kesehariannya. Ada juga calabai yang memerankan peran perempuan namun bertubuh lelaki. Dan jenis kelamin kelima, adalah kelompok para bissu yang tidak laki-laki maupun perempuan. Soumi merasa nyaman dengan kelompok ini. Kelimanya pernah diakui disana secara adat, meski adat sekarang sudah sering digugat.

“Orang-orang hanya belum mengerti,” tiba-tiba suara Jamila menyahut di kepala Soumi. Dengan sangat jelas, Soumi seolah melihat sosok Jamila. Dia melihat Jamila melempar senyum.

“Jamila ….” sapa Soumi lirih.

“Kau hanya perlu terus mewartakannya.” kembali suara Jamila mengiang.

“Akan kulakukan sepenuh hidupku,” janji Soumi mantap.

“Kita semua tercipta setara,” Jamila yakin sebelum bayangannya kembali memudar.

Soumi kembali nelangsa kehilangan Jamila yang seumur hidupnya gagal berdamai dengan khalayak.

Bisik Soumi memandang tubuh kaku Jamila yang sedang menunggu pengangkutan ke liang lahat. Hati Soumi merasakan sedemikian, pelupuk matanya menghangat seketika. Air matanya kemudian merebak. “Jamila, aku tahu, kau ingin mati sebagai perempuan.”

*****

Yogyakarta, Mei 2021

 

 

 

The Third Gender

Oni Suryaman berlatar belakang pendidikan teknik, tetapi jiwa sastra mengalir di dalam tubuhnya. Di sela-sela waktu luang mengajarnya, dia menulis esai, resensi buku, dan fiksi. Dia juga menjadi penerjemah lepas untuk penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dan Kanisius. Baru-baru ini dia menerbitkan buku anak berjudul I Belog, sebuah penceritaan kembali cerita rakyat Bali, yang sadurannya dipertunjukkan dalam AFCC Singapura 2017.

Beberapa risalah dan ulasan bukunya dapat dibaca di: http://onisur.wordpress.com dan http://semuareview.wordpress.com

Oni dapat dihubungi lewat surel oni.suryaman@gmail.com.

 

 

The Third Gender

 

It was already midday, and the stifling, muggy, Yogyakarta air enveloped Soumi’s perspiring body. The humidity made Soumi restless. And as the restlessness dragged on, she became depressed about her lonely life — the life she had chosen on that terrible day. Indeed, anyone’s life could be difficult, for it might not always turn out to be the most rewarding. But Soumi had not deliberately chosen this life. A violent force had driven her to cross the boundary of her identity.

***

“Soumi, get up!” Karyo shouted from outside Soumi’s room. “It is dawn already!”

That morning, Soumi was home alone with Karyo, her mother’s husband. Soumi’s mother was staying with her cousin, whose husband had died the day before. Karyo, who served in the military, was not Soumi’s biological father. Soumi was the only child from her mother’s previous husband, and she was the only child in the family. Soumi’s mother and Karyo didn’t have children.

Soumi was used to getting up before dawn, and she quickly rose. Usually, her mother boiled the water. This morning Soumi would have to do it herself. Happy like a lovebird flying into the morning, she answered Karyo’s call and lifted the door latch.

The door slammed into her, shoved open forcefully by Karyo, who lunged at her, snorting like a bull in heat.

Caught off guard, Soumi was neither ready — nor strong enough — to fight back.

Hundreds of life’s memories tore apart all at once: the innocence of her past, the colorful fantasies of her aspirations, the passionate hopes of love to come, and the anticipation of her unknown future. Everything changed that morning. Her entire life had turned into a torn, crumpled, useless canvas.

***

Afterwards, in her room, Soumi smelled Karyo’s cologne. He had showered and was ready to go to work. Soumi felt nauseated. She heard Karyo leave, whistling as if nothing had happened.

Totally undone, Soumi rushed to the bathroom. She showered for a long time. She scrubbed her body over and over again as if she could never wash away the stain Karyo had left on her. But despite the endless streams of water, she could not rinse away the blotch in her heart.

Back in her room, Soumi pulled out her photo albums and scrapbooks. What good are these for? she thought, and she burned all her childhood pictures, her school diplomas, her identification card, and her birth certificate. Then she packed up what was left of her belongings, along with her heart. Soumi felt forced to leave the house she had lived in as a female, with her weaknesses and defeat.

“I don’t want to live as a female anymore!” Soumi declared to herself. “This world definitely doesn’t belong to women!”

Now Soumi would need a new identity. She considered disguising herself as a man, but she was disgusted by the male sexuality. “I don’t want to be a rapist like Karyo!” Soumi said firmly to herself. “Nor do I want to ever be raped by anyone again!”

For Soumi, the house had lost its protective meaning. She was no longer a part of the house’s story. She left a short message for her mother. “This is no longer home,” Soumi said, and, leaving the front door wide open, she left the house, as well as her sexual identity as a woman.

***

After trying to make a living in Malang and Surabaya, Soumi arrived in Yogyakarta. The charming city welcomed her. Soumi now had a masculine appearance. She wore her hair short and neat, and she used hair gel that made grooves in her freshly combed hair. She practiced self-defense with Thai boxing.

Soumi worked as a waitress in a modern restaurant. Her well-kept, almost delicate appearance made many people like her. She did her job well and was promoted. Soumi felt that life was finally on her side. But it all ended during the eighth month of the COVID pandemic. The restaurant could no longer survive the decreasing number of customers and the increasing cost. Soumi’s life fell apart together with the restaurant.

A year into the pandemic, Soumi stood in a long queue, drenched in perspiration. The ongoing COVID pandemic had depleted the last of her savings. She was now lined up to register for the cash subsidy the government was providing.

“Your name?” asked the unmasked officer from the Mergangsan District.

“Soumi.”

The bored officer looked up. “Really?”

“Yes, sir. My name is Soumi.” The officer scribbled on the registration form.

“Male or a female?” The officer scrutinized Soumi.

“Neither,” Soumi answered firmly.

The officer stopped writing. He leaned back in his chair with a righteous air. He took a deep breath, readying himself to deliver a long speech about the legal aspects of the gender entry on the government application form. A barrage of words burst from his mouth. His lecture started by pointing out the stated gender options on the registry form and went on to discuss the religious views on the matter. Bottom line, he said, Soumi had to choose between being male or female. Period!

Soumi filled out the form with difficulty. She didn’t want to remember the bitter past when she was a weak woman, but she did not refer to herself as a man either. She had affirmed to herself that she was neither man nor woman, and she had begun a fresh painting of herself on a new canvas. She felt comfortable with her new self — someone very different from her previous self, but still not a man, like Karyo, who was cruel and conceited.

“Your ID, please?” The official was losing patience with Soumi.

“I don’t have an ID. I only have the temporary resident registration card from the precinct.”

The officer abruptly ended Soumi’s application to survive. “Without a proper ID, you are not eligible for the subsidy.”

The official answers were always the same, wherever she went. She remembered the answers well from her attempts to obtain legal identity documents. Over and over again, sounding like a broken record, Soumi recited the list of the many international agreements that recognize the third gender, which is neither male nor female.

Soumi could solve the problem by obtaining relocation papers from the authorities in her former neighborhood. But for Soumi, that was impossible because Karyo still lived there and she didn’t want to face him — or her former self. The torn painting of her past should be left to deteriorate; Soumi was painting a new one.

“After you obtain the proper ID, you can come back and get the subsidy,” the official said bluntly and turned away. “Next in line!” he shouted.

***

In March 2021 it was five months that Soumi and her workmates had been laid off from their job at the restaurant. The pandemic had forced them to get creative to survive. The world was spinning so fast, it left its inhabitants behind. People were required to catch up with a world that had moved on without their consent, like a house that had abandoned its residents.

Soumi and her friends had depleted their savings. They tried to survive in various ways. Eating less was their first option. Soumi decided not to see the doctor when she had a fever and cough. Soumi moved to a smaller room. The boardinghouse was located in a secluded corner of a slum, but the rent was cheap. She tried to find any job she could get; her friends were doing the same. They either survived or perished.

One day, the friends all arranged to meet at the city park. The isolation necessitated by the pandemic had alienated them from one another. They needed to meet just to share their worries.

“What are you doing now, Gar?” Wulan asked Tegar. Like Soumi, she used to work as a waitress.

“I am selling betta fish, the Siamese fighting fish,” Tegar answered. He used to be the cashier. “Taking care of these small fish is cheap.”

“I make and deliver spring rolls, on order,” Wulan said.

Soumi was happy that her friends were doing their best to survive. During this pandemic, it was critical to do whatever was necessary to make enough to eat.

“Because money is so tight,” Wulan continued, “the children can’t have a vacation.”

“Yeah, we no longer have extra money for entertainment,” Tegar answered. “Our meager income is spread thin.”

“This month,” Wulan added, “we skipped breakfast, not because we eat a rich person’s diet, but to save money.”

Just as things were different for Wulan and Tegar, they were also different for Yanto. He had been the restaurant’s security guard. His athletic build had made him a good fit for the job, but, unfortunately, his immune system was not as strong as his body. He caught COVID and spent almost three weeks in the hospital. Yanto had to pawn his vehicle to pay the bills.

Their lives were in a no-win situation – if they didn’t work, they could not eat; if they did work, they risked catching COVID.

“How did it feel to have COVID, Yanto?” Tegar asked.

“Have you ever caught a really bad cold? Multiply that feeling by three, and you’ll get an idea of how it felt. First, you lose your sense of smell; then, you can’t breathe because your lungs are filled with phlegm. Unless you get oxygen, you suffocate and die.”

Tegar cringed. “Oh, gawd!”

Soumi walked over to Jamila. The cook at their former workplace sat alone, not engaging with the others.

“Hi, Jamila,” Soumi said. “What are you doing now?”

“I don’t have a job. It is difficult for someone my age to find a new job and start all over again.” Jamila, who had worked at the restaurant for more than ten years, lamented the situation. “We have witnessed how the restaurant where we worked lost its business.”

“But you can cook!” Soumi asserted. “The big businesses may have collapsed, but a small business might still have a chance to grow.”

“It is impossible; I need a lot of money.”

“Hey, don’t lose hope!” Soumi encouraged.

Instead of answering, Jamila went home.

The friends parted only to meet again one week later when they went to Jamila’s rented house to pay their last respects to her. The pandemic functioned as a sieve, separating the strong from the weak. Jamila was suffering from hepatitis C — and had been ever since she had been known as Jamal, an old bachelor.

***

Jamal had tried for many years to obtain a formal ID so that he would be eligible for the government’s health insurance subsidy to treat his hepatitis C. The treatment for his illness was expensive, and he could not afford to pay the medical expenses. The village chief had told him that it was quite possible to obtain a formal ID if Jamal would just check the box for “male” on the application.

“Your birth certificate states you are a male, right?” the village chief asked. “Just fill out the form according to the information on your birth certificate. After that, you can apply for health insurance.”

Jamal hesitated.

“Look,” the village chief sneered, “that thing hanging between your legs is a male sex organ — and you cannot hide your Adam’s apple either.”

But Jamal refused to accept his physical appearance. Since adolescence, he had never identified as a male. Jamal, the teenager, didn’t finish high school. He could not bear the bullying from his classmates and teachers. They called him banci — a fag.

His father often beat him, and his mother was powerless to protect him. His father could not accept Jamal’s effeminate behavior, and he believed that beating Jamal would toughen him up. If I beat him often, he’ll change and become a real man, the father thought.

But Jamal had no intention of ever being identified as a man, and he finally chose to leave home. Jamal was much more comfortable being known as Jamila. He felt better when he could cook wearing a loose long dress. He was lucky enough that he did not have to resort to becoming a prostitute. For decades, Jamila worked as a cook in small eating stalls and then moved as a chef from one restaurant to another. Jamila was an expert in mixing spices to bring out the best flavor of each component of the dish.

But now that Jamila had to depend on a government subsidy for her hepatitis C medication, she gave up. She could have obtained a formal ID as Jamal, a male, but fate had a different plan for her. Caught between gender identities, Jamila’s life quickly deteriorated. Death was the cheapest way out for a sick, unemployed, and desperate transgender.

***

At Jamila’s wake, Soumi reminisced about her friend. She had met Jamila in the restaurant, but their relationship was more meaningful than that of mere co-workers. Jamila enabled Soumi to move on with her life. Jamila had been a respected chef at the restaurant; she had been kind to her workmates and was like a good sister to Soumi, who had watched Jamila’s struggle to convince the government to acknowledge her choice of gender. Soumi also had watched Jamila racing against her disease’s progression, and losing the race. When Jamila finally gave in and chose the gender “male” stated on the government form, her disease had become acute.

But all through her struggle, Jamila had supported Soumi. She helped mend Soumi’s broken heart. She introduced Soumi to the transgender community and support systems. Soumi learned that God not only created night and day, but also dawn and dusk. Soumi and her friends were neither night nor day; they were people trapped inside mislabeled bodies. As individuals with conflicting identities, Soumi and her friends supported each other.

“Aren’t dawn and dusk making the universe more beautiful?” Jamila used to ask Soumi. “This world would be a dull place with only night and day.”

Soumi had taken Jamila’s words to heart when she started the new painting on the canvas of her life.

Jamila had stressed to Soumi that although the current world might not allow her to choose something other than being a man or a woman, she was still a human being who had the right to live as one of God’s creations, just like everyone else.

“I am a human being,” Soumi asserted to herself.

Soumi also remembered Jamila telling her, “There used to be transgender characters in the shadow puppet play.”

Really? Soumi had wondered then.

“The shadow puppet play simply reflects the condition of our society.” Jamila started to explain. “Men and women are both needed in this life,” Jamila said. “The character Batari Durga is indeed fearsome, but before that, she was as gentle as Dewi Uma.”

“Yes,” Soumi said softly, “Dewi Uma attained moksha and became the giantess Batari Durga to fight the lustful Batara Guru.”

Soumi had heard that story. The transformation of Dewi Uma had encouraged Soumi to become who she was now. While she rejected the weak female part of herself and tried to supplement it with the tough male part, Soumi didn’t automatically consider herself to be a man. Instead, she had slipped into the third gender to make herself comfortable with the way she felt now. She was prepared to defend herself should a Karyo attack her again.

“Everyone who lives on this earth is equal and must look after each other,” Jamila had concluded.

But Jamila’s aspiration was not fulfilled until her death. Her friends carried her body from one village to another, trying to find a village cemetery that would accept a transgender for burial. Most villages considered having a transgender buried in their cemetery a stigma. Finally, the friends found a village on the outskirts of Yogyakarta, bordering Bantul, that allowed them to bury Jamila in their cemetery. They were charged an exorbitant fee, which they had collected with great difficulty from their financially-strapped transgender friends.

***

“Ew, that’s a lot of money!” exclaimed Shinta, a transgender who worked as a prostitute near the Kalasan intersection. “Does it cost that much just to bury a dead body?”

The pandemic had put a financial burden on everyone. Most transgenders had to work in the service sector. When people’s incomes decreased, they cut their spending on luxuries first. People cut back on personal grooming. Pleasure seekers didn’t have enough money to pay the transgender prostitutes. There was no small change for transgender buskers.

“Aw, don’t be such a tight ass; this is for our sister Jamila,” Diana retorted, trying to keep Shinta from being stingy while she was collecting money for Jamila’s burial.

“I haven’t been able to hook up with a john for a long time,” Shinta whined.

“Oh, I don’t believe you. How much do you charge for a trick?” Dewi asked.

“It is COVID, dear, I’m having a sale.” Shinta handed over some crumpled bills.

Dewi grabbed Shinta’s money. “Go get some subsidy; the government is handing out six hundred thousand!”

“No subsidy for me, dear,” Shinta sighed. “I don’t even have an ID.”

“Ah, first you must be cured from being a queer, then you can get an ID,” Dewi shrugged.

“Yeah, who says that being a queer is a disease that has to be cured?” Shinta asked, sarcastically. “The social service says that being queer is a social disease.”

Soumi, listening to the conversation at the wake, thought, Social disease, huh …

Soumi had learned from Jamila that this attitude was the root of the problem. As long as the third gender was considered an aberration, the fate of the other Jamal–Jamilas would stay the same. All they actually needed was recognition and acceptance.

Soumi repeated Jamila’s words: “The dawn and dusk do not last long; therefore, they who are not born as day or night are limited in number.”

But that doesn’t mean we can be persecuted. Soumi’s spirits rose. “I will be like Jamila; I will spend the rest of my life striving for justice.”

Soumi remembered Jamila telling her that a tradition in Bugis, Sulawesi, recognizes five equal genders in society. In addition to man and woman, there is calalai, a woman who has the role of a man in society. There is calabai, a man who has the role of a woman. The fifth gender, bissu, is neither male nor female. Although tradition recognizes these five genders, today, many contest it.

Suddenly, Soumi heard Jamila’s voice: “People just do not understand.” It was so clear, she almost could see Jamila smiling at her.

“Jamila …” Soumi said, softly.

“Keep spreading this awareness.” Jamila’s voice continued.

“I will do it for the rest of my life,” Soumi promised.

“We are all created equal,” Jamila declared before her shadow faded away.

Soumi was overcome with her loss of Jamila, who had failed to make peace with society. With her eyes burning and tears running down her cheeks, Soumi looked at Jamila’s corpse, waiting to be buried. Soumi whispered, “Jamila, I know that you wanted to die as a woman and you did.”

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

 

Horas, Ibu!

Reni Renatawati adalah seorang mahasiswi sastra Inggris dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Lahir pada 6 Januari 2001 di Pasar Rebo, Jakarta, Reni adalah keturunan dari dua suku yang berbeda; Batak dan Jawa. Sebagai seseorang yang senang mendengarkan lagu, menggambar, dan membaca buku karya penulis Indonesia maupun luar negeri, Reni memiliki impian untuk menjadi seorang penulis profesional yang membahas dan menguak tentang kebudayaan, dan permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia melalui karya sastra rekaan yang berdasarkan atas penelitian. Tujuan utama dari impian yang diutarakan adalah agar membuka mata rakyat Indonesia mengenai kebudayaan, termasuk juga dengan permasalahan yang ada di kemasyarakatan Indonesia.

Reni dapat dihubungi di renirenataharianja16@gmail.com

 

 

 

Horas, Ibu!

 

Hembusan semilir angin senja memainkan rambut Jakob yang mulai memutih. Kedua netranya menatap nanar tanah merah tempat ibunya dikubur. Sudah lewat duabelas tahun, sejak kematian ibunya, dan limabelas tahun tanpa kehadiran kedua saudaranya yang lenyap di tanah orang karena beralasan mau mengadu untung dan nasib. Kedua saudaranya yang pergi ke tanah Jawa dan menghilang dari Siborong-borong, kampungnya di Sumatera Utara, kini berdiri di samping Jakob, menatap kubur ibu mereka dengan khidmat sembari membiarkan para tukang gali kubur membongkar kubur dan peti mati ibunya.

Di tanah batak, adalah hal wajar untuk keluarga melakukan upacara kematian bagi para leluhur, termasuk kepada orang tua yang telah lama meninggal dengan memindahkan tulang belulang mereka ke tempat yang lebih baik dari sebelumnya. Maksud dari adat ini adalah untuk menghormati mereka. Saat itu pula, seluruh sanak saudara haruslah kembali dari perantauan ke kampung halaman untuk mempersiapkan upacara, seperti yang sedang terjadi pada keluarga Jakob dan kedua abangnya.

***

Dua bulan yang lalu, saat Jakob dan istrinya hendak berjualan di pasar, kedua abangnya tiba-tiba muncul di halaman rumahnya. Walau waktu itu matahari belum tampak, tetapi Jakob bisa melihat wajah kedua abangnya yang secerah mentari. Ketika istri Jakob menyambut mereka ramah, Jakob membeku di ambang pintu. Dia baru tersadar ketika istrinya menggoyangkan bahunya dan memintanya untuk segera memotong babi peliharaan mereka untuk dijadikan jamuan. Meskipun Jakob melakukan apa yang diminta istrinya dan menerima kedua abang beserta keluarga mereka masuk, hatinya meneriakkan kata tidak suka dengan kedatangan mereka.

Ketidaksukaan Jakob pada abang-abangnya itu bukan tanpa alasan. Saat kedua abangnya memutuskan untuk pergi hampir dua dasawarsa yang lalu, ibu sedang sekarat dimakan penyakit. Dan seakan mengejek harapannya, ibunya yang mati-matian bertahan hidup akhirnya pergi tanpa pamit dalam tidur. Tidak memiliki uang yang cukup, Jakob menguburkan ibunya di belakang rumah dengan acara sederhana, tanpa kehadiran kedua abangnya.

Tiga hari setelah kedatangan dua abangnya, saat matahari telah lama terbenam dan seluruh keluarga mereka sudah tertelan mimpi, tiga pria masih terjaga dibawah rona lampu teplok. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir mereka sampai akhirnya abang tertua, amang Lamsihar menghembuskan napas panjang sambil menatap Jakob lekat-lekat. “Kami sudah mendengar soal ibu,” katanya pelan, “Dia dikubur dimana, Jakob?”

Jakob tidak segera menjawab. Buta karena amarah dan kesedihan, dia kembali menatap kedua abangnya dan menarik napas dalam-dalam, seakan enggan untuk memberitahukan keberadaan ibunya. Tapi dalam hatinya, Jakob sadar kalau kedua abangnya juga berhak untuk mengetahui keberadaan ibu mereka. Mau bagaimanapun keadaan mereka dan dirinya, mereka adalah keluarga. Pada akhirnya, Jakob menghembuskan napas perlahan, dan memberitahu mereka bahwa dia di kubur di belakang rumah.

“Kenapa ibu dikuburkan di sana?” tanya amang Ruhut, “Bukankah dulu ibu pernah bilang kalau dia ingin dikuburkan di antara leluhur kita?”

Mendengar perkataan amang Ruhut, hati Jakob serasa diiris pisau tumpul. Dia berusaha mengatupkan bibirnya serapat mungkin. Jakob mulai tertawa lirih, tetapi masih cukup terdengar oleh kedua abangnya yang menatapnya bingung. Dalam hati kecilnya, Jakob berharap kalau abangnya mengerti kesusahan dan sakit hati yang dicicipinya saat pemakaman ibunya terjadi.

“Hatiku sakit melihat kalian berdua,” tutur Jakob sambil mengepalkan kedua tangannya, berusaha mengendalikan rasa perih di hatinya yang kembali muncul, tetapi gagal ketika dia kembali menatap kedua abangnya dengan netranya yang memerah dan berkaca-kaca. “Abang bisa saja makmur di tanah Jawa. Punya uang, punya jabatan, punya keluarga yang sejahtera, tapi rasanya sekarang semuanya percuma saja.”

“Apa maksudmu, Jakob?” tanya amang Lamsihar dengan suara bergetar.

“Buat apa uang sebanyak pasir lautan, jabatan setinggi awan kalau kalian tidak pernah mendengar ratapan ibu?” Sambarnya pedas, “Jujur saja aku heran dengan ibu yang menangisi dua orang yang melupakan keluarganya di kampung.”

Jakob melihat air muka amang Ruhut yang mengeras, sementara amang Lamsihar hanya terdiam dengan lekukan memilukan menghiasi wajahnya yang keriput. Tidak ingin menuang minyak ke dalam api, Jakob berdiri tanpa mengatakan apapun dan meninggalkan kedua abangnya dalam kesunyian.

Sesampainya di kamar tidur, istri Jakob yang mengetahui sikap Jakob terhadap kedua abangnya berusaha menenangkan suaminya. Dia mengatakan bahwa ibu mertuanya tak akan senang dengan sikap Jakob yang terkesan kekanak-kanakan, dan tidak mau mendengarkan kedua abangnya yang sudah datang jauh-jauh demi melihat ibu mereka yang sudah tiada. “Adalah salah kalau kau mengusir mereka, Pak,” katanya selembut kain satin, “Jangan lupa, kalau kalian itu saudara satu darah dan ibu.”

“Lantas kenapa?” tanya Jakob sembari menggelengkan kepalanya, “Aku bukan marah karena mereka pergi ke Jawa demi memperbaiki keuangan mereka. Aku marah karena tidak sekalipun mereka pulang untuk menjenguk ibu. Dan sekarang, setelah ibu sudah mati selama dua belas tahun, mereka baru datang? Sudah tidak ada gunanya lagi keberadaan mereka disini.”

Tak mengatakan apapun, istrinya duduk di samping suaminya dan mengelus-elus pundaknya.

“Pak,” sanggah istrinya, “sadarkah kamu kalau apa yang baru saja kau katakan itu jahat? Janganlah hatimu jadi gelap karena ketidaktahuanmu itu.”

Jakob diam seribu bahasa sementara istrinya melanjutkan, “Bukalah hatimu, Pak. Beri mereka kesempatan dan waktu, itu saja.” Ujar istrinya meyakinkan.

***

Paginya, Jakob tengah bersiap untuk memberi makan ternak ketika tanpa sengaja dia melihat kedua abangnya yang tengah mengisap tembakau di depan rumah sambil menyesap kopi hitam yang masih mengepul. Sayup-sayup, Jakob dapat mendengar apa yang tengah mereka bicarakan. Dia tidak dapat mempercayai telinganya ketika amang Ruhut mengangkat suaranya, menyatakan penyesalannya karena tidak pulang kampung lebih cepat.

“Aku hanya bisa berandai, Bang,” ucapnya lesu, “seandainya aku pulang lebih cepat, mungkin aku masih bisa bertemu ibu. Dan mungkin saja Jakob tidak semarah ini.”

Jakob termenung. Ucapan amang Ruhut terus menerus berputar dalam kepalanya tanpa henti. Namun Jakob menggelengkan kepalanya dan pergi dari tempatnya berdiri tanpa memiliki niat untuk membuka hati. Rasa sakit hatinya sudah terlalu dalam menguasai dirinya.

Selepas memberi makan babi dan ayam peliharaannya, Jakob berjalan sembari mengenang ibunya. Pikirannya sekalut hatinya.

Saat Jakob melihat sekitarnya, dia sudah berdiri di samping kuburan ibunya dibelakang rumahnya. Jakob menatap kuburan ibunya sambil menghela napas panjang sebelum tersenyum kecil. Dia merasa kalau ibunyalah yang membawa dia kemari.

“Bu, ini anakmu, Jakob,” sapanya dalam hening, “Maaf kalau beberapa hari ini aku tidak bisa datang menjenguk.”

Jakob menceritakan kepada ibunya yang berada di langit bahwa kedua abangnya sudah kembali dari tanah Jawa setelah lama menghilang ditelan waktu dan bumi. Dia juga menceritakan keluh kesah yang tersembunyi dalam hatinya yang tidak memiliki kesempatan untuk berbicara.

“Entahlah Bu,” desahnya lirih, “Rasanya sudah tidak ada lagi yang benar dalam diriku ini,” katanya sambil menatap langit biru. “Aku merasa… apa yang aku lakukan ini tidaklah benar.”

Tidak ada yang menjawab selain suara tawa keponakannya dari dalam rumah. Jakob mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sebelum menghela napas panjang sembari mengusap wajahnya yang sekasar pasir dengan gusar. Batinnya lelah. Sungguh, dia berharap ibunya dapat berbicara kepadanya sekarang dan memberikan sebuah petunjuk atau apapun. Namun kenyataan bahwa ibunya tidak lagi akan bisa membantu, menamparnya keras. Pada akhirnya, Jakob memutuskan untuk kembali masuk ke rumah tanpa mendapatkan jawaban dari siapapun.

***

Malamnya, Jakob terbangun dari tidurnya dan tidak bisa mempercayai matanya. Dia yakin sekali kalau semalam dia jatuh tertidur di dalam kamarnya dan bukannya di alam terbuka. Terlebih, yang membuat Jakob bergegas bangkit berdiri dari pembaringan adalah keberadaan ibunya yang tengah duduk bersila di sampingnya. Seakan mengajaknya untuk menari, rumput dihadapannya bergoyang dengan gemulai. Rambut ibunya yang digelung rapi dan mulai berwarna seputih tulang tersisir oleh angin. Ibunya menatap Jakob hangat dan tidak mengatakan apapun sambil menepuk tanah di sampingnya, meminta Jakob untuk duduk. Ragu-ragu, Jakob duduk di sebelah ibunya dengan kaku.

Tak ada yang berbicara di antara mereka untuk waktu yang cukup lama. Jakob sibuk dengan pikirannya yang mulai meracau. Dia sama sekali tidak tahu apakah ini tanda petaka, atau petunjuk dari Tuhan.

“Jakob,” panggil ibunya, “Bagaimana kabarmu?”

Jakob terdiam. Belum pernah dia mendengar suara ibunya yang sehalus sutera, bahkan ketika ibunya masih hidup. Mati-matian Jakob berusaha menahan tangis dengan mengangguk-anggukan kepalanya.

Ibunya mengelus pucuk kepala anaknya. Terlihat jelas guratan kebahagiaan terpancar dari wajahnya. “Bagus, bagus,” ibunya terus mengatakan hal yang sama sembari membiarkan Jakob tidur bertumpu pada pangkuannya, “Ibu lihat, kedua abang mu sudah pulang, ya.”

Jakob mengangguk dalam diam dan menutup kedua matanya, menikmati sentuhan kasih ibunya yang sudah lama tiada.

“Ibu senang sekali saat akangmu pulang setelah sekian lama tinggal di tanah Jawa,” ucapnya bahagia sebelum menatap netra Jakob dengan matanya yang bersinar, “Ibu lihat anak-anakmu dan anak kedua akangmu baik-baik.”

Jakob hanya mengangguk.

“Jakob, anakku,” lanjutnya, “Kenapa dengan hatimu, Nak?”

Jakob tercengang mendengar ibunya. Dia benar-benar tidak menyangka kalau ibunya mendengar perkataannya pagi tadi. Ingin rasanya dirinya bangkit dan membela dirinya, tapi bagai tersihir, tubuhnya tidak menuruti kemauannya.

“Mendengar perkataanmu pagi tadi, aku jadi teringat saat kamu berusaha membela keluarga kita empatbelas tahun lalu,” katanya sambil tertawa renyah.

Perkataan ibunya membuat Jakob teringat saat dirinya melemparkan tinju ke wajah salah satu pedagang yang dikenalnya di pasar. Sesungguhnya, Jakob tidak ingin menimbulkan kekacauan, tapi cibiran pedagang itu pada keluarganya membuat dirinya lepas kendali.

“Mana ada keluarga yang lupa akan kedudukannya!” serunya pada Jakob, “Tak pernahkah ibumu mengajari soal itu? Atau memang benar kalau sudah tak ada adat di keluargamu dengan mengizinkan akangmu pergi merantau dan membiarkan mereka melupakan dari mana mereka berasal?”

Hari itu pula, ibunya berkali-kali berlutut meminta maaf kepada seluruh orang di pasar karena keributan yang berkesan kekanakan yang dilakukan Jakob.

“Apa yang kau lakukan ke pedagang itu sama dengan apa yang kau lakukan pada kedua akangmu,” tuturnya, “Kau tidak mau mendengarkan kedua akangmu dan terlalu berpaku pada sakit hatimu.”

“Lalu aku harus apa?” tanya Jakob lemas, “Bukannya sudah terlambat buat mereka untuk melihat ibu?”

“Mereka kemari bukan tanpa alasan,” jawab ibunya sabar, “Ingat apa yang pernah istrimu katakan beberapa malam lalu?”

“Ya. Dia memintaku untuk membuka hatiku,” jawab Jakob sambil menahan tangis.

“Kalau begitu, lakukanlah,” kata ibunya sambil mengusap rambut Jakob yang seputih tulang, “Ibu yakin, mereka datang untuk kebaikan kalian bertiga.”

Jakob mengangguk lemah. Rasa berat di hatinya kini sirna terbawa angin saat air mata mengalir deras dari kedua matanya dan membasahi pakaian ibunya yang tertawa sambil menepuk-nepuk bahu Jakob.

“Janganlah menangisi aku, Nak,” hiburnya, “Tangisilah hatimu, dan ingat kalau tidak ada kata terlambat untuk meminta maaf.” Ibunya kini bangkit berdiri dan mulai berjalan menjauhi Jakob yang termenung menatap punggung ringkih ibunya yang semakin menjauh dan menghilang terbawa angin.

Jakob menutup kedua matanya, membiarkan air mata yang menggenangi kedua pelupuk matanya mengalir melintasi pipinya yang tirus sebelum terbangun dari tidurnya.

Istrinya yang tidur di sebelahnya terbangun. Dia mendapati suaminya yang duduk di ranjang, gemetaran dengan wajah seputih kertas. “Ada apa, Pak?” tanya istrinya sambil mengusap pelan pungung Jakob yang berkeringat.

“Aku tidak apa,” jawab Jakob dengan suara bergetar, “Hanya, mendapat sebuah pencerahan.”

***

Lepas beberapa hari, seluruh keluarga dari Jakob dan kedua abangnya berkumpul di ruang tengah. Jakob sendiri duduk diam sambil sesekali menghisap tembakau saat abangnya membenarkan tempat duduknya dan mulai berbicara mengenai alasan mereka pulang kampung. “Abang sudah membicarakan ini dengan amang Ruhut jauh sebelum kami sekeluarga berencana untuk datang, dan Ruhut beserta keluarga bersedia ikut serta,” ujar amang Lamsihar, “Akan tetapi Jakob, adat ini tidak akan bisa dilakukan tanpa restu darimu juga.”

Jakob menatap lurus amang Lamsihar. Meskipun dia paham akan adat yang dimaksud oleh kedua abangnya, rasa penasarannya memadamkan bara amarah yang tersisa dalam hatinya. “Apa maksud abang berdua?” tanyanya sebelum dia bisa menguasai bibirnya.

“Kami mau minta keikutsertaan dari keluargamu untuk memindahkan tulang belulang ibu ke tempat yang lebih baik.” balas amang Lamsihar, “Itulah alasan kami datang di saat yang bersamaan.”

“Kami tahu mungkin sudah terlambat bagi kami untuk bisa melihat ibu,” sambung amang Ruhut sambil tersenyum sendu, “Tapi hanya inilah yang bisa kami lakukan, setidaknya agar beliau bisa memiliki tempat peristirahatan yang lebih layak.”

Isak tangis terdengar dari bibir Jakob, diiringi dengan air mata yang mengalir semakin deras. Kedua abangnya terkejut melihat tangisan Jakob dan menanyakan ada apa gerangan. Jakob mengutarakan segala yang ada di dalam hatinya selama ini, terutama amarah yang menguasai dirinya. Berkali-kali Jakob membungkukan badan hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai, memohon pengampunan dari kedua abang dan keluarganya.

“Jakob, janganlah membungkuk,” sambar amang Ruhut, “Kami juga sama bersalahnya dengan dirimu. Biarlah kita memperbaiki apa yang rusak, diawali dengan memindahkan ibu ke tempat yang lebih baik.”

Pagi itu, kabut yang seakan menutupi rumah kini lenyap, diganti dengan rona hangat matahari.

***

“Horas! Horas! Horas!” seru para penggali kubur, menandakan tulang ibu si empunya acara telah ditemukan. Jakob bersama abang-abangnya segera membalas seruan yang bermakna doa ucapan syukur itu. Mereka sudah siap dengan kain putih di tangan masing-masing untuk menerima tulang ibu mereka. Mereka membawa tumpukan tulang ibunya ke tempat yang telah disediakan untuk dibersihkan dengan air campuran kunyit dan jeruk nipis.

Saat Jakob membersihkan tulang ibunya, perkataan ibunya menghampiri pikirannya. Terngiang di telinganya suara ibunya yang lembut, yang menyibakkan tabir amarah yang menyelubungi mata hatinya. Satu-satunya suara yang membimbing hati Jakob keluar dari ketersesatan di kekelaman. Air mata kelegaan meleleh dari pelupuk mata Jakob.

*****

Rest in Peace, Mother!

Novita Dewi menulis puisi dan cerpen ketika SD dan SMP. Karya-karyanya dimuat di majalah Si KuncungBobo, dan lembar anak-anak yang dulu tersedia di harian Kompas dan Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan). Kecintaannya pada sastra dialihkan dengan menulis artikel jurnal ilmiah tentang sastra dan penerjemahan yang telah diterbitkan secara luas. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan dan dimuat di laman Dalang Publishing ini adalah hasil terjemahan sastranya yang pertama.

Saat ini dia mengajar mata kuliah sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Dia dapat dihubungi di alamat surel: novitadewi@usd.ac.id atau novitadewi9@gmail.com.

 

 

Rest in Peace, Mother!

 

The late afternoon breeze ruffled Jakob’s graying hair. He stared at the red earth of his mother’s grave. Twelve years had gone by since his mother’s passing, and fifteen years without the presence of his two brothers, who had left Siborong-borong, their village in North Sumatra, to seek their fortune in Java. Now, the two brothers stood beside Jakob, gazing solemnly at their mother’s grave while the gravediggers unearthed her coffin.

One of the Batak customs is to honor deceased ancestors, including those who died long ago, by moving their bones to a better burial place and holding a proper funeral ceremony. On such occasions, all relatives had to come home to prepare for the ceremony, and this was now happening in Jakob’s family.

***

 

Two months ago, when Jakob and his wife were about to leave their house to sell some produce at the market, his two brothers and their families suddenly appeared in his front yard. Even though the sun had not yet risen, Jakob could see his two brothers were as cheerful as the sun. While Jakob’s wife greeted them kindly, Jakob stood frozen in the doorway. He only returned to reality when his wife shook his shoulder and asked him to go slaughter one of their pigs to prepare a welcome feast. Although Jakob did as his wife asked and invited his two brothers and their families to come in, he spurned their arrival.

Jakob’s anger with his brothers was not without reason. When his two brothers decided to leave home fifteen years ago, their mother was suffering from a severe illness. Despite Jakob’s hopes and her desperate attempts to survive, their mother died in her sleep without saying goodbye. Not having enough money for a proper burial, Jakob buried his mother in his back yard with a simple ceremony, without the presence of his two brothers.

Now, three days after the arrival of his two brothers, after the sun had long set and the other family members were fast asleep, the three brothers sat by the light of the oil lamp. They were silent, until finally Lamsihar, the eldest brother, sighed. “We heard about Mother’s passing,” he said quietly. “Where did you bury her, Jakob?”

Jakob did not answer immediately. Consumed by anger and sadness, he looked silently at his brothers. As if reluctant to reveal the location of their mother’s grave, Jakob took a deep breath. Deep in his heart, Jakob knew that his two brothers had the right to know this information, and that despite their circumstances, they were still family. Jakob sighed, “Our mother is buried in the back yard.”

“Why did you bury Mother there?” asked Ruhut, the middle brother. “Didn’t she say that she wanted to be buried among our ancestors?”

His brothers looked at him, confused.

Jakob wanted his brothers to understand the heartache he had experienced at their mother’s makeshift funeral. “It hurts me to look at the two of you,” Jakob said, clenching his fists. He tried to control the pain in his heart, but couldn’t. Looking at his two brothers with red teary eyes, he said, “Perhaps you succeeded in making your fortune in Java — you have money, you have position, your families are privileged — but now all of that seems pointless.”

“What do you mean, Jakob?” asked Lamsihar in a trembling voice.

“What’s the use of owning as much money as there is sand on the beach, and holding a position as high as the clouds, if you never listened to Mother’s crying?” Jakob snapped. “Honestly, it always surprised me why Mother cried for two men who had deserted their family.”

Jakob saw Ruhut’s jaw set, while Lamsihar remained silent, a sad curve settling on his wrinkled face. Not wanting to add any more fuel to the fire, Jakob rose and, without saying anything, left his two brothers.

In their bedroom, Jakob’s wife tried to calm him. She knew how her husband felt toward his brothers. Nonetheless she told him that his mother would not be happy with his childish attitude and his refusal to listen to his two brothers. Afterall, they had come from far away to see their deceased mother. “It would be wrong for you to throw them out, dear,” she said softly. “Remember that you are blood brothers.”

“So what?” Jakob shook his head angrily. “It doesn’t bother me that they went to Java to better their financial situation; it bothers me that they not once came home to see Mother. And now, they come twelve years after she died? There’s no point in having them here anymore.”

Jakob’s wife sat down beside her husband and caressed his shoulder. “Darling,” she soothed, “don’t you realize that what you just said is evil? Don’t close your heart because of your ignorance.”

Jakob remained silent.

His wife continued reassuringly, “Open your heart, dear. Just give them a chance and time. That’s all.”

***

 

The next morning, Jakob was preparing to feed the livestock when, by chance, he saw his two brothers smoking in front of the house while sipping their hot, black coffee. He could faintly hear their conversation and couldn’t believe it when he heard Ruhut loudly regret not returning home sooner.

“If only,” Ruhut said wearily to his brother, “I had come home earlier, I might have seen Mother, and maybe Jakob wouldn’t be so angry.”

Jakob contemplated Ruhut’s words echoing in his mind. Then, shaking his head, Jakob was again consumed by resentment and continued on without any intention of forgiving his brothers.

After feeding his cattle, pigs, and chickens, Jakob paced aimlessly around, thinking about his mother and feeling troubled. He soon found himself standing beside his mother’s grave in the garden behind his house. Jakob stared at his mother’s resting place and exhaled a long sigh. Smiling a little, he felt that it was his mother who had brought him here.

“Mother, here’s your son Jakob,” he said quietly. “I’m sorry I couldn’t visit you for a few days.” Jakob told his mother that his two brothers had returned from Java after having been gone for a long time. He also told her about the grievances he carried in his heart.

“I don’t know, Mother,” he sighed softly. “I don’t think I’m a good person.” Looking up at the blue sky, he continued, “I feel that what I’m doing is not right.”

No one answered. There was only the sound of his nephews’ laughter from inside the house. Jakob blinked a few times before taking another deep breath. Irritated, he ran a hand across his weathered face. He was tired and fervently wished that his mother could talk to him now and advise him. Realizing once again that his mother was not available to help, upset him. Finally, Jakob turned to go home, even though no one had answered his questions.

***

 

Later that night, Jakob woke up and couldn’t believe his eyes. There was his mother, sitting cross-legged beside him. The grasses in front of them swayed gracefully as if tempting her to dance. Jakob was sure he had fallen asleep in his room and not outdoors, but he rushed to get up. His mother’s hair was neatly tied back and had started to turn as white as ivory. The wind sifted playfully through the strands. She looked at Jakob warmly and patted the ground beside her.

Hesitating, Jakob stiffly sat down next to his mother.

For a long time, neither of them spoke. Jakob was preoccupied with his jumbled thoughts. He had absolutely no idea if this was a sign of disaster, or a sign from God.

“Jakob, how are you?” his mother asked.

Jacob remained silent. He had never heard his mother speak with such a silken voice, even when she was still alive. Nodding his head, Jakob desperately tried to hold back his tears.

Jakob’s mother caressed the top of his head. Happily, she said, “It is all right; things are good.” While motioning Jakob to lay his head on her lap, she said, “I know that your two brothers have come home.”

Jakob nodded. He closed his eyes and enjoyed his mother’s loving touch that he had missed so much.

“I’m very happy to see your brothers have come home after living in Java for such a long time,” Jakob’s mother continued cheerfully. Her eyes sparkled. “I see that your children and your brothers’ children are doing well.”

When Jacob nodded without commenting, his mother continued, “Jakob, what’s wrong with you, Son?”

Jakob was surprised. He had not expected that his mother had heard him talking to her that morning. He wanted to lift his head and defend himself, but somehow, he couldn’t.

“What you said this morning reminded me of the time you tried to defend our family fourteen years ago.” Jakob could hear the smile in her voice. He remembered that day in the market when he punched a shopkeeper he knew in the face. Jakob had not meant to cause any trouble, but had lost his temper when the man insulted his family.

“How can one forget his family?” the shopkeeper had yelled at Jakob. “Didn’t your mother ever teach your brothers about that? Or does your family no longer uphold any tradition and thus allows your brothers to leave and forget their homeland?”

On that day, his mother repeatedly knelt to apologize to everyone in the market for the childish commotion Jakob had caused.

“What you did to that shopkeeper back then is the same as what you’re doing to your two brothers now,” she said. “You don’t want to listen to your two brothers because your anger won’t let you.”

“Then, what should I do?” asked Jakob miserably. “Isn’t it too late for them to visit you, Mother?”

“They’re not here without reason,” his mother answered patiently. “Remember what your wife said a few days ago?”

“Yes,” replied Jakob, holding back his tears. “She asked me to open my heart.”

“Then listen to her,” his mother said, stroking Jakob’s graying hair. “I’m sure your brothers came for the good of the three of you.”

Jakob nodded in relief. He no longer felt burdened. He burst out crying, wetting his mother’s clothes with his tears. His mother laughed and patted Jakob’s shoulder.

“Don’t cry for me, my child,” she comforted. “Cry for yourself. Remember that it’s never too late to make amends.” Jakob sat up as his mother rose. He watched his mother’s frail back slowly disappear in the wind.

Jakob closed his eyes. When he opened them, he was in his own bed with tears flowing down his hollow cheeks.

His wife, asleep next to him, woke up. Gently rubbing Jakob’s damp back, she felt him shaking and saw his ashen face. “What’s the matter, Jakob?”

“I’m fine,” Jakob replied in a quivering voice. “I’ve just had some revelations.”

***

 

A few days later, Jakob and his two brothers gathered in the living room with their families. Jakob sat quietly, occasionally taking a drag of his cigarette, as Lamsihar adjusted his seat and started talking about the reason for coming home. “I discussed this situation with Ruhut long before we planned to visit,” Lamsihar said. “Ruhut and his family were willing to join us. Still, Jakob, it is not possible to perform this funeral ceremony without your consent.”

Jakob looked evenly at Lamsihar. Although he knew about the custom his two brothers were talking about, his curiosity about their sincerity snuffed the last of the burning embers of anger he still carried in his heart. “What do you two mean?” he asked.

“We would like to ask your family to participate in moving Mother’s remains to a more suitable place,” replied Lamsihar. “That’s why we all came home together.”

“We knew that it was too late for us to see Mother,” Ruhut added, with a sad smile. “But this is the only thing we can do at least Mother can have a better resting place.”

Jakob began to sob.

His two brothers were shocked by Jakob’s reaction. Jakob confessed that anger had taken the better of him all this time. Bowing several times until his head almost touched the floor, he begged for forgiveness from his two brothers and their families.

“Jakob, stop it, please!” Ruhut exclaimed. “We are just as guilty as you are. Now, let us fix what is broken, starting with relocating Mother’s grave to a better place.”

That morning, the fog that usually covered the house was gone. It was replaced by the warm glow of the sun.

***

 

“Horas! Horas! Horas!” the gravediggers called out, signaling they had found the bones of Jakob’s mother. Jakob immediately joined his two brothers in responding to the call which meant a prayer of thanksgiving. The three brothers stood, holding white cloths in their hands, ready to receive their mother’s bones.

They carried the bones to the place they had prepared, and cleaned them with a mixture of turmeric and lime juice.

While Jakob cleaned the bones, he recalled his mother’s words. Her gentle voice had removed the shroud of anger that had covered him. Hers was the only voice that had been able to guide him out of the darkness. Tears of joy streamed from Jakob’s eyes.

 

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

.

 

Selamatan Buku Panji’s Quest

San Mateo, 27 September, 2021.

Terpaan Covid yang masih melanda tidak memberikan banyak pilihan kepada kami dalam melaksanakan kegiatan. Salah satu acara terpenting dan sangat kami perlukan adalah penyelenggarakan acara selamatan buku terbaru terbitan kami. Kami akan memastikan ungkapan syukur dan iringan doa terbitnya buku terjemahan ke sebelas kami yang berjudul Panji’s Quest tetap terlaksana.

Panji’s Quest adalah karya terbaru kami yang diterjemahkan oleh Oni Suryaman dari buku karya asli berbahasa Indonesia yang berjudul Tembang dan Perang karya penulis pemenang penghargaan Junaedi Setiyono.

Acara syukuran kali ini berlangsung sangat sederhana tetapi akrab dan penuh kehangatan. Acara digelar di kediaman Ibu Lian, di halaman depan rumah yang penuh pepohonan dan bunga-bungaan. Kali ini kami hanya mengundang Konsul Jenderal Republik Indonesia San Francisco, Bapak Simon Soekarno bersama istri, Ibu Evie Soekarno dan Konsul Kebudayaan, Ibu Riena Dwi Astuti beserta sang suami, Bapak Ishkak.

Tumpeng dengan lauk-pauk khasnya telah kami siapkan sebagai tanda permohonan doa restu dari pihak pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) San Francisco kepada kami.

Di bawah naungan tenda, kami duduk berhadapan dalam jarak cukup aman. Tepat di depan meja undangan terpasang pesawat televisi yang menampilkan powerpoint dan pemutaran video penulis Tembang dan Perang, Junaedi Setiyono dan Oni Suryaman sebagai penerjemah. Kami tampilkan mereka untuk ikut serta memberikan keterangan mengenai tahapan penerjemahan dan suntingan buku. Masing masing memberi bacaan dari secuplik hasil kerja kerasnya.

Silakan mengikuti acara ini melalui tautan Selamatan Buku Panji’s Quest

Duka mendalam atas berpulangnya Prof. Budi Darma

Kami berduka mendalam atas berpulangnya Prof. Budi Darma. Seorang penulis yang menghasilkan banyak karya yang memperoleh penghargaan, dan seorang pendidik yang sangat berpengaruh dan dihormati, beliau adalah tiang landasan dalam dunia sastra Indonesia. Kami merasa terhormat dapat berbagi dua dari cerpen beliau yang berlimpah. Tukang Cukur (The Barber) dan Mata Yang Indah (Beautiful Eyes) ada di halaman Cerita Anda dari laman kami.

Sebagai penghormatan atas pengaruh dan peran Prof. Budi Darma dalam memperkaya dunia sastra Indonesia, kami ingin berbagi saran dan pemikirannya yang tertuang dalam nasihat bijak beliau kepada para penulis muda:

  • Untuk menulis karya sastra, penulis muda perlu membaca banyak buku.
  • Tanpa tulisan, kebudayaan tidak akan maju. Kita bisa belajar karena ada tulisan. Oleh karena itu, menulislah.
  • Menulis bukan sekadar menorehkan huruf dan kata. Menulis membiasakan seseorang dengan literasi khususnya membaca.

Indonesia telah kehilangan seorang tokoh luar biasa dalam dunia penulisan dan pendidikan, tetapi kita juga telah memperoleh banyak dari apa yang beliau berikan selama hidupnya. Sebagai seorang pendidik dan penulis, beliau adalah seorang yang sangat ramah dan murah hati. Sedangkan, tulisannya selalu menggali kebenaran. Cara terbaik untuk menghargai dan mengucapkan rasa syukur kita kepada Prof. Budi Darma adalah dengan melanjutkan semangat pengabdian beliau.

 

Pak Budi, beristirahatlah dalam damai.

Bincang Sastra: Kelindan Penerjemah Sastra

 

Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah menggelar acara sarasehan buku dalam jaringan (daring) melalui pertemuan  Zoom pada hari Sabtu, tanggal 7 Agustus, 2021 lalu.

Acara yang bertajuk Bincang Sastra: Kelindan Penerjemahan Sastra itu menghadirkan tiga narasumber diantaranya,  Dr. Junaedi Setiyono (penulis novel Tembang dan Perang), Oni Suryaman (penerjemah sastra), dan Lian Gouw (pendiri Dalang Publishing).

Bincang sastra ini mengupas dan membahas terjemahan buku terbaru terbitan kami  Tembang dan Perang, karya Junaedi Setiyono. Buku Tembang dan Perang ini adalah karya asli hasil kerjasama Dalang Publishing dengan penerbit PT. Kanisius.

Bagi para pembaca di Amerika, Dalang Publishing menerbitkan terjemahan karya ini dengan judul Panji’s Quest pada awal Agustus dan diterjemahkan oleh Oni Suryaman.

Silakan melihat rekaman acara ini Bincang Sastra: Kelindan Penerjemah Sastra

Pemberitaan mengenai acara ini:

https://www.suaramerdeka.com/hiburan/pr-04694746/webinar-bincang-sastra-balai-bahasa-jawa-tengah-narsum-saya-berutang-budi-pada-cerita-panji

 

Upaya Mengangkat Karya Sastra Indonesia ke Dunia Internasional

Hikayat Jarot di Agustusan

Han Gagas lahir di Ponorogo, 21 Oktober 1977. Dia alumni jurusan geodesi UGM Yogyakarta. Cerpennya dimuat media massa seperti Horison, Kompas, Tempo, Republika, dan Suara Merdeka. Karyanya yang terbit, diantaranya novel Orang-orang Gila (Buku Mojok, 2018). Novelnya Balada Sepasang Kekasih Gila pemenang lomba Falcon Script Hunt 2020 akan difilmkan Falconpicture dan catatan pengalamannya selama tinggal di Yerusalem berjudul Adzan di Israel akan diterbitkan Penerbit Gading pada akhir tahun 2021.

Karya terbarunya, kumpulan cerpen Sepasang Mata Gagak di Yerusalem diterbitkan Penerbit Interlude pada bulan Juni, 2021.

Saat ini tinggal di Solo, Jawa Tengah, selain menulis juga mengelola media daring Nongkrong.co

Penulis dapat dihubungi melalui surel: han.gagas@gmail.com

***

 

 

Hikayat Jarot di Agustusan

 

Para penghuni kolong jembatan sebagian masih terlelap; sebagian ngopi, sebagian yang lain mancing dan menjaring ikan. Ada pula yang mendengarkan siaran radio, “Pidato Kemerdekaan oleh Bapak Presiden, dilanjutkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.”

Jarot sedang membangun bedeng untuk tempat tinggalnya. Saat matanya melihat gitar bas terapung mengalir di arus sungai, dia berlari mengambil. Jarot membersihkan, dan mulai memperbaikinya.

Jarot mau ngamen dengan gitar bas itu buat cari uang. Dia membuat senar dari ban dalam sepeda, dan memasangkannya. Dia coba memetik dan berbunyi “dung-dung-dung.”

Jarot mulai bernyanyi menjajal gitar, sebuah lagu didendangkan:

Di sini senang, di sana senang. Di mana-mana hatiku senang. Lalalalalalala, lalalalalala, lalalala, lalalalalaa, lalalalala, lalalala….

***

Jarot menenteng gitar bas memasuki perkampungan yang penuh bendera merah putih, umbul-umbul terpasang di tepi jalan, berjajar-jajar, semarak karena Agustusan, perayaan kemerdekaan. Dia mendekati sebuah rumah dan mulai menyanyi.

Halo-halo Bandung, ibu kota Periangan. Halo-halo Bandung, kota kenang-kenangan, sudah lama beta… tidak berjumpa dengan kau, sekarang telah menjadi lautan api, mari bung rebut kembali!

Jarot bernyanyi dengan gegap gempita, hingga banyak orang yang mendengar pada senyum-senyum sendiri.

“Edan, ngamen pakai lagu kebangsaan, hehehe,” terdengar suara seseorang.

Jarot juga menyanyi lagu Indonesia Raya, suaranya semangat penuh seluruh.

“Indonesia Tanah Airku/Tanah Tumpah Darahku/Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku/ Indonesia-kebangsaanku/Bangsa dan tanah airku/Marilah kita berseru/Indonesia bersatu.”

Banyak orang yang mendengar jadi turut menyanyi, terutama pada kalimat, Indonesia bersatu! Seruan itu menggetarkan dan mengobarkan semangat semua terlecut sifat kebangsaannya bahkan beberapa anak mulai mengekornya saat mengamen.

Orang-orang tua, yang dimulai oleh seorang mantan pejuang kemerdekaan yang berbaju coklat, juga ikut. Jadinya mulai banyak orang-orang tua termasuk emak-emak turut mengekor Jarot.

Sambil menyanyi makin semangat, Jarot mengamen dari rumah ke rumah, termasuk kios-kios dan toko.

Semua yang mengekor ikut menyanyi bagai paduan suara jalanan yang penuh gelora. Bulan Agustus, bulan perayaan kemerdekaan Republik Indonesia, ini tahun terasa lebih ramai dan semangat. Sebagian warga segera mengenakan pakaian terbaik yang mereka miliki, sebagian lain mengambil ember untuk suara tabuhan. Suara Jarot dan paduan suara jalanan itu makin menggetarkan bendera merah putih dan baliho yang berkibar-kibar di seantero jalanan.

Saat menemukan bendera berkibar di depan SD, Jarot berhenti dan berteriak, “Siiiiiiaaaaaaappppp! Graaaakkkk!!” Orang-orang tua yang mengekornya, termasuk anak-anak turut berdiri dalam keadaan siap.

“Kepada bendera merah putih, hormaaaatttttttt graakkk!” seru Jarot.

Jarot menghormati bendera. Orang-orang mengikuti.

Masyarakat yang menonton jadi senyum-senyum sendiri.

Tak jauh dari arak-arakan Jarot, di sebuah warung, sejumlah orang bercakap-cakap sambil makan.

“Orang edan, gemblung kok diikuti!”

“Ndaklah, dia menyatukan mereka, coba lihat, itu ada yang sukunya Batak, Jawa, Sunda, macam-macam jadi satu, iya khan hehehe….”

“Iya seh, hehehe.”

“Eh, pengamen itu siapa namanya?” tanya yang lain. Dia menunjuk Jarot yang wajahnya seperti orang lugu, hidungnya pesek, dan giginya tonggos.

“Jarot tha, kenapa?”

“Asyik orangnya, kemarin aku lihat dia membersihkan sungai. Sampah-sampah dia kumpulkan dan dia pilah mana yang secara alamiah dapat terurai dan mana yang tidak, sebagian dia bakar. Dia juga menanami bantaran sungai dengan bibit pohon mangga.”

“Wah, sungai yang bersih sana itu tha?

Ibu penjual yang mendengar ikut menyahut: “Iya, Jarot yang bersihin!

***

Lambat laun sejumlah penduduk membantu Jarot maka sungai yang sebelumnya sangat kotor dan dipenuhi semak belukar itu kini jadi lebih bersih dan tertata. Seiring berjalannya waktu pohon-pohon makin membesar dan meninggi membuat lingkungan sekitar sungai jadi rindang dan teduh, sehingga jadi tempat yang enak buat memancing. Kadang-kadang pula Jarot ikut memancing, dan memperoleh hasil yang lumayan untuk lauk makan.

Makin hari kehidupan di sekitar sungai makin bertambah maju, dengan dibangunnya taman dan tempat bermain anak-anak. Saran itu adalah usulan yang disampaikan Jarot di rapat warga yang disetujui Ketua RT dan RW. Dengan bantuan dana dari pemerintah kota, taman dan tempat bermain anak itu dibangun. Makin majulah kehidupan di sekitar sungai, dan itu jadi percontohan tempat-tempat lain untuk memajukan wilayahnya masing-masing.

Jarot sendiri makin dikenal sebagai penggiat lingkungan. Kehidupan di tepian sungai itu yang sebelumnya sepi-sepi saja sekarang berkembang.

Jasa parkir dibuka di dekat bantaran sungai, beberapa warung tenda dibuka untuk melayani pengunjung taman. Toko pulsa, tukang cukur, warung nasi, jualan es, jualan bensin dan toko kelontong mendadak ramai, bisa dibilang berkat Jarot usaha para warga sekitar jadi makin laku, makin banyak mendatangkan keuntungan.

Jarot sendiri tak memungut beaya dari siapa saja yang ingin menikmati taman dan tempat bermain anak-anak itu. Hanya ada seorang tetangga yang bertugas mengawasi kendaraan sambil memasang kaleng besar buat wadah uang seikhlasnya untuk membayar parkir. Lembaran-lembaran uang yang masuk ke dalam kaleng itu nanti akan digunakan untuk kebutuhan warga, khususnya untuk membantu biaya pengobatan bila ada yang sakit, dan biaya melahirkan.

Hari-hari jadi penuh kesibukan, penuh kesungguhan. Semua berjalan sesuai adatnya selama beberapa tahun hingga pada satu malam yang tak biasanya, Jarot bermimpi aneh yang membuatnya merasa gelisah, merasa terancam.

Ada bayangan gelap membekapnya malam-malam. Jarot megap-megap tak berdaya, dan terbangun saat dia nyaris kehabisan napas. Keringat dingin bercucuran di dahi.

Dia tak tahu siapa pemilik bayangan itu. Jarot mulai menyelidiki hal ikhwal yang barangkali berhubungan dengan mimpinya. Dia menelisik ke dalam dirinya sendiri. Dia tahu ada sikap suka dan tidak suka dari warga masyarakat mengenai dirinya. Baginya semua itu wajar sepanjang dia tak diganggu, dia sendiri tak berniat mengganggu yang lain, dia akan menjalani semua hal dengan hati ringan.

Dia selalu percaya pada naluri yang kerap terbukti, bahwa ada orang lain yang tak menyukai kehadirannya. Pastinya pemilik bayangan itu. Wajahnya gelap.

Saat Jarot mencoba menerawang lebih dalam dan khusyuk, secara aneh tabir hitam menutupi parasnya membuat muka itu jadi rata. Hanya bagian pakaian yang samar-samar bisa dilihat. Setelan bajunya rapi, berjas dan berdasi, jam berantai emas terselip di saku baju, dia bersepatu selop.

Mimpi buruk tak cuma sekali mendatanginya. Termasuk malam itu, mimpi lebih menyeramkan! Tak hanya bayangan gelap yang membekap tetapi juga puluhan orang datang menyerbu, sedangkan sosok malaikat kematian pun datang mengancamnya. Dini hari itu, Jarot terbangun dengan keringat bercucuran, bayangan itu tak juga lekas pergi. Cukup lama dia terbangun dan cukup lama bayangan itu ada di pelupuk matanya, seakan menjerat ingatannya. Jarot segera mendaraskan wirid yang panjang, bersembahyang sampai subuh menjelang hingga hatinya merasa tenang.

Hari itu Jarot berpuasa.

Dia berpikir barangkali dalam hidupnya pernah melakukan hal tak baik yang tak dia sadari. Dia ingin menebus hal tak baik itu yang barangkali ada hubungannya dengan mimpi buruknya selama ini. Semua hal baik dia upayakan di hari itu, namun kesialan bisa datang kapan saja, tanpa diduga.

Malam itu sesudah Jarot berbuka puasa, seperti biasa dia mempersiapkan diri dengan semangat untuk esok hari merayakan hari kemerdekaan. Jarot mengumpulkan bendera untuk persiapan upacara bendera.

Tiba-tiba datang puluhan orang.

“Jarot!” teriak seseorang.

Dalam kegelapan, gelaran air sungai masih terlihat hamparannya karena tersirami cahaya sinar rembulan. Lampu merkuri di pojok jembatan berkemilau bergoyang-goyang karena

cahayanya terhambat bebatuan.

Tak banyak orang di kolong jembatan pada malam itu, andai pun ada akan menyingkir melihat puluhan orang datang membawa ancaman.

“Keluar kau!” teriak orang-orang itu lebih keras.

Jarot tergeragap, hatinya berdesir, jantungnya berdetak tak biasa, namun dia segera menenangkan diri, melangkah keluar dari bedengnya.

“Ada apa? Tenang, semua bisa dibicarakan.”

“Persetan dengan omonganmu!”

Beberapa orang langsung merangsek menyerang Jarot, mengeroyoknya.

“Tenang, sabar, apa mau kalian? Ayo bicara baik-baik,” kata Jarot sebelum berbagai tonjokan dan tendangan menghantam tubuhnya, bertubi-tubi. Hidungnya berleleran darah, perutnya nyeri tanpa ampun. Kepalanya pusing, pening, ngilu, dan rasa nyeri meradang di sekujur tubuhnya.

“Pergi dari sini kalau kau tak mau mati!” Hajaran itu berlangsung makin beringas tak peduli.

Jarot diam tak melawan. Tubuhnya tersungkur ke tanah.

“Minggat! Kalau besok kau masih ada, kau akan kami habisi!”

“Ingat itu!”

Sejumlah orang meludahi muka Jarot, “Cuihh! Cuihh! Cuihh!”

“Pergi jauh dari sini! Kalau tidak, kau mampus! atau mereka warga kampung akan kami habisi, rumah mereka akan kami bakar!”

***

Diluar sepengetahuan Jarot, sesudah kejadian malam itu, di sebuah kantor pemerintah daerah, seorang yang berbaju rapi, berjas dan berdasi, dengan jam berantai emas di saku kanan dan bersepatu selop, berbincang dengan seseorang.

“Bagaimana?”

“Sudah kami bereskan, Tuan.”

“Bagus. Tak ada yang bisa menghubungkan gembel itu denganku, karena beberapa bulan lagi pembangunan baru akan dimulai, hahaha.”

“Benar sekali Tuan, hehehe.”

Lelaki yang dipanggil tuan itu puas siasatnya berhasil dengan baik. Dia tahu betul bahwa Jarot bisa jadi ancaman pada pembangunan jembatannya. Dia tahu Jarot punya kemampuan menghalangi rencana pembangunan yang akan merubuhkan jembatan lama dan menggantikannya dengan yang lebih lebar dan besar.

Namun perbaikan itu tidak akan dapat terlaksana tanpa merusak taman Jarot dan menyingkirkan penduduk desa. Belum tersebut dampak pembangunan yang akan timbul pada lingkungan sekitar sungai. Seorang pengusaha juga telah berjanji akan mendirikan sebuah pabrik besar di tepi sungai itu baginya.

Semua jalan telah ditempuhnya. Sesama teman pejabat pemerintah sudah disuap. Hanya baru-baru ini dia menyadari ada perubahan pola pikir dari warga di sekitar jembatan dan sungai, dan itu berasal dari pergerakan yang disebarkan oleh Jarot. Hal itu mudah dilihat dengan semakin bersih dan tertatanya lingkungan sekitar sungai. Dia yakin Jarot bukan orang sembarangan. Dia yakin, Jarot disusupkan oleh gerakan kelompok tertentu. Setidaknya oleh para penggiat lingkungan, atau HAM, LSM kiri, atau kelompok ikatan buruh.

***

Di malam menjelang hari perayaan kemerdekaan, Jarot melangkah kesakitan menjauhi kampung yang telah membuatnya jatuh cinta. Malam itu malam yang naas bagi kehidupan Jarot yang direnggut kebebasannya.

Di hari kebebasan bangsa Indonesia dari penjajah, Jarot terusir dari gubuk tempat tinggalnya selama ini.

Paginya, orang-orang kampung geger, semua bingung tanpa Jarot.

Tak ada Jarot yang memandu upacara bendera, tak ada lagi arak-arakan dan paduan suara yang membahana di kampung itu tepat di Hari Kemerdekaan.

*****

 

Jarot’s Independence Day

Novita Dewi menulis puisi dan cerpen ketika SD dan SMP. Karya-karyanya dimuat di majalah Si KuncungBobo, dan lembar anak-anak yang dulu tersedia di harian Kompas dan Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan). Kecintaannya pada sastra dialihkan dengan menulis artikel jurnal ilmiah tentang sastra dan penerjemahan yang telah diterbitkan secara luas. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan dan dimuat di laman Dalang Publishing ini adalah hasil terjemahan sastranya yang pertama.

Saat ini dia mengajar mata kuliah sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Dia dapat dihubungi di alamat surel: novitadewi@usd.ac.id atau novitadewi9@gmail.com.

 

***

 

 

Jarot’s Independence Day

 

Some of the folks who lived under the bridge were still asleep; some sat drinking coffee; others fished the river. Still others listened to the radio broadcast: “The President’s Independence Day speech will be followed by the national anthem, Indonesia Raya.”

Jarot was building a shelter to live in when he saw a bass guitar floating in the river. He ran for it. After Jarot caught the instrument, he cleaned it and tried to fix it. He used the inner tubes of a bicycle to make strings for the guitar. Fancying himself performing with the bass guitar to earn money, he tried to pluck. Boom, boom, boom!

Strumming the guitar, Jarot sang, “I’m happy here, I’m happy there. I am happy everywhere. Lalalalalala, lalalalalala, lalalala, lalalalala, lalalalala, lalalala …”

***

Carrying his bass guitar, Jarot entered the village, decorated with red and white Indonesian flags and banners lining the roadsides in celebration of Indonesia’s Independence Day on August 17. He approached a house and began to sing.

“Hello, hello, Bandung, capital of the Periangan. Hello, hello, Bandung, city of memories. I haven’t seen you for a long time; now you’ve become a sea of​​ flames; let’s reclaim it!”

Jarot sang so loud that he made many people smile.

“He is crazy, singing patriotic songs,” someone said, laughing.

Jarot also sang Indonesia Raya with enthusiasm.

“Indonesia is my homeland, the land where I spilled my blood. It’s where I stand to support my fatherland. Indonesia is my nationality, my nation and homeland. Let us shout: Indonesia unite!”

Many people began to sing along, repeating, especially, the phrase “Indonesia unite!” It was such a rousing call that it ignited everyone’s feelings of nationalism. Some children even began to follow the street singer, as he moved about the village.

The elderly, led by a brown-uniformed ex-freedom fighter, also joined. Thus, many adults, including mothers, started to trail behind Jarot.

Jarot’s singing became more and more enthusiastic as he went door to door, visiting food stalls and shops.

His followers looked like a lively street choir. This year’s August celebration of the independence of the Republic of Indonesia seemed livelier and more spirited. Some residents put on their best clothes; others took pails to use as drums. The voices of Jarot and the street choir seemed to make the red-and-white flags and banners decorating the streets flutter faster.

When Jarot saw the flag flying in front of an elementary school, he stopped and shouted, Attention!” The parents and children who followed him straightened up.

“Salute the colors!” cried Jarot and saluted the flag.

Everyone followed suit.

The bystanders watching them, smiled.

In a food stall, not far from the Jarot-led procession, a number of people were eating and making comments.

“Foolish people. Why are they following Fatso?”

“Jarot unites them. Look! Amongst them are Bataknese, Javanese, and Sundanese. Don’t you think all of them are having a good time together?

Even some of the old people have joined him!” The commenter laughed.

“Hey, what’s the busker’s name?” another asked, pointing at Jarot.

With his flat nose and protruding teeth Jarot looked like the village fool.

“That’s Jarot. Why?”

“He is a busy person. Yesterday, I saw him taking trash out of the river. After he sorted the garbage, separating the biodegradable from the non-biodegradable, he burned some of it. He also planted mango saplings on the riverbanks.”

“Wow! Is that the river he cleaned up over there?”

The food stall owner was listening to the conversation and chimed in, “Yes, Jarot is the one who cleaned it!”

***

Gradually, over time, a number of residents began helping Jarot clean up the river. Previously very dirty and filled with shrubs, the river was now cleaner and the surroundings were better managed. As time went by, the trees grew bigger and taller, creating a cool and shady environment, a good place for fishing. Sometimes Jarot joined the fishermen and caught a good meal.

At a community meeting, Jarot put forth an idea that was approved by the neighborhood and hamlet leaders. With help from the government’s city funding, the community built a park and children’s playground. Life around the river became more prosperous, and the settlement became a model for other places to develop their rundown areas.

Jarot became increasingly recognized as an environmental activist. The previously dreary life on the riverbanks was now flourishing.

A parking lot and several tent stalls opened near the riverbank to serve visitors. Cellphone shops, barbershops, food stalls, a gasoline outlet, and variety stores now buzzed with customers. Jarot could be credited for the booming businesses of the local residents, as well as for their now thriving lives.

Jarot did not collect any fees from people who wanted to enjoy the park and the children’s playground. Instead, a person from the neighborhood was put in charge of the parking lot, where visitors could place their voluntary donations in a large can. The money was used to help residents with medical expenses, such as childbirth.

Jarot’s days were filled with noble activities. Everything continued as usual for many years until one night, he had a strange dream that made him feel uneasy and threatened.

In his dream, a dark shadow appeared and swiftly smothered him until he could hardly breathe. Gasping helplessly, Jarot woke up just as he was about to suffocate. Cold sweat dripped down his forehead.

He didn’t know who the shadow belonged to. Jarot began to investigate things that might explain his nightmare. He looked within himself. He knew that in the community there were people who liked him and people who disliked him. To Jarot, this was to be expected, as long as no one disturbed him. He was a light-hearted person and did not intend to bother others.

But Jarot had always believed his often-proved instinct that some people didn’t like his presence. Jarot figured that one of these people must be the owner of the shadow. His face was dark. When Jarot tried to take a better look, the black veil that covered the strange figure flattened his face. Only his clothes were vaguely visible. Standing in loafers, the figure was dressed in a nice suit and wore a necktie. A gold chain was attached to the watch tucked in his vest’s pocket.

The nightmare returned. This time, the dream was even more sinister. Not only did the shadowy figure rush in, but so did dozens of people. The dark shadow of the “angel of death” was amongst them.

Jarot woke up sweating profusely. The image of the shadow remained, even after Jarot had been awake for a long time. It seemed to be stamped into his memory. Jarot immediately recited a long wirid, hoping that the prayer said after the regular prayers, would calm him.

That day, Jarot fasted.

He wondered if perhaps he had inadvertently done something wrong. He wanted to make up for the bad thing that might have something to do with his recurring nightmare. All day, he tried to do good, but he knew that bad luck could come at any time, unexpectedly.

That evening, after Jarot broke his fast, he prepared himself with his usual enthusiasm for the celebration of Indonesia’s Independence Day. Inside his shack, Jarot was gathering flags for the flag ceremony when suddenly dozens of people stormed the bridge.

“Jarot!” someone shouted.

In the darkness, the riverbank was visible, basking under the moonlight. The light from the lantern at the corner of the bridge, shimmered between the rocks.

There weren’t many people under the bridge that night, and even if there had been, they would have fled when they saw dozens of menacing people arrive.

“Get out!” the people shouted louder.

Jarot staggered, his heart hammering. Quickly, he calmed himself and walked out of his shack.

“What is wrong?” he asked the crowd. “Calm down. Everything can be discussed.”

“To hell with your talk!” Several people charged at Jarot, ganging up on him.

“Calm down, be patient, what do you want? Let’s talk!” Jarot cried before he was overtaken by the mob and repeatedly punched and kicked. His nose was bloodied. His stomach hurt terribly. He was dizzy and ached all over.

“Get out of here if you want to stay alive!”

The beating from the mob accelerated without mercy. Jarot did not fight back. He fell to the ground.

“Get lost! If you’re still around tomorrow, we’ll kill you!”

“Remember!”

Several people spat on Jarot’s face. Ptui! Ptui! Ptui!

“Leave! Or you’ll die! We’ll burn this village and kill the residents!”

***

Later that night, a local government official was holding a conversation with a man standing in loafers, wearing a nice suit fitted with a necktie. A gold chain was attached to the watch tucked in the man’s vest pocket.

“Well?” the official asked.

“We’ve taken care of it, sir.”

“Good! I don’t want to have anything to do with that scumbag. In a few months, the new bridge construction project will start.” The official laughed.

“That’s right, sir,” the man said, joining in the laughter.

The official was satisfied that his scare tactic had worked. Only recently had he noticed a change in the mindset of the population living under the bridge and on the riverbanks. Jarot’s ideas had changed them. This was evidenced by the cleaner and more orderly environment around the river. He was sure that Jarot was not an ordinary person, and he was sure that causes such as human rights activists, leftist NGOs, and labor union groups supported Jarot.

Therefore, the official knew very well the threat that Jarot posed to carrying out his bridge construction plans. He also knew that Jarot had the ability to block the construction project, which could not take place without destroying Jarot’s shack and removing the other villagers in order to tear down the old bridge and replace it with a wider and bigger one. The negative impact that the development would have on the river’s environment was another factor, as was the large factory that a businessman promised to build for him on the riverbank.

But now, all safety measures had been taken. The official had even bribed his government colleagues.

***

On the eve of Indonesia’s Independence Day, the day when the Indonesian people celebrate their freedom from the colonizers, Jarot left the place he had fallen in love with. He was evicted from the shack under the bridge, which he had called home all this time and pain-ridden from the fateful night that had stripped off his freedom.

On the morning of August 17, there was a big commotion among the villagers. Without Jarot, everyone was confused. And on that Independence Day there was no one to direct the flag ceremony, no one to lead the parades, and no one to direct the street choirs in the riverbank settlement under the bridge.

 

 

 

*****

 

 

 

 

 

 

 

.

 

Mengenang Padewakkang

Andi Batara Al Isra lahir di Ujung Pandang, 9 Januari 1994. Sedang pusing kuliah antropologi di University of Auckland, Selandia Baru, melalui beasiswa pendidikan Indonesia LPDP. Karyanya berupa cerpen dan puisi telah diterbitkan di berbagai majalah dan surat kabar, juga pernah dimuat dalam beberapa buku antologi bersama. Selain itu, tulisannya pernah menjuarai beberapa lomba penulisan tingkat nasional dan memperoleh penghargaan, seperti cerpennya yang berjudul Keranda Puang mendapatkan penghargaan FLP Awards 2017 sebagai Cerpen Terpuji. Batara juga telah menerbitkan dua buah buku puisi tunggal, yakni Di Seberang Gelombang (2019) dan Gersik dalam Matriks (2020). Cerpen Mengenang Padewakkang yang dimuat pada laman Dalang Publishing ini merupakan karya pertamanya yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Bergelut di Forum Lingkar Pena, Yayasan Antropos Indonesia, Wijen Projects, dan Perpustakaan Antropologi FISIP Unhas. Batara juga mengelola laman www.bacabata.com, sebuah laman yang terbuka bagi siapa saja untuk mengirimkan dan menerbitkan tulisan. Sila kunjungi akun Facebook Andi Batara Al Isra atau akun Twitter dan Instagram @bataraisra. Bersurat di aali598@aucklanduni.ac.nz.

 ***

 

 

Mengenang Padewakkang

 

ARNHEM Land, Australia, Desember 1945

Sudah bertahun-tahun Burarrwanga Dayn Gatjing menatap kosong kaki langit. Di tangannya ada pipa tembakau dari kayu yang sejak lama tak pernah lagi mengepul. Dia menunggu kapal-kapal dari Makassar kembali menanam sauh seperti dulu. Setelah angin tenggara yang bertiup antara akhir Maret hingga April, membawa layar padewakkang, kapal dagang milik orang Makassar, ke utara puluhan tahun silam, tak ada lagi yang tersisa selain kenangan. Kepergian mereka seperti kehilangan sebagian dari diri sendiri.

Burarrwanga, lelaki berambut putih dan berkulit gelap itu, adalah pemimpin kelompok suku Yolngu, penduduk pribumi kawasan ini. Meski keriput, meski tubuhnya terlihat rapuh dihantam angin pantai dan gurun, harapannya tidak pernah pupus. Lama sekali, setiap tahun, ketika baarramirri, angin dari arah barat laut, tiba antara Desember dan Januari, sepanjang pantai ini penuh orang dan kapal yang tertambat. Ada yang mengangkat keranjang, ada yang menyelam mencari teripang, dan ada yang mengasapi hasil buruan tersebut. Bayangan tentang masa indah itu tidak pernah hilang dari ingatan Burarrwanga Dayn Gatjing. Dia akan terus menunggu Daeng Gassing bersama para pelaut Makassar lainnya datang dari seberang lautan dengan membawa beras, emas, dan tembakau. Memang sudah sejak ratusan tahun lalu, orang Makassar kerap datang ke Arnhem Land, membangun hubungan baik yang saling menguntungkan dengan penduduk asli di sana, termasuk leluhur Burarrwanga. Hubungan baik tersebut berjalan hingga kini.

“Mungkin mereka ditelan ular petir di tengah lautan,” kata Marika, istri Burarrwanga Dayn Gatjing.

“Jangan bilang sembarangan. Ular petir hanya menyerang orang jahat yang berlayar. Orang baik seperti mereka tidak akan ditenggelamkan.”

“Sudahlah, Burarrwanga, masih ada pohon asam yang dulu mereka tanam. Kau bisa istirahat di bawahnya,” lanjut Marika.

“Sudah lama nama itu tidak kudengar. Terakhir kali kau memanggilku seperti itu saat mereka masih di sini kan?”

“Ya, orang-orang, bahkan para orang kulit putih sekarang lebih mengenalmu dengan Dayn Gatjing ketimbang nama lahirmu.”

Sambil menghela napas, Burarrwanga Dayn Gatjing mengingat kembali apa yang telah dilakukan orang-orang berkulit putih itu pada hidupnya. Kapal-kapal padewakkang milik orang Makassar sudah tiada, diusir oleh Persemakmuran Australia engan alasan-alasan yang tidak masuk akal. Sekarang, yang berseliweran hanyalah kapal-kapal mereka, menguasai lautan dan menguras hasilnya tanpa ampun, terutama teripang. Orang Yolngu tidak mendapatkan apa-apa. Mereka tidak dilibatkan dalam pasar. Persemakmuran Australia mengambil semuanya.

Ingatan Burarrwanga lalu terbang ke masa puluhan tahun silam. Masa ketika pantai-pantai Arnhem Land masih dipenuhi layar padewakkang orang Makassar.

***

Siang yang terik di bulan Januari 1905 seolah matahari berlipat ganda di tanah ini. Meski begitu, beberapa awak kapal serta orang-orang Yolngu bertelanjang dada dan kaki tetap sibuk mengangkat keranjang bambu berisi puluhan teripang yang baru saja ditangkap dari dasar laut. Teripang-teripang tersebut akan dibawa ke sebuah tempat pengasapan di mana Daeng Gassing, seorang pemimpin kapal asal Makassar, duduk mencatat jumlah pikul yang hari ini berhasil dikumpulkan.

Di sebelahnya, Burarrwanga duduk mengawasi anggota kelompoknya yang ikut membantu kegiatan tersebut. Di tangannya terdapat pipa kayu berisi tembakau pemberian bapaknya, yang jauh di masa lalu adalah juga pemberian seorang pelayar asal Makassar. Hampir setiap pria dewasa di kelompoknya memiliki benda ini. Mereka menyebutnya pipa Makassar sebab orang Makassarlah yang membawa benda ini dari seberang lautan.

“Tembakau yang saya simpan sejak setahun lalu kau ke sini sudah habis. Sekarang kau bawa lagi,” ucap Burarrwanga sambil asap keluar dari hidungnya.

“Itu yang leluhur kita selalu lakukan sejak ratusan tahun lalu. Sudah kebiasaan bukan? Setiap tahun, kami, orang-orang Makassar, bawakan kalian barang dan sebagai gantinya, kalian sebagai penduduk asli di sini bantu kami kumpulkan teripang,” kata Daeng Gassing sambil mencatat angka-angka yang kurang dimengerti oleh Burarrwanga. Orang-orang di Arnhem Land tidak begitu mengerti tulisan. Mereka tidak punya aksara. Jika ingin merawat ingatan, mereka menggambar atau mengukir kayu serta batu.

“Kami tidak akan merasa sebaik ini jika di masa lalu, orang-orangmu tidak ke tanah ini mengumpulkan teripang. Kalian bisa ambil itu semua, kami tidak memakannya,” kata Burarrwanga sambil sedikit tertawa.

“Rasanya memang tidak enak. Tidak ada orang Makassar yang makan hewan aneh ini. Kami jual ke Tiongkok. Harganya mahal. Pantaimu menghasilkan banyak sekali teripang dengan mutu bagus,” sambung Daeng Gassing.

“Kau tahu, aku berharap suatu hari aku bisa mengunjungi kampung halamanmu. Pasti tempat itu sangat makmur dan maju. Banyak kapal dan rumah besar, kan?” tanya Burarrwanga.

“Kalau tanah itu sangat makmur, kami tidak mungkin ke sini mencari teripang. Di sana banyak masalah, terutama setelah orang Belanda menguasai Makassar. Namun di sisi lain, kami senang bisa ke sini, leluhur kami pun pasti senang,” jawab Daeng Gassing.

Apa yang lelaki Makassar itu mungkin tidak sadari adalah bahwa selama ratusan tahun, leluhurnya telah membawa perubahan besar bagi kehidupan di Arnhem Land. Mereka memberikan beras, logam, tembakau, minuman keras dan barang-barang lain yang tidak pernah dilihat orang Arnhem Land sebelumnya. Tanah ini sudah seperti bagian dari mereka. Bahkan di masa lalu, desas-desus pernah menyebar bahwa Arnhem Land adalah bagian kekuasaan Kerajaan Gowa. Itu pula alasan mengapa orang Makassar memiliki nama khusus bagi tanah ini. Mereka menyebutnya Maregeq.

Di tengah percakapan itu, Marika yang sedang hamil besar tiba-tiba mendatangi mereka berdua. Dia berlari-lari kecil dengan napas tersengal-sengal.

“Orang Persemakmuran… ada orang Persemakmuran Australia … saya lihat mereka … bawa pistol … senapan … ke sini.”

Mendengar itu, Daeng Gassing dan Burarrwanga langsung meminta orang-orangnya menyiapkan senjata. Orang Makassar menyelipkan badik dan parang di balik sarung, sementara orang Yolngu menyiapkan tombak dan panah. Mereka tidak ingin kekerasan. Hanya saja, karena orang-orang Persemakmuran Australia membawa senjata, segala kemungkinan harus dipersiapkan.

“Anda terlalu jauh dari kampung halaman dan sudah terlalu banyak mengambil teripang di tanah orang. Anggap saja ini peringatan.” Kata seorang polisi Persemakmuran Australia begitu dia berhadapan dengan Daeng Gassing.

“Kapal-kapal saya terdaftar di syahbandar Port Bowen. Apa yang perlu diperingatkan?”

“Lihat,” polisi itu mengeluarkan selembar kertas, “saya ditugaskan mengawasi kalian karena meracuni orang-orang asli sini. Kalian mengajarkan mereka mabuk!”

“Hei, apa urusanmu menganggu kesenangan kami?” Burarrwanga angkat suara. Dia tidak senang melihat orang Persemakmuran Australia mencampuri kehidupan orang-orangnya.

“Itu yang sering dikatakan para penjahat. Dengar, tanpa sadar, kalian dirusak oleh orang-orang ini yang entah datang dari mana,” polisi itu menatap Burarrwanga sambil tangannya menunjuk Daeng Gassing.

“Bukan kau yang memerintah di sini!” Dengan geram, Burarrwanga sekonyong-konyongnya berusaha meninju polisi yang berada di depannya. Sedikit meleset, tetapi polisi itu kehilangan keseimbangan dan jatuh ke belakang.

Begitu tersungkur, polisi itu tiba-tiba melepaskan tembakan peringatan ke angkasa. Orang-orang di sekitarnya menutup telinga. Kini, orang-orang Makassar dan Yolngu menghunus senjata tajam, siap menyerbu pasukan polisi berkulit putih. Namun, Daeng Gassing memberikan isyarat agar menahan serangan.

“Karena ini hanyalah peringatan, kami akan pergi. Kami sebenarnya tidak ingin ada pertumpahan darah. Tapi, sebelum itu, pukulan harus dibalas dengan pukulan…” Debuk! Bogem mentah mendarat di wajah Burarrwanga.

Polisi Australia berambut pirang itu pergi membawa pasukannya begitu saja setelah menghantam tulang pipi Burarrwanga.

Orang-orang kini mengeremuni Burarrwanga. Beberapa yang lain hendak melawan balik dan mengejar polisi Persemakmuran Australia, tetapi Burarrwanga yang setengah sadar memberikan isyarat agar menyudahi persoalan ini. Pukulan polisi itu terlampau keras. Kepala Burarrwanga berkunang-kunang, seperti ada banyak kanguru yang melompat-lompat di sekelilingnya. Pandangannya semakin kabur, dia tidak lagi melihat wajah Daeng Gassing dengan jelas. Semuanya berubah hitam. Dia pingsan.

***

Dua tahun setelah peristiwa peringatan pada 1905, tiba waktu dimana orang Makassar harus benar-benar hengkang dari Arnhem Land sebab Persemakmuran Australia yang telah mengeluarkan larangan pelayaran bagi orang Makassar untuk memasuki wilayah Australia. Berita itu merupakan kabar buruk. Lebih buruk dari badai yang sering menghantam padewakkang saat melintasi lautan. Bagaimana tidak, mencari teripang sampai ke tanah jauh adalah kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun sejak pertengahan 1600. Leluhur Daeng Gassing yang berlayar lebih dulu ke Arnhem Land ketimbang orang berkulit putih yang datang belakangan bersama ribuan tahanan dan senapan.

Mata Burarrwanga belum lepas dari lidah api unggun yang menjilat sunyi. Menit-menit berlalu, belasan orang yang duduk mengelilingi penerang itu tak mengeluarkan suara sama sekali. Yang terdengar hanya debur ombak menyapu pasir, decit papan kapal yang digoyang arus, dan ranting patah yang dilahap api. Mereka bingung, marah, sekaligus sedih, sebab esok hari, setelah padewakkang pergi, mereka mungkin tidak akan pernah bertemu lagi.

Burarrwanga mengais-ngais api dengan ranting. Dilihatnya sisa bakaran yang telah jadi abu, persis harapan orang-orangnya. Dia menghela napas lalu mengembuskannya kuat-kuat. Dia terlampau pusing. Banyak hal jumpalitan di kepalanya seperti kanguru yang biasa dia buru di padang sabana. Dia memikirkan nasib orang-orang dan keturunannya kelak jika dia bersama istri dan anaknya memutuskan ikut ke Makassar bersama para pelayar yang telah dia kenal bahkan sejak dia mulai bisa mengingat.

Persis di hadapannya, di sebelah kobar api yang menari-nari, dia melihat wajah murung Daeng Gassing. Burarrwanga heran, harusnya lelaki berkumis tebal dan berambut panjang itu tidak perlu terlalu sedih sebab Daeng Gassing akan kembali ke Makassar beserta belasan awak kapal yang rindu melihat nyiur pelepah.

“Kau yakin mau tinggalkan Arnhem Land?” Daeng Gassing memecah sunyi.

“Saya harus. Orang Persemakmuran Australia telah mengambil semuanya, tidak ada lagi yang bisa saya pertahankan. Kami tidak bisa hidup tanpa kalian,” jawab Burarrwanga sambil tangannya melempar ranting ke dalam api.

“Tapi orang-orangmu? Kau mau biarkan mereka?”

“Para tetua akan memilih pemimpin suku yang baru setelah saya pergi. Ini kesempatan terakhir saya seberangi gelombang dan melihat ada apa di balik kaki langit. Aku ingin kehidupan yang lebih baik bagi istri dan anakku.

Mereka bersitatap. Bara seolah berpindah dari arang ke mata dua orang yang sudah seperti saudara itu. Daeng Gassing tidak ingin Burarrwanga meninggalkan orang-orangnya begitu saja. Namun dia bisa apa. Dia tidak berhak menghalangi mimpi seseorang.

“Kemarin saya bertemu seorang ibu, dia menangis sambil terduduk dan memukul-mukul pasir begitu tahu kita akan pergi,” kata Marika.

Daeng Gassing masih tertunduk. Tangannya memegang sejenis gelas dari bambu berisi ballo, minuman keras khas Makassar yang terbuat dari nira enau atau kelapa, yang jauh-jauh dia bawa dari Makassar. Tak lama berselang, dia bangkit lalu menyerahkan gelas itu pada Burarrwanga. “Ini malam terakhir kita bersenang-senang. Di sana masih banyak, habiskan saja,” tawar Daeng Gassing yang disambut oleh Burarrwanga dengan senang hati.

“Saya, sebenarnya, tidak mau pergi. Bagaimana pun, di sini saya lahir. Di sini pula saya harus mati,” Marika kembali bersuara dengan sirih pinang di mulutnya. Pernyataannya membuat orang-orang di sekeliling api unggun itu kaget.

“Hanya kau dan anak kita yang tidak bisa saya tinggalkan. Saya rela melepaskan apa pun, tapi kalian? Saya tidak bisa.” Burarrwanga sambil menggelengkan kepala.

Malam masih pekat. Orang-orang mulai beradu mulut. Setelah Marika mengeluarkan pendapat, anggota kelompok lain mulai ikut bicara. Sebagian besar mereka tidak sepakat jika Burarrwanga pergi. Kepergian orang Makassar sudah cukup menyakitkan. Jika pemimpin kelompok yang beberapa tahun lalu berjasa atas keberaniannya terhadap pasukan Persemakmuran Australia juga pergi, mereka betul-betul kehilangan harapan.

Adu mulut tersebut berakhir dengan ketidak sepakatan antara Burarrwanga dengan orang-orangnya, termasuk Marika. Burarrwanga masih keras kepala. Dia masih ngotot akan membawa Marika ke Makassar meski Marika sendiri tidak ingin ikut dan anggota kelompok lain sudah mencegahnya. Burarrwanga lalu sekonyong-konyongnya meninggalkan api unggun dan menuju gubuknya untuk tidur. Dia sudah sangat mengantuk.

***

Dalam mimpinya, Burarrwanga bangkit dan menoleh ke sana kemari. Jantungnya berdebar. Dia mencari Daeng Gassing dan orang-orang Makassar yang lain. Burarrwanga tak melihat satu pun dari mereka. Dia gugup. Harusnya hari ini, dia, Marika, dan anak semata wayangnya ikut ke Makassar.

Hari mulai sedikit terang. Dari kejauhan, matahari mulai menyingsing sedikit demi sedikit meski bintang kejora seperti enggan pergi. Jangan-jangan, padewakkang telah berlayar meninggalkannya? Pikir Burarrwanga. Dia curiga sebab semalam, dalam ingatannya, Daeng Gassing dan beberapa orang Yolngu tidak sepakat jika dia harus ikut ke Makassar. Burarrwanga lantas mencari orang-orangnya. Dia kesal. Dia merasa dikhianati.

Burarrwanga mulai heran. Dia belum mendapat satu pun anggota kelompoknya bahkan di gubuk-gubuk yang mereka dirikan. Ke mana mereka? Diculik orang Persemakmuran Australia? Batin Burarrwanga.

“Tidak, mereka tidak diculik,” teriak seseorang dari kejauhan.

Mendengar suara itu, Burarrwanga membalikkan badan. Namun tak ada siapa-siapa. Seseorang jelas-jelas bersuara dan mendengar suara batinnya. Dia menoleh ke sekitar, hanya seekor kanguru yang menatapnya dari atas bukit karang.

“Kau tersesat?”

Burarrwanga kembali menoleh ke depan dan didapatnya seekor kanguru tepat di hadapan wajahnya. Dia berteriak lalu tersungkur. Burarrwanga menoleh ke arah bukit tempat kanguru itu awalnya terlihat, tetapi ia sudah tak ada. Entah bagaimana kanguru itu berpindah secepat kilat ke hadapannya. Yang lebih aneh lagi, kanguru itu bisa bicara. Burarrwanga mulai bertanya-tanya, apakah semua ini nyata atau hanya sekadar mimpi belaka sebab tidak mungkin ada kanguru yang bisa bicara.

“Burarrwanga Dayn Gatjing, kau mau tinggalkan orang-orangmu begitu saja?”

“Dari mana kau tahu nama saya? Dayn Gatjing? Nama saya hanya Burarrwanga!”

“Oh, kau akan tahu nanti. Tidak lama lagi.”

Kanguru itu lantas mengubah wujudnya dengan cara yang sukar dipercaya. Ia menjadi seorang wanita berkulit kuning. Mirip seperti kulit orang-orang Makassar yang lebih terang dari kulit orang-orang Yolngu. Wanita itu melayang. Lalu dengan sekali lambaian, bukit-bukit rata dengan tanah. Sungai mengalir ke angkasa lalu jatuh sebagai hujan yang lembut. Matahari yang sudah setengah naik tiba-tiba tenggelam lagi. Malam datang dan bintang-bintang muncul kembali. Di langit, mereka berputar mengelilingi Burarrwanga. Benda-benda indah lainnya muncul seperti lukisan. Warna malam tidak hanya hitam, paduan kabut merah, hijau, biru, kuning, dan warna-warna lain yang belum pernah Burarrwanga lihat sebelumnya seolah ditumpahkan begitu saja. Burarrwanga takjub melihat pemandangan itu.

“Kau… kau Baiyini, leluhur pertama orang Yolngu?”

“Aku adalah apa yang kau pikirkan, Dayn Gatjing. Aku melukis semua ini, lalu mengirimnya ke alam tempat kalian hidup.”

“Kau … Mimi, roh pelukis? Bukan, kau… Barnumbirr, roh penciptaan!” Burarrwanga hendak sujud tetapi sosok gaib itu menyuruhnya untuk bangun.

“Tegarlah, dan kembalilah ke orang-orangmu. Kau hanya tersesat. Kau takut tanah ini mengecewakanmu lebih jauh. Tapi apa kau lupa? Orang-orang sebelummu bertahan sejak ribuan tahun, bahkan sebelum padewakkang orang Makassar datang dan sebelum para orang kulit putih menembakkan senapan kali pertama. Kalian akan baik-baik saja puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Tinggallah di tanah ini, kenanglah yang pergi.”

Burarrwanga terbangun menangis masih mendengar petuah sosok itu. Kini dia mengerti. Dia tadi berada di wongar, alam mimpi. Alam tempat roh leluhur hidup dan menciptakan dunia. Tidak sembarang orang bisa ke sana. Menurut cerita para tetua, hanya mereka yang terpilih oleh roh leluhur saja yang bisa mendapat petunjuk melalui mimpi dan membuka gerbang ke wongar untuk melihat wujud asli para pencipta. Dia mendapat penglihatan dan telah diberkati.

***

Abu dan sisa-sisa unggun semalam masih teronggok di pesisir. Air telah pasang. Orang-orang sibuk mengangkat barang dan keranjang terakhir berisi teripang kering ke atas padewakkang. Angin tenggara sudah bertiup kencang. Para awak kapal mulai menyiapkan layar. Sauh akan dilepas, tetapi Daeng Gassing masih berdiri di tepian.

“Tiba-tiba sekali kau putuskan tidak pergi. Kau dapat mimpi?”

“Ya, aku berada di wongar dan bertemu kanguru. Sulit kujelaskan, tapi leluhur menyuruhku tetap di sini.”

Hal itu memang sangat sulit dimengerti oleh Daeng Gassing. Seseorang yang semalam sangat bersikeras untuk pergi dari tanah ini dan ikut berlayar, kini berubah pikiran hanya dengan alasan diberi petunjuk oleh seekor kanguru dalam mimpi.

Namun itu kepercayaan Burarrwanga. Entah dia bertemu leluhur atau apa di alam sana, Daeng Gassing tidak mau memikirkannya lebih jauh. Dia lega Burarrwanga batal meninggalkan kampung dan orang-orangnya. Yang Daeng Gassing yakini, Burarrwanga harus terus berjuang merebut kembali hak-hak atas tanah leluhurnya dari orang-orang Persemakmuran Australia.

“Oh iya, bisakah saya mengambil namamu? Akan saya taruh di belakang nama saya. Burarrwanga Daeng Gassing, atau dengan penyebutan orang Yolngu, Dayn Gatjing. Ya, Burarrwanga Dayn Gatjing!”

“Tanda persaudaraan?”

“Saya akan mewariskan nama-nama Makassar dan menceritakan kisah kalian kepada anak saya, kepada cucu saya, kepada cucu dari cucu saya. Panggil saya Burarrwanga Dayn Gatjing!”

“Tentu. Kita mungkin akan bertemu kembali suatu hari ketika musim baarra tiba dan angin mamirri bertiup,” Daeng Gassing kurang yakin dengan istilah Yolngu yang dia pakai.

“Hahaha, baarramirri, musim ketika angin bertiup dari arah barat laut.” Burarrwanga melambaikan tangan terakhir kali, diikuti oleh orang-orang Yolngu. Mata mereka terpaku pada layar padewakkang hingga tidak terlihat lagi di kaki langit.

*****

Remembering Padewakkang

Penulis pemenang penghargaan Junaedi Setiyono, lahir di Kebumen pada 16 Desember 1965, menyelesaikan pendidikannya dari sekolah dasar sampai sarjana di Purworejo. Pada 2013 dia memperoleh beasiswa untuk bimbingan disertasinya di Ohio State University Amerika Serikat selama empat bulan. Dia menyelesaikan doktornya dalam bidang Pendidikan Bahasa di Universitas Negeri Semarang pada 2016.

Pada 2006 naskah novelnya berjudul Glonggong memenangi Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, dan setelah diterbitkan Serambi, 2007, novel tersebut menjadi Finalis Khatulistiwa Literary Award 2008. Novelnya yang kedua, Arumdalu, (Serambi, 2010) masuk sepuluh besar Khatulistiwa Literary Award 2010. Pada 2012, naskah novelnya yang ketiga, Dasamuka, kembali memenangi Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta, dan kemudian diterbitkan oleh Penerbit Ombak pada 2017. Pada tahun yang sama, novel tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dan diterbitkan oleh Dalang Publishing di California, USA. Novel ini pemenang Penghargaan Sastra 2020 dari KEMDIKBUD.

Setiyono dapat dihubungi lewat alamat surelnya: junaedi.setiyono@yahoo.co.id

 

 ***

 

Remembering Padewakkang

 

ARNHEM Land, Australia, December 1945

Holding a wooden tobacco pipe that had not been lit for a long time, Burarrwanga Dayn Gatjing stared at the horizon. He waited for the merchant ships from Makassar, which used to cast their anchor here. Decades ago, the southeast winds that blew in March and April had blown the padewakkang sails northward. Their departure had been like losing a part of himself.

However, Burarrwanga, the dark-skinned, gray-haired chief of the Yolngu tribe the natives who lived in the region — had never lost hope that once again, just like a long time ago, the baarramirri, the northwestern winds that blew in December and January, would bring back the padewakkang vessels to moor in these waters. People would once again crowd the coastal area, filling their baskets with the teripang, sea cucumbers, they had gathered. Some of them smoked their catch. The image of such a beautiful time was ingrained in Burarrwanga Dayn Gatjing’s memory. He kept waiting for Daeng Gassing and the other Makassar sailors, who came from the other side of ocean and brought rice, gold, and tobacco. Some hundred years ago, the Makassaran people had first come to Arnhem Land. The good relationship they established with Burarrwanga’s ancestors and the natives of Arnhem Land had been maintained all this time.

“Perhaps they were swallowed by the thunder snake in the middle of the ocean,” said Marika, Burarrwanga Dayn Gatjing’s wife.

“Don’t talk nonsense. The thunder snake only attacks the wicked men at sea. Good men, like the Makassar sailors, wouldn’t be sunk.”

“Never mind, Burarrwanga,” Marika said. “There is still that tamarind tree they planted. You can take a rest under it.”

“I haven’t heard you call me by that name for a long time. The last time you used it was when they were here, right?”

“Yes, everyone, even the white men, now know you better as Dayn Gatjing than by your birth name.”

With a heavy sigh, Burarrwanga Dayn Gatjing recalled what the white men had done to his life. The padewakkangs were gone. They had been banned forty years ago by the Australian Commonwealth for irrational reasons. Now, only the white men sailed back and forth, ruling the ocean and exploiting its wealth, especially the teripangs. The Yolngu people were no longer involved in any of the trading and did not receive anything the Australian Commonwealth took everything.

Burarrwanga would never forget the days when the coastal area of Arnhem Land was crowded by padewakkangs, merchant vessels owned by Makassaran people.

***

It was quite hot during the month of January in 1905. It was as if the sun’s heat was multiplying. Despite the conditions, bare-chested, barefooted ship crews and Yolngu people continued to lift bamboo baskets filled with just-harvested teripangs from the seabed. These sea cucumbers were taken to a smoking place where Daeng Gassing, captain of one of the docked Makassaran trade vessels, sat taking notes of how many pikuls of teripangs were collected that day. Each pikul weighed about 133 pounds.

Sitting next to Daeng Gassing, Burarrwanga smoked his pipe and watched members of his tribe working with the Makassarans. The pipe was a gift from his father, who in turn had received it as a gift from a Makassaran sailor quite a long time ago. Almost all of the adult males in Burarrwanga’s tribe owned such a pipe. They called it pipa Makassar because the Makassaran sailors were the ones who brought these pipes to them from the other side of the ocean.

“I’ve used the tobacco you gave me when you came a year ago.” Burarrwanga exhaled smoke through his nostrils. “But now you’ve brought me more again.”

“This is a custom our people have upheld over hundreds of years,” Daeng Gassing said while making notes Burarrwanga could not decipher. The Yolngu were illiterate. When they wanted to remember something, they drew or carved pictures on wood or stone. “Every year, we Makassaran merchants bring you certain items. In return, your people help us gather the teripangs.”

“We wouldn’t be doing so well if your men didn’t come here to gather teripangs.” Burarrwanga grinned. “You can take all of them. We don’t eat them.”

“Teripangs actually taste pretty bad,” Daeng Gassing agreed. “No one in Makassar eats these strange animals, either. We sell them in China, where sea cucumbers are expensive. Your teripangs are good quality.”

“I hope that one day I can visit your home. I am sure your native village is prosperous and developed.” Burarrwanga sighed before asking, “Are there a lot of ships and big houses?”

“If were prosperous back home, we’d unlikely be here looking for teripangs.” Daeng Gassing paused a moment before continuing. “There are many problems back home especially after the Dutch took control over Makassar. On the other hand, we are happy to come here. I’m sure this is also making our ancestors happy.”

The Makassaran sea captain most likely did not fully realize the enormity of the great changes the Makassarans had brought to the lives of Arnhem Land’s natives over the centuries. Along with bringing them rice, metal, tobacco, and liquor, the Makassar merchants also brought other goods that the people of Arnhem Land had never seen before. Arnhem Land became a part of the Makassar sailors’ homeland. They called this land Maregeq because of an old rumor that said Arnhem Land was a part of the Gowa Kingdom.

During Burarrwanga and Daeng Gassing’s conversation, Marika, who was more than six months pregnant, suddenly came running towards them. “The Commonwealth men …,” she panted, stumbling towards them. “I saw them … they’re carrying guns ….” Marika stood in front of her husband and the captain, shaking and gasping for breath.

Daeng Gassing and Burarrwanga quickly alerted their men. The Makassaran sailors grabbed their machetes and axes while the Yolngu men prepared their spears and arrows. They didn’t like violence, but if the Commonwealth men came armed, they had to be prepared for every possibility.

Soon, an Australian Commonwealth constable stood in front of Daeng Gassing. “You have strayed too far from your homeland, and you’re harvesting too many teripangs in an area which is not yours. Consider this a warning.”

“My ships have been registered by the harbormaster of Port Bowen,” Daeng Gassing retorted. “What are you warning me for?”

“Look at this.” The constable took out a piece of paper. “I have orders to watch all of you Makassarans because you’re a bad influence on these natives. You’re causing them to become drunkards.”

“Hey, this is not your business, is it?” Burarrwanga raised his voice. He didn’t like the Australian Commonwealth interfering with their lives. “Why do you bother us?”

“Listen.” The constable shot Burarrwanga a sharp look, then continued while pointing at Daeng Gassing, “These men — only God knows where they came from — will get you in trouble.”

“You have no say here!” Burarrwanga suddenly swung at the constable. His punch was a bit off target, but the constable lost his balance and fell backward. He drew his pistol and fired a warning shot into the sky.

Startled, those around Burarrwanga covered their ears.

Both the Makassaran and Yolngu men reached for their weapons, ready to attack the group of white-skinned constables. But Daeng Gassing signaled to hold off the attack.

“Because this is only a warning, we will leave,” said the constable. “We don’t want any violence here, but one punch deserves another.” The blond constable landed a well-aimed punch on Burarrwanga’s cheek and left.

People crowded around the dazed Burarrwanga. Some of them made ready to chase the constable, but Burarrwanga signaled them to stop. The constable’s punch made Burarrwanga see stars and many kangaroos jumping around him. Everything turned blurry then became dark. He fainted.

***

Two years after the incident in 1905, the Australian Commonwealth banned Makassar ships from entering Australian territory. This was worse than the storms that frequently hit the padewakkangs while crossing the ocean. Makassaran fishermen had come to harvest teripangs off the Arnhem Land coast since the mid-1600s. The olive-skinned ancestors of Daeng Gassing had sailed to Arnhem Land much earlier than any of the white-skinned Commonwealth men who arrived on these shores with thousands of prisoners and rifles.

On the night before the padewakkangs lifted anchor from Arnhem Land for the final time, Burarrwanga sat staring at the flames of the fire that absorbed the silence. Time passed, as a dozen men sat around the fire without uttering a word. The only sounds that broke the silence were the breaking waves sweeping the sand, the creaking boards of ships swaying in the water, and the crackling of broken branches being swallowed by the flames. The men gathered around the fire were confused, angry, and sad. It was unlikely that after the padewakkangs set sail the next day, they would ever see each other again.

Burarrwanga raked the fire with a branch. For a moment he rested his eyes on the pile of ashes in the fire pit. It occurred to him that the ashes resembled their hopes. Burarrwanga sighed, then blew onto the smoldering branches until he became dizzy. Suddenly, many thoughts somersaulted inside his head. It was as if the kangaroos he used to hunt in the savanna had jumped into his head. He could leave with the sailors, whom he’d known for as long as his memory could serve him. He contemplated the fate of his tribe and his descendants if he decided to move to Makassar with his family.

Across the fire, Burarrwanga saw Daeng Gassing’s gloomy face lit by the dancing flames. Burarrwanga wondered why the man with the thick moustache and long hair looked sad. Afterall, he and his crew were about to go home. Burarrwanga had spoken his thoughts.

“Are you sure you want to leave Arnhem Land?” Daeng Gassing’s voice broke the silence.

“I have to.” Burarrwanga threw some branches into the flames. “The Australian Commonwealth men have taken everything. There is nothing left that I am able to protect. We cannot live without you and your men.”

“But what about your tribe? You will just leave everyone?”

“The elders will choose a new chief after I’m gone. This is the last opportunity for me to cross the ocean and see something behind the horizon. I want to have a better life for my wife and son.”

The two men stared at one another. The heat of the fire seemed to move into the eyes of the two men who had become like brothers.

Daeng Gassing didn’t want Burarrwanga to abandon his tribe, but there was nothing he could do. He had no right to keep Burarrwanga from pursuing his dream.

Marika rose and broke into their thoughts. “Yesterday, I met a mother. When I told her that we were leaving, the woman dropped to the ground, crying. She punched the sand repeatedly while begging me to stay.”

Daeng Gassing bowed his head. He held a bamboo mug containing ballo, an alcoholic drink from Makassar made from coconut flower sap. He rose and handed the mug to Burarrwanga. “Tonight is the last time to have fun together. There is still plenty of ballo where this came from. Drink up!”

Burarrwanga happily accepted the mug.

“I don’t want to go,” Marika said between chews on the roll of betel leaves in her mouth. “I was born here, and I want to die here too.” Her words surprised everyone sitting around the fire.

“I can’t leave you and our son,” Burarrwanga said. “I am ready to leave everything, but not you.” Burarrwanga shook his head. “No that I cannot do.”

It was a dark and gloomy night. People started arguing. After Marika stated her preferences openly, other people started joining in the discussion. Most of them did not want Burarrwanga to leave for Makassar. The departure of the Makassaran men already hurt them. If Burarrwanga, their chief, who protected their land with his bravery against the Australian Commonwealth forces, was gone too, they would be totally lost.

Arguing bitterly, Burarrwanga, his people, and Marika could not reach an agreement. Burarrwanga stubbornly held on to his opinion. He intended to take Marika and their son with him to Makassar, even if Marika herself didn’t want to accompany her husband and even though his council of elders had already forbidden him to do so. Suddenly, Burarrwanga felt very sleepy. He abruptly rose and, leaving the fire, headed for his hut. He needed to get some sleep.

The discussion ended without any solution.

***

That night, in Burarrwanga’s dream, he rose and looked around. His heart pounding, he searched nervously for Daeng Gassing and the other Makassaran men. Burarrwanga didn’t see any of them. He, his wife, and his only child were supposed to leave for Makassar that day.

The sky began to brighten. In the distance, the sun started to rise gradually, while the morning star seemed reluctant to leave. Did the padewakkangs sail without me? Burarrwanga wondered. He suspected that Daeng Gassing and his crew had betrayed him, but Burarrwanga had considered those men to be his friends. He remembered that Daeng Gassing and some of the Yolngu men hadn’t agreed with his decision to follow Daeng Gassing to Makassar. Irritated and feeling deceived, Burarrwanga looked for his tribe’s men.

He was astonished not to find anyone. Even the hut they had built was empty. Where are they? Had they been kidnapped by the Australian Commonwealth men?

“No, they haven’t been kidnapped,” came a shout from afar.

Burarrwanga looked around anxiously, but there was no one. He had clearly heard someone shouting, someone responding to his inner dialogue. Burarrwanga looked around again. A kangaroo sitting on top of a dead coral rock, was the only living creature around.

“Are you lost?”

Burarrwanga fastened his eyes on the dead coral rock again, but the kangaroo had vanished. How strange, Burarrwanga thought, a talking kangaroo. He began to wonder if what was happening was real or if he was dreaming. It was impossible for a kangaroo to talk!

“Burarrwanga Dayn Gatjing, are you simply going to abandon your tribe?” The kangaroo again appeared on the dead coral rock.

“Who told you that my name is Dayn Gatjing?” Burarrwanga shouted, rubbing his eyes. “My name is just Burarrwanga!”

“Oh, you will find out, soon. Just wait a moment.” The kangaroo then turned into an olive-skinned woman.

Burarrwanga could hardly believe his own eyes. The woman’s skin color resembled that of the Makassaran people, lighter than the skin of the Yolngu people. The woman floated through the air. With a wave of her hand, the hills became as flat as the plains. Rivers flowed to the sky and then fell as soft rain. The sun, which had already risen halfway into the sky, suddenly sunk again. Night came, and stars emerged and circled in the sky around Burarrwanga. Other beautiful things appeared like paintings. The night was not just black. It was a hazy combination of red, green, blue, yellow, and other colors Burarrwanga had never seen before. The colors seem to spill around him. Burarrwanga was astonished seeing such a scene.

“You …” Burarrwanga stammered, “are you Baiyini, the First Being of the Yolngu people?”

“I am whoever you think I am, Dayn Gatjing. These are all my paintings. I send them to the world you live in.”

“You … are you Mimi, the painter’s spirit? No, you … you are Barnumbirr, the spirit of creation.” Burarrwanga knelt, but the mysterious creature asked him to rise.

“Take heart and return to your people,” said the spirit. “You are only lost. You are afraid that this land will continue to disappoint you. But you must remember that your ancestors stood firm for thousands of years. They were here long before the Makassaran merchants moored their padewakkangs here and long before the white-skinned people fired their first gunshot here. You will be all right for decades, even centuries to come. Just stay here and remember those who have to depart.”

Burarrwanga woke up crying. He could still hear the apparition’s advice. Now he understood. He had visited a wongar, the dream place where the Yolngu’s ancestral spirits lived and created this world. Not just anyone could visit there. According to the elders, only the chosen ones were given guidance in a dream and could enter the gate to wongar to see the creators in their real form. Burarrwanga had just received such guidance and, therefore, had been blessed.

***

The ashes of the previous night’s fire were still piled on the beach. The tide was already high. Crew hands were busy carrying the last baskets containing dried teripang onto the padewakkangs. The southeast wind started to pick up. The ship crews began preparing the sails. The anchors would soon be lifted. But Daeng Gassing still stood on the beach.

“You decided not to go quite suddenly,” he said to Burarrwanga. “Did you have a dream?”

“Yes, I was in a wongar and met a kangaroo. It is difficult to explain. In short, my tribe’s ancestors asked me to stay here.”

Daeng Gassing could not understand Burarrwanga’s behavior. How could someone who only the night before was so eager to leave this land and sail to Makassar change his mind just because of a dream — a dream about a kangaroo that had advised him to stay?

But that was Burarrwanga’s belief. Whether or not he met his ancestor or whoever in a mystical world, Daeng Gassing didn’t want to pursue it further. He was relieved that Burarrwanga had changed his mind about leaving his homeland and his people. The only thing that Daeng Gassing wanted to ensure was that Burarrwanga would keep fighting to get back his homeland’s rights from the Australian Commonwealth people.

“By the way, may I take your name and add it to the end of my real name?” asked Burarrwanga. “My new name would then become Burarrwanga Daeng Gassing or, using the Yolngu pronunciation, Burarrwanga Dayn Gatjing!”

“Is it a sign of brotherhood?” Daeng Gassing asked.

“I will pass down the Makassaran name and tell the story about you to my son, my grandson, the grandson of my grandson. Call me Burarrwanga Dayn Gatjing!”

“Of course. We will possibly meet again one day, when the baarra season comes and the mamirri blows.” Daeng Gassing was not sure if he had used the proper Yolngu terms.

“Hah!” Burarrwanga laughed. “It’s baarramirri, the season when the wind blows from the northwest.” Burarrwanga raised his hand and waved goodbye for the last time. The Yolngu people around him followed his gesture. Everyone’s eyes remained glued to the padewakkang sails until they vanished in the horizon.

 

 

 

 *****

Bincang Tipis-Tipis

 

Lian Gouw adalah penulis novel asal Indonesia yang menetap di Amerika. Terjemahan terbaru dari novelnya Only A Girl oleh Widjati Hartiningtyas diterbitkan tahun 2020 oleh PT Kanisius dengan judul Mengadang Pusaran.

Novel Mengadang Pusaran berlatar belakang sejarah Indonesia dalam kurun waktu 1930 hingga 1952.

Pada Bincang Tipis Tipis kali ini, Lian Gouw bersama Gemah Raharjo (Agem), rekannya di Dalang, juga penulis Junaedi Setiyono, dan para penerjemah Widjati Hartiningtyas dan Oni Suryaman, akan berbagi pengalaman, suka duka serta perjuangan bersama di Dalang.

文獻堂

Perkumpulan Boen Hian Tong meyakini – keluarga adalah lembaga sakral yang harus selalu dijaga, dirawat, dilindungi. Bincang Tipis-Tipis tidak dimaksudkan untuk menghakimi, membenarkan atau memberi solusi; tapi melalui paparan dan diskusi serta testimoni, tumbuh inspirasi, menuju pemahaman dan kesadaran baru.

Rekaman acara dapat dilihat di Bincang Tipis-Tipis “Menduniakan Sastra Indonesia”

 

Pohon Pongo

Setiap orang hendaknya menjadi filsuf bagi dirinya sendiri sehingga hidupnya akan bermakna.

Rinto Andriono adalah penyintas serangan penyumbatan pembuluh otak yang menyebabkan kelumpuhan tubuh kanan pada usia 46 tahun. Menulis adalah salah satu kegiatan penyembuhan yang disarankan oleh dokter syaraf untuk mengembalikan kemampuan membangun penalaran. Rinto mulai menulis enam bulan setelah serangan pada tengah 2018.

Sebelum sakit, Rinto adalah perencana pemulihan pasca bencana, yang banyak bekerja di beragam tempat bencana di Indonesia dan Asia. Setelah sakit lebih banyak melakukan kajian, pelatihan daring dan penulisan pembelajaran di bidang yang sama. Untuk mengisi waktu senggangnya, dia suka membaca tentang penyelamatan alam dan filsafat, dan jalan kaki.

Rinto menulis sebagai sarana pemaknaan hidupnya yang sekarang sangat terbatas. Menulis membebaskan pikiran dan batinnya, yang saat sebelum sakit dulu mungkin terbelenggu, meski tubuhnya sangat bebas.

Dengan pendampingan menulis dari Ahmad Yulden Erwin, Rinto membuat belasan cerita pendek yang dibukukan sendiri dalam buku elektronik berjudul Kencan Hikikomori. Saat ini, Rinto sedang menulis cerpen bertokoh mahluk indah ciptaan Tuhan yang mengalami peralihan kelamin, sembari mengikuti lokakarya menulis di UKSW-Salatiga yang dibimbing oleh Purwanti Kusumaningtyas dan Lian Gouw.

Rinto dapat dihubungi di rinto.andriono@gmail.com.

 

 

Pohon Pongo

 

Miranti terbangun dari tidurnya, dia berpeluh di tengah malam yang dingin. Napasnya tersengal-sengal. Di dalam kepala Miranti masih menggema bisikan Lukman baru saja.

“Mir, pergilah ke Pohon Tempat Memohon! Bawa serta Kasih bersamamu.” Kata-kata Lukman begitu bening mengiang dalam tidurnya.

Miranti menatap Kasih, putrinya yang sedang terlelap di sampingnya. Berbeda dengannya, tiada peluh yang membasahi badan Kasih. Udara malam itu memang sedang dingin, lumrahnya udara musim kemarau yang kering dan panas?

Miranti sudah tidak bisa lagi memicingkan mata. Malam terlalu rusuh dan hatinya sudah terlalu resah. Baru-baru ini dia sering bermimpi tentang Lukman, suaminya yang menghilang di tengah Rimba Raya Sebangau, di Kalimantan Tengah, sejak tiga tahun yang lalu. Berpuluh rombongan pencari sudah menghutan berbulan untuk mencari suaminya. Namun sampai kehabisan perbekalan, hasilnya selalu hampa. Sehampa hati Miranti yang kembali menjadi separuh setelah biasanya penuh bersama Lukman.

Lulusan dari Kedokteran Hewan Institute Pertanian Bogor, Miranti sekarang bekerja sebagai perawat kesehatan orangutan-orangutan untuk Taman Nasional Sebangau dalam kerja sama dengan Borneo Orangutan Survival Foundation, BOSF. Kedukaan mendalam karena kehilangan suaminya membuat Miranti enggan kembali ke Bogor, kota kelahirannya. Pengetahuannya tentang siloka yang diwarisi dari para karuhun Sunda membuat Miranti yakin bahwa kekasihnya masih hidup di suatu tempat di hutan raya Kalimantan ini. Dalam bisikan mimpi Miranti, Lukman sedang mempersiapkan sesuatu untuk masa depan mereka dan anaknya, untuk kehidupan yang pernah mereka impikan hidup menyatu dengan hutan. Untuk itu, Miranti yakin, dia dan Kasih putri mereka, hanya perlu menunggu waktunya tiba.

“Lukman, aku tahu kau akan datang untuk menjemput kami, tapi kapan? Aku sudah lelah,” ratap Miranti sambil mendekap Kasih.

Miranti termenung, dia mengingat kembali kata demi kata percakapan mereka sebelum Lukman beranjak dari pelukannya demi nasib hutan yang mereka cintai. Dalam mimpinya malam itu, Miranti seolah terlempar ke masa lalu, memang belakangan ini garis waktu semakin semena-mena melengkung dari masa kini ke masa lalu Miranti. Dan Lukman berganti-ganti antara hidup dan tiada. Ingin rasanya Miranti tidak pernah tersadar dari mimpinya, dimana Lukman nyata bersamanya.

“Aku akan pergi sebentar. Jaga baik-baik anak kita, ya,” Lukman berkata kepada Miranti pada hari buruk yang selalu mengawan di hati Miranti dan membuat hari-harinya kelabu.

Miranti masih mengingat jelas kata-kata yang timbul dari hati risaunya itu. “Apakah kau tidak bisa menunda kepergianmu?”

“Tidak, aku hanya hendak memenuhi baktiku.”

“Tetapi terlalu berbahaya, para preman kebun sawit sedang mencarimu.”

“Sang Roh adalah segala cahaya hidupku, aku hanyalah pantulan cahayanya.” Itu yang dikatakan Lukman saat itu, saat mereka beradu mulut tentang bahaya yang mengancam Lukman selaku rimbawan pegiat kelestarian.

Miranti teringat saat dia mencegah, “Ya, tetapi keadaan di Taman Nasional Sebangau sedang genting, mereka masih kesal karena kau gagalkan upaya mereka menyerobot wilayah taman.”

Miranti tahu, Lukman bukannya tidak sungguh-sungguh memikirkan ucapannya. Miranti merasa Lukman sedang menghadapi buah simalakama. Miranti teringat melihat Lukman termenung, menghentikan gerak tangannya membungkus barang-barang. Lukman pasti ingat belaka betapa dia dan kawan-kawan suku Dayak Ngaju telah mempermalukan para pengusaha sawit dengan bukti penyerobotan kawasan taman.

“Cahaya yang membimbingku ke sana segera,” Lukman menukas, setelah menyingkirkan semua kebimbangan.

“Mereka tak kan berhenti berusaha memperluas kebun sawitnya hingga ke dalam wilayah taman, Roh memang sudah membimbingmu tapi bisakah kau melakukannya nanti?”

“Tidak bisa, Sayang, mungkin darmaku sedang dibutuhkan hutan ini sekarang, percayalah!” Lukman berusaha menenangkannya.

“Ya, tapi waktunya itu lho yang tidak tepat!”

Lukman tidak menggubris penyanggahannya.

Kemudian hening melingkupi keduanya, mereka terdiam menahan kerisauan masing-masing. Malam itu, Lukman pergi dan menghilang begitu saja di dalam rimba.

Kawan-kawan rimbawan pegiat lingkungan menduga Lukman telah dilenyapkan di tengah prahara yang melanda hutan. Beberapa orang mempercayainya bahwa inilah bentuk balas dendam dari para mandor kebun karena Lukman telah giat menggalang perlindungan bagi hutan. Mereka sepertinya menganggap Lukman sebagai pelaku penjegalan terhadap perluasan kebun sawit yang jauh menjorok ke Taman Nasional Sebangau. Namun tidak ada yang bisa membuktikan kebenarannya.

Itu adalah adu mulut terakhir Lukman dengannya. Miranti terhenyak dari lamunannya. Dia menghela nafas sambil mengusap kening Kasih yang mulai terbangun.

Miranti mendengar sayup-sayup lolongan dan seruan orangutan. Miranti menajamkan telinganya.

Para orangutan berida terdengar memimpin barzanji. Miranti semakin risau, dia tahu belaka bahwa orangutan adalah mahluk batiniah yang bisa turut merasakan nasib rimba. Mereka seolah bisa mendengar senandung paduan suara hutan yang makin lama makin lirih dan parau. Itu adalah nyanyian hutan yang sedang sekarat. Hanya orangutan-orangutan paham benar dengan suara itu.

Pagi kembali menyingsing dengan kesibukan Miranti pada tugas-tugas perawatan orangutan. Banyak orangutan yang diselamatkan para jagawana dari taman nasional mengalami luka bakar parah, lemas dan kekurangan air. Sisi timur Taman yang berdekatan dengan wilayah Ibu Kota Negara di Sepaku, wilayah Penajam Paser Utara, mulai terbakar. Banyak satwa liar dan orangutan terluka.

Untungnya semua kejadian pilu ini tidaklah mempengaruhi masa kecil Kasih. Sebagai anak yang selalu ingin tahu, Kasih setiap hari mengikuti perjalanan para jagawana memberikan makan pada orangutan. Kasih begitu menyukai kegiatan ugahari bersama para jagawana itu. Bahkan dia sering tidak menghabiskan buah makan siangnya. Dia sangat suka menyisakan bekal buahnya untuk Pongo, anak orangutan kesayangannya. Mereka adalah dua makhluk berlainan jenis, tapi nampak seperti telah lama saling kenal. Mereka sering saling mengulurkan tangan, bertukar ubi dengan pisang. Kadang mereka kedapatan sedang bermain bersama. Sementara itu Laksmi, ibu Pongo, dan Miranti sama-sama hanya mengawasi dari kejauhan.

“Bu, ayo kasih makan Pongo dan Laksmi ….” Kasih merajuk ibunya. Miranti melihat dari jendelanya dua orangutan itu sudah menanti di luar, di pinggir hutan.

Miranti dan Kasih beranjak menemui Laksmi dan Pongo.

Laksmi adalah orangutan betina dewasa, yang sudah hampir dua puluh tahun hidup di Taman Nasional Sebangau. Di balik bulunya, tubuh Laksmi penuh dengan carut bekas luka, yang dia peroleh dari para mandor, semenjak maraknya perkebunan sawit di situ. Berangkat dari pengalaman itulah, Laksmi menjadi orangutan yang selalu waspada. Nyawanya pernah hampir melayang bila tidak diselamatkan oleh para jagawana, akibat siksaan mandor yang kejam. Mirantilah yang memberinya nama Laksmi. Ia adalah salah satu induk orangutan di Taman dan sekaligus penyintas yang ulet. Laksmi menjadi orangutan yang selalu waspada.

Pagi ini kabar kebakaran taman semakin meluas. Gambut yang kering karena kemarau yang panjang menjadi penghantar api yang baik. Kebakaran tidak dari ujung dahan yang hijau, namun bara merayap dari dasar akar tanah gambut tak terkendali. Bau kayu lembab yang terbakar mulai menguar dihantarkan asap putih menebal campuran uap air dan zat asam arang. Satwa-satwa dan penduduk kampung tepi rimba pun sesak nafas dibuatnya.

Laksmi menatap Miranti tak seperti biasa. Matanya yang coklat terasa menghampiri hati Miranti dengan kepiluan mendalam. Miranti mahfum. Dia tahu belaka soal kabar kebakaran itu. Dia merasa, Laksmi punya rasa yang sama tentang kebakaran itu. Mereka ibu yang sama-sama risau dengan keselamatan dirinya dan anaknya. Seolah ada satu pertanyaan yang mempertautkan keduanya, Akankah mereka masih bisa menemukan hari esok yang kembali menghijau?

Sesaat kemudian, tempat pemberian makan para orangutan menjadi riuh. Para orangutan yang sedang sarapan seolah tiba-tiba menyahut sebuah panggilan dari dalam rimba. Miranti turut menoleh ke arah rimba. Laksmi sontak menjadi gelisah. Sejenak dia menatap Miranti tanpa bersuara. Lalu, sambil mengerang, Laksmi menarik tangan Pongo untuk kembali menghutan.

“Barzanji lagi? Tadi sudah.” Miranti merasa merinding ketika para orangutan itu semakin sering barzanji, seolah mereka bertanya, “Apa yang salah dengan kehidupan hutan ini?”

Miranti melihat Pongo enggan mengikuti ibunya. Ia masih sibuk menghisap daging ubi yang manis yang baru saja diberikan kepadanya oleh Kasih. Namun sepertinya hati Laksmi sudah terpanggil ke sisi lain hutan. Pongo melambaikan tangannya pada Kasih yang kecewa dengan tingkah Pongo dan Laksmi yang tidak biasa.

Mawas dengan suasana orangutan yang tampak genting, Miranti juga menggenggam tangan Kasih yang sedang penuh tanda tanya.

“Kenapa mereka pergi cepat kembali menghutan, Bu?” tanya Kasih.

“Mereka harus menghadap Sang Roh Rimba.”

Kasih tidak puas dengan jawaban ibunya, tetapi dia harus bergegas mengikuti langkah ibunya yang juga tergesa-gesa kembali ke pusat perawatan.

Sesampainya di Pusat Perawatan, Kasih masih tidak terima. Dia masih memberondong ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan atas apa yang baru saja dialaminya di pinggir hutan.

“Siapakah Sang Roh Rimba?” cecar Kasih.

“Dia adalah kekuatan atas segala kekuatan yang menghidupi segala sesuatu di dalam hutan. Dia yang menghidupkan dan mematikan semua yang ada di dalam rimba.”

“Termasuk Ayah?” Tanya Kasih.

Pelan dan lirih Miranti menjawab, “Iya ….”

Dalam benak Miranti, dia tertegun dengan pertanyaan Kasih baru saja. Miranti pun baru beberapa hari ini merasa bahwa Lukman tidak mati. Dia tinggal bersama Sang Roh Hutan dan belakangan sering mengunjunginya di dalam mimpi. Mimpi-mimpi yang membuatnya risau sepanjang hari.

Dalam pengamatan Miranti, hidup terberat Laksmi, Pongo dan para orangutan adalah saat musim kering. Saat kemarau seperti ini hutan akan penuh asap, banyak pohon yang terbakar. Mereka juga kesulitan memperoleh makanan. Laksmi dan Pongo sering hanya mengandalkan sedikit ubi dan pisang dari Taman Nasional, sekadar untuk ganjal. Makanan sedang susah didapat.

Jatah makan dari Taman Nasional hanya diberikan satu kali sehari. Pongo dan kawan-kawan masih lapar. Karena mereka rindu akan pucuk daun dan buah manis yang makin susah didapat saat kemarau, mereka menyerbu umbut sawit di kebun sawit pinggiran Taman Nasional Sebangau. Makanan yang bila tak hati-hati, akan menghadiahkan bilur pegal dan ruam panas di badan, akibat siksaan para mandor. Para mandor sering mengusir orangutan kelaparan dengan senapan angin, air panas, racun babi hutan atau cairan asam.

Sepengetahuan Miranti, pada musim kemarau putih penuh asap seperti ini, orangutan-orangutan sering berkumpul di Pohon Agung di penjuru Taman. Mereka bersama-sama barzanji dipimpin oleh orangutan berida. Mereka menyerahkan jiwa dan tubuh yang sedang kelaparan ini pada Sang Roh yang kali ini mewujud sebagai Pohon Agung, bersama dengan kelaparan, api yang melelehkan kulit dan asap yang membuat sesak nafas. Semua itu adalah jelmaan Sang Roh Rimba.

Pohon Agung tempat mereka barzanji adalah pohon berbuah buni. Bijinya yang lezat disukai orangutan, tupai, dan burung-burung. Batangnya besar, dahannya kekar, kulit batangnya obat yang mujarab, jerubung yang rimbun merupakan rumah buat aneka satwa termasuk orangutan. Akar Pohon Agung itu kuat dan menancap dalam untuk menahan perawakan yang tinggi besar. Pohon Werkodara demikian Kasih dan Miranti yang berdarah Parahiyangan menyebut pohon besar sekeluarga Pohon Bodhi ini.

Miranti sudah beberapa kali menyaksikan dalam tugasnya sebagai dokter orangutan di hutan, bagaimana sekumpulan orangutan menampilkan kerisauan mereka dengan barzanji. Para berida seperti kesurupan, mereka berayun, melolong, meraung dan terus mencoba meraih dahan, daun, dan ranting pohon. Ini pohon bukan sembarang pohon, ini adalah Pohon Tempat Memohon. Orangutan itu seolah menyerahkan seluruh jiwa dan tubuhnya untuk dirasuki roh.

Selama delapan tahun bekerja, Miranti berpendapat bahwa para orangutan itu adalah mahluk yang sangat rohaniah. Meskipun mereka seolah kesurupan saat barzanji, sebenarnya mereka sedang menghadap Roh Rimba. Miranti percaya pada ketulusan hati orangutan.

Pada saat barzanji, Miranti merasa seekor orangutan berida tertua meraung berkata, “Roh pasti akan memelihara kita. Dia hadir di mana-mana, sebagai yang baik dan yang buruk.”

Dengan raungan yang kuat orangutan berida itu lanjut seperti berkata, “Dia yang kita takuti, tapi sekaligus yang kita rindukan.”

Riuh di hutan mereda. Miranti membayangkan barzanji para orangutan telah selesai. Menurut Miranti memang para orangutan itu bukan sedang menggugat Sang Roh atas kebakaran dan kelaparan yang berkepanjangan ini. Mereka tak pernah menggugat. Mereka tak pula sedang memohon azab bagi para mandor yang kejam atau para cukong sawit yang serakah. Mereka bukan pendendam. Mereka hanya menyerahkan diri mereka pada keseimbangan alam. Mereka percaya bahwa alam hanyalah bandul yang bergerak di antara titik keseimbangan. Mereka ikhlas-ikhlas saja bila dalam pergerakan bandulan itu berarti adalah kepunahan jenis mereka.

Miranti yakin, hutan yang bernyanyi dengan parau inilah yang didengar oleh para orangutan yang tadi berkumpul melakukan barzanji. Hal ini tidak bisa didengar oleh manusia yang terlalu banyak tuntutan dan praduga. Hanya makhluk yang lugulah yang bisa mendengarkan nyanyian hutan dan riuhnya pertautan perasaan pohon-pohon di dalam jaringan syaraf di dasar rimba. Hanya merekalah yang bisa mendengar suara bariton pohon mahoni tua, suara sopran pohon ulin yang kokoh atau suara tenor pohon meranti yang tinggi langsing. Pada hutan yang sehat, suara-suara itu menjadi sebuah senandung paduan yang merdu.

***

Kebakaran hutan Taman Nasional Sebangau pada puncak kemarau 2019 sungguh hebat. Kebakaran terjadi bersamaan dengan rencana pembangunan Kawasan Sepaku, Penajem Paser Utara sebagai ibukota negara yang baru. Ibukota yang lama telah terlampau banyak beban. Pemerintah meniatkan membangun ibukota yang baru dengan gagasan lapis sanding antara manusia dengan alam. Namun, sepertinya, pelaksanaan gagasan tersebut banyak kecolongan dalam penerapannya. Kebakaran adalah cara yang paling hemat dan mudah untuk membuka hutan.

Taman Nasional Sebangau pun ikut terbakar hebat. Bara api begitu dalam dan luas membakar jaringan syaraf akar di dasar rimba. Hutan sekarat. Udara pengap, zat asam berubah menjadi asam arang yang mematikan kehidupan. Senandung paduan suara pohon-pohon tertelan riuh gemertak dahan yang terbakar menjauhi kebakaran yang tak kunjung ada ujungnya. Mereka terpontang-panting menjauh. Kelelahan dan nafasnya sesak zat asam arang. Akhirnya jatuh dan terpanggang.

Orang-orang mengungsi keluar kota atau bersembunyi di dalam rumah. Mereka yang tidak memiliki kemewahan mengungsi ke pulau yang aman, akan bersembunyi saja di dalam rumah.

Miranti sangat berat hati untuk mengungsi. Perasaannya akan kehadiran Lukman justru semakin menguat di saat genting ini. Namun demi kesehatan Kasih, Miranti pun terpaksa memesan tiket pesawat dengan masygul. Menghadapi kenyataan seperti ini, hati Miranti seperti hendak terbelah ke dua sisi yang berbeda.

Gerak hatinya mengajaknya tetap di sini untuk tetap dekat dengan Lukman. Namun, kewarasan pikirannya berkata lain. Belakangan ini, penampakan Lukman semakin nyata di dalam mimpi dan lamunannya. Dia semakin mengejawantah dalam keseharian Miranti. Seolah dia menemani.

***

Pagi Rabu itu, di puncak kemarau tahun 2019, kelabu menutup langit Taman Nasional Sebangau. Seolah paham dengan perasaan ibunya, Kasih pun nampak bergeming untuk tidak pergi dari Kompleks Perumahan Taman Nasional Sebangau. Kasih selalu mengkhawatirkan nasib Pongo. Kekhawatiran ini bertambah sejak Pongo dan Laksmi meninggalkannya dengan tiba-tiba beberapa hari lalu di tempat pemberian jatah makan orangutan.

“Ayo, kita ke tempat pemberian makan orangutan!” rengek Kasih pagi itu.

Sudah dua hari ini, karena kelangkaan pasokan bahan baku, Pengelola Taman sementara menghentikan pemberian makan kepada orangutan.

“Tapi tidak ada jagawana yang memberikan makan di sana,” kata Miranti.

“Aku ingin ketemu Pongo.” Kasih memaksa.

“Para jagawana sedang sibuk, mereka membantu pemadaman kebakaran hutan.” Miranti membujuk.

“Ya… kita saja yang ke sana saja.”

Akhirnya Miranti pun menyerah. Namun dia membuat semacam penawaran pada Kasih.

“Tapi setelah itu, jika kita terpaksa harus mengungsi ke Bogor, Kasih mau ikut ya.” Miranti membuat penawaran sekedarnya, dia sendiri enggan pergi meskipun akal nalarnya menyuruh dia pergi dari tempat ini.

Kasih mengangguk, meski Miranti meragukan anggukan Kasih juga sampai ke hati anak itu. Miranti merasa, Kasih seolah melihat jalan keselamatan yang lain, yang tidak bisa dia ceritakan.

Miranti memasangkan masker penyaring udara menutupi hidung dan mulut Kasih. Tempat pemberian makan orangutan hanya jarak yang dekat saja, jarak jalan kaki. Namun kali ini terasa sangat jauh. Miranti sangat merasa tidak aman. Dia membawa beberapa tabung oksigen kecil di dalam ranselnya, bersama air dan sedikit kudapan.

Taman Nasional gelap dan sangat berasap. Langit pun jingga, seolah turut terbakar. Udara amat panas.

Sebentar kemudian mereka sudah tiba di tempat pemberian makan. Tempat yang biasanya ramai, kini sepi dan kelabu. Tidak ada reriungan para orangutan seperti biasanya.

“Pongo, sini dong,” celoteh Kasih dengan riang.

Ibunya masygul membisu. Angin bertiup membawa asap yang semakin tebal. Membelah keabuan, dua sosok nampak tertatih datang dari kejauhan. Pongo dan Laksmi datang menghampiri.

“Kamu lapar, Pongo?” Kasih mengeluarkan beberapa buah pisang.

Kewarasan akal pikiran Miranti risau dengan keselamatan mereka di tengah hawa pengap kebakaran hutan ini. Tetapi sepertinya pikiran waras itu sudah bertekuk lutut pada daya gerak hatinya. Dia membiarkan Kasih berceloteh riang dengan Pongo. Laksmi hanya menatap dari kejauhan seperti biasa. Tiba-tiba hidung Miranti seperti mencium bau Lukman. Bau yang dahulu pernah akrab dan kini hanya terekam dalam kenangan.

“Baumu sekarang dapat kurasakan kembali di hidungku Lukman,” gumam Miranti. Bau itu mengudara di sekitar tubuh Miranti bersisihan dengan bau asap yang mematikan. Miranti tak kuasa menolak daya tarik bau itu. Dia sadar dirinya harus menggapai tabung oksigen yang dibawanya, tetapi tak dilakukannya. Bau Lukman sangat kuat membawa Miranti pada kedamaian yang selama ini dirindukannya. Kedamaian yang salah tempat, apa boleh buat. Gerah rusuh suasana hati Miranti. Udara semakin panas. Miranti limbung.

Dalam limbungnya, segala sesuatu seolah mencari jalan selamat sendiri-sendiri. Kewarasan nalar Miranti berusaha menggerakkannya untuk menyelamatkan diri segera. Namun batinnya membuai dengan bayangan kedamaian bertiga bersama Lukman dan Kasih di dalam rimba. Sementara jantung dan paru-parunya mulai memberontak kekurangan zat asam. Dengan mata berkunang-kunang dia melihat tampak Laksmi kembali merimba menggandeng tangan Pongo. Seperti tidak rela ketinggalan, Kasih pun menyeret tangan Miranti mengikuti Laksmi dan Pongo. Kaki-kaki Miranti terseok-seok mengikuti Kasih yang menjadi sangat yakin dengan langkah-langkahnya. Nampaknya mereka akan pergi menjauh ke dalam rimba ke pohon tempat memohon.

Dalam keadaan kabut itu, Miranti semakin merasakan kehadiran Lukman. Baunya semakin menguat di tengah kabut asap. Sesampai di bawah pohon tempat memohon dengan mata setengah terkatup, Miranti seolah melihat bayangan Lukman muncul tampak segar bugar dari lubuk naungan rimba yang terdalam.

Dia menyapa, “Aku telah lama menunggu kalian, Mir ….”

Miranti tersenyum. Nalarnya sudah sepenuhnya bertekuk lutut, terlebih saat melihat Kasih melompat-lompat kegirangan menyambut Lukman.

Tidak ada asap dan gemertak suara ranting terbakar. Hanya suara Lukman yang bening menyapa. Tidak ada cukong sawit dan mandor jahanam. Hutan pun masih sangat perawan. Seperti pertama kali semesta membuatnya. Semua mahluk hidup seolah roh yang segar bugar, meninggalkan jasad yang renta dan penuh masalah.

Lukman membungkuk untuk menggendong Kasih. “Biarkan ibumu menyelesaikan moksanya,” kata Lukman mencubit hidung Kasih.

Langit jingga telah menjadi merah.

Miranti terbaring dengan landasan akar besar Pohon Tempat Memohon.

 

*****

Pongo’s Caring Tree

Novita Dewi menulis puisi dan cerpen ketika SD dan SMP. Karya-karyanya dimuat di majalah Si KuncungBobo, dan lembar anak-anak yang dulu tersedia di harian Kompas dan Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan). Kecintaannya pada sastra dialihkan dengan menulis artikel jurnal ilmiah tentang sastra dan penerjemahan yang telah diterbitkan secara luas. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan dan dimuat di laman Dalang Publishing ini adalah hasil terjemahan sastranya yang pertama.

Saat ini dia mengajar mata kuliah sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Dia dapat dihubungi di alamat surel: novitadewi@usd.ac.id atau novitadewi9@gmail.com.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pongo’s Caring Tree

 

Miranti awoke in the middle of the cold night, sweating and short of breath. Lukman’s soft voice still echoed in her head.

“Mir, go to the Caring Tree! Take Kasih with you.” Lukman’s words had been clear in her sleep.

Miranti looked at Kasih, her daughter, sleeping next to her. Unlike her, Kasih was not soaked in perspiration. The air that night was unusually cold for the hot, dry season.

Miranti could not fall back asleep. The night had been too restless, and now, she too felt unsettled. Recently, she’d been dreaming about Lukman often — Lukman, her husband, who had disappeared in the Rimba Raya Sebangau, a jungle in Central Kalimantan, three years ago. For months, numerous search-and-rescue units looked for her husband. But although they searched until they ran out of supplies, they always came back empty-handed — as empty as the half of Miranti’s heart that was usually filled with Lukman’s presence.

A graduate of the Veterinary School of the Bogor Agricultural Institute, Miranti worked as a veterinarian, in collaboration with the Borneo Orangutan Survival Foundation, BOSF, at the Sebangau National Park, a large nature reserve that was carved out of the Rimba Raya Sebangau jungle. She was in charge of the welfare of the orangutan population in the park. The deep sorrow of losing her husband made Miranti reluctant to return to Bogor, her hometown. Miranti inherited her knowledge of siloka, a mystical cultural belief, from her Sundanese karuhun, ancestors. Siloka convinced her that Lukman was still alive somewhere in the Kalimantan jungle. In Miranti’s dream, Lukman was preparing something for their family’s future, for the life they had dreamed of: a life in union with the forest.

Miranti believed that she and their daughter Kasih just needed to wait for the right time. “Lukman, I know you’ll come for us, but when?” Miranti whimpered, holding Kasih. “I’m so tired.”

Miranti remembered their conversation, word for word, the day Lukman walked out of her embrace for the sake of their beloved forest. In her dream that night, it was as if she were thrown into the past. Indeed, lately she often moved back and forth in time, while Lukman alternated between life and nothing. Miranti wished she would never wake up from her dream, where Lukman was with her.

“I’ll be gone for a while,” Lukman had said to her on that terrible day that always darkened Miranti’s heart and saddened her days. “Take good care of our child, will you?”

“Can’t you delay your trip?” Miranti clearly remembered the words that had risen from her troubled mind.

“No, I need to fulfill my duty.”

“But it is too dangerous; the palm oil thugs are looking for you.”

“The Spirit is the light of my life; I am only a reflection of its light.” That was what Lukman always said when they argued about the dangers that threatened him as a forester and conservation activist.

“Yes, but the situation in Sebangau National Park is precarious; the palm oil thugs are still upset because you prevented them from invading the park area.” Miranti remembered her effort to keep Lukman from leaving.

She knew that Lukman was not really ignoring her fear; she knew Lukman was faced with a dilemma. Lukman had stopped his packing to think for a while. She now wondered if he had been remembering then how he and his friends from the Dayak Ngaju tribe had humiliated the palm oil entrepreneurs with evidence of their invasion into the park area.

“The light is leading me to it right now,” Lukman had finally said, after clearing all his doubts.

“They won’t stop trying to expand their palm plantations into the park area,” Miranti had persisted. “Yes, Roh, the Spirit, has already guided you, but can’t you do it later?”

“I can’t, honey.” Lukman had tried to calm her. “It seems that this forest needs my service right now. Trust me!”

“Yes, but the timing is not right.”

Lukman ignored her refutation.

In the silence that followed, they each held their own worries. That night, Lukman disappeared into the jungle.

Environmental activist and forester friends suspected that Lukman had been killed in the midst of the disaster that was sweeping the forest. Some people believed that his disappearance expressed revenge from the plantation foremen against Lukman’s activism. The foremen considered Lukman the perpetrator in blocking the encroachment of the expanding palm plantations into the Sebangau National Park. But they had no proof.

That was Lukman’s last argument with her.

Miranti broke out of her daydream. Kashi started to wake up. Sighing, Miranti rubbed the child’s forehead. She looked up when she heard the screeching and screams interspersed with the soulful calling of the orangutans in the forest.

The senior orangutans were leading the barzanji, a litany of woe. Miranti’s worry heightened. Orangutans were creatures who shared the fate of the jungle. They seemed able to hear the song of the dying jungle. The chorus, which grew fainter and sounded hoarse from time to time. Only orangutans understood that voice.

The morning came and presented Miranti with tasks to care for the orangutans in the national park. Many of the rescued orangutans were weak from dehydration and suffered from severe burns. The Penajam Paser Utara region, at the eastern side of the park adjacent to the state capital area in Sepaku, had caught fire, injuring many orangutans and other wild animals.

Fortunately, these many sad events did not affect Kasih’s childhood. Every day, Kasih followed the rangers as they fed the orangutans. Kasih truly enjoyed this daily activity. In fact, she often saved her fruit from lunch for Pongo, her favorite orangutan. Although she and Pongo were two creatures of different species, they didn’t act like it. They often reached out to each other, as if they had known each other for a long time, and sometimes Pongo exchanged sweet potatoes for bananas. They played together while Miranti and Laksmi, Pongo’s mother, just watched from a distance.

“Mom, let’s feed Pongo and Laksmi!” Kasih nudged her mother. Miranti looked out of the window and saw the two orangutans waiting outside, at the edge of the forest.

Miranti and Kasih went to meet Laksmi and Pongo.

Laksmi had lived in the Sebangau National Park for almost twenty years. Amid her fur, her skin was mottled with scars evidence of the cruel plantation foremen who had arrived in the park along with the development of the palm plantations. Laksmi quickly became a wary orangutan. If a ranger had not rescued her, she would have died from the foremen’s torture. Miranti gave her the name Laksmi. One of the resilient survivors in the park, Laksmi remained vigilant of her surroundings.

That morning’s news had reported that the park fires had spread. The dry peat, a result of the long drought, was a good conductor of fire. The fires did not spread from the tips of green branches, but rather crept uncontrollably along the peat-covered soil. The smell of burning damp wood wafted through the area. A mixture of water vapor and carbonic acid filled the air with thick white smoke, which made it hard for the animals and the village inhabitants at the edge of the forest to breathe.

Laksmi gave Miranti an unusual look. Her brown eyes seemed to reach out with a deep sorrow. Miranti understood. She felt she and Laksmi shared the same feelings about the fire. They were both mothers who worried about their safety and their children’s. It seemed that one question connected the two of them: Would they still be able to find a green forest in the future?

Suddenly, the orangutans having breakfast stopped eating and became very noisy. They seemed to answer a call from the jungle. Miranti looked towards the woods.

Barzanji again? They just did it. Miranti felt goosebumps. When the orangutans repeated barzanji again and again, it was as if they were asking, “What’s wrong with the life of this forest?”

Laksmi became restless. For a moment, she stared silently at Miranti then grunting, grabbed Pongo’s hand, and turned back to the woods.

Miranti saw that Pongo was reluctant to go with his mother. He was still busy munching on the sweet potato Kasih had just given him. But Laksmi’s instinct urged her to move to the other side of the forest. Pongo waved at Kasih, who was disappointed by Pongo’s and Laksmi’s unusual behavior.

Aware of the precarious orangutan atmosphere, Miranti held Kasih’s hand.

“Why did they leave so quickly, Mom?” Kasih asked.

“They must face the Spirit of the jungle.”

Kasih was hardly satisfied with that answer, but her mother was hurrying the two of them back to the Care Centre.

Kasih was still full of curiosity. She kept bombarding her mother with questions about the experience at the edge of the forest. “Who is the Spirit of the jungle?” Kasih probed.

“He is the power of all forces that support everything in the forest. He is the one who regulates everything in the jungle.”

“Including Dad?” asked Kasih.

“Yes,” Miranti replied, slowly and softly.

Kasih’s question stunned Miranti. She had only recently began feeling that Lukman was still alive. In her mind, he lived with the Spirit and, lately, had begun visiting her in dreams that bothered her all day long.

In Miranti’s observations, the hardest time for Laksmi, Pongo, and the other orangutans to survive was the dry season, when many trees burned, filling the forest with smoke. Food was scarce. Laksmi and Pongo often relied on a few sweet potatoes and bananas from the Sebangau National Park rangers, which was barely enough to keep the hunger pangs away. Food rations were given only once a day and left Pongo and his friends still hungry. Starving for the now-scarce tender leaves and sweet fruit of the forest, the orangutans ransacked the palm shoots sprouting from the tree tops at the plantations on the outskirts of Sebangau National Park. If the orangutans weren’t careful, their rampaging for food could result in injury or death. The plantation foremen used air guns, hot water, wild boar poison, or acid to get rid of the hungry apes.

Miranti knew that during this white, smoke-filled dry season, orangutans often gathered at the Caring Tree across the park. Led by the berida, a senior orangutan, they performed a litany of woe: surrendering their starving bodies, suffocated by the smoke and sinched by the fire, to the Spirit, manifested this time as the Caring Tree. It was all the manifestation of the Spirit of the jungle.

The Caring Tree, where they performed their barzanji, was a buni tree, an offshoot of the bodhi tree family. Its delicious seeds were treats for orangutans, squirrels, and birds. The trunk was large, the branches were stout, the bark contained an effective medicine, and the lush canopy was a home for various animals, including orangutans. The roots of the Caring Tree were strong and bored deep into the soil to uphold the tree’s enormous stature. Kasih and Sundanese-blooded Miranti, knew this big tree to be the werkodara tree.

As a veterinarian, Miranti had observed several times how a group of orangutans performed a barzanji to express their anxiety. During the ritual, the elderly orangutans appeared entranced. They swung, screeching, from branch to branch while ripping branches, leaves, and twigs of a big tree which was no ordinary tree. It was the Caring Tree where the orangutans seemed to surrender their entire bodies and souls to the Spirit of the jungle.

During her eight years of working at the center, Miranti had concluded that orangutans were very spiritual creatures. Even though they acted possessed during the barzanji, they were actually facing the jungle’s Spirit. Miranti believed in the orangutans’ sincerity.

During this most recent barzanji, Miranti believed that the old orangutan’s roar said, “The Spirit will surely take care of us. He is present everywhere, in the good, as well as in the bad.” With a strong moan, the elderly orangutan continued, as if saying, “The Spirit is the one we fear and miss at the same time.”

The boisterousness in the forest died down. Miranti imagined the orangutans’ barzanji had finished. In Miranti’s mind, the orangutans were not blaming the Spirit for the prolonged fire and hunger. They never accused. Nor did they plead for punishment of the cruel foremen or the greedy palm oil barons. Orangutans were not vengeful. They merely surrendered themselves to the balance of nature. They believed that nature was just a pendulum swinging between points of equilibrium, and they would simply accept the fact if the pendulum’s movement meant the extinction of their kind.

Miranti was sure that the forest’s hoarse singing was heard by the orangutans who had gathered to perform a barzanji. Humans, with too many demands and preconceived notions, could not hear the song of the forest. Only innocent creatures could hear that song and the raucous feelings of the trees embedded in the jungle floor. Only the forest creatures could hear the baritone of an old mahogany tree, a sturdy ironwood’s soprano, or the tenor of the tall, slender meranti tree. In a healthy forest, the voices would turn into a melodious chorus.

***

The Sebangau National Park’s forest fires at the peak of the 2019 dry season were enormous. The fires occurred at the same time as the plan to develop Kawasan Sepaku, Penajem Paser Utara, as the new capital of Indonesia. The old capital had become too outdated. The Indonesian government intended to build a new capital, with the idea to juxtapose humans and nature. However, the implementation of these ideas encountered their own problems: fire was the most economical and easy way to clear forests.

The flames were so intense and widespread that they burned the root networks beneath the jungle floor. Now, the forest was dying. The air was stuffy, and acidic substances turned into deadly charcoal. The crackle of burning branches choked the trees’ choir.

The chirpy larks tried to escape the never-ending fire. Fatigued and short of breath from the carbonic acid in the air, the birds fluttered frantically. They finally fell and were roasted.

People fled from the city. Those who did not have the luxury of fleeing to safety hid in their homes.

Miranti was very reluctant to leave. Her sense of Lukman’s presence was even stronger at this critical time. But for the sake of Kasih’s health, Miranti was, miserably, forced to book a plane ticket. Facing this reality, Miranti’s heart split into two.

While Miranti’s rational mind urged her to leave, her emotional impulses urged her to stay near the forest, to stay close to Lukman. His presence had become more and more evident in her dreams and fantasies. He was increasingly present in Miranti’s daily life. It was as if he were keeping her company.

***

That eventful Wednesday morning, at the peak of the 2019 dry season, the skies of Sebangau National Park were gray. As if she understood her mother’s feelings, Kasih wasn’t interested in leaving the Sebangau National Park housing complex. Kasih was worried about Pongo. Her concern had grown after Pongo and Laksmi had suddenly left her at the orangutan feeding site, a few days ago.

“Come on, let’s go to the orangutan feeding place!” Kasih cajoled her mother that morning, not knowing that the park had temporarily stopped feeding the orangutans due to scarce supplies.

“But there is no ranger to feed them there,” Miranti said.

“I want to see Pongo,” Kasih pleaded.

“The rangers are busy,” said Miranti, trying to convince her. “They’re helping out with the forest fires.”

“That’s okay,” insisted Kasih. “We can go by ourselves.”

Finally, Miranti gave up. However, she used her consent as a bargaining chip with Kasih. “But if after we visit, we are forced to flee to Bogor, you must come with me without fussing.” Miranti spoke half-heartedly; she, herself, was reluctant to leave, despite what her common sense told her.

Kasih nodded, but Miranti doubted that Kasih’s nod was sincere. She wondered if Kasih saw another way of salvation, one she could not verbalize.

Miranti placed an air filter mask over Kasih’s nose and mouth. The orangutan feeding site was only a short walking distance away, but this morning, it seemed to be so far. Feeling very anxious, Miranti placed several small oxygen cylinders in her backpack, along with water and a few snacks.

The Sebangau National Park was dark and dreadfully smoky. The sky was orange, as if it too were on fire. The air was horribly hot.

When Miranti and Kasih arrived at the feeding site, the usually busy place was now deserted and gray. There were no happy orangutan sounds.

“Pongo, come here!” Kasih called out cheerfully.

Miranti remained speechless.

The wind carried the thickening smoke. Parting the gray air, two limping figures appeared in the distance. Pongo and Laksmi were coming closer.

“Are you hungry, Pongo?” Kasih took out a few bananas.

Miranti worried about their safety in the midst of this forest fire’s suffocating air. But her rational mind buckled again under her heart’s impulse. She let Kasih chat happily with Pongo, as Laksmi watched from a distance as usual. Suddenly, Miranti caught Lukman’s aroma — the scent that had once been so familiar, now had become only a memory.

“I can smell your presence, Lukman,” murmured Miranti. His scent seemed to envelope her along with the deadly smoke. Miranti could not resist the scent’s appeal. She realized she needed the oxygen cylinder she carried, but she didn’t reach for it. The scent of Lukman was very strong. It brought Miranti the peace she had been longing for. It didn’t seem to matter that it was a misplaced peace.

The air was getting hotter.

Miranti staggered.

In her confusion, everything seemed to seek its own way of survival. Miranti’s sensibilities tried to move her to save Kasih and herself immediately. Instead, she lulled herself into the notion of peace with Lukman and Kasih in the forest. Meanwhile, her heart and lungs battled oxygen deficiency. Light-headed, she saw Laksmi take Pongo’s hand and walk back into the woods. Not wanting to be left behind, Kasih grabbed Miranti’s hand and followed them without hesitation.

Miranti, still stunned at the crossroads of destiny, lumbered along. In the choking fog, Lukman’s presence was even more apparent. After they arrived at the Caring Tree, his scent grew stronger, overpowering the smog. Through her half- closed eyes, Miranti saw Lukman’s shadow appear from the deepest shade of the woods. Looking refreshed, he said, “I’ve been waiting for the two of you for a long time, Mir.”

Miranti smiled. As she watched Kasih happily greet Lukman, her sensibilities left her completely.

There was no smell of smoke, no crackle of burning branches — there was only Lukman’s voice greeting her clearly. There were no palm oil barons and foremen. The forest was still virgin like the first time the universe made it. All living things were spirits in good health, who had left their frail and problem-riddled bodies behind.

Lukman bent to pick up Kasih. “Let your mother finish her transition, her moksha.” Lukman pinched Kasih’s nose playfully.

The orange sky turned red.

Miranti lay at the base of a large root of the Caring Tree.

 

*****

Pemaparan dan Pembahasan buku Mengadang Pusaran

Pemaparan dan pembahasan buku Mengadang Pusaran (Terbitan PT Kanisius 2020) telah berlangsung secara daring (dalam jaringan). Acara ini terselenggara atas prakarsa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan bekerjasama dengan Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) UGM.

Terima kasih kepada Bapak Sudibyo (Dosen FIB UGM) dan Bapak Didi Kwartanada (Sejarawan) yang mengulas dan memberikan penjelasan isi buku Mengadang Pusaran dengan sangat baik dan mendalam, dan terima kasih juga untuk Ibu Widjati Hartiningtyas penerjemah buku terbitan ke dua dari Only a Girl yang turut melengkapi keterangan penerjemahan buku dalam acara ini.

Pemaparan dan pembahasan buku yang berlangsung sekitar 2 jam itu terasa semakin menarik  berkat arahan Bapak Heru Marwata (Dosen FIB UGM) yang memandu acara dengan sangat baik, luwes dan menguasai bahan perbincangan.

Untuk menyaksikan pemaparan dan pembahasan buku ini silakan meninjau rekaman acara.

Mitoni Terakhir

Ranang Aji SP adalah penulis fiksi dan nonfiksi. Lahir di Klaten, 1 Desember 1978. Cerpennya diterbitkan oleh pelbagai media cetak dan digital di Indonesia, seperti Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika, Jawa Pos, Lampung Post, Harian Fajar Makasar, dan beberapa surat kabar lain. Cerpennya juga terkumpul dalam antologi tunggal dan bersama: Srigala Yang Berzikir Di Akhir Waktu (Nyala, 2018), Hujan Klise (Penerbit Buku Kompas, 20219), Urban(is)me (Binsar Hiras, 2020). Naskah kritik sastranya berjudul: “Sepotong Senja Untuk Pacarku: Antara Sastra Modern-PascaModern, Makna Dan Jejak Terpengaruhannya” termasuk 20 naskah terpilih dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 Badan Bahasa Kemendikbud dan terhimpun dalam Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang dan Masyarakat. Saat ini tinggal di Magelang-Jawa Tengah.
Penulis dapat dihubungi melalui surel: ranangajisuryaputra@gmail.com

 

 

Mitoni Terakhir

 

Di halaman belakang rumah, peninggalan suamiku, aku duduk sendiri, memandang pohon randu alas yang meranggas. Kukira, waktuku sudah segera akan tiba. Aku tidak tahu kapan itu terjadi, tapi, cepat atau lambat, malaikat maut itu pasti akan segera datang menjemputku. Menyusul para leluhurku untuk berkumpul bersama. Kematian adalah kepastian buat siapa saja, apalagi buat perempuan seusiaku saat ini. Sebelum ajalku, aku hanya ingin merasakan, menyaksikkan dan memberikan berkah pada darah dagingku yang terlahir di bumi ini, agar tumbuh sehat sebagai jiwa terberkati. Seperti para leluhurku juga memberkatiku di masa lalu.

Dari rahimku ini, telah lahir tujuh anak perempuan dan setiap anak telah melahirkan anak-anaknya, para cucuku yang lucu. Kecuali anak bungsuku, Setyaningsih, dia baru dua tahun menikah dan belum sempat mendapatkan anak. Semua anak dan cucuku mendapat restu dan berkah dari orangtuanya dengan cara yang sama. Eka Yuningsih, anak pertamaku, ketika mengandung anak pertamanya, semua menyambutnya dengan bahagia. Ketika usia kandungannya menginjak tujuh bulan, seperti adat Jawa yang terberkati, kami, ayah dan ibunya menggelar acara mitoni. Demikian pula dengan anak-anakku yang lain.

Dalam setiap hajatan itu, semua kerabat datang, semua tetangga hadir juga anak-anak sekitar yang ceria menonton rangkaian acara. Mereka tertawa sembari berdesak-desakan di halaman. Terkadang mereka ikut melihat bagaimana kami mengguyur tubuh anak dan cucuku yang masih di dalam rahimnya, dengan air bunga. Tentu saja aku tahu anak-anak itu menginginkan dawet ayu, dan juga semua makanan yang kami sediakan untuk hajatan ini. Aku membiarkan mereka ribut, gaduh di antara suara gending Jawa yang mengiringi. Terkadang, aku berpura-pura marah, meminta mereka agar diam dan menunggu di latar. Sambil aku tanya, sudah bawa kereweng belum. Kereweng adalah pecahan genteng. Dalam acara mitoni, biasanya ditukarkan dengan dawet, dan lain-lain.

“Sudaah,” jawab mereka serempak.

Namun, semua upayaku agar mereka diam, sia-sia belaka. Para mahluk kecil nan berisik itu, selalu tak tertaklukkan oleh siapa saja, kecuali oleh dawet ayu. Perut mereka yang seluas langit dan sedalam lautan, tak juga kunjung puas, meskipun bermangkok-mangkok dawet sudah disiramkan ke dalam perutnya. Bahkan ketika perut itu sudah dijejali oleh jajanan yang mereka inginkan. Ah, dasar anak-anak.

Semua tampak menjadi sibuk dan repot, memang, namun kerepotan itu membuat kami, para orangtua bahagia. Karena, aku dan mereka tahu, bahwa semua kerepotan dan keringat dari para kerabat, tetangga yang berkumpul dalam acara itu, adalah pancaran tangan kami semua yang menjemput cahaya berkah dari langit. Cahaya berkah yang kemudian kami berikan pada anak dan cucuku di dalam kandungan. Agar kelak, mereka juga tumbuh dan meneruskan berkah itu pada anak cucu mereka. Juga melalui cara ini, sebagai orang Jawa.

Dahulu, di masa kecilku, aku juga seperti mereka anak-anak kampung yang ceria itu ketika ada hajatan, tak kecuali juga ketika ada yang menggelar hajatan bagi seorang calon ibu. Aku bersama kangmasku, setelah mendengar kabar itu, segera berlari gembira di sepanjang jalan kampung, mengumpulkan pecahan genteng, berebut dengan teman-teman yang lain. Semua itu nanti kami tukarkan dengan segelas dawet dan makanan lain. Kami juga dizinkan ayah menonton pergelaran wayang orang atau wayang kulit setelahnya.

Biasanya, anak-anak punya cara agar mendapatkan lebih dawet ayu. Mereka antri sampai berkali-kali, hingga akhirnya, ibu-ibu tua yang menjaga dan melayani, menegur mereka dengan suara serak dan muka cemberut, “Sudah, gantian sama yang lain. Masak terus menerus berputar seperti itu.”

Kami selalu suka dengan semua hajatan, tanpa kecuali. Kami sadar, semua itu cara para leluhur, agar kami anak cucunya bersyukur dan menghargai lingkungan. Tanah yang menumbuhkan semua kebutuhan kami, dan juga pada Sang Hyang Widi di atas langit. Semua itu, tentu saja, seperti kata bapakku, Mitoni adalah cara orang Jawa mencintai, menghargai kehidupan mereka di muka bumi. Juga tentang persoalan bagaimana kelak seluruh keturunan bisa menjalani kehidupan dengan berkah orangtua mereka yang mengemban amanah menjaga kehidupan hingga anak cucu di masa depan.

Namun, sayang, Setyaningsih, anak bungsuku, agak berbeda. Ketika hamil pada akhirnya, dia menolak melakukan hajatan mitoni. Katanya, adat itu sudah terlalu kuno – tak lagi mencerminkan lingkungan masyarakat dan pendidikannya. Katanya, negara barat, Amerika, tempatnya bersekolah, tak ada kebiasaan seperti hajatan di Jawa. Dia memang berniat melakukan hajatan, tetapi dengan cara yang berbeda. Cara yang lebih sederhana. Dia sebut hajatan itu dalam bahasa Inggris, baby shower. Aku belum pernah mendengar sebelumnya, sampai dia katakan itu.

“Teman-teman sudah seperti itu semua, Bu,” katanya mencoba meyakinkanku.

“Apa bedanya, Nduk? Lagipula kenapa harus seperti teman-temanmu?”

“Repot, Bu, hajatan seperti itu, ribet dan tak masuk akal,” katanya padaku, sedikit tampak enggan menjawab.

“Tentu saja tidak begitu,” kataku sedih. “Tentu saja di sana tak ada mitoni. Semua tempat punya caranya sendiri.” Kupandangi mukanya yang bersih dan halus. Dia perempuan yang cantik. Bahkan lebih cantik dari aku. Lebih pintar dariku. Semua yang diidamkan perempuan, ada padanya. Dia bisa membentuk apa yang dia suka dalam wajah dan tubuhnya, dengan uangnya. Begitu cantik dirinya dengan semua perubahan itu, sampai aku tak yakin apakah benar dia anakku, Setyaningsih. Semua agak berubah, dari alisnya, bentuk bibirnya dan hidungnya yang menjadi mancung. Hampir semuanya tak lagi milikku, atau suamiku.

Aku mulai sadar, dunia ini memang mudah berubah. Semua akan selalu berubah. Tak ada kepastian, selain kematian, bukan? Anakku, Setyaningsih juga tampak jauh berubah. Dia tak lagi seperti anak-anak yang dulu selalu kurawat dan kuberikan pendidikan, agar nantinya dia tumbuh menjadi perempuan Jawa yang ikut merawat miliknya sendiri, dengan percaya diri.

Tapi, tampaknya dia begitu terpesona dengan dunia yang berbeda dari yang dimilikinya. Setyaningsih juga selalu berbahasa lain, yang saudara-saudaranya tak menggunakannya. Berpakaian seperti noni-noni berambut jerami yang menjadi teman-temannya. Suaminya, sama saja. Pramono, seorang pengusaha berhasil yang lebih banyak hidup di negara asing dan mulai kesulitan melafalkan bahasa-bahasa setempat. Dia nurutin saja semua apa yang dikatakan istrinya. Katanya, “Ibu tak usah repot-repot bikin hajatan itu. Biar kami sendiri yang menangani.”

Dari tujuh anak perempuanku, Setyaningsih memang berbeda. Persis seperti pepatah lama, tak ada yang sempurna dari semua telur milik kita. Aku tak menyalahkannya. Dia mendapatkan sekolah yang telah membuatnya berpikir dia lebih pintar dari orang lain. Aku hanya ingin dirinya menjadi diri sendiri, sebagai orang Jawa. Menjalani upacara adat yang sudah menjadi baju masyarakatnya sejak dulu. Itu saja.

Usiaku mungkin akan selesai dalam hitungan waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun usia manusia hanya Tuhan yang tahu akan berapa lama. Aku hanya ingin menjalani sekali lagi merasakan bagaimana indahnya memberikan berkat pada anak cucuku yang masih sempat aku lihat. Memberkati bersama para kerabat, tetangga dan anak-anak yang lucu nan bandel dalam acara mitoni.

Eka Yuningsih sudah membantuku menyampaikan semua keinginanku pada Setyaningsih. Katanya, aku harus bersabar. Tidak perlu ngotot dan memaksanya yang sudah punya pendapatnya sendiri. Dia ingin membuat acaranya sendiri, seperti semangat zamannya yang ingin seperti bangsa lain.

“Mungkin paling penting adalah doa ibu saja,” bujuk Yuningsih padaku, setelah gagal membujuk Setyaningsih.

“Ibu, jika tetap berkeras hati juga, nanti malah jatuh sakit. Ibu harus jaga kesehatan Ibu, agar bisa menyaksikkan cucu-cucu tumbuh.”

“Apakah Ibu salah, jika ingin memberikan berkah pada kandungan anakku. Doa terakhir yang tak akan terdengar lagi setelah kematianku nanti?” Yuningsih kulihat bimbang. Dia hanya diam dan mencium tanganku.

“Ibu jangan bicara seperti itu,” katanya kemudian.

Di halaman belakang rumah warisan suamiku ini, aku duduk menatap pohon randu alas yang meranggas – pohon yang tak lagi berdaun di musim kemarau. Mendengarkan tembang megatruh yang mengingatkanku agar bersiap dijemput kematian. Di sana, aku merenung dalam sendiriku. Mungkin aku salah. Mungkin aku semacam orangtua yang kaku. Mungkin aku terlalu memaksakan keinginanku sendiri pada anak-anakku. Orangtua yang sudah tidak sesuai dengan keinginan zaman. Keinginan anak-anaknya. Tidak tahu keinginan anak-anaknya? Hmm ….

Sekilas, aku lihat langit yang penuh awan, di antara sela-sela ranting pohon randu alas yang meranggas. Aku bersedih mengingatnya, jika begitu. Namun, kesedihanku bukan semata karena aku tak dituruti keinginanku. Mungkin memang iya. Aku tak boleh berbohong. Tapi, kesedihanku juga karena mengingat bahwa kematianku nanti, mungkin berarti juga kematian warisan leluhurku di tanahnya sendiri. Kematian doa-doa yang penuh berkah dari langit. Ah, semoga tidak. Aku masih berharap Setyaningsih, anakku yang cantik itu, sadar – sehingga aku masih bisa memberkati anak cucuku dalam hajatan itu untuk terakhir kali. Sebelum ajal menjemputku. Aku berharap seperti itu.

*****

The Last Mitoni

Novita Dewi menulis puisi dan cerpen ketika SD dan SMP. Karya-karyanya dimuat di majalah Si KuncungBobo, dan lembar anak-anak yang dulu tersedia di harian Kompas dan Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan). Kecintaannya pada sastra dialihkan dengan menulis artikel jurnal ilmiah tentang sastra dan penerjemahan yang telah diterbitkan secara luas. Cerpen-cerpen yang diterjemahkan dan dimuat di laman Dalang Publishing ini adalah hasil terjemahan sastranya yang pertama.

Saat ini dia mengajar mata kuliah sastra Inggris di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Indonesia. Dia dapat dihubungi di alamat surel: novitadewi@usd.ac.id atau novitadewi9@gmail.com.

 

 

The Last Mitoni

 

Sitting alone in the backyard of the house I inherited from my husband, I look at the withered tree. I think my time will come soon. I do not know when it will be, but, sooner or later, the angel of death shall come to unite me with my ancestors. Death is a certainty for everyone, especially for a woman of my age. But, before my time comes, I just want to feel, witness, and bless my children so that they become healthy, honorable souls. I’d like to give them what my ancestors gave to me.

I have given birth to seven daughters and six have given birth to my adorable grandchildren. My youngest daughter, Setyaningsih, has been married for two years and has yet to have children. All my children and grandchildren have received their parents’ blessings in the traditional Javanese way.

When Eka Yuningsih, my eldest daughter, was pregnant with her first child, everyone was happy. When she reached her seventh month of pregnancy, following revered Javanese custom, we, her parents, held a mitoni, a ceremonial celebration to bless the mother and unborn child. We did this also for our other children.

All of my relatives and neighbors came with their children to every celebration. The children enjoyed the entire affair. They crowded into the yard, laughing. Sometimes they came to watch how we poured water, scented with flower petals, over our daughter and unborn grandchild.

I knew for sure that the children craved dawet ayu, a Javanese cold drink made of coconut milk and flavored tapioca balls, and all the food we provided for these celebrations. I allowed the children to make a lot of noise while an orchestra played Javanese music. Sometimes, I pretended to be angry and told them to be quiet and wait in the front yard. I asked them, “Have you brought kereweng with you?” At a mitoni, these roof-tile chips are used as tokens to exchange for dawet ayu and other snacks.

“Yes, we sure have,” the children chanted.

But all my efforts to quiet them were in vain. Nothing but dawet ayu could quiet these noisy little creatures whose stomachs were as wide as the sky and as deep as the sea. And, even though they had poured bowls of dawet ayu into their bellies and stuffed their tummies with snacks, they wanted more. Ah, that’s just the way children are.

Everyone seemed to be in a frenzy. But the flurry of activities made us parents happy. We all knew that the efforts made by relatives and neighbors who had gathered for the event reflected the light and blessings from the sky — blessings that we then bestowed upon my child and the grandchild inside her womb so that, later, they could pass on these blessing to their children and grandchildren in a similar manner. This is the Javanese way.

Back then, in my childhood, I also acted like those cheerful village children when there was a celebration. One held for a prospective mother was no exception. As soon as we heard that there would be a celebration, my kangmas, brother, and I immediately ran happily along the village road to collect shards of roof tile, fighting over them with other friends. Later, we would exchange the shards for a glass of dawet ayu and other snacks. My father also allowed us to watch the puppet show afterwards.

Usually, children would find a way to get more dawet ayu. They would line up many times until, finally, the old woman in charge of the dawet table scolded them. “That’s enough!” Frowning, she would add, “Let others have a turn. Don’t keep coming back for more.”
We always loved celebrations of all kinds, without exception. We all knew that through these celebrations our elders showed us how to be grateful and respect our environment, how to revere the land that grows all our needs, and honor Sang Hyang Widi, The Great One in heaven. Above all, my father said, mitoni is the way Javanese people show love and respect for their life on earth. It is the ability to live a life full of blessings from our parents, who fulfilled the task of protecting the environment for future generations.

Unfortunately, Setyaningsih, my youngest child, thinks a little different. When she finally became pregnant, she refused to celebrate the occasion with a mitoni. She said that the practice was too old-fashioned; it no longer reflected her community and social environment. She said that in Western countries, like America, where she received her education, people do not have traditions like those of the Javanese. She intended to celebrate the rite of passage, but in a different way. A simpler way. She said the celebration was called a baby shower in English. I had never heard the expression before she used it.

“All my friends throw a baby shower, Mom,” Setyaningsih said, trying to convince me.

“What’s the difference?” I said. “Besides, why do you have to be like your friends?”

My daughter hesitated for a moment, then said, “Mom, a mitoni is troublesome, complicated, and absurd.”

“That’s not true,” I said, hurt.

“Of course there is no mitoni over there in America. Every culture has its own traditions.” I looked at my daughter’s clean, smooth face. She was a beautiful woman. Prettier than me. Smarter than me. She had everything that a woman could want. With her money, she shaped her face and body any way she desired.

All of her shapings had made her so beautiful that I wasn’t sure if she really was Setyaningsih, my daughter. All her features seemed changed: the curve of the eyebrows, the shape of the lips, and the nose that had turned pointy. Nothing about her was mine or my husband’s.

I began to realize that change was easily made in this world. Everything would always change. Apart from death, there was no certainty. My daughter, Setyaningsih, had also changed. She was no longer the child I had raised and cared for so that she could grow into a Javanese woman who confidently took care of her own children.

Instead, it seemed that Setyaningsih was fascinated with a world different from her own. Setyaningsih now spoke a language her siblings did not use. She dressed like her friends, the straw-haired noni-noni, young women of Dutch descent.

Her husband was no different. Pramono, a successful businessman who lived mostly in a foreign country, started to have difficulty pronouncing words of our Javanese language. He followed his wife’s footsteps and said to me, “You don’t have to bother preparing for the celebration. Let us handle it ourselves.”

Of my seven daughters, Setyaningsih is the different one. Just as the old saying goes, nothing is perfect. I don’t blame her, especially considering her education that gave her the ability to think differently than most people. I just want her to be herself, a Javanese. To perform a ceremony that has been a tradition of our people for a long time is all I want. I am old and likely to die soon. Even though only God knows when that will happen, I just want — one more time — to feel how beautiful it is to bless my grandchildren, to hold a mitoni with relatives, neighbors, and children who are mischievous but loveable, while I still have time.

Eka Yuningsih has helped to convey all my wishes to Setyaningsih. Yuningsih told me to be patient. Setyaningsih had her own opinions and wanted to make her own plans. True to the spirit of her generation, she wanted to be like someone of another nation.

“Perhaps, your prayers are the most important,” Yuningsih said after she failed to persuade Setyaningsih to change her mind. She added, “Mom, if you continue to force the issue, you will get sick. You have to take care of your health, so you can watch your grandchildren grow.”

“Am I wrong for wanting to bless the womb of my own daughter? Say the prayer no one will hear again after my death?” I saw Yuningsih turn uncertain.

She quietly kissed my hand and said, “Mom, don’t say that.”

I’m sitting in the backyard of the house my husband left me, staring at the bare cotton tree a tree that loses its leaves in the dry season. Listening to a megatruh, a Javanese song that reminds me to be ready to meet the angel of death, I contemplate: Maybe I’m wrong. Maybe I am some kind of a willful parent. Maybe I am imposing my own will too much on my children. A parent who is not in sync with the aspirations of the times, oblivious of what her children want. Hmm ….

Between the bare branches of the cotton tree, I see a clouded sky. My sadness is not only a result of me not getting my way. Or, maybe it is. I can’t pretend. But my sadness also comes from the knowledge that my death might mean the death of my ancestral heritage in its very own place of birth. The expiration of the blessings from heaven. Ah, I do hope it won’t. I still hope that Setyaningsih, my beautiful daughter, will come to her senses so I can for the last time bestow my blessings upon my children and grandchildren in this celebration before the angel of death comes to collect me. I do hope so.

*****

 

 

 

 

Borobudur Writers and Cultural Festival – 23 November, 2020

Tiada yang lebih menyenangkan dan berkesan bagi Dalang Publishing dalam menutup tahun 2020. Borobudur Writers and Cultural Festival 2020 memberikan kesempatan kepada kami untuk tampil dalam ajang itu. Acara yang berlangsung secara daring (dalam jaringan) pada tanggal 23 November 2020 dimanfaatkan oleh Ibu Lian untuk memperkenalkan Dalang Publishing LLC beserta buku-buku terbitannya. Di acara itu beliau juga sekaligus memaparkan buku terbitan ke dua dari terjemahan Only a Girl, Mengadang Pusaran yang diterbitkan oleh penerbit PT Kanisius dan diterjemahkan oleh Ibu Widjati Hartiningtyas yang juga ikut serta dalam acara ini.

Kami dengan gembira dan syukur juga dapat memperkenalkan PT Kanisius yang diwakili oleh Ibu Flora Maharani sebagai penyunting buku Mengadang Pusaran maupun Tembang dan Perang, Bapak Junaedi Setiyono  sebagai penulis, dan Mas Oni Suryaman sebagai penerjemah Tembang dan Perang ke dalam bahasa Inggris yang akan diterbitkan oleh Dalang pada akhir bulan Juli 2021.

Dengan gembira kami juga membagi panggung dengan Mas Marius Santo, perancang sampul dua buku ini, dan juga Ibu Asri Saraswati, salah seorang pengulas buku Mengadang Pusaran.

 

Untuk menyaksikan acara silakan meninjau rekaman acara.

Perayaan Budaya Asia di Eugene, Oregon

Dalang Publishing mengikuti pameran buku di Perayaan Budaya Asia yang bertempat di Eugene, Oregon. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) mengundang kami untuk turut serta bersama mengikuti acara itu dalam satu meja pameran.

Acara yang berlangsung tanggal 15 – 16 Februari, 2020 itu adalah peringatan Perayaan Budaya Asia yang ke 35.

Lawatan kerja Dalang ke Indonesia

Yogyakarta, 20 September, 2019.

Kunjungan dan acara buku. Universitas Sanata Dharma

Membahas Karya Cerita Pendek.

20 September, 2019. Membahas Kebaharuan dalam Ke-Indonesiaan

Kunjungan sahabat di Yogyakarta.

Purworejo, 23 September, 2019.

Universitas Muhammadiyah: Membahas Kiat Menulis Karya Satra yang Mendunia.

Surabaya, 4 Oktober, 2019.

Universitas Petra: Membahas masalah Terjemahan

7 Oktober, 2019.

Universitas Petra: Pemaparan buku Dasamuka,

Rapat Pertemuan sebelum acara.

Maria

Maria2

 

Jakarta

14 Oktober, 2019 Lokakarya: Masalah Dalam Penerjemahan

Universitas Indonesia

IMG-20200126-WA0004IMG-20200126-WA0011IMG-20200126-WA0015IMG-20200126-WA0021

Teman dan sahabat dari Jakarta

IMG-20200127-WA0010357Ef.4.lian - kef 3MiaLasja

20191009_140114 IMG_2394

 

Monas Jakarta

IMG_3384IMG_3398

IMG_3387  IMG_3419 IMG_3421 IMG_3430

 

Semarang

28 September, 2019 – Menghadiri Pernikahan

DianFernandoWeddingSMG-264DianFernandoWeddingSMG-156

Ibu Liana Pengurus Rasa Dharma Ibu Sukma Nurna

Copy of DianFernandoWeddingSMG-274

 

Salatiga

Lian Gouw pilihan (8)

Pak Budi

Budi2) (1)Budi2) (3)

 

 

 

Acara Perpustakaan Burlingame – Tanggal 21 Mei 2019

Kami mendapat kehormatan dari Perpustakaan Burlingame yang mengundang Dalang Publishing untuk memperkenalkan buku-buku karya terbitannya.

Atas kesigapan dan persiapan baik yang dilakukan oleh pustakawati Cynthia Rider acara yang berlangsung pada hari Selasa, tanggal 21 Mei pada jam 7:00 malam itu dihadiri oleh cukup banyak pengunjung. Kami berterima kasih kepada Ibu Riena Dwi Astuty, Konsul Keterangan dan Sosial Budaya KJRI SF atas kehormatan yang diberikan kepada kami dengan kehadirannya bersama anak buahnya, Mas Andrian dan Mbak Cindy.

Kata sambutan yang hangat dari Cynthia Rider di sambung oleh Ibu Lian dengan memperkenalkan Dalang Publishing melalui sepuluh buku yang telah kami terbitkan. Dalam kesempatan itu Ibu Lian juga secara garis besar memberikan keterangan mengenai negara kita kepada pengunjung yang hadir.

Setelah panjang lebar melakukan perkenalan dan penjelasan, Ibu Lian melanjutkan dengan memaparkan terbitan buku terbaru kami, Blood Moon over Aceh, terjemahan Maya Denisa Saputra dari buku asli Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur, dan menutup acara dengan pembacaan cuplikan dari buku itu.

Acara diakhiri dengan tanya-jawab, silaturahmi, penjualan buku dan menikmati hidangan kue lapis Surabaya serta minuman teh panas khas Indonesia.

Peluncuran Blood Moon over Aceh karya Arafat Nur di Konsulat Jenderal Republik Indonesia

Peluncuran buku Blood Moon over Aceh terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dari Lolong Anjing di Bulan, karya Arafat Nur, di KJRI San Francisco telah terselenggara dengan baik dan berkesan. Buku karya Arafat Nur ini mengambil kisah cerita dari negri Serambi Mekah, Aceh dan berlatar belakang perselisihan senjata di Aceh.

KJRI San Francisco dengan tangan terbuka selalu mempersilahkan Dalang Publishing untuk menghelat acara peluncuran buku-buku terbitannya. Blood Moon over Aceh ini adalah buku ke sepuluh dari terbitan kami.

Bapak Hanggiro Setiabudi selaku wakil Konsul Jendral malam itu membuka acara dengan kata sambutan dan Ibu Lian memberikan satu jilid dari Blood Moon over Aceh dan Lolong Anjing di Bulan kepada beliau untuk Perpustakaan KJRI.

Bapak Hanggiro juga memberikan penjelasan dan pemaparan tentang rencana dan usaha-usaha pemerintah Indonesia dalam membangun Aceh sehingga berkembang.

Acara ini dilengkapi dengan pemaparan buku Blood Moon over Aceh oleh Ibu Lian dengan membaca beberapa halaman bukunya.

Kue-kue khas Indonesia telah tersedia untuk para hadirin.

Selamatan peluncuran buku Blood Moon over Aceh

Tanggal 9 Februari 2019 kemarin kami menghelat acara selamatan peluncuran buku Blood Moon over Aceh terjemahan Maya Denisa Saputra dalam bahasa Inggris dari Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur di San Mateo, California. Acara dihadiri oleh kurang lebih duapuluhenam orang. Konsulat Jendral Republik Indonesia di San Francisco diwakili oleh Bapak Hanggiro Setiabudi (Wakil Konsul Jendral), Bapak Susapto Anggoro Broto (Konsul Protokol Konsuler), Ibu Riena Dwi Astuty (Konsul Pensosbud) dan Ibu Cindy German. Tampak juga di antara para tamu undangan adalah Ibu Sylvia Tiwon, (professor bidang South and Southeast Asian Studies dari Universitas UC Berkeley), Ibu Virginia Shih, pustakawati SOEA Library dari UC Berkeley, dan Ibu Jacqueline Siapno (salah satu dari pengulas Blood Moon over Aceh).

Selain dari menguraikan pentingnya tulisan Arafat Nur, Ibu Jacqueline Siapno dengan murah hati membagi pengalaman pribadinya semasa tinggal di Aceh.

Acara selamatan berjalan dengan lancar dan penuh kehangatan meskipun di luar hujan turun cukup deras di sertai angin kencang.

Ibu Lian membuka acara dengan memberikan kata sambutan dan menyerahkan buku Lolong Anjing di Bulan berikut terjemahannya Blood Moon over Aceh kepada Bapak Hanggiro untuk perpustakaan KJRI di San Francisco. Sambil menerima buku-buku itu, beliau menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaannya atas usaha Dalang Publishing dalam mengangkat sastra Indonesia ke dunia Barat.

Bapak Hanggiro juga membagi keterkaitan pribadi dengan Aceh dan kemukakan bahwa pemerintah tetap berusaha untuk membangun Aceh.

Acara lalu dilanjutkan dengan sajian makan malam yang dimulai dengan melakukan upacara pemotongan tumpeng dan memberikannya kepada Bapak Hanggiro sebagai penghormatan. Karena ceritanya berasal dari Aceh kami sajikan masakan khas Aceh ayam tangkap dan plik’eu antara lauk untuk nasi tumpeng. Hidangan makan malam yang  dipersiapkan oleh Agem itu segera dinikmati para hadirin.

Seperti biasa acara diakhiri dengan pembagian buku kepada para tamu undangan yang telah memperhatikan segala penjelasan dan pembacaan cuplikkan buku Blood Moon over Aceh yang dibacakan oleh Ibu Lian.

 

 

Malam Budaya Indonesia

12 Oktober 2018 lalu, Dalang Publishing mendapat undangan kehormatan dari pihak KJRI San Francisco untuk menampilkan karya-karya sastra terjemahan kami. Acara yang bertajuk “An Evening in Indonesia” itu serasa lengkap, karena selain beberapa tari-tarian budaya daerah Indonesia yang tampil memukau, para undangan yang hadir malam itu juga dapat menikmati, mengenal dan memperoleh keterangan mengenai karya-karya sasrtra Indonesia.

Dikesempatan baik itu juga kami turut mengenalkan Soempah Pemoeda, sebuah kesepakatan bersejarah dari pemuda dan pemudi Indonesia yang mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dalam Kongres Pemuda yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 1928.
Penampilan karya-karya sastra Indonesia terbitan Dalang cukup banyak mendapat perhatian malam itu.


Sementara itu kami juga akan mempersiapkan penerbitan buku terbaru kami yang berjudul Blood Moon over Aceh, terjemahan bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dari buku asli karya Arafat Nur (Penerbit Universitas Sanata Dharma 2018) yang berjudul Lolong Anjing di Bulan. Penggalan cerita dari karya ini dapat Anda baca di situs kami www.dalangpublishing.com pada bagian “Cerita Anda”. Keterangan lebih lanjut mengenai buku terbaru ini dapat dilihat pada bagian “Buku Kami”.

Dalang akan menghadiri peluncuran buku Lolong Anjing di Bulan pada tanggal 9 November 2018 yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Kami juga akan berkunjung ke Banda Aceh untuk mengadakan Seminar dan Bedah Buku yang bertempat di Universitas Syiah Kuala.

Association for Asian American Studies

Pada tanggal 29 – 31 Maret, 2018 yang lalu, Dalang Publishing menjadi peserta pameran buku yang menjadi bagian dari acara Association for Asian American Studies Conference di Westin St. Francis Hotel, San Francisco.

Agak disayangkan, di antara 23 peserta pameran, hanya Dalang satu-satunya peserta pameran yang menampilkan buku-buku sastra Indonesia. Meski demikian, kami sempat berkenalan dengan 48 pengunjung yang mampir ke meja Dalang. Walau hanya berhasil menjual 21 buku, kami sangat senang dengan perhatian dan ketertarikan yang diperlihatkan terhadap kesusasteraan Indonesia.

Jika dibandingkan dengan peserta dari Jepang, Filipina, Vietnam, Cina, dan Korea yang hadir di Konferensi –ketidakhadiran wakil Indonesia baik dalam acara pembahasan makalah maupun sebagai peserta konferensi sangat memprihatinkan bagi kita yang berusaha memperkenalkan sejarah, kebudayaan, serta keindahan Indonesia melalui tulisan. Apa lagi jika melihat bahwa sekitar 250.000 orang Indonesia yang menetap di USA.

Hal lain yang juga memprihatinkan, dan harus dipikirkan bersama oleh siapapun yang mengaku mencintai Indonesia dan peduli pada kesejahteraannya di masa depan adalah: Tiga orang yang berbeda bertanya pada saya — yang adalah keturunan Cina – mengapa saya bersusah payah memperkenalkan kesusasteraan Indonesia, padahal Indonesia “terkenal” dengan pembantaian dan perlakuan tidak adilnya pada keturunan Cina. Jika orang terpelajar saja percaya akan hal ini, maka tugas kita semualah untuk memperbaiki dan meluruskan pandangan yang keliru tersebut. Kita tidak akan pernah bisa maju di masa depan jika kita masih mempertahankan dan mempermasalahkan masa lalu.

Terima kasih atas dukungan dan kepercayaan kepada Dalang Publishing dalam mengembangkan dan memperkenalkan kesusasteraan Indonesia pada dunia.

Selamat Tahun Baru 2018

Kami dari Dalang Publishing mengucapkan Selamat Tahun Baru 2018.

Di awal tahun ini, Ditto Priutomo Aimir, seorang ahli pembuat video, telah bermurah hati memberikan kami sebuah hadiah istimewa berupa tayangan animasi terbitan buku dari Dalang Publishing. Hadiah indah ini juga akan menjadi pembuka pada setiap acara penampilan buku kami.

https://drive.google.com/file/d/1AtutVm9RQXwdQgwoWjlWRXaR0-83-Qip/view

Kami mengundang para penulis cerita pendek sejarah dan kebudayaan Indonesia untuk mengirimkan naskahnya untuk kami terbitkan dalam situs. Syarat dan ketentuan tata cara pengiriman naskah dapat dilihat pada Panduan Penulis yang terdapat di situs kami.

Cerita pendek terbaru akan tampil dalam situs kami pada setiap Jumat pertama di bulan Februari, April, Juni, Agustus, Oktober, dan Desember di halaman Cerita Anda. Cerita pendek berikutnya akan tampil pada Jumat, 2 Februari, 2018.

Salam hangat selalu.

Dalang Publishing LLC

 

Tujuh Minggu Perjalanan Pulang

Yogyakarta – 10–19 Oktober, 2017

Kamis, 12 Oktober, 2017: Di The 5th Literary Studies Conference, yang diselenggarakan oleh Universitas Sanata Dharma, saya menampilkan: “From immigrant to diasporan, a homecoming of the heart.” – “Dari perantau menjadi diaspora – perjalanan rohani ke kampung halaman.”

Tautan acara: https://www.youtube.com/watch?v=97fHmZLXxnQ

Apakah perjalanan rohani ke kampung halaman ini cukup untuk mendapatkan kembali hak istimewa untuk dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia?

***

Jumat, 13 Oktober 2017: Dalang Publishing diberikan kesempatan untuk membawakan acara pembahasan dalam kelompok “The importance of literary translation” – “Pentingnya terjemahan sastra” yang menampilkan masing-masing bagian dari terbitan asli dan terjemahannya. Kami menampilkan terbitan terbaru kami, terjemahan dalam bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra dari Dasamuka karya Junaedi Setiyono, bersama dengan karya aslinya yang diterbitkan oleh Penerbit Ombak.

Tautan acara: https://www.youtube.com/watch?v=5XUyozMHOnA

Terjemahan dari sebuah karya novel, memampukan pembaca di seluruh dunia untuk menikmati karya dari penulis yang berbeda asal. Dengan demikian pembaca tidak hanya dapat mempelajari gaya menulis dari sang penulis, namun juga diberi kesempatan untuk mengintip sekilas isi hati tokoh-tokoh ceritanya.

***

Kartika Nurul Nugrahini dari Penerbit Ombak: Bagi kami, keberhasilan penerbitan sebuah buku, tergantung pada dampaknya pada pembaca. Untuk membagi pengetahuan dan melakukan pertukaran kebudayaan, penerjemahan merupakan hal yang sangat penting.

Junaedi Setiyono: Saya terdorong untuk mengarang novel sejarah karena selain ingin menyampaikan keindahan bahasa dalam bentuk cerita, saya juga ingin pembaca saya memahami dan menghargai kehidupan leluhurnya pada saat mereka merancang masa depannya.

Maya Denisa Saputra: Saya harap terjemahan saya dapat bermanfaat sebagai penghubung kebudayaan dunia barat dan timur dengan menyajikan kebudayaan Indonesia kepada pembaca dunia barat.

Ari J. Adipurwawidjana, pengulas sastra: Semua karya yang dapat membantu kita, sebagai bangsa, bangkit dari kealpaan kebudayaan dan sejarah kita, adalah patut diterjemahkan.

***

Setelah tampilan, Jun dan Maya sibuk menandatangani buku Dasamuka.

Sebagai bagian akhir sebelum penutup acara, dilakukan bicara beregu yang dipandu oleh Elisabeth Arti Wulandari dari Universitas Sanata Dharma antara perwakilan dari University of San Tomas, di Philipina, Maria Luisa Torres Reyes dan Joyce Arriola,  Inseop Shin dari Konkuk University di Korea, dan saya.

Tautan acara: https://www.youtube.com/watch?v=wcc9KwBMnnU&feature=youtu.be

***

Senin, 16 October, 2017: Kami tampil di Universitas Sanata Dharma: “Peran terjemahan dalam menduniakan sastra Indonesia,” Kuliah Umum digabung dengan pembicaraan berkelompok yang diakhiri dengan pemaparan buku Dasamuka karya Junaedi Setiyono.

Tautan acara: https://www.youtube.com/watch?v=Fb_3laJ266s&feature=youtu.be

***

Waktu senggang di Yogyakarta saya gunakan untuk mengunjungi tempat-tempat yang tertulis di dalam buku Dasamuka dan bertemu dengan teman-teman akrab.

***

Rabu, 18 Oktober 2017: “Mengangkat sastra Indonesia ke panggung dunia melalui penerjemahan,” Kuliah Umum di Universitas Muhammadiyah Purworedjo.

Tidak mungkin menjadi penerjemah tanpa menguasai bahasa ibu.

***

Semarang dan Salatiga – 19–25 Oktober, 2017

Sabtu, 21 Oktober 2017: Karangturi menyelenggarakan, “Mencari jalan untuk meningkatkan mutu karya penulis Indonesia di masa depan,” perbincangan dengan kurang lebih 40 guru SD, SMP dan SMA tentang cara-cara untuk mengangkat mutu dalam menulis.

Bahasa adalah dasar segala tulisan. Penguasaan bahasa, terutama bahasa ibu, adalah keharusan bagi seorang penulis, penerjemah dan penerbit. Bahasa memberikan kita suara. Tanpa suara kita tiada.

***

Tidak pulang kampung namanya jika tidak mampir beberapa hari ke rumah sahabat Lisa dan Harjanto Halim dan makan bersama dengan Inge Widjajanti dan suaminya.

***

Kebahagiaan setiap pulang ke Indonesia adalah menghabiskan waktu di Havana Horses.

***

Surabaya – 26 Oktober – 1 November, 2017

Jumat, 27 Oktober , 2017: “The importance of literary translation” – “Pentingnya terjemahan karya sastra” lokakarya penerjemahan dengan tuan rumah Jurusan Bahasa Inggris, Universitas Petra.

Tautan acara: https://www.youtube.com/watch?v=khLsfh1r1vY&feature=youtu.be

Warna serta suasana khas daerah seringkali hilang dalam terjemahan jika terjemahan tersebut disunting oleh penyunting yang hanya menguasai bahasa tujuan.

***

Makan bersama sahabat-sahabat lama selalu menggembirakan.

***

Bandung – 1-8 November, 2017

Jumat, 2 Nopember, 2017: Kuliah Umum di Universitas Padjadjaran: “Peran bahasa dalam perjalanan rohani dari perantau menjadi diaspora,” dilanjutkan dengan tampilan para mahasiswa dari beberapa cuplikan buku Dasamuka karya Junaedi Setiyono dan pembahasan Potions and Paper Cranes, terjemahan bahasa Inggris dari Perempuan Kembang Jepun karya Lan Fang dan novel saya Only A Girl. Gambar dan tulisan sebagai latar belakang acara itu sangatlah memukau dan menyenangkan bagi saya (lihat foto).

Tautan acara: https://www.youtube.com/watch?v=67EbCQ8XWU0&feature=youtu.be

Sebagai seorang diaspora Indonesia, adalah kewajiban saya untuk merawat dan menghormati bahasa Indonesia.

***

Di Bandung saya menikmati keramahan Pak Ari sebagai tuan rumah.

***

Jakarta – 9-16 November, 2017

13 November, 2017: “Seminar nasional bahasa dan sastra” diselenggarakan oleh Universitas Pamulang.

Sedih rasanya, ketika saat ini kita, sebagai bangsa yang telah berhasil merebut kemerdekaan, sekarang bahkan dengan sukarela memperbudakkan diri pada apa saja yang berbau Barat. Hingga mengorbankan bahasa kita sendiri dengan membiarkan penyusupan bahasa Inggris di dalam penggunaannya.

Yang mengesankan dari acara ini adalah tampilan dari para mahasiswa membacakan puisi karya Muhammad Wildan, dosen Sastra Indonesia, Universitas Pamulang, berjudul ‘Negeriku.’ Sebagai penutup saya ingin mengutip puisi tersebut:

Negeriku

oleh

Muhammad Wildan BRD

Negeriku, ingin kusampaikan padamu

Atas pundak kau pikul berat beban

Tampak letih, namun tegar

Ulah angin sepoi berhembus dari sudut Alexis

Padahal kau tahu

Lalu mengapa tidak kaukatakan kepadaku?

Di saat aku dan dirimu pernah duduk bersanding

Malah kau ucapkan lain kata

Negeriku, mungkin kau tahu

Namamu kau pertaruhkan

Lewat kabar tersiar

“Anies tutup Alexis”

Masyarakat lalu tanya

Alexis itu apa?

Alexis itu di mana?

Apa dosa Alexis?

Rakyatmu butuh jawaban

Barangkali dirimu telah menjawab

Ah pura-pura tak tahu

Surga dunia itu, kini

Menyisahkan pro-kontra

Pro karena namanya terdaftar dalam katalog

Pro karena tempat mengais pundi

Kontra karena ini janji kampanye

Kontra karena tidak sesuai adat ketimuran

Entahlah alasan apalagi

Yang pasti, beban dipundakmu segera diringankan

Negeriku…

Tak hanya beban Alexis yang kaupikul

Ada di atas pundakmu…

Rakyat jelata, rakyat jelata, rakyat jelata

Dahaga di tengah terik matahari

       Namun kering tetesan air

Hasrat belajar memuncak

       Namun pendidikan masih diukur nilai rupiah

Praktik ajaran keagamaan mulai menggeliat

        Namun penuh gangguan

Cobalah kau katakan

Kepadaku

Sesungguhnya apa yang terjadi dengan dirimu

Wahai negeriku…

***

 

 

 

 

 

Kilasan Sejarah Indonesia melalui Cerita

 

Foto oleh Gemah Rahardjo dan Robert Kato

Hari Sabtu tanggal 19 Agustus 2017 kemarin, Dalang Publishing mendapat kehormatan dan kesempatan baik untuk menggelar dan memperkenalkan buku-buku hasil terbitannya. Sebuah toko buku bernama Florey’s Books yang terletak di kota Pacifica, California, telah membuka pintu bagi kehadiran sembilan karya buku terbitan kami termasuk diantaranya terbitan terbaru, terjemahan bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra, Dasamuka, karya Junaedi Setiyono.

Aaron Schlieve sebagai pemilik toko adalah salah satu orang yang sangat membantu dan mendukung Dalang Publishing dalam usahanya memperkenalkan sastra Indonesia. Selain pemaparan buku Dasamuka, kesempatan yang ditawarkan beliau itu juga kami manfaatkan untuk memperkenalkan tentang Indonesia dan kekayaan budaya nya.

 

Dalang Publishing berkunjung ke Oregon

 

 

 

Tulisan oleh Retna Ariastuti

Ibu Lian menghadiri Historical Novel Society Conference di Portland, Oregon, pada tanggal 22 -25 Juni 2017. Di sela-sela jadwal Ibu Lian yang padat di konferensi, kami menyempatkan diri untuk mampir di beberapa toko buku dan perpustakaan di Portland. Ini adalah pertama kalinya bagi Dalang untuk memasarkan terbitannya di Portland. Kami mengunjungi The Multnomah Public Library, Broadway Books, Mother Foucault’s Bookshop, dan Wallace Books. Terbitan Dalang telah terdapat di daftar judul dari Powell’s City of Books: toko buku swadaya terbesar di dunia. Kami hanya mampir di sana untuk memperkenalkan diri secara langsung.

Kami tidak sabar untuk melihat buku-buku Dalang segera dipajang di Oregon.

Peluncuran Buku Dasamuka oleh Junaedi Setiyono

Buku ke sembilan Dalang Publishing yang berjudul Dasamuka tanggal 9 Juni lalu telah resmi kami luncurkan. Dengan kehormatan khusus atas hadirnya Bapak Konjen Ardi Hermawan beserta Ibu Yuli dan keluarga. Beberapa orang pejabat KJRI seperti Bapak Hanggiro Setiabudi, dan Bapak F Bernard Loesi, tampak juga diantara para hadirin sore itu.

Tak ketinggalan Sylvia Tiwon, professor bidang South and Southeast Asian Studies dari Universitas UC Berkeley; Virginia Shih, pustakawati SOEA Library dari UC Berkeley; George Anwar, guru besar Dept. of Engineering yang juga dari UC Berkeley turut menyimak dan mengikuti acara peluncuran itu hingga selesai.

Selamatan Peluncuran Buku Dasamuka

Hari Sabtu tanggal 20 Mei 2017 lalu adalah hari yang penuh berkat dan rahmat bagi Dalang Publishing. Setelah satu tahun persiapan, sebuah naskah penulis Indonesia telah rampung dan menjadi sebuah karya sastra terjemahan yang layak kami persembahkan. Untuk itu kami pun menggelar acara selamatan atas ujud rasa syukur kami.

Acara yang diselenggarakan di Multi Purpose Room, Highlands Recreation Center di San Mateo, California itu dihadiri oleh kurang lebih 30 orang tamu undangan. Kami merasa terhormat dan mendapat dukungan dengan hadirnya Bapak Hanggiro Setiabudi, Bapak F Bernard Loesi, dan Ibu Riena Sarjono dari Konsulat Jendral Republik Indonesia, San Francisco. Kehadiran mereka mewakili pemerintah yang mendukung penerbitan karya sastra Indonesia di Amerika. Acara juga dihadiri oleh diantaranya Sylvia Tiwon, professor bidang South and Southeast Asian Studies dari University of California, Berkeley, Virginia Shih, pustakawati SOEA Library UC Berkeley, dan Cynthia Rider, pustakawati dari Main Burlingame Public Library.

Bapak Hanggiro Setiabudi yang mewakili Bapak Ardi Hermawan, Konsul Jendral Republik Indonesia di San Francisco, memberikan kata sambutannya, dilanjutkan dengan penyerahan buku karya asli berbahasa Indonesia dan buku karya terjemahan bahasa Inggris oleh Ibu Lian Gouw.

Dasamuka adalah karya Junaedi Setiyono seorang pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Muhammadiyah, di Purworejo. Karya itu diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh Maya Denisa Saputra.

Dasamuka telah berhasil mendapat pujian dari beberapa orang terpelajar di Indonesia maupun di Amerika. Pujian ini dapat dibaca melalui sampul belakang bukunya dan di halaman buku situs kami.

Acara selamatan yang berlangsung sore itu berjalan dengan baik dan lancar. Setelah tumpeng disajikan kepada Pak Hanggiro Setiabudi para hadirin pun dipersilahkan menikmati nasi tumpeng dengan lauk rendang, telur dan udang balado, ayam goreng kuning, sambel goreng, kering tempe, dan urap-urap. Sebagai penutup kami sajikan kue lapis Surabaya dan kue Pepe. Penataan meja dengan hiasan bunga warna merah dan putih serasa begitu anggun. Alunan musik keroncong tak lupa memenuhi ruang pertemuan.

Acara ditutup dengan menampilkan powerpoint yang memperlihatkan tempat dan tokoh-tokoh yang muncul dalam cerita, dan pembacaan beberapa halaman buku Dasamuka oleh Ibu Lian.

 

Dari Foothill College ke Oregon

Foothill College – Entrepreneur Club’s Business Innovation Showcase Day.

Pada tanggal 10 Maret 2017 Foothill College, Mountain View, CA. menyelenggarakan acara Entrepreneur Club’s Business Innovation Showcase Day. Berkat beberapa mahasiswa Indonesia yang bersekolah disana, dan menjadi panitia acara, Dalang Publishing mendapat kehormatan mengisi salah satu meja pamer di acara itu. Tegishtha Andhika Iman Soewarno, Aleisha Fiona Nurfirman dan Cindy Tjuarsa telah bekerja keras menggelar acara itu dengan baik. Perhatian serta kepedulian mereka terhadap tujuan Dalang Publishing patut diacungi jempol. Tanpa kepedulian dan dukungan para pemuda dan pemudi penerus bangsa, usaha kami untuk mengangkat kehormatan bangsa melalui peningkatkan mutu sastra Indonesia akan sulit terlaksana.

 

Oleh: Retna Ariastuti.

2017 Association for Asian American Studies Conference –Portland, Oregon.

 

Dalang Publishing menghadiri AAAS Conference di Portland, Oregon yang berlangsung dari tanggal 13 – 15 April 2017 dengan inti pembahasan berjudul: “At the Crossroads of Care and Giving.” Dalang ikut serta dengan penampilan terbitan Dalang diantara 18 penerbit lain yang kebanyakan terdiri dari pernerbit universitas. Kita didampingi oleh Duke University Press dan Johns Hopkins University Press.

Kami beruntung diberikan tempat yang cukup menarik ini, karena pengunjung tetangga kami yang terkenal selalu mampir.

Para pengunjung tampak sangat tertarik pada terbitan Dalang. Mereka antara lain adalah peneliti dan pengajar di bidang kajian Asia Tenggara. Juga cukup banyak perpustakawan universitas yang menaruh perhatian pada terbitan Dalang.

Penjualan buku kita selama ajang tersebut cukup lumayan.

Keikut sertaan Dalang dalam konferensi ini juga karena adanya tampilan dari Asri Saraswati, mahasiswi Ph.D. dari State University of New York at Buffalo yang juga pengajar di Universitas Indonesia di Jakarta. Salah satu kajian dalam tampilannya adalah, “How does Indonesia’s colonial and post-colonial politics of race coincide with the Asian American experience?” Sayangnya hanya tiga orang Indonesia yaitu saya, Ibu Lian dan Asri, yang ikut serta dalam conference ini. Padahal dari kunjungan pada meja pameran kami dan pertanyaan-pertanyaan dan percakapan di acara tampilan Asri, ternyata ada banyak keingintahuan tentang Indonesia.

Selama di Oregon, Dalang juga menghadiri pertemuan kelompok pembaca buku di rumah Retna Ariastuti. Buku yang dibahas adalah The Red Bekisar terjemahan Nurhayat Indriyatno Mohamed dari Bekisar Merah, karya Ahmad Tohari,